JENIS-JENIS SANKSI (PIDANA)
DALAM KONSEP RUU KUHP
NASIONAL
I. Pendahuluan
Masalah
pidana merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam pelajaran hukum,
bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri (Maurach).[1] Sedangkan
di dalam Sistem Peradilan Pidana (Crimminal Justice System) , pidana
menempati posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam
pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung
pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Lebih-lebih kalau keputusan
pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang “kontroversial”,
sebab kebenaran di dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung dari mana
kita memandangnya.[2]
Masalah pidana dan pemidanaan di dalam sejarah umat manusia selalu mengalami
perubahan, yang dilakukan sesuai dengan perkembangan peradaban manusia itu
sendiri. Perkembangan perumusan sanksi (pidana) di beberapa negara terutama di
Eropa Barat sudah lebih maju bila dibandingkan jenis sanksi pidana yang diatur
dalam KUHP. Dalam rangka mengejar
ketinggalan hukum pidana dari perkembangan teknologi canggih, maka terjadi perubahan
hukum pidana terutama sistem stelsel sanksinya dengan pesatnya. Ada negara yang melakukan revisi
total KUHP-nya seperti Jerman, Austria 1975), RRC (1980). Ada pula yang
terus-menerus menyisipkan dan mencabut pasal-pasal tertentu, seperti Belanda, yang hampir setiap tahun
melakukan perubahan KUHP. Indonesia termasuk negara yang sangat lamban
melakukan perubahan KUHP. Sebagai bahan pembanding Jerman melakukan perubahan
sangat luas yang mereka sebut revisi yang pada hakikatnya merupakan penyusunan
KUHP Baru pada tahun 1975 dengan Undang-undang Reform KUHP yang ke 13 (13 Juni
1975) KUHP Baru ini pun berkali-kali direvisi dalam kurun waktu sangat pendek.[3]
Reform ke 14 ( 22 April 1976), Reform ke 15 (18 Mei 1976),
Undang-undang 2 Juli 1976, Undang-undang Kejahatan Ekonomi 29 Juli 1976, Reform
ke 16 (16 Juli 1979), Reform ke 17 (21 Desember 1979), Reform ke 18 ( 28 Maret
1980), Reform ke 19 ( 7 Agustus 1981), Reform ke 20 (8 Desember 1981). Sesudah
itu beberapa lagi undang-undang dikeluarkan sebelum reform ke 21 ( 13 Juni
1985), Reform ke 22 (18 Juli 1985), lalu ada lagi Amandemen KUHP 18 Juli 1985,
disusul Reform ke 23 ( 4 April 1986), Undang-undang Kejahatan Ekonomi Kedua 15
Mei 1986 dan Undang-undang Anti Terorisme 19 Desember 1986. Kalau kita melihat
perkembangan pembaharuan ( Reform ) dan Undang-undang Jerman yang dikeluarkan
dalam kurun waktu 11 tahun ( 1975-1986 ), adalah upaya untuk mengejar
ketinggalan Hukum Pidananya. [4]
II.
Generasi Pembaharuan Sistem Sanksi Pidana
Secara
lebih khusus lagi, maka dapat digambarkan secara bertahap generasi pembaharuan
sistem sanksi pidana yang dikemukakan oleh P.J.P. Tak seorang Guru Besar di Universitas Katholik Nijmengen
Belanda yang dimuat di dalam makalahnya yang berjudul “The Advancement of The Fourth Generation of Sanctions of Western
Europe” ( UNAFEI Resource Material No. 38 ) mengemukakan, bahwa ada 4
generasi sistem sanksi pidana (modern) yaitu :[5]
1.
