Kamis, 23 Mei 2013


Pengertian Kekayaan  Perindustrian  Bidang   Desain Industri dan  Paten.                                                                                                                      
            “Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan bertalian dengan kegiatan industri. Industri adalah kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang melalui kegiatan pengolahan bahan baku, kegiatan pembuatan/perakitan barang dari bahan baku atau komponen penyusunannya menjadi barang yang memiliki nilai kegunaan dan nilai ekonomi lebih tinggi termasuk industri perangkat lunak teknologi informasi dan komunikasi dan kegiatan jasa keteknikan industri yang terkait erat dengannya. Teknologi industri adalah hasil inovasi dan/atau invensi dalam bentuk proses, produk, alat produksi yang diterapkan dalam kegiatan industri” (Pasal 1 butir 1, 2 dan 12 UU Perindustrian yang selanjutnya disebut dengan RUUPerind).         
            Pemerintah dapat memberikan kemudahan, fasilitas dan/atau perlindungan dan penegakan hukum yang dibutuhkan kepada jenis-jenis industri yang diprioritaskan. “Pemerintah melindungi Hak kekayaan Intelektual khususnya Kekayaan Perindustrian termasuk di bidang Desain Industri dan Paten sebagai hasil karya warga negara/bangsa Indoensia yang digunakan tanpa hak di luar negeri baik yang belum atau sudah terdaftar di instansi yang berwenang di Indonesia” (Pasal 24 RUUPerind)
            “Desain Industri adalah suatu kreasi  tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan” (Pasal 1 butir 1  UUDI).
            Selanjutnya UUDI mengatur bahwa “Hak atas Kekayaan Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara Republik Indonesia kepada pendesain industri  atas hasil kreasinya selama waktu tertentu melaksanakan sendiri atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut” (Pasal 1 butir 5 UUDI).
            Pendesain industri (inventor) adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Industri yang dipatenkan. Dialah yang membuat kreasi bersangkutan hingga menjadi sesuatu yang mempunyai nilai estetis dan dapat diproduksi dan reproduksi kembali, serta kemampuan jatidiri baru. Bukan jiplakan dari karya milik orang lain. Bukan hanya seorang saja yang dapat menjadi pendesain tetapi bisa juga beberapa orang yang bersama-sama datangnya dan secara bersama-sama juga memilikinya dan mengajukan permohonan bersama untuk didaftarkan.
            Hasil  Pendesain industri (inventor) yang dipatenkan didaftarkan di Daftar Umum di Dirjen HAKI Depkeh dan HAM RI, agar legalitas hasil desain industrinya  mendapat pengakuan secara hukum, maka lebih lanjut dia sebagai pemilik/pemegang hak  mendaftarkan ke dalam Daftar Umum bidang Desain Industri danPaten di Dirjend HAKI  Depkeh dan HAM RI yang diatur dalam Undang_Undang Paten. Jadi pemilik/pemegang Paten (inventor) tersebut secara hukum telah memiliki Desain Industri dan Paten atas Desain Industri tersebut sekaligus untuk dapat dinikmati, disebarluaskan, ditransformasikan kepada pihak lain baik perseorang maupun dalam bentuk badan hukum secara komersial  dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.     
            Desain Industri dianggap “baru” jika pada tanggal penerimaan, Desain Industri   tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Jadi jika ada pendaftaran hak Desain Industri yang dilakukan oleh pihak lain dan juga tidak ada pengungkapan (pengumuman, sosioalisaasi, promosi) yang sama melalui sarana mas media cetak maupun elektronik dan internet maupun melalui sarana media pameran yang dilakukan secara luas kehadapan publik/umum.
