Selasa, 28 Mei 2013

Hukum Karma dan Masyarakat Modern

1. Manusia sebagai mahluk istimewa.

Manusia adalah mahluk yang istimewa yang diciptakan Tuhan, karena ia memiliki tiga potensi sekaligus yaitu Bayu – Sabda – Idep. Dengan bayunya ia dapat mengembangkan diri secara fisik biologis, seperti makan, tumbuh, mempertahankan diri, memenuhi dorongan nafsunya untuk bereproduksi. Dengan kemampuan sabdanya ia dapat berkomunikasi dengan mempergunakan symbol-simbol dan dengan kemampuan idepnya ia mampu mengembangkan kesadarannya untuk dapat membedakan yang benar dan yang salah serta mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang kemudian diteruskannya secara turun temurun ke generasi berikutnya. Berbeda dengan kehidupan yang lain seperti binatang yang hanya memiliki dua potensi yaitu Bayu dan Sabda saja dan tumbuh-tumbuhan bahkan hanya miliki satu potensi saja yaitu Bayu. Binatang dapat berpindah mempunyai emosi, dapat berinteraksi maupun berkomunikasi yang sangat terbatas atas dorongan nalurinya. Tumbuhan bahkan lebih rendah lagi yaitu tak dapat berlari, berpindah, merespon dengan mara-marah pada saat ia ditebang ataukah tertawa pada saat ia disiram atau saat diberi pupuk. (Modul 2, MPKT, 2007 : 42).

Kelebihan manusia ini menyebabkan ia sebagai mahluk satu-satunya yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang indah dan yang tidak indah, yang salah dan yang benar (Sarasamuccaya, sloka : 2). Mahluk yang dapat membedakan baik dan buruk adalah mahluk etis, mahluk hidup yang menerapkan nilai-nilai moral dalam menjalankan kehidupannya. Mahluk hidup yang dapat membedakan benar dan salah adalah mahluk hokum, mahluk yang menerapkan nilai-nilai hokum dalam pergaulannya dengan sesama manusia lainnya. Mahluk hidup yang dapat membedakan mana yang indah dan tidak indah, adalah mahluk estetis, yang dapat merasakan keindahan baik panorama alam, karya seni berupa lukisan, tarian, drama, puisi, nyanyian dan lain sebagainya. Dari tiga potensi manusia ini, “pikiran”, daya dari budi yang menyebabkan ia dijuluki sebagai mahluk budaya, sedangkan mahluk hidup lainnya bukan sebagai mahluk budaya, karena kesadaran atau pikirannya tidak berkembang. Manusia sebagai mahluk budaya, menghasilkan kebudayaan.
Kalau manusia dapat membedakan yang baik dan buruk, mengapa manusia di jaman modern sekarang ini banyak yang terlibat dalam tindakan-tindakan yang tidak baik : korupsi, kekerasan, kekejaman, ketidak adilan, ketidak pedulian, keserakahan, kepongahan, kebebalan, ketidakjujuran, kebohongan, kekejian, kerakusan, ketegaan, kemunafikan ?

2. Hukum Karma dalam Kebebasan Manusia.

Pertama kita harus memahami secara benar apa yang dimaksud dengan ”karma”, ”hukum karma”, ”karma phala”, ”proses dari karma phala”. Kedua apa yang dimaksud dengan ”pembebasan manusia”, ”kaitan antara ”karma” dan ”pembebasan”. Pertanyaan kritis yang harus kita jawab adalah : (1) Apakah yang dimaksud dengan ”karma”, ”hukum karma” dan kebebasan ? (2) Bagaimana hubungan antara ”kebebasan manusia” dengan ”hukum karma” ? (3) Apakah ”hukum karma” bertentangan dengan ”kebebasan manusia” ataukah keduanya itu mungkin dan dapat berjalan bersama ?
”Karma” sering dipahami sebagai ”hukuman” atau ”kutukan”, bahkan hukum balas dendam. Hal ini terungkap dalam pernyataan-pernyataan ini : Pada saat kita kesal terhadap prilaku seseorang maka kita mengatakan ” ... biarlah, nanti ia akan kena karmanya” sama maknanya dengan ” ... biarlah, nanti ia akan kena batunya”. ”Karma” dipahami sebagai sangsi, risiko yang harus diterima seseorang. Secara etimologis kata ”Karma” berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya ”perbuatan” atau ”aktivitas”. ”Hukum Karma” berarti hukum perbuatan, artinya bahwa setiap perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia ada hukum yang mengaturnya. Secara lebih mudah hukum karma itu dinarasikan sebagai : ”Apa yang anda tanam, itulah yang akan anda petik”. Bila anda menanam jagung maka jagunglah yang akan anda petik nantinya. Bila anda menanam kacang maka kacanglah yang akan anda petik nantinya. Tidak mungkin anda menanam jagung, maka nantinya anda akan memetik kacang. Artinya bahwa bila kita berbuat baik maka kebaikanlah yang akan kita petik, sebaliknya berbuat tidak baik maka keburukanlah yang kita akan petik. Hasil dari suatu perbuatan ini dalam bahasa Sanskerta disebut ”karma phala”. Phala artinya buah dan kama phala adalah buah perbuatan, atau hasil perbuatan. Jadi kalau begitu hukum karma phala adalah hukum sebab akibat. Sebesar dan sejauh mana suatu ”penyebab” maka sebesar dan sejauh itulah ”akibatnya”.

