BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis Kabupaten Kolaka
terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan berada pada bagian barat
Provinsi Sulawesi Tenggara atau tepat nya di tepi pantai Teluk Bone bagian
timur. Secara geografis Kota Kolaka terletak antara 2o00 – 5o00’
LS dan 120o – 45o BT, karena letaknya berbatasan langsung
dan dihubungkan oleh Teluk Bone dengan Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan
maka Kota Kolaka merupakan salah satu kota transit dari dan menuju ke Provinsi
Sulawesi Tenggara (Kolaka Dalam Angka, 2005).
Secara administratif Kabupaten Kolaka
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Kolaka Utara, Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone, Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton, dan Sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara.
Keadaan topografi yang digambarkan
sebagai berikut : Kawasan ber gunung dengan kemiringan lereng lebih dari 40%
meliputi 50,76% dari keseluruhan luas daratan, kawasan berbukit dengan
kemiringan 15 s/d 40 % seluas 31,19% dari keseluruhan wilayah daratan termasuk
daerah yang landai meliputi kurang lebih 18,05% dari keseluruhan wilayah
daratan.
Keadaan iklim bulan basah berlangsung
antara 5 – 9 bulan dalam setahun yg terjadi pada Kecamatan Kolaka, Wolo, dan
Mowewe, bulan kering antara 3 – 4 bulan dalam setahun yang terjadi pada Kecamatan
Watubangga, Pomalaa, Wundulako, Ladongi dan Tirawuta (Kolaka Dalam Angka,2005)
Fasilitas Transportasi Kota Kolaka
berfungsi sebagai pintu Provinsi Sulawesi Tenggara di bagian barat yang
menghubungkan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Untuk mendukung
fungsi tersebut, maka di Kecamatan Kolaka terdapat pelabuhan laut yaitu (1)
Pelabuhan penyeberangan ferry, (2) Pelabuhan laut/samudera, (3) Pelabuhan
nelayan (4) Pelabuhan pertamina.
Pada pengembangan sistem transportasi
regional jalan raya Kecamatan Kolaka dapat dihubungkan dengan kota-kota
kecamatan dari ujung utara (Kecamatan Wolo) sampai ujung selatan (Kecamatan
Watubangga) melalui jalan negara dengan kondisi serta intensitas lalu lintas
yang cukup baik.
Wilayah Hukum Polisi Sektor Kecamatan
Watubangga ada 2 (dua) Kecamatan Watubangga dan Kecamatan Tenggetada Ibu
Kotanya Anaiwoi terletak di jazirah tenggara pulau Sulawesi dan berada pada
bagian Selatan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara.
Secara geografis Kecamatan Watubangga terletak antara 3o52’ –
4o06’ LS dan 121o26’ – 121o43’ BT, karena
letaknya berbatasan langsung dengan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Keadaan topografi yang digambarkan yaitu
kawasan bergunung dengan kemiringan lereng lebih dari 40% meliputi 50,76% dari
keseluruhan luas daratan, kawasan berbukit dengan kemiringan 15 s/d 40 % seluas
31,19% dari keseluruhan wilayah daratan termasuk daerah yang landai meliputi
kurang lebih 18,05% dari keseluruhan wilayah daratan.
Kecamatan Watubangga dengan luas ± 507,68
Km2, jumlah penduduknya 22.872 jiwa. Laki-laki sebanyak 11.871 jiwa
dan perempuan sebanyak 11.001 jiwa dan Kecamatan Tanggetada dengan luas ±
409,91 Km2, jumlah penduduknya 8.919 jiwa Laki-laki sebanyak 4.603
jiwa dan perempuan sebanyak 4.316 jiwa total luas Wilayah Hukum Polisi Sektor
Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka ±. 917,59 Km2 Dari luas
wilayah tersebut Kecamatan Watubangga terdiri dari 3 (tiga) Kelurahan dan
sebanyak 17 (Tujuh Belas) Desa sedangkan Kecamatan Tanggetada terdiri dari 2
(dua) Kelurahan dan sebanyak 9 (sembilan) Desa. (Kabupaten Kolaka dalam Angka,
2004).
Polsek Watubangga yang dipimpin oleh
IPDA Oscar Samsuddin dan membawahi 27 orang anggota dengan perincian 1 orang
Kapospol, membawahi 7 orang anggota, 1 orang Kanit Rekrim membawahi 4 orang
penyidik pembantu, 1 orang Kanit Patroli membawahi 9 orang anggota, 1 orang
Kanit Pulbaket membawahi 2 orang anggota, 1 orang Bataut membawahi 2 orang
anggota.