            Pemberian hak tersebut diatas dapat dilakukan melalui perjanjian Lisensi (Lisence Agreement). Perjanjian Lisensi (Lisence Agreement) adalah suatu persetujuan bersama antara pemberi hak atas kekayaan Desain Industri dan Paten kepada penerima hak dipihak lain tersebut berdasarkan pada pemberian hak untuk menikmati ekonomi dari suatu Desain Industri dilindungi dengan jangka waktu dan syarat tertentu. “Perjanjian Lisensi adalah suatu izin yang diberikan oleh pemegang Hak Desain Industri kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Disain Industri yang diberi perlindungan dalam jangka tertentu dan syarat-syarat tertentu” (Pasal 1 butir 11 UUDI). 
            “Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. Desain Industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan, Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Pengungkapan Desain Industri sebelumnya : (a) tanggal penerimaan : atau (b) tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas ; (c) Telah diumumkan atau digunakan di industri atau di luar Indonesia”. (Pasal 2 : 1, 2, 3 UUDI).       
            Lanjut UUDI mengatur bahwa “suatu Desain Industri tidak dianggap telah dimumkan apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaannya Desain Industri tersebut : (a) telah dipertunjukkan dalam suaatu pameran nasional ataupun internasional di Indonesia atau di luiar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi, atau (b) telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penelitian atau pengembangan”. (Pasal 3 butir a, b UUDI)
         “Jadi jika ada pendaftaran lain dan juga tidak ada pengungkapan, pengumuman (sosialisasi) atau juga promosi sekaligus pameran langsung dihadapan masyarakat konsumen lain mengenai Desain  Industri yang sama yaitu melalui mas cetak, elektronik, media internet di dalam maupun di luar negeri. Jika suatu pengungkapan, pengumuman (sosialisasi), promosi sekaligus pameran tersebut sebelum tanggal pendaftaran dari Desain Industri bersangkutan ini, maka tidak dipenuhi unsur baru”.(Sudargo Gautama & Rizawanto Winata, 2000 : 47, 48)
            “Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya”. Selanjutnya UUP “ Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses”. “Pemegang Paten adalah inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dal Daftar Umum Paten” (Pasal 1 Butir 1, 2, 6 UUP). 
             “Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diajukan sebelumnya. Teknologi yang diungkap sebelumnya adalah teknologi yang telah diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan , uraian lisan melalui peragaan atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum : (a) tanggal penerimaan; atau (b) tanggal prioritas. Teknologi yang diungkapkan sebelumnya mencakup dokumen Permohonan yang diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah tanggal Penerimaan yang pemeriksaan substansinya sedang dilakukan, tetapi tanggal Penerimaan tersebut lebih awal dari pada Tanggal Penerimaan atau Tanggal Prioritas Permohonan: negeri” (Pasal 3 : 1, 2, 3 UUP)       
            “Hak kekayaan intelektual teknologi dan industri merupakan tiga wujud yang sangat kuat berinteraksi satu terhadap yang lain dalam proses pembentukan nilai tambah di segala aspek kehidupan kita” (Rahardi Ramelan, 1996 : 3)    
B. Perjanjian Lisensi (Lisence Agreement) Kekayaan Perindustrian di Bidang  Desain Industri dan Paten Dalam Alih Teknologi.
            Umumnya kita terlibat  pada masalah perjanjian alih teknologi melalui media perjanjian lisensi (lisence agreement).  Perjanjian merupakan hukum bagi yang membuat yaitu pihak-pihak yang mengadakan  perjanjian. Hasil dari perjanjian diperoleh melalui suatu kesepakatan bersama diantara pihak yang berjanji dan masing-masing pihak yang bersepakat tersebut mempunyai kedudukan dan kekuatan hukum yang sama pula. 