Generasi pertama sistem sanksi atau pidana dimana pidana perampasan
kemerdekaan (penjara) merupakan pidana utama untuk mengganti pidana mati,
pidana siksa badan, pidana kerja paksa dan pidana mendayung kapal. Ini terutama
tercantum dalam KUHP negara-negara Eropa Barat. Pidana perampasan kemerdekaan
(penjara) ini dipandang bukan saja lebih berprikemanusiaan dan rational, tetapi
juga untuk rehabilitasi dan perbaikan kepada pelanggar. Sisa pidana mati di
samping pidana penjara masih ada beberapa negara, seperti Belgia, Irlandia,
Yunani dan Turki tetapi telah lama dihapus di Portugal 1867, Nederland 1870,
Norwegia Raya 1965, Spanyol 1978 dan Prancis 1981, yang masih belum dihapuskan
tidak lagi menerapkan dalam praktek. (Abolitio de facto).
2.
Generasi kedua sistem sanksi pidana ditandai dengan tambah
populernya pidana penjara di Eropa Barat. Mengambil acuan negara-negara di
Eropa Barat, karena negara-negara tersebut telah memberi warna kepada hukum (pidana)
negara-negara berkembang bekas jajahan mereka, termasuk Indonesia yang KUHPnya
(juga WvK dan BW) bersumber pada Belanda. Bahkan Jepang dan Thailand yang tidak
pernah dijajah tidak luput dari pengaruh hukum pidana negara-negara Eropa Barat
(Jepang dipengaruhi oleh Jerman, sedangkan Thailand dipengaruhi oleh Inggris).
Pelaksanaan dan jenis sanksi pidana perampasan kemerdekaan (penjara)
berbeda-beda di berbagai negara. Belanda mengenal dua jenis pidana perampasan
kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan (keduanya dilaksanakan di
penjara) yang tentu saja sama dengan yang dikenal dalam KUHP Indonesia. Tetapi
dalam Rancangan KUHP baru, tidak ada pidana kurungan, yang ada di samping
pidana penjara, ialah pidana tutupan yang disediakan bagi penjahat politik. Di
samping Belanda, Belgia juga mengenal pidana kurungan, tutupan (opsluiting) dan
pidana penjara.
Sesudah Perang Dunia II ada kecenderungan untuk menjadikan pidana
perampasan kemerdekaan menjadi satu jenis saja. Demikianlah sehingga hanya satu jenis pidana
perampasan kemerdekaan di Norwegia (1962), di Jerman (1969), di Austria (1974)
dan di Portugal (1983).
Pidana
penjara ditentukan maksimum secara khusus pada setiap delik, sedangkan
minimumnya ditentukan secara umum. Berat ringannya pidana penjara ditentukan
berdasarkan seriusnya kejahatan itu secara relatif. Kemudian, dirasakan adanya
kelemahan terhadap pidana penjara ini
terutama yang singkat (yang bulanan sampai dengan satu tahun). Dipandang pidana
penjara yang singkat itu tidak relatif, bahkan dapat lebih menambah kadar
jahatnya seseorang dengan berguru pada penjahat kakap di dalam penjara juga
stigma pada pidana penjara. Juga menambah pembiayaan yang dikeluarkan oleh
negara. Pada generasi kedua inilah muncul pidana bersyarat untuk delik yang
tidak terlalu berat (di Indonesia maksimum pidana penjara satu tahun dapat
dikenakan pidana bersyarat ). (diatur di dalam Pasal 14 a s/d f KUHP).
Dalam
usaha menemukan alternatif lain dari pidana penjara (terutama yang singkat)
inilah muncul generasi ketiga sistem sanksi pidana, terutama berupa denda.
3.
Generasi ketiga, yaitu usaha mengefektifkan pidana denda sebagai
sanksi. Pidana denda di dalam KUHP Belanda yang semula sama dengan KUHP, yaitu
ditentukan maksimumnya secara khusus pada setiap delik sesuai dengan kadar
seriusnya, sedangkan minimumnya ditentukan secara umum (sama untuk semua
delik). Tidak dikenal penerapan sanksi denda bersama dengan pidana penjara.