4.2. Pelaksanaan Penyidikan Pelaku Tindak Pidana
Minuman Keras di Polsek Watubangga Kabupaten Kolaka
Hasil observasi penulis (tanggal, 20 Juni 2006)
selama melakukan penelitian dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian
minuman beralkohol di Kecamatan Watubangga menemukan beberapa pelanggaran
tentang penjualan minuman keras, seperti terdapatnya kois-kios kecil yang tidak
memiliki izin dalam penjualan minuman keras, minuman keras yang dijual tidak
berstiker izin dari pemerintah setempat dalam hal ini izin Bupati Kolaka,
ditemukan minuman keras yang dijual melewati batas kadar alkohol yang telah
ditetapkan yaitu diatas 5 % dan waktu penjualan minuman keras tersebut di atas
jam 00,00. Hal demikian inilah yang merupakan salah satu alasan dilaksanakannya
penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras.
Dari hasil wawancara dengan Oscar
Samsuddin, Kapolsek Watubangga menyatakan bahwa pelaksanaan penyidikan terhadap
tindak pidana, khususnya pelaku tindak pidana minuman keras merupakan salah
satu tugas dari Polsek Watubangga. Penyidikan tindak pidana ini bertujuan untuk
menemukan kebenaran materiil atau kebenaran yang selengkap-lengkapnya tentang
telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penjual minuman
keras yang tidak sesuai dengan aturan yang telah diatur dalam peraturan daerah
tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di Kabupaten Kolaka
yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16 Tahun 2004 (wawancara tanggal 21 Juni
2006).
Selanjutnya Oscar Samsuddin
menyatakan pula bahwa, penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik di Polsek
Watubangga merupakan mata rantai terdepan dari seluruh proses pemeriksaan
tindak pidana pelaku minuman keras. Oleh karena itu dalam pelaksanaan
penyidikan tindak pidana pelaku tindak pidana minuman keras diperlukan adanya
kemampuan teknis penyidikan dan profesionalisme yang dapat mendukung
pelaksanaan penyidikan untuk mendapatkan keterangan-keterangan pembuktian dan
atau pengakuan dari tersangka dalam upaya mendapatkan titik terang telah
terjadinya tindak pidana tersebut (wawancara tanggal 21 Juni 2006).
Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga
(wawancara tanggal 21 Juni 2006), mengatakan bahwa salah satu tugas penyidik di
Polsek Watubangga adalah melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana
minuman keras yang melakukan pelanggaran dalam menjual minuman beralkohol.
Lebih lanjut Oscar Samsuddin,
Kapolsek Watubangga menyatakan bahwa pelanggaran terhadap penjualan minuman
keras yaitu seorang penjual menjual minuman keras tidak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Perda tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol,
minuman beralkohol yang bisa dijual bebas hanya golongan A yang kadar
alkoholnya 1% sampai 5% (wawancara tanggal 21 Juni 2006).
Hasil wawancara dengan Oscar
Samsuddin, Kapolsek Watubangga, menyatakan bahwa salah satu kegiatan dalam
pelaksanan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras adalah
melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, pemeriksaan saksi dan
pemeriksaan tersangka berdasarkan hukum acara pidana, dengan tetap berpegang
pada asas praduga tak bersalah yang berarti bahwa setiap orang yang disangka,
sebagai pelaku tindak pidana maupun yang diadili dimuka sidang wajib diduga
tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (wawancara tanggal 21 Juni 2006).
Hal senada dikemukakan oleh Ibrahim
Lenna, Kanit Reskrim Polsek Watubangga (wawancara tanggal 23 Juni 2006),
menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana
minuman keras dilakukan mulai dari penggeledahan, penyitaan barang bukti,
pemeriksaan saksi dan pemeriksaan tersangka.
Adapun pelaksanaan penyidikan
terhadap pelaku tindak pidana minuman keras, diuraikan sebagai berikut:
1. Penggeledahan
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Minuman Keras
Untuk
kepentingan penyidikan agar dapat dikumpulkan fakta dan bukti yang menyangkut
tindak pidana minuman keras, maka dilakukan penggeledahan terhadap pelaku
tindak pidana minuman keras.