            Menurut hemat peneliti ketidakseimbangan kekuatan kesepakatan bersama dalam negosiasi akan menghasilkan kesepakatan atau perjanjian yang tidak adil. Oleh karena itu maka hukum perjanjian (sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 Burgerlijke Wetboek van Wetgeving atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata ) dalam harus dipahami oleh pihak pemberi hak dan pihak penerima hak yang membuat kesepakatan alih teknologi di bidang Disain Industri dan Paten. Lanjut hemat peneliti, berbicara tentang alih teknologi melalui media perjanjian Lisensi (Lisence Agreement) bidang Disain Industri dan Paten, tentu saja untuk tahap proses negosiasi dan selanjutnya menyusun draf klausula isi perjanjiannya yang mengandung hak dan kewajiban masing masing pihak, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan umum maupun khusus, perlu terlebih dahulu memahami apa dan bagaimana materi teknologi termasuk hasil Disain Industri dan Paten itu sendiri. Sebelum kearah proses negosiasi inilah  sangat dibutuhkan sekali konsultan seorang ahli hukum, ahli teknologi, ahli ekonomi/akuntansi dan bisnis serta teknis dibidang teknologi di bidang Disain Industri Paten yang akan dialihkan menjadi sangat penting peranannya.
            “Alih teknologi dilakukan diantaranya melalui pemberian lisensi. Hal ini juga tidak sederhana. Siapa pemegang atau pemberi lisensi dan siapa pula penerima lisensi. Syarat dan kondisi pemberi lisensi dan penerima lisensi perlu pemikiran. Berapa pula harga lisensi dan apa hak-hak yang melekat pada pemegang lisensi. Di samping hak lisensi masing-masing banyak pembahasan yang menjadi praktek dalam lisensi atau dalam alih teknologi pada umumnya” (Sumantoro, 1993 : 12).
            Menurut hemat peneliti bahwa setelah dicapai kesepakatan melalui negosiasi dan rumusan klausula materi sisi perjanjian yang mengandung hak dan kewajiban antara pemberi Desain Industri dan Paten dengan penerima hak tersebut, masalah berikutnya adalah bagaimana pelaksanaannya terhadap perjanjian lisensi tersebut. Oleh karenanya banyak masalah dalam pelaksanaan alih teknologi melalui media perjanjian lisensi tersebut, maka dalam proses kesepakatan bersama melalui negosiasi diperlukan ketajaman analisis dalam meneliti proses alih teknologi tersebut sampai kepada rumusan klausula materi isi perjanjian tersebut secara tuntas dilengkapi dengan berbagai sanksi dan jaminan keberhasilan alih teknologi melalui media perjanjian lisensi tersebut selanjutnya.
            “Setelah negosiasi dilakukan dan dicapai kesepakatan dan rumusan perjanjian disetujui oleh masing-masing pihak, masalah berikutnya adalah bagaimana pelaksanaannya. Di sinilah kejelian pihak penerima alih teknologi sangat dituntut termasuk antara lain apakah ada jaminan pelaksanaan alih teknologi tepat waktu, tidak salah penerapannya, bagaimana proses penyerahannya. Di sini seperangkat pengaturan terkait seperti surety bond, sanksi, proses pengeloaan usahanya setelah pengalihan teknologi, dalam banyak hal ada proses turn key atau turn key plus, purna alih teknologi dan banyak hal lainnya lagi yang terkait” (Sumantoro, 1993 : 12-13). 
            Alih teknologi melalui perjanjian Lisensi yang dipatenkan kaitannya tentang know how yang intinya diwujudkan dalam suatu pengakuan hak penemuan, umumnya dicatatkan dan secara formal implisit mengandung pengakuan pihak penemu, pemberi hak Disain  Industri dan paten. Dengan kata lain hasil temuan dari Desain Industri tersebut dipatenkan. Dengan demikian pihak penemu tersebut yang mematenkan hasil temuannya diakui hak-haknya sebagai pemegang paten.
            Pihak yang menerima hak Desain Industri Paten akan memanfaatkan atau menggunakan hak paten untuk input usahanya sebagai pelaku usaha harus meminta izin persetujuan dari pihak penemu hak,  dalam hal peristiwa demikian maka terjadilah transaksi perjanjian lisensi (license agrrement).          
