Kamis, 23 Mei 2013

Permasalahan Hukum 
Acara Persaingan Usaha 



Permasalahan hukum acara persaingan usaha di Indonesia pada pokoknya bersumber dari “kecelakaan intelektual” dari proses penyusunan UU No. 5/1999, nampaknya penyusun produk undang-undang ini tidak terlalu menguasai atau setidaknya tidak mendapatkan referensi yang tepat mengenai bidang hukum persaingan usaha secara baik dan benar yang kemudian diikuti oleh kesalahan-kesalahan selanjutnya oleh lembaga penegak hukum dan peradilan hukum persaingan usaha. Kesalahan yang paling signifikan adalah kesalahan memahami secara benar posisi dan kaedah hukum persaingan usaha dalam konteks pembidangan hukum yang konvnsional (Hukum Publik dan Perdata). Dari kegagalan memahami tujuan dan kaedah hukum persaingan usaha serta posisi hukum persaingan usaha dalam kaedah pembidangan hukum konvensional mengakibatkan ketidak-jelasan kualifikasi kelembagaan dari KPPU yang kemudian berujung pada kebingungan benchmark sistem hukum acara yang seyogyanya digunakan. Kebingungan tersebut pada akhirnya membuat kekisruhan due process of law baik di tingkat penanganan perkara di KPPU dan penanganan perkara keberatan atas Putusan KPPU di lembaga peradilan umum. 



1. Permasalahan Penanganan Perkara di KPPU 

Secara umum, prosedur penanganan perkara di KPPU diatur dalam UU No.5/1999 (Bab VII tentang Tata Cara Penangan Perkara). Sebagai pelaksanaan dari Bab VII UU No.5/1999, KPPU menerbitkan aturan teknis yang lebih mendetail sebagai pedoman beracara di KPPU, yaitu Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara (“Perkom No. 1/2010”). Aturan ini menggantikan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU (“Perkom No. 1/2006”) sekaligus mencabut Peraturan KPPU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kewenangan Sekretariat Komisi Dalam Penanganan Perkara (“Perkom No. 2/2008”). Namun sebelum lebih jauh dibahas tentang pelaksanaan Perkom No. 1/2010 maka terdapat hal yang cukup esensial untuk diperhatikan yaitu tentang kewenangan KPPU dalam mengatur sendiri hukum acara internal dalam penanganan perkara persaingan usaha. 



Pada bagian konsideran Perkom No. 1/2010 disebutkan salah satu peraturan yang dijadikan dasar pembentukan perkom adalah UU No. 5/1999. Akan tetapi, apabila dicermati, sebenarnya tidak ada satu ketentuan dalam UU No. 5/1999 yang secara tegas memberikan kewenangan bagi KPPU untuk membuat peraturan mengenai tata cara penanganan perkara. Pasal 35 UU No. 5/1999[1] hanya menentukan tugas KPPU untuk menyusun “pedoman” dan atau publikasi yang terkait dengan undang-undang tersebut. Salah satu contoh pedoman adalah Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Pada Pasal 38 ayat (4) UU No. 5/1999[2] memang disebutkan secara implisit kewenangan KPPU membuat suatu peraturan, namun kewenangan tersebut hanya terkait tata cara penyampaian laporan mengenai dugaan pelanggaran UU No. 5/1999 dan bukan mengenai tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran. 







a. Kekosongan Hukum dalam Peralihan Perkom No. 1/2006 ke Perkom No. 1/2010 

Salah satu permasalahan yang terdapat dalam Perkom No. 1/2010 adalah mengenai ketentuan peralihan. Pasal 78 Perkom No. 1/2010[3] menyatakan bahwa pada saat Perkom No. 01/2010 mulai berlaku, Perkom No. 01/2006 dan Perkom No. 2/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 79 Perkom No. 1/2010[4] telah ditegaskan bahwa Peraturan ini (Perkom No. 01/2010) mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yang mulai dilaksanakan pada tanggal 5 April 2010. Mengingat Perkom No. 01/2010 ditetapkan pada tanggal 6 Januari 2010, maka sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 78 dan 79 Perkom No. 01/2010 tersebut, Perkom No. 01/2006 dan Perkom No. 2/2008 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 6 Januari 2010. Sehingga terdapat kekosongan hukum terhadap perkara-perkara yang baru ditangani KPPU di antara jangka waktu 7 Januari 2010 sampai dengan 4 April 2010 karena Perkom No. 01/2006 dan Perkom No. 2/2008 sudah tidak berlaku sejak 6 Januari 2010 namun Perkom No. 01/2010 baru dilaksanakan pada tanggal 5 April 2010. 


b. Proses Penanganan Perkara di KPPU 

Pasal 2 Perkom No. 1/2010 mengatur jenis perkara yang ditangani oleh KPPU melingkupi (i) perkara berdasarkan laporan Pelapor, (ii) perkara berdasarkan laporan Pelapor dengan permohonan ganti rugi, dan (iii) perkara inisiatif KPPU. Jika didasarkan pada jenis perkara, terdapat perbedaan antara Perkom No. 1/2010 dengan Perkom No. 1/2006. Perkom No. 1/2006 hanya mengenal perkara inisiatif dan perkara laporan, tanpa adanya perkara berdasarkan laporan Pelapor dengan permohonan ganti rugi. 



Perkom No. 1/2010 mengatur bahwa penanganan tiap-tiap jenis perkara berbeda satu sama lain. Penanganan perkara berdasarkan laporan Pelapor terdiri dari tahap a. laporan, b. klarifikasi, c. penyelidikan, d. pemberkasan, e. sidang majelis komisi, dan f. putusan komisi. Penanganan perkara berdasarkan laporan Pelapor dengan permohonan ganti rugi terdiri dari tahap a. laporan, b. klarifikasi, c. sidang majelis komisi, dan d. putusan mejelis komisi. Sedangkan tahapan penanganan perkara berdasarkan inisiatif KPPU meliputi a. kajian, b. penelitian, c. pengawasan pelaku usaha, d. penyelidikan, e. pemberkasan, f. sidang mejelis komisi, dan g. putusan komisi. 



Tetapi, Perkom No. 1/2010 tidak menjelaskan bagaimana penanganan perkara dalam hal terdapat pelaku usaha Pelapor atau adanya laporan dari masyarakat yang lebih dari satu dimana salah satu pelaku usaha mengajukan sedangkan lainnya tidak mengajukan permohonan ganti rugi. Jika merujuk pada pembedaan jenis perkara, maka seharusnya tata cara penanganan perkara bagi para pelaku usaha akan berbeda satu dengan yang lainnya. Padahal dalam setiap penanganan perkara, umumnya, dikenal asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam hukum acara pidana terdapat mekanisme “penggabungan perkara” sebagaimana diatur Pasal 98 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP)[5]. Sedangkan dalam hukum acara perdata terdapat mekanisme “intervensi” sebagaimana diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv).[6]
c. Pembuktian dalam Pemeriksaan di KPPU 

Pasal 42 UU No. 5/1999 secara limitatif telah menentukan alat bukti yang dapat digunakan dalam pemeriksaan di KPPU, yaitu (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat dan atau dokumen, (4) petunjuk, dan (5) keterangan pelaku usaha. Melihat alat-alat bukti tersebut dapat dipahami bahwa alat bukti dalam UU No. 5/1999 menganut prinsip yang sama dengan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Meski terdapat sedikit perbedaan dalam penyebutan “keterangan pelaku usaha” dimana KUHAP mengenalnya dengan “keterangan terdakwa”. 



Prinsip pembuktian KUHAP telah dianut dalam Pasal 64 ayat (2) Perkom No. 1/2006 yang secara jelas mengatakan Mejelis Hakim menentukan sah atau tidaknya suatu alat bukti dan menentukan nilai pembuktian berdasarkan kesesuaian 2 (dua) alat bukti yang sah. Namun, ketentuan tersebut tidak lagi terdapat dan telah digantikan dengan Pasal 58 Perkom No. 1/2006 yang cenderung lebih flexible dengan hanya menyebutkan “alat bukti yang cukup” sebagai dasar penilaian, analisis, kesimpulan Mejelis Komisi dalam memutus ada atau tidaknya pelanggaran terhadap UU No. 5/1999. 



Dalam praktek, KPPU sering menggunakan indirect evidence sebagai dasar menentukan adanya pelanggaran UU No. 5/1999. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 42 UU No. 5/1999, maka indirect evidence tidak dapat dipersamakan dengan alat bukti petunjuk. Alat bukti petunjuk umumnya diperlukan apabila alat bukti lain belum memenuhi batas minimum pembuktian dan baru dapat digunakan setelah ada alat bukti saksi, surat, dan keterangan pelaku usaha. Dengan kata lain, petunjuk merupakan alat bukti yang bergantung kepada alat bukti lain. Jika tidak ada alat bukti lain yang menunjukan adanya pelanggaran UU No. 5/1999, maka KPPU tidak dapat menyatakan adanya petunjuk perlanggaran tersebut. Sedangkan indirect evidence berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan alat bukti lain dan lebih mengarah kepada dugaan, penafsiran atau interpretasi, dan logika. Ketiga hal yang sebenarnya dilarang dan melanggar Pasal 42 UU No. 5/1999. 



Salah satu contoh penggunaan indirect evidence oleh KPPU adalah kesimpulan mengenai parallel pricing dalam perkara terkait industri farmasi. Pada perkara tersebut, KPPU menyimpulkan dan memutuskan adanya penetapan harga dan kartel dengan melihat tren kenaikan harga di antara kedua pelaku usaha Terlapor. Akan tetapi, KPPU tidak dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah tentang adanya perjanjian, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang dimaksudkan untuk menetapkan harga dan kartel. Putusan KPPU tersebut kemudian dibatalkan oleh pengadilan negeri yang memeriksa upaya hukum Keberatan yang diajukan pelaku usaha Terlapor dengan pertimbangan, salah satunya, alat bukti indirect evidence tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. 


d. Ketiadaan Mekanisme Injunction 

Salah satu kekurangan UU No. 5/1999 yang kemudian menjadi kelemahan hukum acara persaingan usaha adalah tidak tersedianya mekanisme injuction[7]. Ketiadaan tersebut menyebabkan KPPU tidak dapat dilakukan tindakan-tindakan yang seharusnya perlu dilakukan untuk tujuan kemanfaatan, salah satunya mencegah semakin besarnya kerugian yang mungkin timbul dari suatu tindakan anti-persaingan. Sayangnya, kondisi tersebut juga berlakunya pada tahap pemeriksaan upaya hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU. Pengadilan negeri sangat jarang melakukan injuction meskipun pengadilan mempunyai kewenangan untuk itu serta masih. Memang dalam hukum acara perdata, injuction tersebut hanya dapat dilakukan pada pengadilan tingkat pertama dan tidak dapat dilakukan pada pengadilan tingkat banding. Namun, tidak tepat pula mengatakan pemeriksaan Keberatan sebagai pengadilan tingkat banding jika memahami bahwa KPPU bukan merupakan lembaga peradilan. 


e. Liniensi dan Perlindungan Pihak Ketiga 

Salah satu perbedaan Perkom No. 1/2010 dengan Perkom No. 1/2006 adalah dihapuskannya ketentuan mengenai perubahan perilaku. Sebelumnya berdasarkan Pasal 37 Perkom No. 1/2006, KPPU dapat menetapkan tidak perlunya dilakukan pemeriksaan lanjutan apabila pelaku usaha Terlapor menyatakan bersedia melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku dapat dilakukan melalui pembatalan perjanjian, penghentian kegiatan dan atau penyelahgunaan posisi dominan yang diduga melanggar dan atau membayar kerugian akibat pelanggaran yang dilakukan. Dihapuskannya ketentuan perubahan perilaku menyebabkan tidak ada satu pun ketentuan yang berhubungan dengan liniensi dalam Perkom No. 1/2010. Padahal, pengakuan atau keterangan dari pelaku usaha yang melakukan tindakan anti-persaingan memilliki peran penting bagi otoritas persaingan dalam beberapa perkara yang sukar sekali ditemukan alat bukti pelanggaran. 



Tidak ada satu pun ketentuan dalam UU No. 5/1999 yang mengatur mengenai perlindungan terhadap pihak ketiga terkait penanganan perkara dugaan tindakan anti-persaingan. Satu-satunya ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut terdapat dalam Pasal 9 ayat (2) Perkom No. 1/2010 yang menentukan bahwa saksi dapat meminta untuk dirahasiakan identitasnya. Untuk lebih memberikan rasa aman kepada saksi maupun pihak lain terkait penanganan perkara, ada baiknya hak-hak mereka diatur lebih rinci dan tegas mengingat keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam membuktikan ada atau tidak adanya tindakan anti-persaingan. Hak-hak lain yang perlu diatur antara lain memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian atau keterangan yang akan sedang atau telah diberikan. 


f. Hak dan Kewajiban Para Pihak 

Berbeda dengan Perkom No. 1/2006, Perkom No. 1/2010 telah mengatur secara khusus mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam penanganan perkara. Hak dan kewajiban Pelapor diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Hak dan kewajiban Terlapor diatur dalam Pasal 8. Sedangkan hak dan kewajiban saksi dan ahli diatur dalam Pasal 9. 



Khusus untuk Terlapor, meski telah lebih jelas diatur namun pada prakteknya masih sering ditemui kendala yang menyebabkan tidak maksimalnya Terlapor melakukan pembelaan. Salah satunya kendala adalah mengenai pemeriksaan alat bukti. Pasal 8 ayat (2) Perkom No. 1/2010 hanya memberikan hak bagi Terlapor untuk memeriksa alat bukti (enzage) sebelum menyusun kesimpulan. Ketentuan tersebut berarti bahwa Terlapor hanya dapat memeriksa alat bukti yang menjadi dasar tuduhan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahulun (untuk perkara inisiatif atau perkara berdasarkan laporan tanpa ganti rugi). Terlapor tidak mempunyai hak untuk memeriksa apakah tuduhan pelanggaran dalam Laporan Dugaan Pelanggaran mempunyai atau didasari oleh alat bukti yang kuat atau tidak. Selain itu, umumnya, Terlapor hanya diberikan waktu yang sangat terbatas, antara 1-2 jam, untuk melakukan enzage. Padahal tidak jarang dalam suatu perkara terdapat banyak alat bukti yang memerlukan waktu untuk memahami dan atau menganalisanya. 


g. Tidak Ada Pengaturan mengenai Upaya Hukum terhadap Penetapan KPPU 

Mengacu pada ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU No. 5/1999[8] jo. Pasal 2 ayat (1) Perma No. 3/2005[9], maka dapat dipahami bahwa upaya hukum yang tersedia, yaitu Keberatan, hanya dapat dilakukan terhadap putusan KPPU. Sedangkan terhadap penetapan yang dikeluarkan oleh KPPU, sebagai contoh penetapan penghentian proses penanganan perkara berdasarkan Laporan, baik dengan maupun tanpa permohonan ganti rugi pada tahap Klarifikasi, tidak tersedia upaya hukum. Meskipun pelaku usaha Pelapor dimungkinkan untuk mengajukan laporan baru, akan tetapi ketidaktersediaan upaya hukum tersebut menyebabkan tidak adanya mekanisme pengawasan agar KPPU tidak keluar dari kewenangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 



Keadaan tersebut berbeda jika kita membandingkannya dengan sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana dikenal istilah “pra peradilan” yaitu kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang (i) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (ii) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan[10]. Selain melindungi kepentingan hukum terdakwa, pra peradilan juga memungkinkan pihak ketiga yang berkepentingan, salah satunya Pelapor, untuk meminta pemeriksaan jika merasa suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan secara tidak sah[11].

1 komentar:

  1. selammat siang, saya mahasiswa hukum, dan terimakasi telah memposting informasi ini. kebetulan saya sedang melakukan penulisan terkait permasalahan hukum di hukum acara kppu, kalau boleh saya ingin meminta daftar pustaka dalam penulisan saudara diatas untuk saya jadikan bahan bacaan,karena diatas terdapat footnote2 tapi saya tidak mendapati informasi sumbernya. terimakasih banyak dan saya berharap balasan saudara :)

    BalasHapus