Filsafat Pemidanaan.
Apabila
dikaji lebih dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan
pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum
terhadap perbuatan pidana dan otoritas
publik kepada Negara berdasarkan atas hukum
untuk melakukan pemidanaan. Sedangkan teori pemidanaan berada dalam proses keilmuan yang mengorganisasi, menjelaskan dan
memprediksi tujuan pemidanaan bagi Negara, masyarakat dan subjek hukum
terpidana. [1] Menurut M. Sholehuddin, filsafat
pemidanaan mempunyai dua fungsi, yaitu :
Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang
memberikan pedoman , kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan
pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan
terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Maksudnya, setiap asas yang
ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai kebenaran
atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan.
Kedua, fungsi teori , dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya, filsafat
pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatar belakangi setiap teori pemidanaan.
Bedasarkan
ke dua fungsi di atas dalam proses
implementasinya , penetapan sanksi pidana dan tindakan merupakan aktivitas program legislasi dan/atau yudikasi untuk
menormatifkan jenis dan bentuk sanksi (
pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui penerapan sanksi. [2]
Persoalan
sanksi dalam hukum pidana berkaiatan
erat dengan pemikiran filsafat pemidanaan . Akan tetapi bagaimana sesungguhnya
keterkaitan antara filsafat dan pemidanaan ? Secara katagorial muncul dua
pendekatan yang tampak bertentangan dari
pikiran filsafat di satu pihak, dan pikiran hukum di pihak lain. Pada satu
sisi, para filosuf memusatkan diri pada persoalan mengapa kita memidana.
Sedangkan pada sisi lain, para ahli hukum
dan ahli penology mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan iru
berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi. Persoalan efisiensi yang
menjadi perhatian ahli hukum dan penology, hanya dapat dijawab dari sudut
tujuan yang menjadi perhatian ahli filsafat. Tujuan pada gilirannya menunjukkan
suatu pendirian sikap terhadap bidang moral berkenaan dengan keadilan dan ketidakadilan dalam pemidanaan
individu tertentu atas perbuatan tertentu dan dengan cara tertentu. Dengan
demikian , argumentasi-argumentasi yang dirumuskan dalam berbagai aliran
filsafat, niscaya dapat digunakan oleh para ahli hukum dan penology sebagai
hipotetis riset empiris tentang pemidanaan, serta bermanfaat dalam penetapan
suatu sanksi ( hukum Pidana). [3] Penjatuhan sanksi pidana terhadap
pelaku tindak pidana memiliki tujuan. Tujuan penjatuhan sanksi pidana sangat
dipengaruhi oleh filsafat yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan
pidana. Filsafat pemidanaan berkaitan erat dengan alasan pembenar (pembalasan,
manfaat/utilitas dan pembalasan yang bertujuan) adanya sanksi pidana. Filsafat
pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk merumuskan ukuran/dasar keadilan
apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Filsafat keadilan dalam hukum pidana
yang kuat pengaruhnya ada dua yaitu keadilan yang berbasis pada filsafat
pembalasan ( retributive justice )
dan keadilan yang berbasis pada filsafat restorasi atau pemulihan ( restorative Justice ), dan KUHP menganut
filsafat keadilan lebih condong kepada retributive
justice.
Restorative justice menempatkan nilai
yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban
mampu untuk untuk mengembalikan unsur control, sementara pelaku didorong untuk
memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang
disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya.
Keterlibatan komuniyas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan
mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi
antar sesama . komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan
mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi
antar sesama . Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli
proses peradilan sekarang ini . Restorative
justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah
untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat
merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka lama mereka.[4]
Di samping itu juga mengupayakan untuk
merestore keamanan korban,
penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.[5]
Karakteristik Restorative
Justice Theory menurut Van Nes :[6]
- Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves;only secondary is it lawbreaking;
- The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.
- The Criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the exclusion of others.
Karakteristik
Restorative Justice menurut Muladi, [7]dapat
dikemukakan cirinya :
- Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain.
- Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.
- Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.
- Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama.
- Keadilan dirumuskan sebagai hubunganb-hubungan hak,dinilai atas dasar hasil.
- Kejahatan diakui sebagai konflik.
- Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.
- Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses retoratif.
- Menggalakkan bantuan timbal balik.
- Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam permasalahan maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban diakui; pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab.
- Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik.
- Tindak pidana difahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis.
- Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui.
- Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si pelaku tindak pidana.
- Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative.
- Ada kemungkinan (dorongan untuk bertobat dan mengampuni) yang bersifat membantu.
- Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan ( bandingkan dengan retiributive justice, perhatian diarahkan pada debat antara kebebasan kehendak (free will) dan determinisme sosial psikologis di dalam kausa kejahatan).