Sementara ini bagi saudara saya non Hindu, hukum karma juga sering dipahami sebagai nasib yang harus diterima oleh manusia, sehingga ia tidak dapat berbuat apapun untuk menghindarinya. Jadi hidup ini bersifat fatalistik, pesimistik, manusia ibaratkan wayang-wayang yang dimainkan oleh dalang. Nasibnya ditentukan oleh dalang. Tentu saja pemahaman hukum karma seperti ini sangat kontradiktif dengan ”kebebasan manusia”. Dengan kata lain bila manusia bebas maka hukum karma tidak berlaku, sebaliknya bila hukum karma berlaku maka manusia tidak bebas. Hukum karma tidak dapat dikompromikan dengan kebebasan manusia. Manusia menyerah kepada nasib yang sudah dan harus dia terima. Kesalahpahaman ini disebabkan oleh karena sumber pemahaman kita tidak berasal dari orang-orang yang memahami dan menghayati hukum karma serta belum memahami bagaimana hukum karma itu berproses.
Berdasarkan atas hubungan antara ”perbuatan”(karma) dan ”hasil perbuatan”(pahala) yang seimbang dan sepadan itu bila dikaitkan dengan perjalanan ”waktu” (masa lalu/past - sekarang/present – yang akan datang/future), maka ada tiga buah hubungan dalam realitasnya sehari-hari yaitu :
  1. ”Perbuatan-perbuatan di masa lalu” hasilnya baru muncul ”sekarang”.
  2. ”Perbuatan-perbuatan di masa sekarang” hasilnya baru muncul ”nanti”.
  3. ”Perbuatan-perbuatan di masa sekarang” hasilnya ”sekarang” juga.

Contoh untuk 1 : Perbuatan-perbuatan kita di masa lalu yang baik maupun yang buruk, yang kadang-kadang kita sudah lupa dengan perbuatan kita itu, baru muncul hasilnya sekarang berupa kebaikan atau keburukan yang tidak kita sadari dan di luar akal sehat kita. Kalau hasil itu berupa kebaikan maka sering kita sebut ”rejeki”, bila hasil itu berupa keburukan maka sering kita sebut sebagai ”nasib”, ”cobaan”, ”ujian”.
Contoh untuk 2 : Perbuatan-perbuatan kita di masa sekarang (baru saja kita laksanakan) yang baik maupun buruk, tidak kita dapatkan atau rasakan hasilnya saat ini juga, oleh karena belum muncul, belum ada realisasinya. Bila perbuatan yang kita lakukan itu adalah perbuatan buruk maka tanpa kita sadari, dalam pikiran kita akan menyatakan : ” ... untung enggak ketahuan !” atau ”aku tipu dia !”- ”ini kesempatan, kapan lagi !”- ”nasib kita lagi baik !”. Padahal hasil perbuatan buruk kita itu tetap akan muncul hasilnya di waktu yang akan datang. Dengan kata lain kita sebagai pelaku perbuatan itu pasti dan tidak akan luput dari hasilnya (keburukan), hanya saja belum muncul. Kalau perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan namun hasilnya belum muncul maka tanpa kita sadari kita akan menyatakan : ”sial benar !”- ”bukan rejekinya !”- ”nasib !”- ”pekerjaan yang sia-sia !”- ”wah ... gagal !”- ”wah ... tidak adil !”- ”saya dibohongi !”. Padahal hasil perbuatan baik kita itu walaupun belum kita nikmati hasilnya saat ini, tetap tercatat sebagai sesuatu tabungan kita sebagai pelaku perbuatan itu, yang pada suatu saat nanti akan kita dapatkan juga hasilnya. Karena tidak ada suatu perbuatan yang tidak menghasilkan, yang mengingkari hukum sebab-akibat, hukum karma, hukum-kekekalan tenaga, dan tidak mungkin diambil oleh orang lain yang tidak melakukan pekerjaan itu.
Contoh 3 : Perbuatan-perbuatan kita di masa sekarang (baru saja kita laksanakan) yang baik maupun buruk, langsung kita dapatkan atau rasakan hasilnya saat ini juga. Kalau perbuatan baik kita langsung menghasilkan kebaikan bagi kita secara sadar kita nyatakan ”saya berhasil”, sedangkan kalau perbuatan buruk kita langsung menghasilkan keburukan pada diri kita, maka kita akan mengatakan ” ya sudah risikonya !”- ”lagi apes”.
Bila proses hukum karma itu telah kita ketahui maka barulah mungkin kita kaitkan dengan kebebasan manusia. Menurut pandangan Hindu manusia pada hakekatnya dilahirkan bebas (born free). Manusia bebas memilih perbuatan-perbuatan atau aktivitas-aktivitas yang akan dilakukannya atau tidak dilakukannya. Tidak ada suatu kekuatan di luar dirinya yang menghalangi kebebasannya. Akan tetapi dalam pilihan bebasnya itu, manusia tidak akan pernah luput dari konsekwensi dari pilihan bebasnya. Perbuatan yang dilakukannya secara bebas itu selalu mengandung konsekwensi. Maka dari itu menurut Hindu, manusia dengan kebebasannya itu, harus dipergunakan untuk merancang kehidupannya yang akan datang. Kehidupan seperti apa yang kita kehendaki nanti, harus kita rencanakan sendiri dalam kehidupan ini dari sekarang. Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya sekarang ini adalah sebagai konsekwensi dari perbuatan-perbuatannya di masa lalu. Kebebasan manusia erat kaitannya dengan hukum karma phala. Hanya dalam karma atau kerja yang dipilihnya secara bebas manusia itu dapat mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dan menerima hasilnya tanpa jatuh kepada kemunafikan atau mencari kabing hitam, untuk dapat dilimpahkan tanggungjawab atas hasil perbuatan yang tidak dilakukannya.

