PENDAHULUAN
Setiap tindakan entu akan menimbulakan akbat, baik yang diinginkan maupun
yang tidak diinginkan, dari akibat suatu perbuatan ini tentu harus ada
pertanggungjawaban dari orang yang melakukan perbuatan tersebut. Termasuk dalam
perbuatan hukum, tentu harus ada juga pertanggungjawaban hukum dari pebbuat
perbuatan hukum. Begitupun jika ada suatu pelanggaran HAM yang terjadi,
terutama jika ada pelanggaran HAM berat, pelaku pelanggaran HAM berat tersebut
harus dapat mempertanggungjawabkanya terhadap si korban yang telah dirugikan.
Pertanggungjawaban tersebut sekaligus menjadi hak yang mutlak harus
didapatkan oleh si korban yang meliputi :
- Kompensasi
- Restitusi
- Rehabilitasi
- Jaminan tidak berulangnya pelanggaran HAM berat tersebut
Oleh karena itu dalam makalah ini, penulis
akan mencoba untuk membahas hal yang menjadi hak korban pelanggaran HAM
tersebut di atas sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap korban pelanggaran
HAM dan pemenuhan tugas yang diberikan dalam mata kliah HUKUM dan HAM.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya.
A. PENGERTIAN
KORBAN
Pembahasan tentang korban penting diberikan untuk
membantu menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian
tersebut sehingga diperoleh kesamaan pandangan, selain itu dalam makalah ini
penulus akan mencoba membahas tentang hak korban untuk mendapatkan Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para
ahli maupun yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum nasional dan
internasional mengenai korban kejahatan
1.
Menurut Arief Gosita, korban adalah:
“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang
lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau kepentingan hak asasi pihak
yang dirugikan”.
2.
Muladi menyatakan bahwa
korban (victims) adalah:
orang-orang yang baik secara individual
maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,
emosional, ekonomi atau ganguan substansial terhadap hak-haknya yang
fundamental, melalui suatu perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di
masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
3. Dalam perspektif viktimologi, pada fase new
victimology Zvonimir
Paul Separovic dalam bukunya yang berjudul “victimology, Studies Of Victims”
memberikan pengertian tentang korban sebagai berikut:
…those
person who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of
another (man, structure, organization, or institution) and consequently, a
victim would be any one who has suffered from or been threatened by punishable
act (ot only criminal act but also other punisable acts as misdemeanors,
economic offenses, non-fulfilment of work duties) or from an accident
(accident at work, at home, trafict accident, etc). Suffering may be caused by
another man (man made victim) or another structure where people are also
involved.
4. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
2002 pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, mendefinisikan korban: “orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional,
kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan
hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
termasuk ahli warisnya”.
5. Definisi
korban menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban adalah: “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
6. Definisi korban menurut Resolusi Majelis
Umum PBB 40/34 tertanggal 29 November 1995 tentang Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power menyatakan:
persons
who individually or collectively, have surffered harm, including pysical or
mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial
impairment or their fundamental rights, troughs actor omissions
that are in violation of criminal laws operative within member States,
including those laws proscribing criminal abuse power (Seksi A, Pasal 1)
atau
…troughs act or omissions that do not yet constitute violations of national
criminal laws but of internationally recognised norms relating to human
rights (Seksi B, Pasal 18)
Dari
pengertian diatas, jelas bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan
karena sesuatu hal. Yang dimaksud dengan sesuatu hal disini adalah meliputi
orang, institusi atau lembaga, struktur.
Korban
pada dasarnya tidak hanya orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung
menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan
bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga
dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami
kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah
viktimisasi.
B. HAK-HAK KORBAN
- Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang bentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban;
- Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi
- Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
- Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
- Hak untuk memperoleh hak (harta) miliknya;
- Hak untuk memperoleh akses pelayanan medis;
- Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau pelaku buron dari tahanan;
- Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;
- Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Demikian juga pada pasal 6 undang-undang
menyatakan: korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain
berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk
mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan
rehabilitasi psiko-sosial.
Dalam penjelasannya dinyatakan: “yang
dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psiko-sosial” adalah bantuan yang
diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah
kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban”
Dalam
hukum internasional, reparasi adalah hak korban yang tidak dapat dihilangkan
dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Untuk menjamin
reparasi komisi HAM PBB telah membuat prinsip dasar dan panduan yang
dikenal dengan “Basic Principles and Guidelines on the Rights to a Remedy
and Reparation”. Reparasi yang
diatur dalam hukum internasional ada 4 (empat) bentuk yaitu:
1.
Kompensasi
2.
Restitusi
3. Rehabilitasi
4.
Jaminan tidak berulangnya pelanggaran berat HAM tersebut
Menurut Prinsip-prinsip Van
Boven-Bassiouni, ”Rehabilitasi yang juga harus menyertakan
perawatan medis dan psikologis dan psikiatris (Butir 24)”
Dari paparan diatas dapat diperhatikan
bahwa salah satu hak yang dimiliki korban yaitu : berhak untuk mendapatkan
pembinaan dan rehabilitasi.
