Selasa, 04 Juni 2013

PENDAHULUAN

Setiap tindakan entu akan menimbulakan akbat, baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan, dari akibat suatu perbuatan ini tentu harus ada pertanggungjawaban dari orang yang melakukan perbuatan tersebut. Termasuk dalam perbuatan hukum, tentu harus ada juga pertanggungjawaban hukum dari pebbuat perbuatan hukum. Begitupun jika ada suatu pelanggaran HAM yang terjadi, terutama jika ada pelanggaran HAM berat, pelaku pelanggaran HAM berat tersebut harus dapat mempertanggungjawabkanya terhadap si korban yang telah dirugikan.

Pertanggungjawaban tersebut sekaligus menjadi hak yang mutlak harus didapatkan oleh si korban yang meliputi :
  1. Kompensasi
  2. Restitusi
  3. Rehabilitasi 
  4. Jaminan tidak berulangnya pelanggaran HAM berat tersebut
Oleh karena itu dalam makalah ini, penulis akan mencoba untuk membahas hal yang menjadi hak korban pelanggaran HAM tersebut di atas sebagai bentuk kepedulian penulis terhadap korban pelanggaran HAM dan pemenuhan tugas yang diberikan dalam mata kliah HUKUM dan HAM.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pembaca pada umumnya.
A.  PENGERTIAN KORBAN

Pembahasan tentang korban penting  diberikan untuk membantu menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan pandangan, selain itu dalam makalah ini penulus akan mencoba membahas tentang hak korban untuk mendapatkan Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi.  Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum nasional dan internasional mengenai korban kejahatan
1.      Menurut Arief Gosita, korban adalah: “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri  atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan”.
2.          Muladi menyatakan bahwa korban (victims) adalah:
orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau ganguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui suatu perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
3.        Dalam perspektif viktimologi, pada fase new victimology  Zvonimir Paul Separovic dalam bukunya yang berjudul “victimology, Studies Of Victims” memberikan pengertian tentang korban sebagai berikut:
…those person who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of another (man, structure, organization, or institution) and consequently, a victim would be any one who has suffered from or been threatened by punishable act (ot only criminal act but also other punisable acts as misdemeanors, economic offenses, non-fulfilment of  work duties) or from an accident (accident at work, at home, trafict accident, etc). Suffering may be caused by another man (man made victim) or another structure where people are also involved.
4.      Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002  pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mendefinisikan korban: “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk ahli warisnya”.
5.      Definisi korban menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah: “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
6.      Definisi korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB 40/34 tertanggal 29 November 1995 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of  Crime and Abuse of Power menyatakan:
persons who individually or collectively, have surffered harm, including pysical or mental injury, emotional suffering, economic  loss or substantial impairment or their fundamental rights,  troughs actor  omissions that are in violation of criminal laws operative within member States, including those laws proscribing criminal abuse power (Seksi A, Pasal 1)

atau
     …troughs act or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of  internationally recognised norms relating to human rights (Seksi B, Pasal 18)
Dari pengertian diatas, jelas bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan karena sesuatu hal. Yang dimaksud dengan sesuatu hal disini adalah meliputi orang, institusi atau lembaga, struktur.
Korban pada dasarnya tidak hanya orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
B. HAK-HAK KORBAN
Ada beberapa hak-hak umum yang disediakan bagi korban dan keluarga korban kejahatan yang meliputi:
  • Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang bentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban;
  • Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi
  • Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
  • Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
  • Hak untuk memperoleh hak (harta) miliknya;
  • Hak untuk memperoleh akses pelayanan medis;
  • Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau pelaku buron dari tahanan;
  • Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;
  • Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Demikian juga pada pasal 6 undang-undang menyatakan: korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Dalam penjelasannya dinyatakan: “yang dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psiko-sosial” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban”
Dalam hukum internasional, reparasi adalah hak korban yang tidak dapat dihilangkan dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Untuk menjamin reparasi  komisi HAM PBB telah membuat prinsip dasar dan panduan yang dikenal dengan “Basic Principles and Guidelines on the Rights to a Remedy and Reparation”. Reparasi yang diatur dalam hukum internasional ada 4 (empat) bentuk yaitu:
1.       Kompensasi
2.       Restitusi
3.       Rehabilitasi
4.       Jaminan tidak berulangnya pelanggaran berat  HAM tersebut
Menurut Prinsip-prinsip Van Boven-Bassiouni, ”Rehabilitasi yang juga harus menyertakan perawatan medis dan psikologis dan psikiatris (Butir 24)”
Dari paparan diatas dapat diperhatikan bahwa salah satu hak yang dimiliki korban yaitu : berhak untuk mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.
Pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam UU No. 26 Tahun 2000 dapat dilihat pada pasal 35, yang menegaskan:

(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi;

(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM.