Mengutip pemikiran Sarvepalli Radhakrishnan, bahwa proses hukum karma phala dan kaitannya dengan kebebasan manusia itu diibaratkan seperti para pemain kartu. Setelah menetapkan aturan permainan dan kartu dikocok maka kartu itupun dibagikan habis kepada keempat orang pemain. Tentu saja masing-masing pemain kartu memegang sejumlah kartu, ada yang dikatagorikan sebagai kartunya bagus, ada yang sedang saja dan ada pula yang termasuk kelompok yang jelek. Baik dan jeleknya kartu-kartu yang dipegang masing-masing bukan disebabkan pembagian kartu yang tidak adil, yang membagi kartu dengan cara seperti di atas tidak menganaktirikan salah satu pemain, tapi pembagian kartu itu memang sudah seperti itu adanya. Dari keempat pemain ini siapa yang bakalan menang ? Apakah yang mendapatkan pembagian kartu yang baik yang akan menang ? Secara teoritis semestinya dialah yang bakal menang, namun belum tentu oleh karena bisa saja yang menang adalah pemain yang mendapatkan kartu yang sedang-sedang saja. Masing-masing pemain memainkan kartunya secara bebas sesuai dengan strateginya masing-masing. Walaupun mendapatkan kartu baik namun kalau memainkannya ngawur tentu saja tidak meraih kemenangan. Tapi walaupun kartunya sedang-sedang saja kalau ia memainkannya dengan secermat mungkin, bisa saja dialah yang meraih kemenangan. Merencanakan permainan yang cermat seperti ini analog dengan merencanakan hidup kita di dunia ini, yang secara bebas dapat kita rencanakan sehingga kehidupan ini menjadi sangat berharga baik bagi diri sendiri, orang lain, alam semesta dan bahkan dapat sampai kepada tujuan akhir manusia sebagai individu yaitu ”pembebasan” atau moksa.

3. Keterbatasan hidup Manusia dalam waktu.
Hidup manusia di dunia ini dibatasi oleh waktu. Kita hanya diberikan sejumlah waktu tertentu untuk hidup di dunia ini. Masing-masing orang memiliki waktu hidup yang berbeda-beda. Tentu saja hampir semua orang mengharapkan agar mereka dapat lebih lama hidup di dunia ini. Untuk itu mereka mencoba dengan berbagai upaya untuk itu, seperti menjaga kesehatan tubuhnya sehingga harapan itu menjadi mungkin. Harapan hidup lebih lama di dunia ini didorong oleh motivasi yang berbeda-beda dari masing-masing orang. Ada yang ingin hidup lama di dunia ini agar dapat menikmati harta bendanya yang telah terlanjur sangat banyak sekali yang merupakan peninggalan dari orang tuanya. Ada juga yang terdorong oleh karena sampai umurnya setengah tua seperti sekarang ini masih belum puas untuk menikmati hubungan birahi yang masih menggebu-gebu dengan pasangan yang lebih muda dan lebih menarik yang bisa dipilihnya. Ada yang merasa bahwa mereka belum mengantarkan secara optimal putra-putrinya yang menurutnya masih perlu dibantu.