Pengaturan
tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU No. 26 Tahun 2000 dapat
dilihat pada pasal 35, yang menegaskan:
(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi;
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka melaksanakan Pasal 35
ayat (3), dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat. Dalam PP tersebut dijelaskan apa yang dimaksud dengan
Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi (Pasal 1 angka 4-6 PP No. 3 Tahun
2002).
Kompensasi
didefinisikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku
tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya
(pasal 1 ayat 4 PP No.3 tahun 2002).
Restitusi
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku
atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu. (pasal 1 ayat 5 PP No.3 tahun 2002).
Terdapat lima sistem pemberiann restitusi dan
konpensasi kepada korban kejahatan yaitu :
1. Ganti rugi yang bersifat keperdataan,
diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi
korban dari proses pidana.
2.
Konpensasi yang bersifat keperdataan,
diberikan melalui proses pidana.
3.
Restitusi yang bersifat perdata dan
bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana. Walaupun
restitusi disini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat
pidananya. Salah satu bentuk restitusi dari sistem ini ialah ”denda
konpensasi”. Denda ini merupakan ”kewajiban yang benilai uang” yang dikenakan
kepada terpidana sebagai suatu bentuk penggantian ganti rugi kepada korban
disamping pidana yang harus diberikan.
4.
Konpensasi yang bersifat perdata,
diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber penghasilan negara. Disini
konpensasi tidak memiliki aspek pidana apapun, walaupun diberikan melalui
proses pidana. Jadi, konpensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni,
tetapi egaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang
dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa nwgara
telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah
terjadinya kejahatan.
5.
Konpensasi yang bersifat netral, diberikan
melalui proses khusus. Sistem ini diterapkan dalam hal korban memerlukan gannti
rugi, sedangkan pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak mampu memenuhi tuntutan
ganti rugi kepada korban. Pengadilan perdata atau pidana tidak berkompeten
untuk memeriksa, tetapi prosedur khusus dan independen menuntut campur tangan
negara atas permintaan korban.
Perbedaan antara kompensasi dengan
restitusi
Restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan. Namun menurut Sthepen Schafer perbedaan antara kedua istilah itu adalah sebagai berikut :
Ä Kompensai berifat keperdataan, kompensasi timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakatatau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara. Dasar kompensasi dari negara adalah pada dasarnya setiap warga negara seharusnya memiliki bentuk jaminan terhadap resiko kejahatan, sebagai bentuk solidaritas sosial. Konpensasi diberikan karena seseorang menderita kerugian materil dan kerugian yang bersifat immateril.
Ä Restitusi bersifat pidana, timbul dari keputusan pengadilan pidana, dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana.
Rehabilitasi adalah
pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau
hak-hak lain (pasal 1 ayat 6 PP No.3 tahun 2002).
.
Instansi Pemerintah Terkait bertugas
melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi berdasarkan putusan
Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 3 ayat (1) PP
No. 3 Tahun 2002).
Sedangkan pemberian restitusi
dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum
dalam amar putusan Pengadilan HAM (Pasal 4).
Mengenai tata cara pelaksanaan
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada pihak korban, dari mulai proses
diterimanya salinan putusan kepada Instansi Pemerintah Terkait dan korban
sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan, diatur
dalam pasal 6-10 PP No. 3 Tahun 2002.
Pertama kali, pengadilan HAM
mengirimkan salinan putusan Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah
Agung, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung (Pasal 6
ayat 1). Kemudian Jaksa Agung melaksanakan putusan dengan membuat berita acara
pelaksanaan putusan pengadilan kepada Instansi Pemerintah Terkait untuk
melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada pelaku atau
pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi (Pasal 6 ayat 2), dan pelaksanaannya
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara
pelaksanaan putusan pengadilan diterima (Pasal 7).
Bila pelaksanaan pemberian
kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui
batas waktu 30 hari, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya
dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung (Pasal 9 ayat 1). Kemudian,
Jaksa Agung harus segera memerintahkan Instansi Pemerintah Terkait, pelaku,
atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima (Pasal 9 ayat 2).
Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat
dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan
harus dilaporkan kepada Jaksa Agung (Pasal 10).
Yang perlu diperhatikan bahwa
pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi harus dilaksanakan
secara tepat, cepat, dan layak. Sebagaimana diuraikan dalam bagian penjelasan
PP No. 3 Tahun 2002, pengertian “tepat” di sini adalah bahwa penggantian
kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban yang memang
mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pengertian “cepat” adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak
lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya
mengurangi penderitaan korban. Sedangkan yang dimaksud dengan “layak” adalah
bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada
korban secara patut berdasarkan rasa keadilan.
0 komentar:
Posting Komentar