PERLINDUNGAN PENGUNGSI (REFUGEE)
MENURUT
HUKUM INTERNASIONAL
I. Pendahuluan
Persoalan pengungsi telah ada sejak lebih kurang abad XX. Persoalan
tersebut pertama kali timbul ketika terjadi Perang Rusia (ketika revolusi di
rusia), yaitu ketika para pengungsi dari Rusia berbondong-bondong menuju ke
Eropah Barat.
Jutaan anak-anak, pria dan
waita telah menderita akibat eksploitasi konflik etnis agama atau perang
saudara. Jumlah ini dari tahun ke tahun meningkat secara tajam, Misalnya dalam
kurun waktu 1992-1995 ada 180 juta pengungsi yang disebabkan bencana alam
(natural disaster). Melihat hal ini Majelis Umum PBB telah mencanangkan periode
1990-2000 sebagai “the International
Decade for Natural Disaster Reduction” (United Nations, 1995; 217-218).
Saat ini, perlindungan
pengungsi masih menjadi alasan bagi keberadaan UNHCR Sekitar 26 juta orang di
dunia menjadi perhatian UNHCR. Mereka mencakup lebih dari 13.2 juta pengungsi,
sedikitnya 4,7 juta orang yang terusir secara internal, 8,1 juta lainnya
merupakan korban perang dan returnee. Jumlah paling besar berasal dari
Afganistan (2,3 juta), Rwanda (1,7 juta), Bosnia dan Herzegovina (1,3 juta),
Liberia (750.000), Irak (630.000), Somalia(466.000), Sudan (424.000), Eritrea
(362.000), Angola (324.000), dan Sierra Leone (320.000) (UNHCR, 1998: 6).
Pada umumnya, pengungsian
dilakukan karena terjadinya penindasan hak azasi pengungsi di negara mereka.
Pada umumnya mereka juga mencari tanah
atau negara lain sebagai tempat kediaman barunya yang tentunya jauh dari penindasan
hak azasi manusia. Pencairan negara baru oleh pengungsi tentu saja harus
dianggap sebagai suatu hak azasi manusia
(Periksa Sukanda Husin, 1998 : 27). Pengungsi adalah orang yang terpaksa
memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang berdasar dan
mengalami penindasa (persecution). Rasa takut yang berdasar inilah yang
membedakan pengungsi dengan jenis migran lainnya, seberat apapun situasinya,
dan juga dari orang lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Karena pengungsi
tidak dapat mengandalkan perlindungan dari negara yang seharusnya memberi
perlindungan keapad mereka, maka untuk menanggapi situasi menyedihkan yang
dihadapi pengungsi, persiapan – persiapan khusus harus dibuat oleh masyarakat
internasional (UNHCR, 1998 : 1).
Penanganan pengungsi ini
terutama di dorong oleh rasa kemanusiaan untuk memberi perlindungan dan
membantu pengungsi. Hal ini dilakukan karena mereka keluar dari negaranya dan
tidak mendapat perlindungan dari negaranya.
Masyarakat internasioanl yang
terdiri dari berbagai negara di muka bumi ini merasa mempunyai kewajiban
memberi perlindungan bagi para
pengungsi. Keinginan masyarakat internasional itu mulai menemui jalan
terang ketika Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dibentuk pada tahun 1920. Pada waktu LBB
dibentuk, dunia masih merasakan dampak buruk Perang Dunia I, Revolusi Rusia,
dan runtuhnya Kekaisaran Turki yang
mengakibatkan perpindahan manusia secara besar-besaran di Eropa dan Asia Minor
(Baca, UNHCR, 1998 : 1).
Kegiatan masyarakat
internasional dalam menangani urusan pengungsi dimulai tahun 1921 ketika Liga
Bangsa-Bangsa (LBB) mengangkat seorang
yang bernama Fridtjof Nansen
seorang warga Norwegia dan penjelajah benua Afrika sebagai komisaris tinggi
untuk pengungsi Rusia di Eropah. Pengungsi-pengungsi tersebut tidak mempunyai
identitas sebagai bukti diri, akibtanya mereka ini tidak bisa melakukan
perbuatan hukum, termasuk perbuatan hukum yang sangat esensial, misalnya tidak
dapat menikah, tidak dapat membuat perjanjian-perjanjia, dan dilarang melakukan
perjalanan/bepergian. Masalah ini akhirnya menimbulkan kerepotan. Untuk
mengatasi itu maka dibuatlah perjanjian-perjanjian Internasional di antaranya :
Perjanjian Internasional 1928, 1933, 1938, 1939, dan 1946.
Perjanjian-perjanjian ini diteruskan oleh PBB dengan diadakan Konferensi
mengenai status pengungsi tahun 1951, yang dilengkapi dengan Protokol 1967.
Pengertian Protokol 1967
berbeda dengan pengertian Protokol dalam pengertian Treaty 1949, sebab
pengertian Protokol 1967 merupakan persetujuan tetapi tidak merupakan pelengkap
atau tambahan, satu sama lainnya adalah saling berkaitan.
Dari uraian di muka,
pertanyaan yang muncul ialah bagaimana
perlindungan hukum pengungsi? siapa sebetulnya siapa yang termasuk dalam
kategori pengungsi itu? dan kapan status pengungsi berakhir?
II. Pengertian Pengungsi
Ada perbedaan pengertian
pengungsi sebelum dan sesudah tahun 1951. Perbedaan ini didasarkan pada isi
perjanjian internasional, terutama mengenai pengertian Pengungsi.
