Senin, 20 Mei 2013


Filsafat Pemidanaan.
            Apabila dikaji lebih dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide  dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman  tentang hakikat  pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana  dan otoritas publik  kepada Negara  berdasarkan atas  hukum  untuk melakukan pemidanaan. Sedangkan teori pemidanaan  berada dalam proses keilmuan  yang mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi tujuan pemidanaan bagi Negara, masyarakat dan subjek hukum terpidana. [1]          Menurut M. Sholehuddin, filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi, yaitu :
            Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman , kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan.
            Kedua, fungsi teori , dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan  berfungsi sebagai teori  yang mendasari dan melatar belakangi  setiap teori pemidanaan.
            Bedasarkan ke dua fungsi di atas  dalam proses implementasinya , penetapan sanksi pidana dan tindakan  merupakan aktivitas  program legislasi dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis dan bentuk  sanksi ( pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan  sanksi. [2]
            Persoalan sanksi dalam hukum pidana  berkaiatan erat dengan pemikiran filsafat pemidanaan . Akan tetapi bagaimana sesungguhnya keterkaitan antara filsafat dan pemidanaan ? Secara katagorial muncul dua pendekatan  yang tampak bertentangan dari pikiran filsafat di satu pihak, dan pikiran hukum di pihak lain. Pada satu sisi, para filosuf memusatkan diri pada persoalan mengapa kita memidana. Sedangkan pada sisi lain, para ahli  hukum dan ahli penology mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan iru berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi. Persoalan efisiensi yang menjadi perhatian ahli hukum dan penology, hanya dapat dijawab dari sudut tujuan yang menjadi perhatian ahli filsafat. Tujuan pada gilirannya menunjukkan suatu pendirian sikap terhadap bidang moral berkenaan dengan  keadilan dan ketidakadilan dalam pemidanaan individu tertentu atas perbuatan tertentu dan dengan cara tertentu. Dengan demikian , argumentasi-argumentasi yang dirumuskan dalam berbagai aliran filsafat, niscaya dapat digunakan oleh para ahli hukum dan penology sebagai hipotetis riset empiris tentang pemidanaan, serta bermanfaat dalam penetapan suatu sanksi ( hukum Pidana). [3] Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana memiliki tujuan. Tujuan penjatuhan sanksi pidana sangat dipengaruhi oleh filsafat yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana. Filsafat pemidanaan berkaitan erat dengan alasan pembenar (pembalasan, manfaat/utilitas dan pembalasan yang bertujuan) adanya sanksi pidana. Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk merumuskan ukuran/dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Filsafat keadilan dalam hukum pidana yang kuat pengaruhnya ada dua yaitu keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan ( retributive justice ) dan keadilan yang berbasis pada filsafat restorasi atau pemulihan ( restorative Justice ), dan KUHP menganut filsafat keadilan lebih condong kepada retributive justice.
            Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk untuk mengembalikan unsur control, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komuniyas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama . komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama . Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini . Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka lama mereka.[4]
Di samping itu juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.[5]
            Karakteristik Restorative Justice Theory menurut Van  Nes :[6]
  1. Crime is primarily  conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves;only secondary is it lawbreaking;
  2. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.
  3. The Criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the exclusion of others.

           
            Karakteristik Restorative Justice menurut Muladi, [7]dapat dikemukakan cirinya :
  1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain.
  2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.
  3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.
  4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama.
  5. Keadilan dirumuskan sebagai hubunganb-hubungan hak,dinilai atas dasar hasil.
  6. Kejahatan diakui sebagai konflik.
  7. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.
  8. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses retoratif.
  9. Menggalakkan bantuan timbal balik.
  10. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam permasalahan maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban diakui; pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab.
  11. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik.
  12. Tindak pidana difahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis.
  13. Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui.
  14. Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si pelaku tindak pidana.
  15. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative.
  16. Ada kemungkinan (dorongan untuk bertobat dan mengampuni) yang bersifat membantu.
  17. Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan ( bandingkan dengan  retiributive justice, perhatian diarahkan pada debat antara kebebasan kehendak (free will) dan determinisme sosial  psikologis di dalam kausa kejahatan).