            Hak Desain Industri diberikan untuk Desain Industri yang baru. “Desain industri dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan Desain Industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Pengungkapan sebelumnya adalah pengungkapan Desain Industri yang sebelum : (a) tanggal penerimaan atau (b) tanggal prioritas apabila Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas, (c) telah diumumkan atau digunakan di Industri atau diluar Indonesia”. (Pasal 2 : 1, 2, 3 UUDI).
      “Hak   Desain   Industri   (termasuk  hasil  industri  Paten)  dapat beralih atau dialih
kan dengan :  (a)  pewarisan,  (b)  hibah,  (c)  wasiat, (d)  Perjanjian  tertulis;  atau  (e)  sebab sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undang (Pasal 31 : 1 UUDI)
      Lebih lanjut UUDI mengatur bahwa pengalihan Desain Industri sebagaimana yang tersebut diatas harus disertai dengan dokumen pengalihan hak tersebut. “Segala bentuk pengalihan Hak Desain Industri wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Pengalihan hak tersebut yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Industri (termasuk Desain Industri Paten) tidak berakibat hukum pada pihak ketiga” (Pasal 31 : 2, 3, 4 UUDI). 
      Pihak penemu Desain Industri sebagai pemegang berhak memberikan  lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan untuk melaksanakan Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannnya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desain Industri , kecuali jika diperjanjikan lain. “Pemegang Desain Industri berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan dalam pasal 9, kecuali jika diperjanjikan lain” (Pasal 33 UUDI).
“Perjanjian Lisensi wajib dicatatkan dalam Daftar Umum Industri pada Direktorat Jenderal dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri”  (Achmad Fauzan,  2006 : 79).  Lanjut Achmad mengutip UUP menguraikan bahwa “Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang Teknologi yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan. Pemegang Paten adalah inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang Paten kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu Paten yang diberikan perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu”. (Hal ini diatur dalam pasal 1 Butir 1, 6 dan 13 UUP).
            “Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi untuk melaksanakan perbuatan untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya dalam hal Paten-produk : membuat, menggunakan menjual, mengimpor; menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual  atau disewakan atau diserahkan produk yang diberikan” (Pasal 16 UUP).    
      Berbicara tentang perjanjian lisensi Insan Budi Maulana mengatakan bahwa “perjanjian lisensi terbagi atas 2 macam yaitu (a) Perjanjian Lisensi Secara Eksklusif (PLSE) dan Perjanjian Lisensi Secara Non-Eksklusif (PLSNE). Bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara lainnya di Eropa Barat yang mengadakan pemisahan terhadap macam perjanjian lisensi itu. Maka tidak keliru bila kitapun melakukan hal yang sama.  Hal ini dipandang perlu , karena  untuk menentukan apakah suatu perjanjian lisensi itu wajib didaftarkan atau tidak akan sangat bergantung pada macam perjanjian lisensi itu sendiri”.(Insan Budi Maulana, 1997 : 133). Lebih lanjut Insan menjelaskan dan mengutip dari pendapat/pandangan “Yoshio Kumakura, dalam bukunya “LicencingDoing Business in Japan,  Umpamanya di Jepang, setiap PLSE untuk Paten diwajibkan didaftarkan kepada Fair Trade Commision. Apabila PLSE tersebut tidak didaftarkan maka tidak mempunyai konsekuensi hukum terhadap pihak ketiga. Selain itu, biasanya hanya PLSE saja yang berhak  melakukan  sub-lisensi kepada pihak ketiga sedangkan PLSNE tidak mempunyai hak untuk mengadakan sub-lisensi”.