Tetapi kemudian, Belanda mengubahnya ada delik tertentu umumnya yang
menimbulkan kerugian materiil yang dimungkinkan pengenaan denda bersama pidana
penjara. Juga Belanda memperkenalkan sistem denda berdasarkan kategori.
Kategori I sampai dengan kategori VI. Semua ini tentulah untuk meng-efektifkan
pidana denda. Semua delik dalam KUHP Belanda juga terdapat alternatif dendanya
jika ada pidana penjara.
Sistem pidana denda yang baru diperkenalkan oleh negara-negara
Skandinavia (Finlandia dan Swedia), kemudian diikuti oleh jerman, Austria, Perancis
dan Portugal, yang disebut denda harian (day fine), maksudnya denda didasarkan
kepada kemampuan keuangan orang per hari. Tentulah pendapatannya perhari
dikurangi dengan utang-utangnya. Jadi, untuk delik yang sama dipidana denda
tidak sama karena ditentukan berdasarkan kemampuan keuangan pelanggar. Satuan hari berbeda antara negara
yang satu dengan yang lain. Bagitu pula maksimum dan
minimum per hari ditentukan dalam KUHP. Di Swedia satu hari maksimum dendanya
1.000 Crown sedangkan minimumnya 10 Crown. Satuan hari di swedia minimum 1 dan maksimum 180 yang
tentu ini sama dengan 6 bulan (6 kali 30 hari = 180 hari).
Di Jerman hanya yang dipidana 3
bulan atau kurang diganti dengan denda harian. Di Perancis hanya delik-delik
ringan yang dikenakan denda harian dan dalam praktek sangat sedikit kasus yang
dikenakan denda harian itu.
Ada negara-negara yang menerapkan
denda harian secara konsekuen misalnya Yunani dalam Pasal 82 KUHP-nya
ditentukan, bahwa semua pidana penjara tidak lebih dari 6 bulan dikonversi
menjadi denda harian. Bahkan pengadilan dapat mengenakan denda harian sampai
pada pidana penjara 18 bulan jika dipandang cukup memadai menerapkan pidana
denda harian untuk membuat jera pelanggar melakukan delik berikutnya.
Demikian, sehingga dari semua pidana perampasan
kemerdekaan Yunani, hanya 4 % dilaksanakan di penjara.
4.
Generasi keempat sistem sanksi pidana muncul ketika pidana yang ditunda
dan pidana denda mulai dirasakan juga kurang jika diterapkan secara luas,
karena akan mengurangi kredibilitasnya. Alternatif lain dari pidana perampasan
kemerdekaan mulai ditemukan yaitu sanksi-sanksi alternatif. Yang dimaksud
dengan sanksi alternatif itu, ialah pidana kerja sosial, pidana pengawasan
(control) dan perhatian kepada korban kejahatan mulai meningkat, sehingga
diperkenalkan ganti kerugian kepada korban kejahatan oleh pelanggar sebagai
sanksi alternatif.
Dalam konferensi Internasional mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offender
ke VII dikeluarkan resolusi untuk mengurangi populasi pidana penjara,
alternatif pidana penjara dan integrasi sosial narapidana. Menurut P.J.P Tak,
hanya tiga alternatif yang sesuai dengan resolusi itu, yaitu :[6]
- Kontrak untuk pembinaan (contract treatment).
- Pencabutan dan larangan mengenai hak-hak dan izin (deprivation and interdicts concerning rights or licences).
- Kerja sosial (community service)
Kontrak
untuk pembinaan diperkenalkan di Swedia dengan Undang-undang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1988 yang telah dimulai dengan eksperimen sejak tahun 1978.
Ini merupakan sanksi yang disetujui oleh pelanggar, berupa pembinaan atau
treatment terutama pada pemabuk atau pecandu obat bius atau pelanggar yang
memerlukan pembinaan atau penyembuhan. Pengadilan akan memutuskan contract
treatment sebagai bagian dari syarat pidana percobaan. Jika pelanggar melanggar
kontrak ini, ia akan menjalani pidana penjara. Lamanya pembinaan (treatment)
dan supervisi sesudahnya dibatasi sampai 2 tahun.
