BAB VIII
KESALAHAN DALAM DELIK
PELANGGARAN
Persoalan kesalalahan
pada tindak pidana berupa pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan
diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur
dinyatakan dengan tegas atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak
pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak
ada penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah
perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara
pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak
perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan.
Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait
materiel” (de leer an het matericle feit ajaran perbuatan materiil) dimana
menurut M.v.T. :
Pada pelanggaran hakim
tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya kesengajaan,
bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu memberi keputusan
tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu
yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak.
Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari
1916 (arrest air dan susu).
Duduk perkara;
A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh
melever susu kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D, pelayan. Pada
suatu ketika susu yang dilever oleh D itu
ternyata tidak murni (dicampur air). D tidak tahu menahu tentang hal
itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum mengancam dengan pidana Barang
siapa melever susu dengan nama susu murni, padahal dicampur dengan sesuatu
(tidak murni). Ini merupakan tindak pidana berupa pelanggaran.
A.B. dituntut dan dalam tingkat banding
dijatuhi pidana.
A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan
yang lebih kurang demikian:
a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47
W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah memutuskan secara tidak benar
bahwa A.B. telah menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki
terlebih dahulu apakah pelaku materiil (ialah D) tidak bertanggung-jawab atas
perbuatan itu.
b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil
(D) dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan tidaknya susu yang
disuruh melevernya.
c.
lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut
mengancam dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak murni tanpa
memandang ada kesalahan atau tidak.
Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge
Raad, dan terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R. memberi pertimbangan
antara lain sebagai berikut:
a.
Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut
kasasi (A B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk melever susu dengan sebutan
“susu murni” padahal dicampur dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D.
b.
memang dalam pasal 303 tidak disebut
dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan
(“enige schuld”), akan tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang
tidak mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van schuld) peraturan ini
dapat diterapkan kepada.
c.
tidak ada suatu alasanpun, terutama
dalam riwayat W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal unsur kesalahan
tidak dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk
Undang-undang menyetujui sistem, orang
yang berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang-undang, sekalipun
ternyata tidak ada kesalahan sama sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).
d.
Untuk menerima sistim tersebut (dalam
c), yang bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada pidana tanpa
kesalahan” yang juga dianut dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas
ternyata dalam rumusan delik.
Arrest air dan susu penting untuk
perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka:
a.
ajaran “fait materiel” pada pelanggaran
ditinggalkan.
b.
Diakui untuk pertama kalinya oleh badan
pengadilan yang tertinggi (Belanda) berlaku asas ”tiada pidana tanpa kesalahan”
(geen straf zonder schuld).
0 komentar:
Posting Komentar