BAB V
KESALAHAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
1. Pengertian
Kemampuan Bertanggungjawab
(Zurechnungsfahigkeit –
Toerekeningsvatbaarheid)
Telah disebutkan, bahwa
untuk adanya pertanggung-jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu
bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan
apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.
Bilamana seseorang itu
dikatakan mampu bertanggung-jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan
bertanggung jawab itu ? KUHP tidak memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum
pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan bertanggung jawab”.
Simons : “kemampuan
bertanggung jawab dapat diartikan
sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan
sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”.
Dikatakan selanjutnya,
bahwa seseorang mampu bertanggung jawab,
jika jiwanya sehat, yakni apabila :
a.
Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari
bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
b.
Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai
dengan kesadaran tersebut.
Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab
adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang
membawa 3 kemampuan :
a.
Mampu untuk mengerti nilai dari
akibat-akibat perbuatannya sendiri
b.
Mampu untuk menyadari, bahwa
perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan
c.
Mampu untuk menentukan kehendaknya atas
perbuatannya-perbuatannya itu
Van Bemmelen : seseorang yang dapat
dipertanggung-jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan
cara yang patut.
Definisi van Bemmelen ini singkat, akan
tetapi juga kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah seseorang itu
dikatakan “dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut” ?
Adapun Memorie van Toelichting (memori
penjelasan) secara negative menyebutkan mengenai kemampuan bertanggung jawab
itu, antara lain demikian :
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab
pada sipelaku :
a.
Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk
memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau
diperintahkan oleh undang-undang.
b.
Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan
yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu
bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.
Definisi-definisi tersebut memang ada
manfaatnya, tetapi untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam praktek
peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi tidaklah
mudah. Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal
jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau
perasaannya bahwa perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat
sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.
Dalam persoalan kemampuan bertanggung
jawab itu ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm-adressat” (sasaran
norma), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu
bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat pembahasan tentang
dasar-dasar penghapus pidana).
2. Kesalahan
2.1. Pengertian
Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang
dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat
dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang
yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective
guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “TIADA
PIDANA TANPA KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder
Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” disini dalam arti luas, meliputi
juga kesengajaan).
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dlam peraturan lain,
namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan
dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama
sekali tidak bersalah, Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No.
4 / 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,
mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan
itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat juga dikenal dari
pepatah (Jawa) “sing salah, seleh” (yang
bersalah pasti salah). Untuk adany pemidanaan harus ada kesalahan pada
sipelaku. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas
mempunyai sejarahnya sendiri.
Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang
menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau
Erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan
tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari
Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut
sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya
kesalahan pada si pelaku.
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam sistem hukum di Negara
Eropa Kontinental, unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di
Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim (asas) “Actus non facit reum nisi
mens sit rea” atau disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil
will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt melekat pada sipelaku
subjective gilt ini berupa intent (kesengajaan setidak-tidaknya negligence
(kealpaan).
2.2. Dasar Pemikiran
Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai
unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku
berpangkal pada pemikiran tentang hubungan antara perbuatan dengan kebebasan
kehendak. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak
adanya kesalahan ada 3 pendapat dari :
a.
Aliran klasik yang melahirkan pandangan
indeterminisme, yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai
kehendak bebas (free will) dan ini merupakan sebab dan segala keputusan
kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan dan apabila
tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.
b.
Aliran positivist yang melahirkan
pandangan determinisme mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak
bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti
naPasalu-naPasalu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan
motif-motif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau dari luar
yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang, tidak dapat
dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak
punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas,
itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu
maka ada pertanggungan-jawab dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi
terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa tindakan (maatregel) untuk
ketertiban masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti penderitaan sebagai buah
hasil kesalahan oleh si pelaku.
c. Dalam
pandangan ketiga melihat bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu
untuk hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak
dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas
1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang
kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah ini disebutkan
pendapat-pendapat dari berbagai penulis.
a.
MEZGER mengatakan : kesalahan adalah
keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap
si pelaku tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder Vcrraussetzungen, die aus
der Strafcat einen personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden).
b.
SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai
pengertian yang “sociaal ethisch” dan mengatakan antara lain :
“Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum
pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pelaku dan hubungannya terhadap
perbuatannya,” dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch (jiwa) itu
perbuatannya dapat dicelakakan kepada si pelaku”.
c.
VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan
dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan
jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan
adalah pertanggungan jawab dalam hukum (Schuld is de verant woordelijkheid
rechtens)”.
d.
VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian
kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang
dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan
hukum, meliputi semua hal, yang bersifat psychisch yang terdapat dapat
keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pelakunya (al het geen
psychisch is aan dat complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en deswege een
strafbare dader).
e.
KARNI yang mempergunakan istilah “salah
dosa” mengatakan : “Pengertian salah dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi
dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum pidana”. Selanjutnya ia katakan :
“Salah dosa berada, jika perbuatan dapat dan patut dipertanggungkan atas si
perbuat; harus boleh dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu mengandung
perlawanan hak; perbuatan itu harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun
dengan salah”.
f.
POMPE mengatakan antara lain : “Pada
pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan
hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya.
Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah kesalahan.
Pengertian kesalahan psychologisch. Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang
sebagai hubungan psychologis (batin) antara pelaku dan perbuatannya. Hubungan
batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan, pada kesengajaan hubungan
batin itu berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan
tidak ada kehendak demikian. Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif)
keadaan batin berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan.
Dari pengertian-pengertian kesalahan dari beberapa
sarjana di atas maka pengertian kesalahan dapat dibagi dalam pengertian sebagai
berikut :
-
Pengertian kesalahan yang normatif
Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan
kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara
pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu harus ada unsur penilaian
atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian
(dari luar) mengenai hubungan antara sipelaku dengan perbuatannya.
“Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan dengan
memakai ukuran-ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya
diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan bahwa “kesalahan seseorang
tidaklah terdapat dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala orang-orang
lain”, ialah di dalamkepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap
sipelaku itu. Yang memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim.
Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku ialah,
yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya
merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban pidana. Di
samping itu ada unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan jiwa sipelaku,
ialah kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan.
1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut
:
a.
menurut akibatnya ia ada hal yang dapat
dicelakakan (verwijtbaarheid)
b.
menurut hakekatnya ia adalah hal dapat
dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang melawan hukum
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas
maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan
terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah
melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan
kepadanya, pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan,
melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”,
melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti dikatakan oleh van Hamel.
Namun demikian, untuk adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan ethis,
betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat, bahwa “das Recht ist das
ethische Minimum”. Setidak-tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak
menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya, dan yang
memuat segala syarat untuk hidup bersama.
1. Arti “kesalahan” dalam
hukum Pidana
Dalam
hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu :
a.
kesalahan dalam arti yang
seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban
dalam hukum pidana”; di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya
(verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa
orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat
dicela atas perbuatannya.
b.
kesalahan dalam arti bentuk kesalahan
(sculdvorm) yang berupa :
1.
kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau
intention) atau
2.
kealpaan (culpa, onachtzaamheid,
fahrlassigkeit atau negligence).
c.
kesalahan dalam arti sempit, ialah
kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas. Pemakaian istilah
“kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah
“kealpaan”.
Dengan
diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si
pelaku atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis
menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).
2. Unsur-unsur dari
kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya)
Kesalahan
dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana
dimana meliputi :
a.
adanya kemampuan bertanggungjawab pada
sipelaku (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa
sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi
“normadressat” yang mampu.
b.
hubungan batin antara sipelaku dengan
perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini
disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin
seseorang pelaku terhadap perbuatannya.
c.
tidak adanya alasan yang menghapus
kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang disebut dalam a dan b
ada, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi sipelaku sehingga
kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa
(ps. 49 KUHP)
Kalau
ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah
atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa dipidana.
Dalam
pada itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang
seluas-luasnya (pertanggungan jawab pidana) orang yang bersangkutan harus pula
dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Kalau
ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada
perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku.
Sebaliknya
seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya
mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas
perbuatan itu.
Itulah
sebabnya, maka kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam
syarat-syarat pemidaan ialah adanya :
1.
dapat dipidananya perbuatan
(strafbaarheid van het feit)
2.
dapat dipidananya orangnya atau
pelakunya (strafbaarheid van de persoon).
0 komentar:
Posting Komentar