Mengenai
pencabutan atau larangan hak dan izin, contohnya Perancis, yang dengan
Undang-undang 11 Juli 1975, menentukan satu atau lebih sanksi ini sebagai
pidana utama :[7]
a.
Penarikan menyeluruh atau sebagian izin mengemudi sampai
dengan 5 tahun,
b.
Larangan
mengemudi kendaraan tertentu sampai 5 tahun,
c.
Perampasan
satu atau lebih kendaraan kepunyaan terpidana,
d.
Larangan
memiliki senjata sampai 5 tahun,
e.
Pencabutan izin berburu dan larangan pemberian izin baru sampai dengan
5 tahun, dan
f.
Perampasan satu atau lebih senjata yang dimiliki atau dibuang oleh
terdakwa.
Mengenai Pidana Kerja Sosial (community service order) yang
juga telah dicantumkan di dalam RUU KUHP Indonesia, di beberapa negara masih
dalam tahap percobaan, seperti Norwegia, Denmark dan Belanda.
Di samping
itu ada negara seperti Swedia menolak pidana kerja sosial itu dengan alasan :[8]
- Masih kurang angka-angka mengenai efektivitas kerja sosial.
- Kerja Sosial itu memerlukan keahlian sedangkan mayoritas penghuni penjara Swedia adalah pemabuk dan pecandu Narkotika yang tidak tahu bekerja.
- Pekerjaan di Swedia bersifat profesional, sehingga sulit pelaksanaan kerja sosial itu.
- Bekerja itu adalah jalan hidup. Sulit kerja sosial itu dipandang sebagai pidana.
Di
Denmark pidana kerja sosial dikaitkan dengan pidana percobaan (pidana
bersyarat) yang 6 sampai 8 bulan penjara yang dapat dipidana kerja sosial ialah
pengemudi, pemabuk; masa kerja minimum 40 jam, maksimum 200 jam.
Di
Norwegia, maksimum kerja sosial ialah 240 jam. Pidana penjara yang dapat diganti
dengan kerja sosial ialah 12 bulan. Pidana kerja sosial terutama pada delik
harta benda.
Belanda
dengan undang-undang tahun 1987 ingin pidana kerja sosial diatur berdasarkan
undang-undang, berdasarkan ketentuan undang-undang itu maka jumlah jam kerja
240 jam dan harus diselesaikan dalam 6 bulan.
Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana
kerja sosial bagi pidana tanpa syarat , yaitu 6 bulan atau kurang.
Sebagai
suatu praktek penanganan perkara, di New Zealand pun telah diterapkan kerja
sosial bagi perkara-perkara kecil. Terdakwa cukup minta maaf kepada korban,
ganti kerugian dan kerja sosial.
Program tersebut bersifat pengalihan ( tidak diajukan ke
pengadilan ). Pelanggaran itu harus tidak serius. Pelanggar, korban dan petugas
polisi harus semuanya sepakat untuk pengalihan.
Program
pengalihan pada umumnya meliputi peringatan dari koordinator pengalihan polisi
dan permintaan maaf kepada korban. Pelanggar harus juga menulis surat minta
maaf kepada petugas polisi yang bertanggung jawab atas kasus tersebut,
memberikan sumbangan derma dan ganti kerugian sepenuhnya kepada korban dan
melakukan pekerjaan sosial.
Dalam
kasus pencurian toko, pelanggar pada umumnya disyaratkan memberi sumbangan 50
dolar New Zealand (27 dolar US) untuk biaya keamanan toko itu. Kerja sosial
dapat berupa membantu dewan lokal, organisasi olah raga, Departemen Konservasi
atau polisi itu sendiri.
