Kamis, 23 Mei 2013


PENGGELEDAHAN
Pasal 32
Untuk kepentingan penyelidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 33
(1)  Dengan surat izin ketua pengadilan setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2)  Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3)  Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetuhuinya.
(4)  Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5)  Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34
(1)  Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan suart izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan :
a.      Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada diatasnya,
b.      Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada,
c.      Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya,
d.      Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
(2)  Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 37
(1)  Pada waktu menangkap tersangka, penyellidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alas an yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2)  Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.



PENYITAAN
Pasal 38
(1)  Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
(2)  Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 39
(1)  Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a.      Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b.      Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
c.      Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana.
d.      Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e.      Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2)  Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatannya dan ditandatangani oleh penyidik.
Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik member catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut. Ketentuan pasal ini untuk mencegah kekeliruan dengan benda lain yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan untuk penyitaan benda tersebut telah dilakukan (pasal 130).
Mengenai penyidikan korban luka, keracunan atau mati, pasal 133 KUHAP menegaskan :
(1)  Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2)  Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.
(3)  Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain dari badan mayat

Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarganya korban. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini (pasal 134).
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini. Sedang yang dimaksud dengan “penggalian mayat” termasuk pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan (pasal 135).
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh Negara (pasal 136).

1.      Kejaksaan
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (137).
Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
Dalam hal penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Adapun yang dimaksud dengan “meneliti” adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang dan atau benda yang tersebut dalam hasil penyelidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik (pasal 138).
Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan kepengadilan (pasal 139).
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
a.      Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya.
b.      Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lainnya; adapun yang dimaksud dengan “tindak pidana dianggap mempunyai sangkut-paut satu dengan yang lain” , apabila tinda pidana tersebut dilakukan
1)     Oleh lebih dari seorang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat yang bersamaan
2)     Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oelh mereka sebelumnya.
3)     Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lalin.
c.      Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan (pasal 141).

Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukakn oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah (pasal 142).
Berkenaan dengan pelimpahan perkara oleh penuntut umum ke pengadilan negeri, pasal 143 KUHAP menjelaskan :
(1)  Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2)  Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
a.      Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka
b.      Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan
(3)  Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4)  Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri; adapun yang dimaksud dengan “surat pelimpahan perkara” adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.

Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari siding, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik (pasal 144).

2.      Pengadilan
Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkata itu sudah termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang. Yang dimaksud dengan “hakim yang ditunjuk” ialah majelis hakim atau hakim tunggal.
Hakim dapat menetapka hari sidang sebagimana dimaksud dalam ayat (1) memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang disidang pengadilan. Pemanggilan terdakwa dan saksi dilakukan dengan surat panggilan oleh penuntut umum secara sah dan harus diterima terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari sebelum sidang dimulai (pasal 152).
Pasal 153 KUHAP mengatur tentang persidangan sebagai berikut :
(1)  Pada hari yang ditentukan menurut pasal 152 pengadilan bersidang
(2)  a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahsa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
b.   Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(3)  Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
(4)  Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan terbuka tidak terpenuhi.
(5)  Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang. Untuk menjaga supaya jiwa anak yang masih dibawah umur tidak terpengaruh oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, lebih-lebih dalam perkara kejahatan berat, maka hakim dapat menentukan bahwa anak dibawah umur tujuh belas tahun, kecuali yang telah atau pernah kawin, tidak diperbolehkan mengikuti sidang.
Berkenaan dengan pemanggilan terdakwa oleh hakim, pasal 154 KUHAP menegaskan :
(1)  Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas; sedangkan yang dimaksud denga “keadaan bebas” adalah keadaan tidak dibelenggu tanpa mengurangi pengawalan.
(2)  Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah
(3)  Jika terdakwa dipanggil secara sah, hakim sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untu hadir pada hari sidang berikutnya.
(4)  Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alas an yang sah, pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa di panggil sekali lagi. Kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan haknya, jadi terdakwa harus hadir di sidang pengadilan.
(5)  Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6)  Hakim ketua sidang memerintahkah agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alas an yag sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang berikutnya. Dalam hal terdakwa setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dihadirkan dengan baik, maka terdakwa dapat dihadirkan dengan paksa.
(7)  Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan atay (6) dan dapat menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.

Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahiar, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang. sesudah itu hakim ketua sidang meminta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan.
Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Untuk menjamin terlindungnya hak terdakwa guna memberikan pembelaannya, maka penuntut umum memberikan penjelasan atas dakwaan,tetapi penjelasan ini hanya dapat dilaksanakan pada permulaan sidang (pasal 155).
Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Dalam hal penuntut umum keberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.
Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.
Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang dipanggil telah hadir dan member perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.
Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut kepersidangan. Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil kesuatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli (pasal 159).
Dalam hal meminta keterangan saksi pasal 160 KUHAP mengatur sebagai berikut :
(1) a.         Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
      b.         yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.
      c.         Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar saksi tersebut.
(2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agam dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda sampai sederajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isttri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum member keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
(4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai member keterangan.

Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebgaimana dimaksud dalam pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia denga surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera ditempat rumah tahanan Negara paling lama empat belas hari.
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang (pasal 183).
Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah :
a.      Keterangan saksi;
b.      Keterangan ahli;
c.      Surat;
d.      Petunjuk;
e.      Keterangan terdakwa.
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.


Dalam pasal 196 KUHAP ditegaskan bahwa :
(1)  Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.
(2)  Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
(3)  Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya,  yaitu :
a.      Hak segera menerima atau segera menolak keputusan;
b.      Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
c.      Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undnag-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.;
d.      Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e.      Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang ini.

Pasal 197 :
(1)  Surat putusan pemidanaan memuat :
a.      Kepala keputusan yang dituliskan bunyinya : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.      Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c.      Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.      Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e.      Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.       Pasal peraturan perundang-undangan yang menjdai dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.      Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksaoleh hakim tunggal;
h.      Pernyataan kesalahan terdakw, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i.        Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j.        Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.      Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.        Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
(2)  Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3)  Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

0 komentar:

Posting Komentar