Ibrahim
Lenna, Kanit Reskrim Polsek Watubangga, mengemukakan bahwa penggeledahan
dimaksudkan adalah memasuki rumah tempat tinggal dan atau tempat tertutup yang
merupakan tempat kediaman sesorang untuk melakukan tindakan pemeriksaan
terhadap seorang yang diduga telah melakukan tindak pidana (wawancara tanggal
23 Juni 2006).
Selanjutnya
Ibrahim Lenna, menyatakan pula bahwa penggeledahan dilakukan terhadap seorang
yang diduga melakukan tindak pidana minuman keras karena adanya laporan dari
masyarakat bahwa seorang melakukan tindak pidana, misalnya menjual minuman
keras tanpa izin dari pemerintah setempat (wawancara tanggal 23 Juni 2006).
Hasil
wawancara dengan Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga menyatakan bahwa wewenang
pengeledahan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras semata-mata hanya
diberikan kepada penyidik, untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti serta
dimaksudkan untuk mendapatkan orang yang diduga keras sebagai tersangka pelaku
tindak pidana minuman keras.
Lebih lanjut Oscar Samsuddin menyatakan bahwa
sebelum melaksanakan penggeledahan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras,
penyidik menyampaikan pemberitahuan penggeledahan kepada ketua pengadilan
negeri setempat untuk mendapatkan persetujuan penggeledahan, artinya pada
setiap tindakan penggeledahan, penyidik wajib memerlukan bantuan dan pengawasan
Ketua Pengadilan Negeri (wawancara tanggal 24 Juni 2006).
Oscar
Samsuddin, Kapolsek Watubangga menyatakan bahwa kalau keadaan penggeledahan
secara biasa atau dalam keadaan normal, penggeledahan baru dapat dilakukan
penyidik setelah dahulu meminta izin dari Ketua Pengadilan Negeri, apabila
penggeledahan itu dilaksanakan dalam keadaan luar biasa atau mendesak, penyidik
dapat melakukan penggeledahan tanpa lebih dahulu mendapat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri, namun segera sesudah penggeledahan, penyidik wajib meminta
persetujuan Ketua Pengadilan Negeri (wawancara tanggal 23 Juni 2006).
Suparman,
Banit Reskrim Polsek Watubangga,
menambahkan lagi bahwa guna lebih terjamin ketertiban dan kepastian
hukum, undang-undang menempatkan instansi penyidik untuk selalu bekerja sama
dengan instansi Pengadilan Negeri setempat sebagai pengawas dan mengontrol
wewenang penggeledahan yang diberikan undang-undang. Disamping itu wewenang dan
tindakan penggeledahan mendapat pengawasan dan hubungan kerja sama pula dengan
pemilik tempat yang digeledah, dengan jalan mewajibkan penyidik memberikan
salinan berita acara penggeledahan kepada penghuni atau pemilik tempat yang
digeledah. Demikian juga pengawasan dan kerja sama dengan pihak ketiga. Setiap
penggeledahan harus disaksikan oleh dua orang saksi, atau dalam keadaan
penghuni atau pemilik menolak tindakan penggeledahan, penggeledahan yang
dijalankan tanpa persetujuan penghuni/pemilik, harus disaksikan oleh kepala
desa atau kepala lingkungan, ditambah dua orang saksi yang harus ikut
menyaksikan jalannya penggeledahan (wawancara tanggal 25 Juni 2006).
Selanjutnya
Suparman, menyatakan bahwa waktu penggeledahan sedapat mungkin harus dilakukan
pada siang hari dan diusahakan mencari momen waktu yang dapat menghindari
akibat sampingan yang bisa merusak pertumbuhan kejiwaan dan mental anak-anak
dan keluarga tersangka yang digeledah (wawancara tanggal 25 Juni 2006).
Sebagaimana
diatur dalam Pasal 33 KUHAP bahwa syarat-syarat umum untuk melaksanakan
penggeledahan harus mendapat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, menunjukkan
tanda pengenal kepada tersangka, disaksikan oleh dua orang saksi apabila
tersangka setuju, dan apabila tersangkanya tidak setuju maka disaksikan oleh
Kepala Desa/Lingkungan dengan dua orang saksi. Dalam waktu selambat-lambatnya
dua hari penyidik membuat berita acara untuk itu dan turunannya (salinannya)
disampaikan kepada yang bersangkutan. Kadangkala terjadi keadaan sangat
mendesak bagi penyidik untuk melaksanakan penyidikan dengan memasuki suatu
tempat untuk menggeledah dan tidak mungkin untuk meminta surat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri. Penyidik dalam pelaksanaan penyidikan apabila mendapat
kesulitan karena tersangka melarikan diri, mengulangi perbuatannya, atau
menghilangkan barang bukti.