Di samping keadilan tersebut di atas dikenal juga model keadilan , sebagai
justuifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model
keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran
setimpal (just desert model) yang
didasarkan pada dua teori tentang tujuan
pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap
bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka
mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya , sanksi yang tepat akan mencegah para criminal
melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain
melakukan kejahatan.[8]
Dengan
skema just desert ini, pelaku dengan
kejahatan yang sama akan menerima pemidanaan yang sama, dan pelaku kejahatan
yang lebih serius akan mendapatkan pidana yang lebih keras daripada pelaku
kejahatan yang lebih ringan. Atas dasar ini terdapat kritik untuk teori just
desert, yaitu :
Pertama, , karena desert teori
menempatkan secara utama, menekankan pada keterkaitan antara pidana yang layak
dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan
–perbedaan yang relevan lainnya antara
para pelaku.Seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak pemidanaan lepada pelaku dan keluarganya, dan dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang
tidak sama dengan cara yang sama.
Kedua, secara keseluruhan, tapi
eksklusif, menekankan pada pedoman-pedoman pembeda dari kejahatan dan catatan
kejahatan mempengaruhi psikhologi dari pemidanaan dan pihak yang dipidana.[9]
Selanjutnya bagaimanakah pemidanaan ditinjau dari Pancasila
sebagai sistem filsafat sosial, memiliki komponen dasar yang terdiri dari
sistem nilai, pandangan filsafat Pancasila terhadap manusia serta bagaimana pandangan manusia terhadap
eksistensi alam, kepribadian manusia dan
Tuhan, termasuk Negara. Dari sudut sistem nilai , secara umum manusia berada
dalam dunia nilai positif ( seperti; kebaikan, keindahan , kebenaran dan
keadilan) serta nilai negatif ( misalnya: keburukan, kepalsuan, dosa dan
kejahatan). Tiap pribadi di dalam hidupnya selalu terlibat aktif atau pasif
dengan dunia nilai.[10] Memakai
Pancasila sebagai perspektif Indonesia dalam mendiskusikan pemidanaan, bertolak
dari asumsi bahwa secara analitis sila-sila Pancasila sebenarnya memberi
peluang yang amat besar untuk merumuskan tentang apa yang benar dan yang baik
bagi manusia dan masyarakat Indonesia, yang bukan saja secara kontekstual,
tetapi juga secara universal dapat dipertangungjawabkan kesahihannya secara
konseptual maupun operasional.[11]
Pemidanaan
dalam perspektif Pancasila , dengan demikian haruslah berorientasi pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, pengakuan manusia (Indonesia)
sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Wujud pemidanaan tidak boleh
bertentangan dengan keyakinan agama manapun yang dianut oleh masyarakat
Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman
dari terpidana, melalui mana ia dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman
dan taat. Dengan kata lain , pemidanaan harus berfungsi membinaan mental orang
yang dipidana dan menstranformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia religius
.[12]
Kedua, pengakuan
tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidanaan
tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling dasar serta tidak boleh
merendahkan martabatnya dengan alasan apa pun. Implikasinya adalah , bahwa
meskipun terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat
perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang
bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya.[13]
Ketiga, menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain, sebagai sesame
warga bangsa.Pelaku harus diarahkan pada
upaya untuk meningkatkan toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan
terhadap kepentingan bangsa, dan mengarahkan untuk tidak mengulangi melakukan kejahatan.Dengan
kata lain, bahwa pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan
terhadap bangsa.[14]
Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga Negara yang
berkhidmad, mampu mengendalikan diri, berdisiplin, dan menghormati serta
menaati hukum sebagai wujud keputusan Rakyat.[15]
Kelima, menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu
sebagai makhluk sosial , yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain
sebagai sesama warga masyarakat. Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa
pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggungjawab untuk membebaskan orang yang
dipidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya menjadi penjahat.[16]
Berkaitan
dengan masalah tersebut di atas secara lebih umum , khususnya dalam melakukan
pembaharuan hukum pidana (termasuk di dalamnya tentang masalah pidana dan pemidanaan termasuk jenis
pidana) dan lebih khusus lagi tentang penyusunan konsep KUHP Baru, tidak dapat
dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang
dicita-citakan. Ini berarti,
pembaharuan Hukum Pidana Nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan
berorientasi pada ide-ide dasar (basic ideas ) Pancasila yang mengandung
di dalamnya keseimbangan
nilai/ide/paradigma : a. moral religius (ketuhanan), b. kemanusiaan
(humanistik),c. kebangsaan. d. demokrasi, dan e. keadilan
sosial.[17] Di
samping itu perlu ada harmonisasi/sinkronisasi/konsistensi antara
pembangunan/pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosio-filosofik dan sosio kultural yang ada
di masyarakat. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya pembaharuan hukum
pidana ( KUHP) nasional, perlu dilakukann pengkajian dan penggalian nilai-nilai
nasional yang bersumber pada Pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai yang
ada di masyarakat (nilai-nilai religius maupun nilai-nilai budaya/adat).[18]
Pemikiran
tersebut di atas dituangkan dalam suatu Ide-dasar (pokok pemikiran) perubahan
yang menyangkut masalah tujuan dan pedoman pemidanaan :[19]
Berbeda dengan KUHP yang sekarang
berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”.
