Selasa, 21 Mei 2013


Tinjauan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis

D.1.    mm Filosofis
Setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak (fair dan impartial court).
Hak ini merupakan hak dasar setiap manusia yang bersifat universal, berlaku di manapun, kapanpun dan pada siapapun tanpa ada diskriminasi. Pemenuhan hak ini merupakan tugas dan kewajiban Negara.

Setiap warga negara tanpa memandang suku, warna kulit, status sosial, kepercayaan, dan pandangan politik berhak mendapatkan akses terhadap keadilan. Indonesia sebagai negara hukum menjamin kesetaraan bagi warga negaranya di hadapan hukum dalam dasar negara dan konstitusinya. Sila Kedua Pancasila "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan Sila Kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" mengakui dan menghormati hak warga negara Indonesia untuk keadilan ini. UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlidungan dan kepastian hukum yang ada serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan setiap warga negara berhak memporoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif, atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Tanggung jawab negara ini harus dapat diimplementasikan melalui ikhtiar ketatanegaraan pada ranah legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan. Pendampingan hukum (legal representation) kepada setiap orang tanpa diskriminasi itu merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum tersebut. Tanpa adanya pendampingan hukum maka kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi.

Bantuan Hukum adalah media bagi warga negara yang tidak mampu untuk dapat mengakses keadilan sebagai manifestasi, jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum meliputi masalah hak warga negara secara konstitusional yang tidak mampu, masalah pemberdayaan warga negara yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan, dan masalah hukum faktual yang dialami warga negara yang tidak mampu menghadapi kekuatan negara secara struktural.

Disamping itu, pemberian bantuan hukum juga harus dimaksudkan sebagai bagian integral dari kewajiban warga negara lain yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga negara yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan akses keadilan dan pendampingan hukum termasuk bantuan hukum (legal aid) bagi warga negara yang tidak mampu.

D.2.    Tinjauan Sosiologis
Secara sosiologis bantuan hukum adalah jenis pelayanan yang sangat dibutuhkan oleh para pencari keadilan di Indonesia. Menurut catatan di Mahkamah Agung jumlah advokat sampai dengan tahun 2005 adalah kurang dari 3000 orang, bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa sehingga rasio penduduk berbanding advokat adalah 1 : 7.333. Akibat dari rasio yang sangat timpang itu maka sangat banyak pencari keadilan yang tidak mendapat pelayanan pendampingan hukum yang semestinya adalah haknya. Ketimpangan ini terus terjadi bahkan sampai tahun-tahun yang lebih kontemporer. Sebagai contoh selama satu tahun pemberlakuan status darurat militer di Aceh Mei 2003 sampai Mei 2004 sebanyak 3.562 orang dan dalam masa penerapan status darurat sipil Mei 2004 sampai Mei 2005 setidaknya 2.185 orang ditangkap/menyerahkan diri (Lihat: ‘Stop violence’ After the End of Martial Law, the Jakarta Post, Wednesday, May 19, 2004. Lihat Sejak Darurat Militer, 3.761 Anggota GAM Tewas, Media Indonesia, Jumat, 29 April 2005). Hanya puluhan orang dari jumlah yang demikian besar yang mendapat bantuan hukum dalam sidang pidana di pengadilan atas tuduhan makar terhadap mereka.

Populasi penduduk miskin Indonesia yang tinggi turut mempengaruhi akses masyarakat miskin untuk mendapat bantuan hukum dari para pengacara atau pekerja bantuan hukum. Untuk mengurangi ketimpangan pemberian pendampingan hukum itu maka lembaga bantuan hukum yang ada seperti LBH dan BKBH kampus bekerja sama dengan paralegal memainkan peranan yang penting dan tak tergantikan.

Indonesia tidak mempunyai pengalaman spesifik di bidang pendidikan  layanan hukum maupun perhatian terhadap pemberian bantuan hukum. Pengalaman dalam upaya penegakan hukum dan keadilan sepanjang sejarah Republik Indonesia, juga belum bisa dijadikan patokan dasar untuk membuat formula dan model bantuan hukum yang baik, yang dapat menjamin hak-hak konstitusional warga negara khususnya yang tidak mampu dalam akses keadilan.

Mahkamah Konstitusi dalam salah satu pertimbangannya juga mengutip pendapat McClymont dan Golub, “...university legal aid clinic are now part of the educational and legal landscape in most regions of the world. They have already made contributions to social justice and public service in the developing world, and there are compelling benefits that recommend their consideration in strategies for legal education and public interest law”.

Di sisi lain banyak pula pemberi bantuan hukum yang mengatasnamakan dan menyebut diri sebagai lembaga bantuan hukum namun berpraktik dan melakukan perbuatan pelayanan hukum dengan menarik bayaran. Ini jelas penyimpangan. Rancangan Undang-Undang ini ingin meluruskan penyimpangan itu.

