BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas
berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan
sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional
yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum
internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional
dan, pada batas tertentu, perusahaan multinasional
dan individu.
Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk
menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara
raja-raja zaman dahulu. Hukum antar bangsa atau hukum antar negara menunjukkan
pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa atau negara. Hukum Internasional terdapat beberapa bentuk
perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia
(region) tertentu : (1) Hukum Internasional regional : Hukum Internasional yang
berlaku/terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti Hukum Internasional
Amerika / Amerika Latin, seperti konsep landasan kontinen (Continental Shelf)
dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living
resources of the sea) yang mula-mula tumbuh di Benua Amerika sehingga menjadi
hukum Internasional Umum. (2) Hukum Internasional Khusus : Hukum Internasional
dalam bentuk kaedah yang khusus berlaku bagi negara-negara tertentu seperti
Konvensi Eropa mengenai HAM sebagai cerminan keadaan, kebutuhan, taraf
perkembangan dan tingkat integritas yang berbeda-beda dari bagian masyarakat
yang berlainan. Berbeda dengan regional yang tumbuh melalui proses hukum
kebiasaan.
Hukum Internasional didasarkan atas
pikiran adanya masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara yang
berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak
dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara
anggota masyarakat internasional yang sederajat.
Hukum Nasional di Indonesia merupakan
campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian
besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat
dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
B. Permasalahan
Dalam perkembangan teori-teori hukum,
dikenal dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional. Monisme dan dualisme. Untuk memperjelas hubungan antara hukum
Nasional dan Internasional, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah bagaimana hubungan hukum nasional dan internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Internasional
Hukum internasional dapat
didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas
prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara,
dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka
satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup : (a) organisasi
internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya,
hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga
atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan
hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu
; (b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan
individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities)
sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan
negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional”
(Phartiana, 2003; 4)
Sejalan dengan definisi yang
dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional
sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara
dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara
satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di
atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan
substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek
atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal
atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah
atau peraturan-peraturan hukumnya.
Sedangkan mengenai subyek hukumnya,
tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional,
sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana
sebelumnya.
B. Pengertian Hukum Nasional
Hukum nasional adalah sekumpulan hukum
yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang
harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu negara, dan oleh karena itu juga
harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya.
Hukum Nasional di Indonesia merupakan
campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian
besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat
dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Menurut
teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem
hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan
superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan
hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada
pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu
negara.
Sedangkan
menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan
satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah
lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri.
Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan
hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum
internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
Berangkat
dari pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti
politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang
diharap bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara.
Hukum Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan
antara person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional),
menentukan hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang
terjadi antara person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.
Oleh
karena itu hukum internasional adalah hukum masyarakat internasional yang
mengatur segala hubungan yang terjalin dari person hukum internasional serta
hubungannya dengan masyarakat sipil. Hukum internasional mempunyai beberapa
segi penting seperti prinsip kesepakatan bersama (principle of mutual consent),
prinsip timbal balik (priniple of reciprocity), prinsip komunikasi bebas
(principle of free communication), princip tidak diganggu gugat (principle of
inciolability), prinsip layak dan umum (principle of reasonable and normal),
prinsip eksteritorial (principle of exterritoriality), dan prinsip-prinsip lain
yang penting bagi hubungan diplomatik antarnegara.
Maka
hukum internasional memberikan implikasi hukum bagi para pelangarnya, yang
dimaksud implikasi disini ialah tanggung jawab secara internasional yang
disebabkan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan sesuatu negara atau organisasi
internasional dalam melakukan segala tugas-tugasnya sebagai person hukum
internasional. Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan unsur-unsur
terpenting dari hukum internasional; (a) Objek dari hukum internasional ialah
badan hukum internasional yaitu negara dan organisasi internasional, (b) Hubungan
yang terjalin antara badan hukum internasional adalah hubungan internasional
dalam artian bukan dalam scope wilayah tertentu, ia merupakan hubungan luar
negeri yang melewati batas teritorial atau geografis negara, berlainan dengan
hukum negara yang hanya mengatur hubungan dalam negeri dan (c) kaedah hukum
internasional ialah kaedah wajib, seperti layaknya semua kaedah hukum, dan ini
yang membedakan antara hukum internasional dengan kaedah internasional yang
berlaku dinegara tanpa memiliki sifat wajib seperti life service dan adat
kebiasaan internasional.