Catatan beberapa
negara yang di dalam KUHP-nya juga merumuskan “tujuan pidana/pemidanaan”,
antara lain : Armenia (Psl. 48 jo. Psl. 2 dan 11), Bellarus
(Psl.
20 jo. Psl. 1), Bulgaria (Psl. 36), Latvia (Psl. 35), Macedonia (Psl. 32), Romania (Psl. 52), dan Yugoslavia (Psl. 33).
Dirumuskannya
hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :
- Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (“purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;
- “Tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;
- Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/ kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;
- Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi”, tahap “aplikasi”, dan tahap “eksekusi”; oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
Tujuan pemidanaan diformulasikan sebagai bagian
integral dari sistem pemidanaan, sebagai pedoman (guidance of sentencing),.
landasan filosofis & justifikasi pemidanaan, agar “tidak hilang” / “tidak dilupakan” dalam praktek.
Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dilatarbelakangi oleh berbagai
ide dasar atau prinsip-prinsip sebagai berikut :
- ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan individu.
- ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”;
- ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/“offender” (individualisasi pidana) dan “victim” (korban);
- ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punishment dengan tindakan/treatment/measures);
- ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.
- Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”);
- Ide modifikasi / perubahan/ penyesuaian pidana (“modification of sanction”;the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”);
- Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
- Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);
- Ide mendahulukan/ mengutamakan keadilan dari kepastian hukum;
Bertolak
dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :
- Adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability” (Pasal 35);
- Adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal responsibility”); Pasal 110.
- Adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);
- Adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;
- Adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);
- Dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69);
- Adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pemenuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 83,96,97);
- Adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pedoman pemidanaannya atau penerapannya;
- Dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);
- Dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri
- Dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pidana tunggal;;
- Dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif walaupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif;
- Dimungkinkannya hakim memberi maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdakwa, sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2).
- Adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”); Pasal 54
- Dimungkinkannya perubahan/modifikasi putusan pemidanaan, walaupun sudah berkekuatan tetap (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3);
DAFTAR
PUSTAKA
Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice : The Potential of Restorative Justice,
dalam Restorative Justice Philosophy to
Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, ( The Australian
National University, Asghate Publising Ltd, 2000),
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan
Pemidanaan Indonesia, ( Jakarta, Pradnya Paramita,1993)
Barda Nawawi
Arief, Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo Dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP,
Seminar Nasional “ Menyongsong
Berlakuknya KUHP Nasional ( FH UNUD, Denpasar, 30 April 2005)
----------------------, Ide-Ide
Dasar (Pokok Pemikiran) Perubahan/Pembaharuan KUHP, Disampaikan Dalam
Rangka Silaturahmi Akademik Di STHB, Bandung 12 Juli 2005
Daniel W. Van Ness, Restorative
Justice and International Human Rights,
Restorative Justice : International Perspektive, Edited by Burt
Galaway and Joe Hudson, ( Kugler
Publications, Amsterdam, The Netherland), Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam
Rancangan KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3
Dwidja Priyatno, Kapita Selekta
Hukum Pidana, (Bandung,STHB Press,2005)
-------------------, Alternatif
Model Pengaturan Sanksi Pidana Pada Korporasi ( Sebagai Salah Satu Upaya
Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi), Pidato Pengukuhan Guru Besar di STHB,
Bandung 26 September 2006
Eka
Darmaputra, Pancasila Identitas dan
Modernitas;Tinjauan Etis dan Budaya (
PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997)
ELSAM
, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam
Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3
J.E.Sahetapy
, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman
Pidana Mati Terhadap Pembunuhan
Berencana, (Rajawali Pers, Jakarta,
1982)
Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses, Background
Paper for the International Society for
Reform of Criminal Law 13 th International Coference Commercial and Financial
Fraud : A Comparative Perspective, Malta, 8-12 July 1999, ( Canada, The
International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy)
Michael Tonry, Sentencing
Matters, Oxford University Press, New York, 1996
Mohammad Noor Syam, et al, Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional
dan Segi Filosofis ( Lembaga Penerbitan UNBRAW, Malang,1981)
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori
dan Kebijakan Pidana, ( Bandung, Alumni, 1992)
Muladi,
Proyeksi Hukum Materiil Indonesia Di Masa
Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar
UNDIP, Semarang,1990
--------------------,
Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Badan Penerbit
UNDIP, Semarang,1995).
Prefontaine, Daniel C.,”Effective Criminal Sanctions
Against Corporate Entities – Commentary :Canada,” Paper presented at the International Colloquium on Criminal
Responsibility of Legal and Collective Entities, 4-6 May 1998.Berlin,
Germany.
Sholehuddin.
M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2003)
Soedarto.R, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, ( Semarang, FH UNDIP,1987)
Sue Titus Reid, Criminal Justice,
Procedur and Issues, West Publishing Company, New York 1987
ini copas dari buku prof. dwidjwa priyatno ya?
BalasHapus