Dalam
hal menurut Pasal 34 ayat 1 KUHAP penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa
izin terlebih dahulu dalam hal penyidik melakukan penyidikan pada halaman rumah
atau tempat tinggal tersangka berdiam atau berada, ataupun tempat lain
tersangka bertempat tinggal, tempat tindak pidana dilakukan, tempat penginapan
atau tempat umum. Setelah penggeledahan selesai, penyidik dalam hal ini wajib
segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Dalam
hal penyidik melaksanakan penggeledahan tidak diperkenankan memeriksa atau
menyita surat, buku, dan atau tulisan lain yang tidak merupakan benda yang
berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang
berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut, dan untuk itu wajib segera
melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuan.
Apabila izin penggeledahan dari ketua pengadilan negeri bersifat umum, maka
tidak disebutkan dimana akan dilakukan penggeledahan, tetapi kalau isinnya
bersifat khusus harus dicantumkan dimana penggeledahan dilakukan oleh penyidik.
Dengan sendirinya penyidik tidak dapat melakukan penggeledahan di tempat yang
tidak disebut dalam surat izin itu, walaupun kemudian ternyata bahwa tempat itu
perlu digeledah pula sesuai dengan petunjuk yang diperoleh pada penggeledahan
pertama.
2. Penyitaan Barang Bukti
Penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya bendak bergerak
atau benda tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 butir ke-16
KUHAP). Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian terutama ditujukan
sebagai barang bukti di muka sidang peradilan.
Demikian
dikemukakan oleh Supardi, Anggota Penyidik Pembantu Polsek Watubangga, bahwa
penyitaan merupakan tindakan hukum yang dilakukan pada taraf penyidikan.
Sesudah lewat taraf penyidikan tidak dapat lagi dilakukan penyitaan untuk atas
nama penyidik. Itu sebabnya Pasal 38 KUHAP tersebut telah ditentukan dengan
pasti hanya penyidik yang berwenang melakukan tindakan penyitaan (wawancara
tanggal 30 Juni 2006).
Supardi
menyatakan pula bahwa ada kemungkinan adanya penyitaan pada tingkat penuntutan
atau tingkat pemeriksaan pengadilan, namun demikian pelaksanaan penyitaan harus
diminta kepada penyidik, seandainya dalam pemeriksaan sidang pengadilan, hakim
berpendapat dianggap perlu melakukan penyitaan suatu barang, untuk itu hakim
mengeluarkan penetapan yang memerintahkan penuntut umum agar penyidik
melaksanakan penyitaan barang dimaksud (wawancara tanggal 30 Juni 2006).
Demikian
penyitaan dalam tindak pidana minuman keras, maka tata cara penyitaan yang
biasa dilakukan pada umumnya mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam
Pasal 46 KUHAP, yaitu harus ada surat izin penyitaan dari Ketua Pengadilan
Negeri setempat, kecuali penyitaan itu harus dilakukan dalam keadaan mendesak,
surat izin penyitaan dari Ketua pengadilan negeri nanti menyusul tetapi hanya
penyitaan atas benda bergerak dan segera melaporkan kepada Ketua pengadilan
negeri untuk mendapat persetujuan. Di samping itu penyidik memperlihatkan atau
menunjukkan tanda pengenal jabatan kepada orang dari mana benda itu akan di
sita agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa dia benar-benar
berhadapan dengan petugas penyidik, sebab tanpa menunjukkan lebih dahulu tanda
pengenal, orang yang hendak disita berhak menolak tindakan dan pelaksanaan
penyitaan. Selain itu penyidik yang melakukan penyitaan memperlihatkan benda
yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan di sita atau kepada
keluarganya. Penyitaan pula harus disaksikan oleh kepala desa atau kelurahan
dengan dua orang saksi. Membuat berita acara penyitaan dan menyampaikan turunan
berita acara penyitaan kepada orang dari mana barang itu disita atau
keluarganya dan kepala desa setempat.
1.
Penangkapan
Penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Tindakan
penangkapan baru dapat dilakukan oleh penyidik apabila seseorang itu diduga
keras melakukan tindak pidana, dan dugaan itu didukung oleh permulaan bukti
yang cukup dari penilaian penyidik sepenuhnya.
Pelaksanaan
penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,
kecuali Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan penagkapan dalam kedudukannya
sebagai penyidik. Penyidik dalam melakukan penangkapan harus membawa surat
tugas penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang
disampaikan kepada tersangka atau keluarga tersangka untuk mengetahui dengan
pasti seorang tersangka ditangkap dan diperiksa.
Batas
waktu penangkapan adalah 1 x 24 jam atau satu hari, dan tidak boleh lebih dari
satu hari, tetapi apabila jarak yang ditempuh antara Polsek sebagai tempat
penyidikan dengan lokasi penangkapan membutuhkan jarak tempuh lebih dari satu
hari, maka penyidik dapat melakukan penangkapan dengan memperlihatkan surat
perintah untuk membawa tersangka. Waktu penangkapan mulai terhitung sejak
tersangka tiba di Polsek untuk dilakukan pemeriksaan.
Penangkapan
terhadap tersangka yang melakukan pelanggaran seperti pelaku tindak pidana
minuman keras tidak dapat dilakukan secara langsung. Apabila pelaku tindak
pidana minuman keras telah dilakukan pemanggilan secara patut tetapi tidak
mengindahkannya maka penangkapan terhadap pelaku tindak pidana pelanggaran
dapat dilakukan.
2.
Penahanan
Penahanan
adalah menempatkan tersangka ditempat tertentu oleh penyidik. Syarat-syarat
untuk menahan seorang tersangka diperlukan berbagai persyaratan. Syarat formal
penahanan harus ada surat perintah dari yang berwenang, dan syarat materialnya
adalah adanya dugaan keras tersangka yang melakukan tindak pidana, adanya
kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana, adanya kekhawatiran
bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti. Tindak pidana
yang diancam pidana lima tahun atau lebih dan menurut sifat pelakunya perlu
ditahan.
Hasil
wawancara dengan Ibrahim Lenni, Kanit Reskrim Posek Watubangga, menyatakan bahwa
pelaku tindak pidana minuman keras ditahan karena dikhawatirkan akan
menghilangkan barang bukti berupa minuman keras yang dijualnya (wawancara
tanggal 25 Juni 2006).
Hal senada dikemukakan pula oleh
Mustamin, Kanit Pulbaket Polsek Watubangga, menyatakan bahwa untuk menghindari
pelaku tindak pidana minuman keras mengulangi tindakannya, maka pihak penyidik
di Polsek Watubangga melakukan penahanan terhadap seorang tersangka guna kepentingan penyidikan tindak pidana yang
bersangkutan. Seseorang yang disangka atau diduga melakukan
tindak pidana, untuk sementara waktu dapat di batasi kebebasannya. Pembatasan
itu dapat dilakukan bilamana telah menunjukkan bukti-bukti yang kuat bahwa
orang itulah yang melakukan perbuatan tindak pidana minuman keras. Penahanan pelaku
tindak pidana minuman keras atau mereka yang di tuduk melakukan. Penangkapan
dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras ini tidak lain adalah
untuk memudahkan proses penyidikannya (wawancara tanggal 30 Juni 2006).
4.2. Hambatan-Hambatan
Yang Dialami Oleh Polsek Watubangga Dalam Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana
Minuman Keras
Penyebab orang melakukan tindak pidana Minuman
keras Khususnya pelaku penjual tindak pidana Minuman keras merasakan bahwa
dengan melakukan penjualan minuman Keras, sipelaku merasa mendapat keuntungan
yang lebih besar dari pada menjual selain minuman keras.
Dari hasil penelitian bahwa dalam
pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana minuman keras di Polsek
Watubangga, ada beberapa hambatan yang dialami yaitu :
1.
Kurangnya kerjasama antara
Polisi (Penyidik) dengan masyarakat.
Hambatan ini muncul dari pihak
masyarakat karena masyarakat beranggapan bahwa polisi merupakan institusi yang
secara kelembagaan bertugas untuk menjaga keamanan dan mengayomi masyarakat.
Masyarakat kadangkala tidak mau menyampaikan informasi berkaitan dengan
terjadinya tindak pidana minuman keras dengan alasan tidak ingin menjadi saksi
karena hal tersebut dapat menyita waktu, biaya dan tenaga serta dapat mengancam
keselamatan mereka terutama datangnya dari pelaku tindak pidana minuman keras
(wawancara, Oscar Syamsuddin, Kapolsek Watubangga, tanggal 21 Juni 2006).