Penerima bantuan hukum umumnya adalah fakir miskin dan buta hukum dan harus dijaga dari kemungkinan diperalat oleh pihak-pihak yang lebih kuat, termasuk oleh penyedia jasa bantuan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, pemberi bantuan hukum haruslah memiliki integritas dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Rancangan Undang-Undang ini.

Gambaran tersebut di atas memberikan penegasan bahwa pemberian bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu adalah hak konstitusional dalam memperoleh akses keadilan yang merupakan hak asasi manusia yang diperoleh dari Tuhan Yang Maha Esa dan melekat pada setiap orang serta tidak dapat dihapus dengan alasan dan dasar apa pun. Secara sosiologis, dalam kemasan agenda dan cita-cita reformasi, pemberian bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu adalah kebutuhan pokok untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.


D.3.   Tinjauan Yuridis
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
          
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara implisit merumuskan beberapa hal yang mengamanatkan pentingnya bantuan hukum. Hal ini terdapat dalam:

a.      Pasal 28D:
 Ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

b.      Pasal 28H
Ayat (2):
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

c.      Pasal 28I
Ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

2.      Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disahkan sejak tanggal 31 Desember 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Sebelum Undang-Undang ini berlaku, peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam Lingkungan peradilan umum adalah HIR (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44, Het Herziene Inlandsch Reglement) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Reglemen Indonesia yang Diperbaharui.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terdapat Ketentuan antara lain:

Pasal 54
Guna kepentinan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam UU ini.

Ketentuan Pasal 54 tersebut, juga memberikan dasar yuridis perlunya dibentuk UU tentang Bantuan Hukum, karena mendapatkan bantuan hukum adalah hak (asasi) dari tersangka atau terdakwa. Penyebutan penasehat hukum (tidak dapat secara serta merta dimaksudkan sebagai advokat atau bukan advokat sebagaimana ketentuan UU No. 18 Tahun 2003) sebagai pihak yang memberikan bantuan hukum dalam pasal tersebut, bukan berarti menegaskan kehadiran pemberi bantuan hukum dalam RUU Bantuan Hukum. Dalam ketentuan pasal tersebut menekankan pada substansi pemberian bantuan hukum sebagai manifestasi hak (asasi) tersangka atau terdakwa dan bukan pada siapa yang seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang mempunyai kewajiban memberikan bantuan hukum.

3.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per)

Pasal 1792
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang diberikan pemberan kekuasaan keada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama yang memberi kuasa.

Pasal 1793
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum dengan suatu surat di bawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat atapun lisan. Penerimaan surat kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dari disampaikan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa itu.

Pasal 1794
Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 untuk wali.

Ketentuan pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa yang menerima kuasa tidak harus seorang advokat atau bukan. Bahkan kuasa diberikan secara cuma-cuma, hal ini yang menjadi dasar yuridis bahwa bantuan hukum secara cuma-cuma bagi warga negara yang tidak mampu menjadi penting untuk diatur dalam sebuah undang-undang khusus tentang bantuan hukum.

4.  Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, S. 1847-52 jo. 1849-63)

Bagian 12. Berperkara secara cuma-cuma (prodeo) atau dengan biaya dengan tarip yang dikurangi.

Pasal 887
Untuk memperoleh ketetapan izin berperkara secara prodeo atau dengan tarip yang dikurangi tidak dipungut biaya.
Dalam biaya pada pasal ini termasuk gaji penasehat hukum dan juru sita (Rv. 880)

Pasal 879
Akibat diizinkannya berperkara secara prodeo atau dengan tarip yang dikurangi adalah, bahwa biaya kepaniteraan dalam hal pertama seluruhnya, sedangkan dalam hal yang kedua untuk separuhnya, dibebaskan kepadanya, bahwa masing-masing untuk hal yang pertama tidak dipungut dan untuk hal yang kedua dipungut separuh gaji pengacara dan juru sita, juga masing-masing untuk hal yang pertama secara cuma-cuma dan dalam hal kedua dipungut separuh biaya pelaksanaan keputusan hakim (RO. 72,190,201; Rv. 887, 881 dst)

Perjanjian yang bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kesatu adalah batal.

Pasal 882
Bila ada alasan-alasan untuk pihak lawan dari orang yang diizinkan untuk berperkara secara prodeo, atau dengan tarip yang dikurangi, untuk menanggung biayanya, maka hakim karena jabatannya akan menghukumnya untuk membayar kepada panitera biaya kepaniteraan menurut ketentuan pasal 879, begitu pula mengganti biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk uang jalan juru sita juga gaji pengacara dan para juru sita yang termasuk dalam pengertian biaya sepanjang pemohon yang telah dibayarkan terlebih dulu.

Putusannya menyebutkan masing-masing yang harus dibayarkan.

Pihak lawan dipaksa untuk melakukannya dengan suatu surat perintah pelaksanaan yang dikeluarkan oleh ketua raad van justitie yang menjatuhkan putusan. Penyerahan tidak ada dilaksanakan sebelum keputusan mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Terhadap surat perintah itu tidak ada upaya hukum yang lebih tinggi.

Pasal 884
Dalam hal penyelesaian yang sangat buru-buru sambil menunggu putusan mengenai permohonannya, ketua majelis, seperti dimaksud dalam pasal 873, dapat mengizinkan permohonan untuk berperkara secara prodeo atau dengan tarip yang dikurangi.

Izin itu dimohon dengan surat permohonan yangditandatangani oleh pengacara. Tentang keharusan menyampaikan surat-surat untuk menguatkan keadaan miskin atau kurang mampu ditetapkan oleh ketua. Untuk memperoleh ketetapan mengenai permohonan tidak boleh dipungut biaya…

Ketentuan pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa bantuan hukum harus diberikan kepada orang yang tidak mampu. Sehingga kelahiran Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi sangat tepat untuk melegitimasi secara konstitusional hak warga negara yang tidak mampu dalam mendapatkan akses keadilan dalam perkara perdata.

5.  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
 
Pasal 18
  (Ayat 4)
  Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ketentuan pasal tersebut jelas bahwa bantuan hukum sangat dibutuhkan baik sejak penyidikan, penuntutan, dan pengadilan di semua tingkatan sampai memperoleh kekuatan hukum tetap.  Sehingga jelas bahwa RUU tentang Bantuan Hukum relevan untuk dibentuk.

6.   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Pasal 22
(Ayat 1)
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan pasal tersebut bermakna bahwa advokat juga mempunyai kewajiban untuk melakukan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Tetapi kewajiban tersebut tidak jelas dan tidak fokus karena tugas pemberian bantuan hukum secara cuma-cumanya menjadi salah satu tugas “tambahan dan sampingan” advokat. Terlepas dari itu semua, visi dan misi advokat memang berbeda dengan visi dan misi pemberi bantuan hukum yang pengaturannya akan diatur dalam rancangan undang-undang tentang bantuan hukum. Karena akses keadilan sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 H ayat (2), dan Pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5), memang dijamin oleh konstitusi dan hanya sangat mungkin diwujudkan apabila dilakukan oleh orang dan pihak khusus serta pengaturan yang khusus pula. Dengan demikian tidak ada alasan apapun untuk menolak kehadiran Undang-Undang tentang Bantuan Hukum hanya karena dengan argumentasi dan alasan sudah ada ketentuan Pasal 22 tersebut.

Pasal 23
Ayat (1)
Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.        

Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara mempekerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Ketentuan Pasal 23 tersebut juga ambivalensi dan kontradiktif dengan ketentuan Pasal 22 di atas. Sebab paradigma bantuan hukum cuma-cuma seakan dianggap tidak penting dan tidak perlu menjadi kewajiban dan urusan advokat secara profesional. Bagaimana bisa dijelaskan secara akademik, sosiologis, dan filosofis, tiba-tiba advokat asing hanya boleh memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum. Sementara pengertian jasa hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 18 tahun 2003 adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Dari ketentuan Undang-Undang No. 18 tahun 2003 bahwa dunia pendidikan dan penelitian hukum diartikan sebagai Klien advokat asing dan oleh karenanya advokat asing dapat memberikan jasa hukumnya. Tetapi kalau memang benar demikian, kenapa tidak juga menjadi kewajiban dari advokat yang pribumi, apakah memang advokat pribumi tidak ada yang mampu dan tidak mau memberikan jasa hukum (memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien) kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum. Ataukah ketentuan Pasal 23 tersebut semakin menegaskan bahwa konsepsi dan paradigma bantuan hukum cuma-cuma memang bukan menjadi domain dan wilayah kewajiban advokat untuk melakukannya. Kalau memang demikian berarti semakin menguatkan alasan bahwa perlu dibentuk Undang-Undang khusus tentang Bantuan Hukum.

7.   Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 56
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum. 

Pasal 57
Bantuan Hukum dan Pos Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 tersebut jelas bahwa perlu dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang bantuan hukum. Sehingga jelas landasan filosofis, yuridis, sosiologis, dan politis perlunya bantuan hukum diatur secara khusus. Sebab bantuan hukum bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan oleh pihak manapun. Kehadiran Undang-Undang Bantuan Hukum adalah dalam konteks menegaskan secara paradigmatik bahwa bantuan hukum bukan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan secara profesional dengan tarif jasa tertentu walaupun atas dasar kesepakatan antara pemberi bantuan hukum dengan penerima bantuan hukum. Bantuan hukum adalah satu hak yang menjadi kewajiban pihak lainnya untuk memberikannya. Posisi negara seharusnya menjadi sangat penting dan urgen untuk mengambil peran dan posisi dalam menjamin hak warga negara untuk mendapatkan bantuan hukum secara memadai yang dijamin konstitusi. 

0 komentar:

Posting Komentar