      “Di Amerika Serikat, apabila perjanjian lisensi itu merupakan PLSE yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjiannya walaupun PLSE itu tidak diuraikan secara terperinci, namun Penerima Lisensi (Licensee) secara otomatis mempunyai hak (a) mengadakan sub-lisensi, (b) menutut pihak ketiga yang melanggar paten, dan (c) Pemberi Lisensi  (Licensor)  harus meminta izin kepada Penerima Lisensi apabila Pemberi Lisensi akan memberikan lisensi lagi kepada pihak ketiga uang berada dalam wilayah Penerima Lisensi (USCA Title 35 ss 261). Oleh karen itu akan lebih baik bila ketentuan tentang PLSE dan PLSNE) dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang lisensi memperjelas macam lisensi sebagaimana diberlakukan di negara-negara tersebut” (Insan Budi maulana, 1997 : 134)   
      “Studi penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Ekonomi FHUI menunjukkan bahwa dari 100 perusahaan PMA yang memiliki perjanjian lisensi atau sejenis adalah sekitar 25 perusahaan. Perjanjian tersebut pada umumnya diselenggarakan pada perusahaan patungan di Indonesia dengan induk perusahaan di luar negeri yang memiliki atau pemegang hak atas teknologi yang bersangkutan. Pendekatan yang ditempuh oleh perusahaan asing pada umumnya mengkombinasikan kegiatan modalnya dengan sekaligus menyelenggarakan perjanjian lisensi, adalah untuk memaksimalkan hasil usahanya yaitu dari keuntungan modal dan dari hasil lisensi tersebut” (Sumantoro, 1994 : 119-120)  
      Lanjut Sumantoro menjelaskan bahwa “dalam konteks PMA perjanjian lisensi merupakan dasar kerja sama yang mengatur syarat-syarat dan kondisi pemindahan teknologi dari pihak asing kepada perusahaan-perusahaan penerima lisensi di Indonesia. Akibat belum adanya pengaturan oleh pemerintah dalam bidang ini maka masalah pemindahan teknologi yang berlangsung melalui proses PMA (dalam bentuk perjanjian-perjanjian lisensi) pada dasarnya masih merupakan masalah hubungan kontraktual antara para pihak yang dalam prakteknya ditentukan oleh kemampuan berunding antara pihak pemberi lisensi dengan pihak penerima lisensi. Proses pengalihan teknologi yang di dalamnya terdapat aspek-aspek pengaturan PMA dan pemilihan teknologi yang tepat dan diperlukan di Indonesia, kita menghadapi permasalahan lain seperti penilaian teknologi yang dipindahkan, pemindahan teknologi yang sudah uang atau masa paten sudah habis, syarat-syarat dan kondisi yang sangat memberatkan pihak penerima teknologi terutama yang tergolong Restrictive Business Pratices (RBP)”. (Sumantoro, 1994 : 119-120).
Sumantoro menjelaskan “pemindahan teknologi negara sedang berkembang mempunyai arti penting bagi pembangunan negaranya. Mekanisme pemindahan teknologi merupakan transaksi dagang teknologi internasional. Teknologi sudah merupakan satu jenis komoditi internasional yang langka. Karena sifat pasar teknologi internasional maka dalam pembahasannya sangat dipengaruhi oleh keadaan politik dan ekonomi serta taraf kemajuan dari negara yang bersangkutan”. Selanjutnya Sumantoro menjelas lagi, “bagi Indonesia yang penting adalah mendapatkan teknologi yang tepat guna dan dapat mempunyai pengaruh pengembangan indutrialisasi. Untuk itu perlu diperhatikan terlebih dahulu tingkat teknologi yang telah ada dan keahlian yang tersedia serta potensi sumber yang dapat menunjang”

 DAFTAR BACAAN
I. Buku :
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Cetakan Kedua, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sumantoro. 1993 Masalah Pengaturan Alih Teknologi, Edisi Pertama, Cetakan I,   Penerbit Alumni, Bandung.
Sumantoro. 1994. Hukum Ekonomi,  Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta.
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata. 2000. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Peraturan Baru Desain Industri, Cetakan ke I, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ahmad Fauzan. 2006. Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Himpunan Undang-Undang Lengkap Di Bidang Hak (Atas) Kekayaan Intelektual : Perlindungan Varietas Tanaman, Rahasia Dagang, Desain Industri, Tata Letak Sirkuit Terpadu, Merek, Paten, Hak Cipta, Cetakan II, Penerbit CV Yrama Widya, Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar