BAB
IV
HUBUNGAN
SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT)
A.
Kausalitas
Didalam
delik-delik yang dirumuskan secara materiil (selanjutnya disebut delik
materiil), terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan
merupakan unsur yang menentukan (essentialia dari delik tersebut). Berbeda
dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia,
bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang
dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada
percobaan.
Misalnya
:
Pasal
338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena
pembunuhan.
Keadaan
yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya si
A.
Oleh
karenanya untuk dapat menuntut seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan
suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan
bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya
“perubahan atas suatu keadaan” dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau
perkosaan terhadap kepentingan hukum.
Hubungan
sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain
itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya
(door het gevolg gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194
ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3,
355 ayat 2 dan 3 KUHP.
Persoalan
kausalias ini terjadi karena kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari
suatu akibat. Perlu diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terdapat dalam
lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya.
Misalnya hukum perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang
misalnya dalam persoalan asuransi.
Persoalan
ini pun terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam
filsafat. Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu
kejadian, maka terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak
menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke
sebab.
Akan
tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat
terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”,
belum tentu disebabkan karena kejadian “A” (post hoc non propter hoc).
B.
Teori-teori
Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
B.1.
Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungstheorie atau teori
condition sine qua non dari von Buri
Teori
ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama,
sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat,
baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan
mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan
terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat
dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan
“nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya
akibat.
Contoh
: A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan
genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab
dari matinya A.
Teori
ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang
dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu
sama lain, John Stuart Mill (di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic
berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” (1843).
Van
Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana
teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan
yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus
dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana.
Kritik
/ keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa
akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang
terjadi sebelumnya.
Jadi
misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam
A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada,
apabila tidak ada pembuatan pisau.
Jadi
pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan
keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut
teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor
yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor
lainnya dipisahkan sebagai faktor-faktor yang irrelevant (yang tidak perlu /
penting).
Kebaikan
teori ini : mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan
juga karena tori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan
berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang
sebagai pangkal dari teori-teori lain.
B.2. Teori-teori Individualisasi
Teori-teori
ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit
terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling
menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya
merupakan syarat belaka. Penganut-penganutnya tidak banyak antara lain :
1.
Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab
adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die wirksamste Bedingung)
2.
Binding. Teorinya disebut
“Ubergewichtstheorie)”
Dikatakan : sebab dari sesuatu
perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang
menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih
unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya
(in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang
negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang
menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu.
B.3. Teori-teori generalisasi
Teori-teori
ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara
serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan
akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut
perhitungan yang layak, mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini
dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan (ad-aequare
artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat (teori
adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan
sebab akibat yang adequat :
a.
Suatu jotosan ang mengenai hidung,
biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang
yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat
yang abnormal, yang tidak biasa.
b.
Seorang yang menyetir mobil terpaksa
mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang
jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil.
Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dianipun
dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab
yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.
c.
Seorang petani membakar tumpukan rumput
kering (hooi), dimana secara kebetulan bersembunyi / tidur seorang penjahat
hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya
tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak
timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi
apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap
dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar
untuk matinya seseorang.
Hal
yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya,
bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu
? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
1.
Penentuan subyektif (subjective
ursprungliche Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh
sipembuat dapat diketahui / diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada
umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau
pengetahuan si pembuatlah yang menentukan).
2.
Penentuan obyektif.
Dasar penentuan apakah suatu
perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara
obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang
diketahui atau yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan pengetahuan dari
hakim.
Dasar
penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut “objektive nachtragliche
Prognose” (Rumelin).
Sebenarnya
dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan
tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate
subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu
perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat
mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya akibat atau
kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat
membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran
tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab
(pidana), jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya.
Contoh
: seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani
melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu mati. Pada waktu hujan yang disertai
petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar
orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar
petir.
Menurut
teori ekivalensi : ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh
majikan, maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh.
Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori
ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai
kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah
hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga
tidak ada pemidanaan.
Beberapa
penganut teori adequat yang lain :
1.
Simons :
Dikatakan olehnya : “suatu
perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat, apabila menuntut
pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan, bahwa dari
perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”.
2.
Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47)
berpendirian senada dengan Simons. Beliau katakan : “Kehidupan hukum dan
perhubungan hukum itu terdiri atas persangkaan, (presumptie), bahwa alur
peristiwa di dunia ini ada biasa dan normal. Ini kesimpulan pengalaman kita
sebagai manusia. Syarat yang pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti hal ikhwal
yang berada dan menurut pengalaman kita, dengan kadarnya memadai sesuatu
akibat, itulah yang dianggap sebagai suatu sebab”.
3.
Pompe : yang disebut sebab ialah
perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu mempunyai strekking untuk
menimbulkan akibat yang bersangkutan.
Tinjauan
terhadap teori-teori kausalitas tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat
dikatakan teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu
penambahan. Teori ini ditambah dengan penentuan ada dan tidaknya unsur
kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup memuaskan apakah
sesuatu perbuatan itu merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan
dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Mengenai teori
adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai
dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan. Berhubung
dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap
perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori
adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan
teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang
tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan
sebagainya.
Dalam
yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu
itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat dengan nyata teori
mana yang dipakai. Hooggerechtshof condong
ke teori adequate. Akan tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan
pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan
akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk en rechtsreeks)
a.
Putusan Raad van Justitie Batavia 23
Juli 1937 (. 147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda
motor terpental ke atas rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api.
Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh
pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh
mobil. Maka matinya si korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si
terdakwa (pengendara mobil).
b.
Putusan Politierechter Bandung 5 April
1933
Seorang
ayah yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya.
Anak tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut
syarat (voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak boleh disebut sebab
dari tabrakan itu, oleh karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada
hubungan kausal yang langsung.
c.
Putusan Politierechter Palembang 8
Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari 1937.
Perbuatan
terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat
kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi tersebut terus menyopir tidak dianggap
sebagai sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara perbuatan
terdakwa dan terjadinya kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang langsung.
Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir, hanya
dipandang sebagai suatu syarat dan bukan sebab.
d.
Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7
Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
Terdakwa
sebagai kerani bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang disebabkan
oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia,
oleh karena terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-barang
angkutan dalam kapal in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari
berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan pada waktu kapal akan berangkat.
Di
dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan
erat” dengan “kecelakaan itu”.
C.
Kausalitas
dalam hal tidak berbuat
Persoalan
ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem
commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik
commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya
mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada
persoalan tentang kausalitas.
Yang
ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik
ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada
beberapa pendirian :
a.
Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa
menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan kepada dalil ilmu pengetahuan alam
yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak mungkin timbul kedaan positif.
Pendirian ini tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan alam tidak tepat
untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana ini).
b.
Yang disebut sebab ialah perbuatan yang
positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat akibat itu timbul. Misal :
dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu, yang disebut
sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi
susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori
inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada
perhubungan dengan akibat itu.
c.
Yang disebut sebagai sebab ialah
perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini disebut “teori berbuat
yang sebelumnya”, misal seorang penjaga wesel yang menyebabkan kecelakaan
kereta api karena tidak memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang menjadi
sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan,
sebab sulit dilihat hubungannya antara penerimaan jabatan dengan akibat yang
timbul.
d.
Seseorang yang tidak berbuat dapat
dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk
berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang nyata-nyata tertulis
dalam suatu peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis,
ialah norma-norma lainyang berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini
diberi contoh-contoh apakah ada kewajiban berbuat atau tidak :
1)
Ada anak yang dibunuh; orang tuanya
mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa. Apakah orang tua bertanggung
jawab sebagai ikut berbuat dalam pembunuhan ?
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober
1883): tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat tercela (laakbaar) dan
tidak patut.
2)
Seorang penjaga gudang membiarkan
pencuri melakukan aksinya, ia dapat dipertanggungjawabkan, sebab sebagai
penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat sesuatu.
Kesimpulan
mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan
lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak
berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per
omissionem commissa (delik omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu
bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang
diharapkan untuk diperbuat/dilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak
berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat
menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate,
mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya
akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Akhirnya
perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif
(yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus
dibedakan dari persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang
merupakan segi subyektifnya, ialah yang menyangkut orangnya.
0 komentar:
Posting Komentar