2. Pelaku
tindak pidana minuman keras menghilangkan jejak terjadinya tindak pidana
Dari hasil pengamatan yang dilakukan
penulis di Polsek Watubangga tidak sedikit dari mereka pelaku tindak oidana
minuman keras yang menghilangkan jejak agar terbebas dari penagkapan dan
ancaman hukuman dengan cara menghilangkan barang bukti berupa minuman keras
pada waktu akan dilakukan penggeledahan, memberikan keterangan yang
berbelit-belit, dan pelaku meninggalkan wilayah hukum Polsek Watubangga.
3. Terbatasnya
sarana dan prasarana.
Terbatasnya sarana dan prasarana ini
termasuk didalamnya fasilitas kendaraan yang dimiliki oleh Polsek Watubangga
untuk mengadakan patroli pada setiap wilayah yang dianggap rawan yang
memerlukan pengawasan setiap saat tidak dapat dijangkau sehingga penyidikan
terhadap tindak pidana minuman keras tidak optimal Kondisi seperti ini menyebabkan para
petugas kepolisian tidak dapat bertindak secara tepat untuk melakukan
pengejaran dan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana minuman keras
(wawancara, Supardi, Penyidik Pembantu Polsek Watubangga, tanggal 30 Juni
2006).
4. Terbatasnya sumber daya manusia (Polisi) untuk mengungkap
tindak pidana minuman keras.
Pesatnya
kemajuan dalam berbagai bidang terutama
terjadinya tindak pidana minuman keras , maka polisi dituntut untuk lebih
profesional dalam melakukan penyidikan yang semakin sulit dideteksi, dicegah
dan diselesaikan dengan baik dalam waktu yang singkat akibat pada umumnya
tenaga penyidik pada Polsek Watubangga beluk memiliki syarat untuk diangkat
sebagai penyidik, tetapi mereka hanya sebatas sebagai penyidik pembantu
(wawancara, Oscar Samsuddin, Kapolsek Watubangga, tanggal 21 Juni 2006).
4.3. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Polsek Watubangga Untuk
Mengatasi Hambatan-Hambatan Dalam Peyidikan Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Minuman Keras.
Dalam mengatasi hambatan-hambatan yang
dialami oleh penyidik Polsek Watubangga dalam pelaksanaan penyidikan terhadap
pelaku tindak pidana minuman keras , maka beberapa upaya yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
1. Secara
institusi Polsek Watubangga senantiasa membenahi diri dengan mensosialisasikan
perubahan paradigma kepolisian untuk mengubah persepsi yang selama ini polisi
cenderung membuat masyarakat menjadi takut dengan keberadaan polisi, maka
masyarakat merasa aman.
2.
Polisi di Polsek Watubangga senantiasa membuka diri memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh lapisan masyarakat untuk
memberikan masukan kepada pihak Polsek Watubangga dalam rangka pembinaan
personil. Langkah ini memberikan kesempatan kepada berbagai pihak baik tokoh
adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
3. Pembinaan
personil yang mampu memberikan tindakan-tindakan persuasif, pembinaan kesadaran
hukum masyarakat dengan melakukan penyuluhan hukum khususnya dampak negatif
penggunaan minuman keras di berbagai desa yang bertujuan untuk membantu
memberikan masukan dalam bentuk informasi kepada polisi baik secara kelembagaan
maupun secara individual.
4. Dalam
kaitannya dengan usaha penciptaan sumber daya manusia ( polisi yang profesional
) Polsek Watubangga memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap personil
yang berminat untuk melanjutkan pendidikan baik pada jenjang starata satu (S1)
maupun pada Dikjur Kepolisian secara reguler dalam berbagai bidang.
5. Berkaitan
dengan usaha mengatasi hambatan aspek kurangnya sarana yang dimiliki oleh
Polsek Watubangga, beberapa langkah yang ditempuh selain mengusulkan kepada
Polres Kabupaten Kolaka tentang pengadaan sarana penunjang operasional juga
bekerjasama dengan pemerintah daerah dengan pihak lain yang tidak mengikat
untuk mengatasi keterbatasan sarana (wawancara Oscar Samsuddin, Kapolsek
Watubangga tanggal 30 Juli 2006).
0 komentar:
Posting Komentar