Ada pun negara-negara yang telah
mencantumkan dalam undang-undang sistem sanksinya, seperti Britania Raya, Perancis,
Portugal, Italia, Jerman, Luxemburg, Nowegia dan Swiss. Norwegia secara khusus
tidak saja untuk mengganti pidana penjara, tetapi juga sanksi-sanksi lain dan
akibat sanksi itu .[9]
Atas
dasar perkembangan sanksi pidana tersebut di atas, pertanyaan yang sekarang ini
timbul berkaitan dengan masalah pidana dan pemidanaan, khususnya di kalangan
ahli hukum pidana, hukum pelaksanaan pidana dan kriminolog, adalah bukan suatu
pertanyaan yang dimulai dengan ”apa ?”, “mengapa?,” dan bagaimana
seharusnya ?, tetapi juga pertanyaan
yang menyangkut persoalan filsafat yaitu apa yang menjadi hakikat dari pidana dan
pemidanaan. Termasuk di dalamnya tentang stelsel sanksi , yang merupakan salah
satu tiang pokok dalam membicarakan
hukum pidana.
DAFTAR
PUSTAKA
Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice : The Potential of Restorative Justice,
dalam Restorative Justice Philosophy to
Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, ( The Australian
National University, Asghate Publising Ltd, 2000),
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan
Pemidanaan Indonesia, ( Jakarta, Pradnya Paramita,1993)
Barda Nawawi
Arief, Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo Dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP,
Seminar Nasional “ Menyongsong
Berlakuknya KUHP Nasional ( FH UNUD, Denpasar, 30 April 2005)
----------------------, Ide-Ide
Dasar (Pokok Pemikiran) Perubahan/Pembaharuan KUHP, Disampaikan Dalam
Rangka Silaturahmi Akademik Di STHB, Bandung 12 Juli 2005
Daniel W. Van Ness, Restorative
Justice and International Human Rights,
Restorative Justice : International Perspektive, Edited by Burt
Galaway and Joe Hudson, ( Kugler
Publications, Amsterdam, The Netherland), Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam
Rancangan KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3
Dwidja Priyatno, Kapita Selekta
Hukum Pidana, (Bandung,STHB Press,2005)
-------------------, Alternatif
Model Pengaturan Sanksi Pidana Pada Korporasi ( Sebagai Salah Satu Upaya
Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi), Pidato Pengukuhan Guru Besar di STHB,
Bandung 26 September 2006
Eka
Darmaputra, Pancasila Identitas dan
Modernitas;Tinjauan Etis dan Budaya (
PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997)
ELSAM
, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam
Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3
J.E.Sahetapy
, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman
Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana, (Rajawali Pers, Jakarta,
1982)
Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses, Background
Paper for the International Society for
Reform of Criminal Law 13 th International Coference Commercial and Financial
Fraud : A Comparative Perspective, Malta, 8-12 July 1999, ( Canada, The
International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy)
Michael Tonry, Sentencing
Matters, Oxford University Press, New York, 1996
Mohammad Noor Syam, et al, Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional
dan Segi Filosofis ( Lembaga Penerbitan UNBRAW, Malang,1981)
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori
dan Kebijakan Pidana, ( Bandung, Alumni, 1992)
Muladi,
Proyeksi Hukum Materiil Indonesia Di Masa
Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar
UNDIP, Semarang,1990
--------------------,
Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Badan Penerbit
UNDIP, Semarang,1995).
Prefontaine, Daniel C.,”Effective Criminal Sanctions
Against Corporate Entities – Commentary :Canada,” Paper presented at the International Colloquium on Criminal
Responsibility of Legal and Collective Entities, 4-6 May 1998.Berlin,
Germany.
Sholehuddin.
M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2003)
Soedarto.R, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, ( Semarang, FH UNDIP,1987)
Sue Titus Reid, Criminal Justice,
Procedur and Issues, West Publishing Company, New York 1987
>>>>>>>>>selanjutnya klik di bawah<<<<<<<<<<<<
0 komentar:
Posting Komentar