Menurut Hindu motivasi yang mendorong manusia ketika berharap untuk memiliki umur panjang adalah agar mereka dapat lebih banyak berkarya, lebih banyak berbuat. Tentu saja berbuat dan berkarya yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan yang baik yang lebih memanusiakan dirinya sesamanya dan lingkungannya. Oleh karena manusia siapupun dia tidak ada yang tahu bahwa sampai umur berapa ia akan diijinkan hidup di dunia ini maka Hindu mengajarkan bahwa setiap manusia harus membuat perencanaan dalam hidupnya. Secara garis besar hidup manusia di dunia ini harus dibagi menjadi empat alokasi waktu yaitu, mulai ia dilahirkan di dunia sampai ia meninggalkan dunia ini.

Alokasi waktu itu adalah (1) Masa Pendidikan (Brahmacharya) dari 0 – 25 tahun, (2) Masa Berkeluarga (Grihasta) dari 26 – 55 tahun, (3) Masa Pension (Wanaprasta) dari 56 – 65 tahun, (4) Masa Pelepasan (Sanyasin) dari 66 – meninggal dunia. Masa pendidikan ini betul-betul harus dipergunakan untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum mengemban tugas yang paling berat dalam kehidupan manusia yaitu perioda kehidupan berumah tangga. Tentu saja kalau perioda kehidupan pertama, yaitu masa pendidikan berhasil kita lewati dengan baik maka beratnya tugas manusia dalam perioda berumahtangga tidak terlalu berat lagi dirasakan, tinggal bagaimana menjaga diri dari tarikan-tarikan berupa godaan-godaan yang dapat menggagalkan keseluruhan dari kehidupan seseorang.

Masa Berkeluarga sebagai perioda kehidupan yang paling berat dibandingkan dengan perioda kehidupan yang lainnya, merupakan perioda kehidupan yang paling penting untuk dapat dilewati dengan baik. Dalam perioda inilah seseorang memulai melibatkan orang-orang lain ke dalam kehidupannya. Pertama-tama yaitu istri/suami, kemudian mertua, ipar dan kemudian anak-anak.Sungguh tidak gampang menyatukan dua mahluk yang berbeda secara individual dalam satu komunikasi yang begitu intens dan terus menerus dalam waktu yang sangat lama, dalam kehidupan berumah tangga. Akan tetapi perioda kehidupan ini pula sebagai satu-satunya perioda kehidupan yang memberikan pembenaran atau keabsahan bagi manusia untuk melakukan hubungan birahi sebagai wujud realisasi cinta kasihnya untuk menghasilkan keturunan (regenerasi, prokreasi). Kewajiban lainnya yang juga berat adalah persiapan upacara persembahan dan upacara perabuan orang tuanya yang telah meninggal dan menghantarkan anaknya untuk menjadi anak yang berguna di dunia untuk kehidupan ini. Tentu untuk keperluan ini yang paling penting adalah pendidikan si anak, sebagai modal dasar yang menentukan perjalanan hidupnya kelak. Keberhasilan melewati perioda berkeluarga inilah yang menunjukkan bahw seseorang telah mampu mencapai “Keluarga Sukhinah” dan menjadi dambaan setiap manusia Hindu. Dalam pemikiran Hindu perioda berkeluarga ini merupakan bentuk-bentuk keterikatan yang dijadikan sebagai ajang latihan dalam kehidupan seorang manusia sehingga ia memiliki ketahanan dan akhirnya dapat membebaskan dirinya dari keterikatan itu sendiri.

Masa Pension sebagai perioda dimana manusia memulai sedikit demi sedikit untuk melepaskan keterikatan-keterikatan materiil (fisik, biologis, kejiwaan, sosial kemasyarakatan) dan sekaligus menambah pengetahuan rohani, persiapan menuju ketidakterikatan, pembebasan sepenuhnya dan fokus pada kehidupan yang spiritual sifatnya.