                  Di samping  keadilan tersebut  di atas dikenal juga model keadilan , sebagai justuifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan  pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya , sanksi  yang tepat akan mencegah para criminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.[8]
                  Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima pemidanaan yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan pidana yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Atas dasar ini terdapat kritik untuk  teori just desert, yaitu :
Pertama, , karena desert teori menempatkan secara utama, menekankan pada keterkaitan antara pidana yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus  seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan –perbedaan yang relevan lainnya  antara para pelaku.Seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak  pemidanaan lepada  pelaku dan keluarganya, dan dengan  demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama.
 Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedoman-pedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikhologi dari pemidanaan dan pihak yang dipidana.[9]

                  Selanjutnya bagaimanakah pemidanaan ditinjau dari Pancasila sebagai sistem filsafat sosial, memiliki komponen dasar yang terdiri dari sistem nilai, pandangan filsafat Pancasila terhadap manusia  serta bagaimana pandangan manusia terhadap eksistensi alam, kepribadian manusia  dan Tuhan, termasuk Negara. Dari sudut sistem nilai , secara umum manusia berada dalam dunia nilai positif ( seperti; kebaikan, keindahan , kebenaran dan keadilan) serta nilai negatif ( misalnya: keburukan, kepalsuan, dosa dan kejahatan). Tiap pribadi di dalam hidupnya selalu terlibat aktif atau pasif dengan dunia nilai.[10] Memakai Pancasila sebagai perspektif Indonesia dalam mendiskusikan pemidanaan, bertolak dari asumsi bahwa secara analitis sila-sila Pancasila sebenarnya memberi peluang yang amat besar untuk merumuskan tentang apa yang benar dan yang baik bagi manusia dan masyarakat Indonesia, yang bukan saja secara kontekstual, tetapi juga secara universal dapat dipertangungjawabkan kesahihannya secara konseptual maupun operasional.[11]
                        Pemidanaan dalam perspektif Pancasila , dengan demikian haruslah berorientasi pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
            Pertama, pengakuan manusia (Indonesia) sebagai  Makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Wujud pemidanaan tidak boleh  bertentangan dengan keyakinan agama manapun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana, melalui mana ia dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan kata lain , pemidanaan harus berfungsi membinaan mental orang yang dipidana dan menstranformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia religius .[12]

Kedua,  pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling dasar serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apa pun. Implikasinya adalah , bahwa meskipun terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya.[13]

Ketiga, menumbuhkan solidaritas  kebangsaan dengan orang lain, sebagai sesame warga bangsa.Pelaku harus  diarahkan pada upaya untuk meningkatkan toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan terhadap  kepentingan bangsa,  dan mengarahkan untuk  tidak mengulangi melakukan kejahatan.Dengan kata lain, bahwa pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa.[14]

Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga Negara yang berkhidmad, mampu mengendalikan diri, berdisiplin, dan menghormati serta menaati hukum sebagai wujud keputusan Rakyat.[15]

Kelima, menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial , yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama warga masyarakat. Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggungjawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya  menjadi penjahat.[16]
            Berkaitan dengan masalah tersebut di atas secara lebih umum , khususnya dalam melakukan pembaharuan hukum pidana (termasuk di dalamnya tentang  masalah pidana dan pemidanaan termasuk jenis pidana) dan lebih khusus lagi tentang penyusunan konsep KUHP Baru, tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem  hukum nasional  yang berdasarkan Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan Hukum Pidana Nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar  (basic ideas ) Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma : a. moral religius (ketuhanan), b. kemanusiaan (humanistik),c. kebangsaan. d. demokrasi, dan e. keadilan sosial.[17] Di samping itu perlu ada harmonisasi/sinkronisasi/konsistensi antara pembangunan/pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosio-filosofik dan sosio kultural yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya pembaharuan hukum pidana ( KUHP) nasional, perlu dilakukann pengkajian dan penggalian nilai-nilai nasional yang bersumber pada Pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai yang ada di masyarakat (nilai-nilai religius maupun nilai-nilai budaya/adat).[18]
            Pemikiran tersebut di atas dituangkan dalam suatu Ide-dasar (pokok pemikiran) perubahan yang menyangkut masalah tujuan dan pedoman pemidanaan :[19]
            Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Catatan beberapa negara yang di dalam KUHP-nya juga merumuskan “tujuan pidana/pemidanaan”, antara lain : Armenia (Psl. 48 jo. Psl. 2 dan 11), Bellarus (Psl. 20 jo. Psl. 1), Bulgaria (Psl. 36), Latvia (Psl. 35), Macedonia (Psl. 32), Romania (Psl. 52), dan Yugoslavia (Psl. 33).
      Dirumuskannya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :
  1. Sistem hukum pidana merupakan satu           kesatuan sistem yang bertujuan (“purposive   system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;
  2. “Tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari keseluruhan sistem    pemidanaan (sistem hukum pidana) di         samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem            “tindak pidana”,             “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;
  3. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi             pengendali/ kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis,          rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;
  4. Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian       proses             melalui tahap “formulasi”, tahap “aplikasi”, dan tahap “eksekusi”; oleh karena itu      agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan     sistem pemidanaan, diperlukan           perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.