Jika
hukum nasional ialah hukum yang terapkan dalam teritorial sesuatu negara dalam
mengatur segala urusan dalam negeri dan juga dalam menghadapi penduduk yang
berdomisili didalamnya, maka hukum internasional ialah hukum yang mengatur
aspek negara dalam hubungannya dengan negara lain.
Hukum
Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi
berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk
tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan
tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar
kesepakatan bersama akan dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus
bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya.
Pengertian
tanggung jawab internasional itu sendiri itu adalah peraturan hukum dimana
hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku
tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban internasional yang menyebabkan
kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi.
D.
Esensial Hukum Internasional
Apa
yang menjadi kepentingan hukum internasional adalah memberikan batasan yang
jelas terhadap kewenangan negara dalam pelaksanaan hubungan antarnegara. Hal
ini bertolak belakang dengan kepentingan penyelenggaraan politik internasional
yang bertujuan untuk mempertahankan atau memperbesar kekuasaan. Karena itu,
hukum bermakna memberikan petunjuk operasional perihal kebolehan dan larangan
guna membatasi kekuasaan absolut negara.
Realitanya
keterkaitan diantara kedua dimensi hubungan ini berujung kepada persoalan
esensi hukum sebagai suatu kekuatan yang bersifat memaksa. Masalah efektifitas
hukum dalam hubungan internasional ini menimbulkan dua konsekuensi yang secara diameteral
saling bertolak-belakang. Pertama, struktur hukum nasional lebih tinggi dari
pada hukum internasional. Pemahaman ini membawa implikasi hukum internasional
terhadap kebijakan domestik suatu negara akan diukur berdasarkan sistem hukum
nasional. Di sini hukum internasional baru akan berlaku jika tidak bertentangan
dengan kaedah hukum nasional. Agar berlaku, hukum internasional juga perlu
diadopsi terlebih dahulu menjadi hukum nasional, yaitu suatu proses yang
dilakukan antara lain melalui ratifikasi. Dasarnya adalah doktrin hukum pacta
sunc servanda di mana perjanjian berlaku sebagai hukum bagi para pihak.
Perjanjian merefleksikan itikad bebas yang dicapai secara sukarela oleh subjek
hukum internasional yang memiliki kesetaraan satu sama lain. Sebaliknya, hukum
dinilai tidak dapat berfungsi secara efektif jika tidak ada keinginan negara
untuk tunduk di bawah ketentuan yang diaturnya. Kemudian pemahaman kedua
sementara itu mendalilkan bahwa hukum internasional otomatis berlaku sebagai
kaedah hukum domestik yang mengikat negara tanpa melalui proses adopsi menjadi
hukum nasional. Menurut paradigma ini, hukum internasional merupakan fondasi
tertinggi yang mengatur hubungan antarnegara. Sumber kekuatan mengikat hukum
internasional adalah prinsip hukum alam(costumary) yang menempatkan akal sehat
masyarakat internasional sebagai cita-cita dan sumber hukum ideal yang
tertinggi. Terlepas dari ada atau tidaknya persetujuan ini, secara yuridis
negara dapat terikat oleh prinsip hukum internasional yang berlaku universal
atau oleh kaedah kebiasaan internasional. Customary itu sendiri membuktikan
bahwa praktek negara atas sesuatu hal yang sama dan telah mengkristal, sehingga
diakui oleh masyarakat internasional memiliki implikasi hukum bagi pelanggaran
terhadapnya.
E.
Penyelesaian
Sengketa Internasional Secara Damai.
Ketentuan
hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar
negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai
Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag
pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3)
Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi
Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama
antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan
internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian
sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di
luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah
penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat
ditempuh melalui:
1.
Arbitrase Internasional
Penyelesaian
sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan
sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para
pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada
pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara
penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah
disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting
dalam arbitrase adalah; (a) perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap
proses arbitrase, dan (b) sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum.
(Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara
esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para
pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator
atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau
dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para
pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan
arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk
atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang
telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis
(kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan
arbitrase, (b) metode pemilihan panel arbitrase, (c) waktu dan tempat hearing
(dengar pendapat), (d) batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan (e) prinsip-prinsip
hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan.
(Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat
internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional,
antara lain (a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of
Arbitration of the International Chamber of Commerce) yang didirikan di
Paris, tahun 1919, (b) pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal
Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes)
yang berkedudukan di Washington DC, (c) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk
Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di
Kuala Lumpur, Malaysia dan (d) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional
Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan
Tsani; 216)
2.
Pengadilan Internasional
Pada
permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk
membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari
komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan
bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
Pasal
14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi
Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga
Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi
Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang
Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco
untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah,
kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah
Internasional.
Menurut
Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah
Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun
sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya
hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena
banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara
signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:
1.
Melaksanakan “Contentious
Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada
persetujuan para pihak yang bersengketa;
2.
Memberikan “Advisory
Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory
Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya
diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang
mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217)
Sedangkan,
menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum
internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
- Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
- Kebiasaan internasional (international custom);
- Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
- Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
Mahkamah
Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono,
yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun
hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang
bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat
banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara
mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa
dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa
dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada
persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan
di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional
tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para
pihak).
BAB III
KESIMPULAN
Menurut teori Dualisme,
hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara
keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua
sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau
subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional
memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar
keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori
Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama
lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari
hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori
ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum
internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum
internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
Berangkat dari
pentingnya hubungan lintas negara disegala sektor kehidupan seperti politik,
sosial, ekonomi dan lain sebagainya, maka sangat diperlukan hukum yang diharap
bisa menuntaskan segala masalah yang timbul dari hubungan antar negara. Hukum
Internasional ialah sekumpulan kaedah hukum wajib yang mengatur hubungan antara
person hukum internasional (Negara dan Organisasi Internasional), menentukan
hak dan kewajiban badan tersebut serta membatasi hubungan yang terjadi antara
person hukum tersebut dengan masyarakat sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiwisastra
Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung .
Burhantsani,
Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta
: Penerbit Liberty.
Disarikan dari paparan ilmiah Abdul Hakim
Garuda Nusantara, dalam Dialog Interaktif, “Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM
bagi Penegakan Hukum,” di Hotel Acacia, Jakarta, pada 9 Maret 2006, yang
diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional RI.
J.G.
Starke, Pengantar Hukum Internasional Buku 2 (terj), (Jakarta: Sinar
Grafika, 1992), hal. 98. Lihat juga Boer Mauna, Hukum Internasional,
(Bandung: Alumni, 2000), hal. 12-13. Lebih lanjut mengenai pandangan Kelsen ini
dapat di lihat dalam beberapa tulisan Kelsen, Teori Hukum Murni:
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, hal. 353. Teori Umum Tentang Hukum
dan Negara, hal. 511. Ibid, hal. 97.
Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar
Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra Abardin.
Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional;
Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT.
Alumni, Bandung .
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar
Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju, Bandung .
Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi
dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung
Suryokusumo, Sumaryo,.(1995) Hukum Diplomatik Teori dan
Kasus, Bandung :
Alumni.
Soekanto, Soerjono,.(1993) Sendi-sendi Ilmu Hukum dan
Tata Hukum, Bandung :
Citra Aditya.
0 komentar:
Posting Komentar