Masa pelepasan yaitu perioda kehidupan manusia dimana hidupnya sepenuhnya untuk melayani masyarakat, dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan moral serta susila dan sepenuhnya menjadi pelayan Tuhan serta siap untuk kembali kepadaNya. Periodisasi kehidupan manusia ini mutlak dan harus menjadi bahan pertimbangan bagi setiap manusia.

7. Kesimpulan


  1. Manusia adalah mahluk yang dapat membedakan baik dan buruk, sehingga ia merupakan mahluk hidup yang dapat merencanakan hidupnya dan mengembangkan hidupnya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
  2. Sarvepalli Radhakrishnan menyatakan kelebihan manusia terletak pada kemampuannya mengingat yang memungkinkan meneruskan tongkat estafet ”kebudayaan” dari generasi ke generasi lewat proses belajar.
  3. Hidup manusia di dunia tidak semata-mata terlempar, sebagai yang given, yang terberi, menerima nasib, tapi manusia yang memiliki kebebasan. Bebas menentukan pilihan atas tindakan atau aktivitas yang akan dilakukannya di dunia ini, namun tidak dapat membebaskan diri dari konsekwensi atas aktivitas bebasnya. Mengapa ? Oleh karena ada hukum sebab akibat atau hukum karma.
  4. Hukum sebab akibat ini bukan hukum yang mesti dipahami secara fatalistik sehingga bertentangan dengan kebebasan manusia. Hukum sebab akibat ini justru dapat sejalan dengan kebebasan manusia dalam memilih aktifitas hidup yang akan dijalankannya.
  5. Hubungan antara sebab dan akibatnya, berproses secara terus menerus tanpa batas waktu. Sebab-sebab yang akibat-akibatnya belum terrealisasikan keseluruhan akan tetap memiliki potensi dan akan kehilangan potensinya kalau akibat-akibatnya sudah terrealisasikan secara keseluruhan.
  6. Siapa yang merupakan agent penyebab maka dialah yang mendapatkan akibatnya. Tidak pernah suatu akibat secara keliru mencari agent penyebabnya. Akibat ini tidak dapat dialihkan kepada agent lain yang bukan penyebab.
  7. Sebab dan akibat tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Kalau suatu sebab sudah terjadi maka akibatnya akan dapat muncul kapan saja dan dimana saja. Ada tiga model sebab akibat dalam ranah waktu (masa lalu, sekarang, akan datang). 1). Penyebab di masa lalu, Akibatnya di masa kini 2). Penyebab di masa kini, Akibatnya di masa kini juga 3). Penyebab di masa kini, Akibatnya di masa yang akan datang.
  8. Waktu yang diberikan kepada kita sebagai manusia dalam hidup ini sangat terbatas, maka tujuan akhir hidup ini (pembebasan) yang tidak mudah untuk dicapai memerlukan perencanaan hidup secara cermat. Hindu membaginya menjadi empat perioda : perioda pembelajaran, perioda berkeluarga, perioda pension dan perioda pembebasan. Dengan pedoman ini perencanaan hidup akan bisa diwujudkan dengan lebih baik.


Daftar Pustaka

  1. Cassires, Ernest : Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Essai Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1987.
  2. Triguna, I.B.G.Yudha ed : Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Program Magister, Universitas Hindu, Denpasar, 2003.
  3. Pitana, I Gde ed. : Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, BP, Denpasar, 1994.
  4. Peursen, C. A. Van : Strategi Kebudayaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta,1985.
  5. Radhakrishnan, Sarvepalli : Religion and Society, Program Magister UNHI, Denpasar (terj.), 2003.
  6. Kadjeng, I Nyoman : Sarasamuccaya, Paramita, Surabaya, 2003.
  7. Sutrisno, Mudji : Teks-Teks Kunci Filsafat Seni, Galang Press, Yogyakarta, 2005.
  8. Sedyawati, Edi : Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
  9. Gadamer, Hans-Georg : Truth and Method, Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall, Cross Road, New York, 1975.
  10. Satria, I Wayan Suwira : Sejarah Filsafat India, Buku Ajar Filsafat UI, 2008.
  11. Modul MPKT Universitas Indonesia, 2007.
  12. Suryani, Luh Ketut, 2003 : Perempuan Bali Kini, BP, Denpasar.
  13. Titib, Made, 1998 : Citra Wanita, dalam Kakawin Ramayana, Paramita, Surabaya.
  14. Satria, Wayan Suwira, 2004 : Perkawinan Lintas Agama, Jakarta.
  15. Satria, Wayan Suwira, 2005 : Kloning dan Transplantasi, Jakarta.
  16. Sudarta, Tjok Rai, 1993 : Manusia Hindu, Denpasar.

0 komentar:

Posting Komentar