BAB III
KETERKAITAN
BANTUAN HUKUM DENGAN UNDANG-UNDANG YANG BERLAKU, ASAS-ASAS, DAN MATERI MUATAN
RUU
A. Keterkaitan dengan Undang-Undang yang
Berlaku
Dalam beberapa undang-undang, sudah disinggung perihal bantuan hukum.
Namun, pengaturannya masih bersifat deklarator semata dan belum mengatur secara
lengkap mengenai bantuan hukum tersebut. Hal ini antara lain ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, S. 1847-52 jo. 1849-63),
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
1.
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disahkan sejak
tanggal 31 Desember 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76. Sebelum Undang-Undang ini berlaku, peraturan yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum adalah HIR Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 (Het Herziene Inlandsch Reglement) atau
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Reglemen Indonesia yang Diperbaharui.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdapat Ketentuan antara lain:
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa
berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama
dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang
ditentukan dalam UU ini.
2.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Pasal 1792
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang diberikan
pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan
sesuatu atas nama yang memberi kuasa.
Pasal 1793
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum
dengan suatu surat di bawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat atapun lisan.
Penerimaan surat kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dari disampaikan
dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa itu.
Pasal 1794
Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika
diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan
dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada
yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.
3. Reglemen
Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, S. 1847-52 jo. 1849-63)
Bagian 12. berperkara secara cuma-cuma (prodeo) atau dengan biaya dengan tarip yang dikurangi.
Pasal 887
Untuk memperoleh ketetapan izin
berperkara secara prodeo atau dengan
tarip yang dikurangi tidak dipungut biaya.
Dalam biaya pada pasal ini
termasuk gaji penasehat hukum dan juru sita (Rv. 880)
Pasal 879
Akibat diizinkannya berperkara
secara prodeo atau dengan tarip yang
dikurangi adalah, bahwa biaya kepanitraan dalam hal pertama seluruhnya,
sedangkan dalam hal yang kedua untuk separuhnya, dibebaskan kepadanya, bahwa
masing-masing untuk hal yang pertama tidak dipungut dan untuk hal yang kedua
dipungut separuh gaji pengacara dan juru sita, juga masing-masing untuk hal
yang pertama secara cuma-cuma dan dalam hal kedua dipungut separuh biaya
pelaksanaan keputusan hakim (RO. 72,190,201; Rv. 887, 881 dst)
Pasal 882
Bila ada alasan-alasan untuk
pihak lawan dari orang yang diizinkan untuk berperkara secara prodeo, atau
dengan tarip yang dikurangi, untuk menanggung biayanya, maka hakim karena
jabatannya akan menghukumnya untuk membayar kepada panitera biaya kepaniteraan
menurut ketentuan Pasal 879, begitu pula mengganti biaya yang telah dikeluarkan
pemerintah untuk uang jalan juru sita juga gaji pengacara dan para juru sita
yang termasuk dalam pengertian biaya sepanjang pemohon yang telah dibayarkan
terlebih dulu.
Pasal 884
Dalam hal penyelesaian yang
sangat buru-buru sambil menunggu putusan mengenai permohonannya, ketua majelis,
seperti dimaksud dalam Pasal 873, dapat mengizinkan permohonan untuk berperkara
secara prodeo atau dengan tarip yang
dikurangi.
Izin itu dimohon dengan surat
permohonan yang ditandatangani oleh pengacara. Tentang keharusan menyampaikan
surat-surat untuk menguatkan keadaan miskin atau kurang mampu ditetapkan oleh
ketua. Untuk memperoleh ketetapan mengenai permohonan tidak boleh dipungut
biaya.
4. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Pasal 22
Ayat (1)
Advokat wajib memberikan bantuan
hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan
dan tata cara pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Ayat (1)
Advokat asing wajib memberikan
jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan
dan penelitian hukum.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan
dan tata cara mempekerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum
secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
5. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 56
Setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 57
Bantuan Hukum dan Pos Bantuan
Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pasal KUH Perdata menegaskan bahwa yang menerima kuasa tidak harus seorang Advokat. Hal ini
menjadi dasar yuridis bahwa bantuan hukum secara cuma-cuma bagi warga negara
yang tidak mampu menjadi sangat penting untuk diatur dalam sebuah undang-undang
khusus tentang Bantuan Hukum.
Ketentuan pasal-pasal RV tersebut menegaskan bahwa bantuan hukum harus
diberikan kepada orang yang tidak mampu. Sehingga kehadiran Undang-Undang
Bantuan Hukum menjadi sangat tepat untuk melegitimasi secara konstitusional hak
warga negara yang tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan dalam perkara
perdata.
Ketentuan dalam pasal Undang-Undang Advokat bermakna bahwa Advokat juga
mempunyai kewajiban untuk melakukan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Tetapi kewajiban tersebut tidak jelas
dan tidak fokus karena tugas pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma menjadi
salah satu tugas “tambahan dan sampingan” Advokat. Sebab tidak ada pengaturan
sanksi secara tegas (melakukan kewajiban memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma, hanya dipandang sebagai masalah etis). Terlepas dari itu semua, visi
dan misi advokat berbeda dengan visi dan misi pemberi bantuan hukum yang
pengaturannya akan diatur dalam undang-undang khusus tentang bantuan hukum. Akses
keadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal
28 H ayat (2), dan Pasal 28 I ayat (4) dan (5), memang dijamin oleh konstitusi
dan hanya mungkin diwujudkan apabila dilakukan oleh orang atau pihak tertentu
dalam pengaturan yang khusus. Dengan demikian tidak ada alasan apapun untuk
menolak kehadiran Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.
Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang tentang Advokat tersebut juga ambivalensi
dan kontradiktif dengan ketentuan Pasal 22. Sebab paradigma bantuan hukum
cuma-cuma seakan dianggap tidak penting dan tidak perlu menjadi kewajiban dan
urusan advokat secara profesional. Bagaimana mungkin dapat dijelaskan secara
akademik, sosiologis, dan filosofis, tiba-tiba advokat asing hanya boleh
memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian
hukum. Sementara pengertian jasa hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 adalah jasa yang diberikan advokat berupa pemberian
konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Dari
ketentuan yang mana dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 bahwa dunia
pendidikan dan penelitian hukum diartikan sebagai Klien advokat asing. Apabila benar
demikian, mengapa advokat pribumi tidak diwajibkan memberikan jasa hukum
(memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
klien) kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum. Ketentuan Pasal 23
tersebut semakin menegaskan bahwa konsepsi dan paradigma bantuan hukum
cuma-cuma memang bukan menjadi domain dan wilayah kewajiban advokat untuk
melakukannya. Jika demikian berarti semakin menguatkan alasan bahwa perlu
dibentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.
Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menegaskan perlunya
dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang bantuan hukum. Sebab bantuan hukum
bukan komoditas yang dapat diperjualbelikan oleh pihak manapun. Kehadiran
Undang-Undang tentang Bantuan Hukum adalah dalam konteks menegaskan secara
paradigmatik bahwa bantuan hukum bukan komoditas, oleh karenanya tidak dapat
diperjualbelikan secara profesional dengan tarif jasa tertentu walaupun berdasarkan
kesepakatan antara pemberi bantuan hukum dengan penerima bantuan hukum. Bantuan
hukum adalah hak yang menjadi kewajiban pihak lainnya untuk memberikannya.
Posisi negara seharusnya menjadi sangat penting berdasarkan konstitusi untuk mengambil
peran dan posisi menjamin hak warga negara mendapatkan bantuan hukum secara
memadai.
0 komentar:
Posting Komentar