(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam rangka melaksanakan Pasal 35 ayat (3), dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Dalam PP tersebut dijelaskan apa yang dimaksud dengan Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi (Pasal 1 angka 4-6 PP No. 3 Tahun 2002).
Kompensasi didefinisikan sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya (pasal 1 ayat 4 PP No.3 tahun 2002).
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. (pasal 1 ayat 5 PP No.3 tahun 2002).
Terdapat lima sistem pemberiann restitusi dan konpensasi kepada korban kejahatan yaitu :
1.      Ganti rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana.
2.      Konpensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana.
3.      Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi disini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidananya. Salah satu bentuk restitusi dari sistem ini ialah ”denda konpensasi”. Denda ini merupakan ”kewajiban yang benilai uang” yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk penggantian ganti rugi kepada korban disamping pidana yang harus diberikan.
4.      Konpensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber penghasilan negara. Disini konpensasi tidak memiliki aspek pidana apapun, walaupun diberikan melalui proses pidana. Jadi, konpensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi egaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa nwgara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.
5.      Konpensasi yang bersifat netral, diberikan melalui proses khusus. Sistem ini diterapkan dalam hal korban memerlukan gannti rugi, sedangkan pelaku dalam keadaan bangkrut dan tidak mampu memenuhi tuntutan ganti rugi kepada korban. Pengadilan perdata atau pidana tidak berkompeten untuk memeriksa, tetapi prosedur khusus dan independen menuntut campur tangan negara atas permintaan korban.
Perbedaan antara kompensasi dengan restitusi

Restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan. Namun menurut Sthepen Schafer perbedaan antara kedua istilah itu adalah sebagai berikut :

Ä Kompensai berifat keperdataan, kompensasi timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakatatau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara. Dasar kompensasi dari negara adalah pada dasarnya setiap warga negara seharusnya memiliki bentuk jaminan terhadap resiko kejahatan, sebagai bentuk solidaritas sosial. Konpensasi diberikan karena seseorang menderita kerugian materil dan kerugian yang bersifat immateril.

Ä Restitusi bersifat pidana, timbul dari keputusan pengadilan pidana, dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana.


Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain (pasal 1 ayat 6 PP No.3 tahun 2002).
.
Instansi Pemerintah Terkait bertugas melaksanakan pemberian kompensasi dan rehabilitasi berdasarkan putusan Pengadilan HAM yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 3 ayat (1) PP No. 3 Tahun 2002).
Sedangkan pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan HAM (Pasal 4).
Mengenai tata cara pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada pihak korban, dari mulai proses diterimanya salinan putusan kepada Instansi Pemerintah Terkait dan korban sampai dengan pelaksanaan pengumuman pengadilan dan pelaksanaan laporan, diatur dalam pasal 6-10 PP No. 3 Tahun 2002.
Pertama kali, pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan Pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung (Pasal 6 ayat 1). Kemudian Jaksa Agung melaksanakan putusan dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada Instansi Pemerintah Terkait untuk melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi (Pasal 6 ayat 2), dan pelaksanaannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara pelaksanaan putusan pengadilan diterima (Pasal 7).
Bila pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui batas waktu 30 hari, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung (Pasal 9 ayat 1). Kemudian, Jaksa Agung harus segera memerintahkan Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima (Pasal 9 ayat 2). Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung (Pasal 10).

Yang perlu diperhatikan bahwa pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak. Sebagaimana diuraikan dalam bagian penjelasan PP No. 3 Tahun 2002, pengertian “tepat” di sini adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban yang memang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengertian “cepat” adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya mengurangi penderitaan korban. Sedangkan yang dimaksud dengan “layak” adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban secara patut berdasarkan rasa keadilan.

0 komentar:

Posting Komentar