            Tujuan pemidanaan diformulasikan sebagai bagian integral dari sistem pemidanaan, sebagai pedoman (guidance of sentencing),. landasan filosofis & justifikasi pemidanaan, agar “tidak hilang” / “tidak dilupakan” dalam praktek.
            Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam           Konsep, dilatarbelakangi oleh berbagai ide dasar atau prinsip-prinsip sebagai berikut :
  1. ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat (umum) dan         kepentingan individu.
  2. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”;
  3. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/“offender” (individualisasi   pidana) dan “victim” (korban);
  4. ide penggunaan “double track system”           (antara pidana/punishment dengan                tindakan/treatment/measures);
  5. ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.
  6. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”);
  7. Ide modifikasi / perubahan/ penyesuaian pidana        (“modification of sanction”;the             alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”);
  8. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
  9. Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);
  10. Ide mendahulukan/ mengutamakan keadilan dari kepastian hukum; 

            Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :
  1. Adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas)    yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious        liability”            (Pasal 35);
  2. Adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal             responsibility”); Pasal 110.
  3. Adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);
  4. Adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan            proses             pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;
  5. Adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);
  6. Dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal            67 jo. 69);
  7. Adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pemenuhan kewajiban       adat dan/atau             kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 83,96,97);
  8. Adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pedoman pemidanaannya atau             penerapannya;
  9. Dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);
  10. Dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri
  11. Dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam            perumusan delik yang hanya diancam  dengan pidana tunggal;;
  12. Dimungkinkannya  hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif walaupun ancaman            pidana             dirumuskan secara alternatif;
  13. Dimungkinkannya hakim memberi  maaf/pengampunan        (“rechterlijk pardon”) tanpa      menjatuhkan             pidana/tindakan apapun kepada terdakwa,  sekalipun telah terbukti adanya            tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2).
  14. Adanya kewenangan hakim untuk tetap          mempertanggungjawabkan/memidana si pelaku        walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si             pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas         terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas    “culpa in causa”  atau asas “actio libera in causa); Pasal 54
  15. Dimungkinkannya perubahan/modifikasi putusan       pemidanaan, walaupun sudah berkekuatan    tetap             (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3);


DAFTAR PUSTAKA

Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice : The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy  to Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, ( The Australian National University, Asghate Publising Ltd, 2000),

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, ( Jakarta, Pradnya Paramita,1993)

 Barda Nawawi Arief,  Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo Dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP, Seminar Nasional “ Menyongsong  Berlakuknya KUHP Nasional ( FH UNUD, Denpasar, 30 April 2005)

----------------------, Ide-Ide Dasar (Pokok Pemikiran) Perubahan/Pembaharuan KUHP, Disampaikan Dalam Rangka Silaturahmi Akademik Di STHB, Bandung 12 Juli 2005

Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International  Human Rights, Restorative Justice : International Perspektive, Edited by Burt Galaway  and Joe Hudson, ( Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland), Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3

Dwidja Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung,STHB Press,2005)

-------------------, Alternatif Model Pengaturan Sanksi Pidana Pada Korporasi ( Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi), Pidato Pengukuhan Guru Besar di STHB, Bandung 26 September 2006


Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas;Tinjauan Etis  dan Budaya ( PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997)

ELSAM , Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3

J.E.Sahetapy , Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap  Pembunuhan Berencana,  (Rajawali Pers, Jakarta, 1982)

Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses, Background Paper for the  International Society for Reform of Criminal Law 13 th International Coference Commercial and Financial Fraud : A Comparative Perspective, Malta, 8-12 July 1999, ( Canada, The International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy)

Michael Tonry, Sentencing Matters, Oxford University Press, New York, 1996

Mohammad Noor Syam, et al, Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis  ( Lembaga Penerbitan UNBRAW, Malang,1981)

Muladi dan Barda Nawawi  Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung, Alumni, 1992)

Muladi, Proyeksi Hukum Materiil Indonesia Di Masa Datang, Pidato Pengukuhan  Guru Besar UNDIP, Semarang,1990

--------------------, Kapita Selekta  Sistem Peradilan Pidana, (Badan Penerbit UNDIP, Semarang,1995).

Prefontaine, Daniel C.,”Effective Criminal Sanctions Against Corporate Entities – Commentary :Canada,” Paper presented at the International Colloquium on Criminal Responsibility of Legal and Collective Entities, 4-6 May 1998.Berlin, Germany.

Sholehuddin. M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar  Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003)

Soedarto.R,  Pemidanaan, Pidana dan Tindakan,  ( Semarang, FH UNDIP,1987)

Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publishing Company, New York 1987

1 komentar: