Tinjauan Filosofis,
Sosiologis, dan Yuridis
D.1. mm
Filosofis
Setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan
tidak memihak (fair dan impartial court).
Hak ini merupakan hak
dasar setiap manusia yang bersifat universal, berlaku di manapun, kapanpun dan
pada siapapun tanpa ada diskriminasi. Pemenuhan hak ini merupakan tugas dan
kewajiban Negara.
Setiap warga negara
tanpa memandang suku, warna kulit, status sosial, kepercayaan, dan pandangan
politik berhak mendapatkan akses terhadap keadilan. Indonesia sebagai negara
hukum menjamin kesetaraan bagi warga negaranya di hadapan hukum dalam dasar negara
dan konstitusinya. Sila Kedua Pancasila "Kemanusiaan yang adil dan beradab"
dan Sila Kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia" mengakui dan menghormati hak warga negara Indonesia untuk
keadilan ini. UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlidungan dan kepastian hukum yang ada serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum dan setiap warga negara berhak memporoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan. UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang untuk bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif, atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Tanggung jawab negara ini harus dapat diimplementasikan melalui ikhtiar
ketatanegaraan pada ranah legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Kedudukan yang lemah
dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan
keadilan. Pendampingan hukum (legal representation) kepada setiap orang
tanpa diskriminasi itu merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan
yang sama di hadapan hukum tersebut. Tanpa adanya pendampingan hukum maka
kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai
universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi.
Bantuan Hukum adalah
media bagi warga negara yang tidak mampu untuk dapat mengakses keadilan sebagai
manifestasi, jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum
meliputi masalah hak warga negara secara konstitusional yang tidak mampu, masalah
pemberdayaan warga negara yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan, dan
masalah hukum faktual yang dialami warga negara yang tidak mampu menghadapi
kekuatan negara secara struktural.
Disamping itu,
pemberian bantuan hukum juga harus dimaksudkan sebagai bagian integral dari
kewajiban warga negara lain yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam memberikan
bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum,
mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga
negara yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap
keadilan, serta perubahan sosial masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan
hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Oleh karena itu dibutuhkan
suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin hak warga negara Indonesia
untuk mendapatkan akses keadilan dan pendampingan hukum termasuk bantuan hukum (legal
aid) bagi warga negara yang tidak mampu.
D.2. Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis bantuan hukum adalah jenis pelayanan yang sangat
dibutuhkan oleh para pencari keadilan di Indonesia. Menurut catatan di Mahkamah
Agung jumlah advokat sampai dengan tahun 2005 adalah kurang dari 3000 orang,
bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa
sehingga rasio penduduk berbanding advokat adalah 1 : 7.333. Akibat dari rasio
yang sangat timpang itu maka sangat banyak pencari keadilan yang tidak mendapat
pelayanan pendampingan hukum yang semestinya adalah haknya. Ketimpangan ini
terus terjadi bahkan sampai tahun-tahun yang lebih kontemporer. Sebagai contoh
selama satu tahun pemberlakuan status darurat militer di Aceh Mei 2003 sampai
Mei 2004 sebanyak 3.562 orang dan dalam masa penerapan status darurat sipil Mei
2004 sampai Mei 2005 setidaknya 2.185 orang ditangkap/menyerahkan diri (Lihat:
‘Stop violence’ After the End of Martial
Law, the Jakarta Post, Wednesday, May 19, 2004. Lihat Sejak Darurat
Militer, 3.761 Anggota GAM Tewas, Media Indonesia, Jumat, 29 April 2005). Hanya
puluhan orang dari jumlah yang demikian besar yang mendapat bantuan hukum dalam
sidang pidana di pengadilan atas tuduhan makar terhadap mereka.
Populasi penduduk miskin Indonesia yang tinggi turut mempengaruhi akses
masyarakat miskin untuk mendapat bantuan hukum dari para pengacara atau pekerja
bantuan hukum. Untuk mengurangi ketimpangan pemberian pendampingan hukum itu
maka lembaga bantuan hukum yang ada seperti LBH dan BKBH kampus bekerja sama
dengan paralegal memainkan peranan yang penting dan tak tergantikan.
Indonesia tidak mempunyai pengalaman spesifik di bidang pendidikan layanan hukum maupun perhatian terhadap
pemberian bantuan hukum. Pengalaman dalam upaya penegakan hukum dan keadilan
sepanjang sejarah Republik Indonesia, juga belum bisa dijadikan patokan dasar
untuk membuat formula dan model bantuan hukum yang baik, yang dapat menjamin
hak-hak konstitusional warga negara khususnya yang tidak mampu dalam akses
keadilan.
Mahkamah Konstitusi dalam salah satu pertimbangannya juga mengutip pendapat
McClymont dan Golub, “...university legal
aid clinic are now part of the educational and legal landscape in most regions
of the world. They have already made contributions to social justice and public
service in the developing world, and there are compelling benefits that
recommend their consideration in strategies for legal education and public
interest law”.
Di sisi lain banyak pula pemberi bantuan hukum yang mengatasnamakan dan
menyebut diri sebagai lembaga bantuan hukum namun berpraktik dan melakukan
perbuatan pelayanan hukum dengan menarik bayaran. Ini jelas penyimpangan. Rancangan
Undang-Undang ini ingin meluruskan penyimpangan itu.
Penerima bantuan hukum umumnya adalah fakir miskin dan buta hukum dan harus
dijaga dari kemungkinan diperalat oleh pihak-pihak yang lebih kuat, termasuk
oleh penyedia jasa bantuan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, pemberi bantuan
hukum haruslah memiliki integritas dan memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam Rancangan Undang-Undang ini.
Gambaran tersebut di atas memberikan penegasan bahwa pemberian bantuan
hukum bagi warga negara yang tidak mampu adalah hak konstitusional dalam
memperoleh akses keadilan yang merupakan hak asasi manusia yang diperoleh dari
Tuhan Yang Maha Esa dan melekat pada setiap orang serta tidak dapat dihapus
dengan alasan dan dasar apa pun. Secara sosiologis, dalam kemasan agenda dan
cita-cita reformasi, pemberian bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu
adalah kebutuhan pokok untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa
Indonesia yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
D.3. Tinjauan Yuridis
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara implisit
merumuskan beberapa hal yang mengamanatkan pentingnya bantuan hukum. Hal ini
terdapat dalam:
a.
Pasal 28D:
Ayat (1)
“Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.”
b.
Pasal 28H
Ayat (2):
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
c.
Pasal 28I
Ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
2.
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disahkan sejak
tanggal 31 Desember 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76. Sebelum Undang-Undang ini berlaku, peraturan yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan hukum acara pidana dalam Lingkungan peradilan umum adalah HIR (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, Het Herziene Inlandsch Reglement) atau
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Reglemen Indonesia yang Diperbaharui.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdapat Ketentuan antara lain:
Pasal 54
Guna kepentinan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam
waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan
dalam UU ini.
Ketentuan Pasal 54 tersebut, juga memberikan dasar yuridis perlunya
dibentuk UU tentang Bantuan Hukum, karena mendapatkan bantuan hukum adalah hak
(asasi) dari tersangka atau terdakwa. Penyebutan penasehat hukum (tidak dapat
secara serta merta dimaksudkan sebagai advokat atau bukan advokat sebagaimana
ketentuan UU No. 18 Tahun 2003) sebagai pihak yang memberikan bantuan hukum
dalam pasal tersebut, bukan berarti menegaskan kehadiran pemberi bantuan hukum dalam
RUU Bantuan Hukum. Dalam ketentuan pasal tersebut menekankan pada substansi
pemberian bantuan hukum sebagai manifestasi hak (asasi) tersangka atau terdakwa
dan bukan pada siapa yang seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang mempunyai
kewajiban memberikan bantuan hukum.
3.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Per)
Pasal 1792
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang diberikan
pemberan kekuasaan keada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu
atas nama yang memberi kuasa.
Pasal 1793
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum
dengan suatu surat di bawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat atapun lisan.
Penerimaan surat kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dari disampaikan
dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa itu.
Pasal 1794
Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika
diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan
dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada
yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.
Ketentuan pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa yang menerima kuasa tidak
harus seorang advokat atau bukan. Bahkan kuasa diberikan secara cuma-cuma, hal
ini yang menjadi dasar yuridis bahwa bantuan hukum secara cuma-cuma bagi warga
negara yang tidak mampu menjadi penting untuk diatur dalam sebuah undang-undang
khusus tentang bantuan hukum.
4. Reglemen
Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, S. 1847-52 jo. 1849-63)
Bagian 12. Berperkara secara cuma-cuma (prodeo) atau dengan biaya dengan tarip yang dikurangi.
Pasal 887
Untuk memperoleh ketetapan izin
berperkara secara prodeo atau dengan tarip yang dikurangi tidak dipungut biaya.
Dalam biaya pada pasal ini
termasuk gaji penasehat hukum dan juru sita (Rv. 880)
Pasal 879
Akibat diizinkannya berperkara
secara prodeo atau dengan tarip yang
dikurangi adalah, bahwa biaya kepaniteraan dalam hal pertama seluruhnya,
sedangkan dalam hal yang kedua untuk separuhnya, dibebaskan kepadanya, bahwa
masing-masing untuk hal yang pertama tidak dipungut dan untuk hal yang kedua
dipungut separuh gaji pengacara dan juru sita, juga masing-masing untuk hal
yang pertama secara cuma-cuma dan dalam hal kedua dipungut separuh biaya
pelaksanaan keputusan hakim (RO. 72,190,201; Rv. 887, 881 dst)
Perjanjian yang bertentangan
dengan apa yang ditentukan dalam kesatu adalah batal.
Pasal 882
Bila ada alasan-alasan untuk
pihak lawan dari orang yang diizinkan untuk berperkara secara prodeo, atau dengan tarip yang
dikurangi, untuk menanggung biayanya, maka hakim karena jabatannya akan
menghukumnya untuk membayar kepada panitera biaya kepaniteraan menurut
ketentuan pasal 879, begitu pula mengganti biaya yang telah dikeluarkan
pemerintah untuk uang jalan juru sita juga gaji pengacara dan para juru sita
yang termasuk dalam pengertian biaya sepanjang pemohon yang telah dibayarkan
terlebih dulu.
Putusannya menyebutkan
masing-masing yang harus dibayarkan.
Pihak lawan dipaksa untuk
melakukannya dengan suatu surat perintah pelaksanaan yang dikeluarkan oleh
ketua raad van justitie yang menjatuhkan putusan. Penyerahan tidak ada
dilaksanakan sebelum keputusan mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Terhadap
surat perintah itu tidak ada upaya hukum yang lebih tinggi.
Pasal 884
Dalam hal penyelesaian yang
sangat buru-buru sambil menunggu putusan mengenai permohonannya, ketua majelis,
seperti dimaksud dalam pasal 873, dapat mengizinkan permohonan untuk berperkara
secara prodeo atau dengan tarip yang dikurangi.
Izin itu dimohon dengan surat
permohonan yangditandatangani oleh pengacara. Tentang keharusan menyampaikan
surat-surat untuk menguatkan keadaan miskin atau kurang mampu ditetapkan oleh
ketua. Untuk memperoleh ketetapan mengenai permohonan tidak boleh dipungut
biaya…
Ketentuan pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa bantuan hukum harus
diberikan kepada orang yang tidak mampu. Sehingga kelahiran Undang-Undang
Bantuan Hukum menjadi sangat tepat untuk melegitimasi secara konstitusional hak
warga negara yang tidak mampu dalam mendapatkan akses keadilan dalam perkara
perdata.
5. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 18
(Ayat 4)
Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan
hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ketentuan pasal tersebut jelas bahwa bantuan hukum sangat dibutuhkan baik
sejak penyidikan, penuntutan, dan pengadilan di semua tingkatan sampai
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sehingga jelas bahwa RUU tentang Bantuan Hukum relevan untuk dibentuk.
6. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Pasal 22
(Ayat 1)
Advokat wajib memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan
dan tata cara pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan pasal tersebut bermakna bahwa advokat juga mempunyai kewajiban
untuk melakukan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu. Tetapi kewajiban tersebut tidak jelas dan tidak fokus
karena tugas pemberian bantuan hukum secara cuma-cumanya menjadi salah satu
tugas “tambahan dan sampingan” advokat. Terlepas dari itu semua, visi dan misi advokat
memang berbeda dengan visi dan misi pemberi bantuan hukum yang pengaturannya
akan diatur dalam rancangan undang-undang tentang bantuan hukum. Karena akses
keadilan sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28
H ayat (2), dan Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5), memang dijamin oleh
konstitusi dan hanya sangat mungkin diwujudkan apabila dilakukan oleh orang dan
pihak khusus serta pengaturan yang khusus pula. Dengan demikian tidak ada
alasan apapun untuk menolak kehadiran Undang-Undang tentang Bantuan Hukum hanya
karena dengan argumentasi dan alasan sudah ada ketentuan Pasal 22 tersebut.
Pasal 23
Ayat (1)
Advokat asing wajib memberikan
jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan
dan penelitian hukum.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan
dan tata cara mempekerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum
secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Ketentuan Pasal 23 tersebut juga ambivalensi dan kontradiktif dengan
ketentuan Pasal 22 di atas. Sebab paradigma bantuan hukum cuma-cuma seakan
dianggap tidak penting dan tidak perlu menjadi kewajiban dan urusan advokat
secara profesional. Bagaimana bisa dijelaskan secara akademik, sosiologis, dan
filosofis, tiba-tiba advokat asing hanya boleh memberikan jasa hukum secara cuma-cuma
kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum. Sementara pengertian jasa hukum
sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 18 tahun 2003 adalah jasa yang
diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien. Dari ketentuan Undang-Undang No. 18 tahun
2003 bahwa dunia pendidikan dan penelitian hukum diartikan sebagai Klien advokat
asing dan oleh karenanya advokat asing dapat memberikan jasa hukumnya. Tetapi
kalau memang benar demikian, kenapa tidak juga menjadi kewajiban dari advokat
yang pribumi, apakah memang advokat pribumi tidak ada yang mampu dan tidak mau
memberikan jasa hukum (memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan
kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum klien) kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum. Ataukah
ketentuan Pasal 23 tersebut semakin menegaskan bahwa konsepsi dan paradigma
bantuan hukum cuma-cuma memang bukan menjadi domain dan wilayah kewajiban advokat
untuk melakukannya. Kalau memang demikian berarti semakin menguatkan alasan
bahwa perlu dibentuk Undang-Undang khusus tentang Bantuan Hukum.
7. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 56
Setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 57
Bantuan Hukum dan Pos Bantuan
Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 tersebut jelas bahwa perlu dibentuk Undang-Undang
yang mengatur tentang bantuan hukum. Sehingga jelas landasan filosofis,
yuridis, sosiologis, dan politis perlunya bantuan hukum diatur secara khusus.
Sebab bantuan hukum bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan oleh pihak
manapun. Kehadiran Undang-Undang Bantuan Hukum adalah dalam konteks menegaskan
secara paradigmatik bahwa bantuan hukum bukan sebagai komoditas yang dapat
diperjualbelikan secara profesional dengan tarif jasa tertentu walaupun atas
dasar kesepakatan antara pemberi bantuan hukum dengan penerima bantuan hukum.
Bantuan hukum adalah satu hak yang menjadi kewajiban pihak lainnya untuk
memberikannya. Posisi negara seharusnya menjadi sangat penting dan urgen untuk
mengambil peran dan posisi dalam menjamin hak warga negara untuk mendapatkan
bantuan hukum secara memadai yang dijamin konstitusi.
0 komentar:
Posting Komentar