Pengungsi dalam Perjanjian
Internasional sebelum 1951 pada prinsipnya adalah pengungsi yang berasal dari
daerah-daerah tertentu. Jadi di sini didasarkan dari orang-orang yang berasal
dari daerah-daerah tertentu. Jadi di sini didasarkan dari orang-orang yang
berasal dari daerah tertentu, yang karena keadaan daerah tertentu, yang karena
keadaan daerahnya terpaksa keluar. Perlindungan menurut Hukum Internasional
dalam hal ini hanya orang-orang tertentu tersebut dan tidak dimaksudkan untuk
melindungi pengungsi secara umum.
Pengertian pengungsi dalam
perjanjian Internasional setelah tahun 1951 diartikan secara general (umum),
tidak hanya daerah tertentu, Cuma dalam konvensi ini masih ada pembatasan yaitu
pembatasan waktu dimaksudkan adalah hanya mereka yang mengungsi sebelum 1
Januari 1951, jadi ada Dateline (batas tanggal) walaupun secara geografis tidak
dibatasi. Persoalan yang timbul ialah mengapa dalam konvensi tersebut perlu
dibatasi dalam konvensi tersebut?
Pada waktu itu negara-negara
yang berunding bermaksud untuk membatasi pemberian perlindungan pada mereka
yang sudah mengungsi, sedang untuk mereka yang akan mengungsi di kemudian hari
tidak mendapat perlindungan dari Konvensi, alasan konvensi ini adalah akan
memberikan beban pada negara peserta konvensi saja. Akan tetapi, dalam perkembangan
jaman dirasakan konvensi ini sudah tidak Up to date lagi dan tidak memenuhi
rasa kebutuhan sebab tidak menyesatkan masalah-masalah berikutnya, terutama
karena ada unsur dateline tadi. Oleh karena itu, pada tahun 1967 diadakan
pertemuan lagi tentang pengungsi, kemudian dalam protokol 1967 ini pembatasan
berupa dateline tadi dihapuskan untuk menjadikan pengertian yang lebih luas.
Konvensi 1951 dan Protokol
1967 pada prinsipnya hampir sama. Ada tiga hal pokok yang merupakan isi
konvensi tersebut, yaitu :
- Pengertian dasar pengungsi.Pengertian dasar Pengungsi diartikan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 penting diketahui sebab diperlukan untuk menetapkan status pengungsi seseorang (termasuk pengungsi atau bukan). Penetapan ini ditetapkan oleh negara tempat orang itu berada dan bekerja sama dengan UNHCR (United Nation High Commissioner For Refugee), yang menangani masalah pengungsi dari PBB.
- Status hukum Pengungsi, hak dan kewajiban pengungsi di negara tempatpengungsian (hak dan kewajiban berlaku di tempat pengungsian itu berada).
- Implementasi (pelaksanaan) perjanjian, terutama menyangkut administrasi dan hubungan diplomatik. Di sini titik beratnya administrasi dan hubungan diplomatik. Di sisni titik beratnya ialah pada hal-hal yang menyangkut kerja sama dengan UNHCR. Dengan demikian, UNHCR dapat melakukan tugasnya sendiri dan melakukan tugas pengawasan, terutama terhadap negara-negara tempat pengungsi itu berada.
UNHCR sebenarnya didirikan
oleh Majelis Umum PBB (MU PBB) tahun 1951, sedang Anggaran Dasar (Statutanya )
disetujui MU PBB Desember 1950. Tugas UNHCR pada prinsipnya memberikan
perlindungan Internasional terhadap pengungsi yang termasuk wewenang UNHCR.
Jadi, pengungsi-pengungsi yang dilindungi adalah pengungsi-pengungsi yang tidak
dibatasi dataline tertentu seperti konvensi 1951, juga tidak dibatasi batas
geografis tertentu . Ini disebut dalam Statuta UNHCR. Pengungsi dalam
lingkungan UNHCR sering juga disebut MANDATE REFUGEE, maksudnya adalah
pengungsi yang termasuk dalam wewenang UNHCR berdasar mandat dari UNHCR itu.
III. Beberapa Prinsip Status Pengungsi
Seseorang
agar dapat disebut pengungsi kalau telah memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan, misalnya L dalam Konvensi 1951, ini berarti status pengungsi itu
sudah ada sebelum yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi. Oleh
karena itu, pengakuan seseorang menjadi pengungsi sebenarnya tidak membuat
orang itu menjadi pengungsi tetapi pengakuan hanya menyatakan bahwa dia adalah
pengungsi.
Status
pengungsi merupakan Ketetapan/Declarator yang hanya menyatakan apa yang
sebenarnya sudah ada. Ini berbeda dengan Konstitutip yang menciptakan status
yang baru. Jadi, dengan kata lain, orang tersebut tidak menjadi pengungsi sebab
pengakuan tetapi justru pengakuan diadakan karena dia memang sudah pengungsi.
Penetapan
seseorang menjadi pengungsi (Status Refugee) sebenarnya merupakan proses yang
terjadi dalam dua tahap:
1. Penemuan atau penetapan yang menentukan
bahwa dari fakta yang ada memang orang tersebut adalah Refugee.
2. Fakta dihubungkan dengan persyaratan
–persyaratan dalam Konvensi1951 dan Protokol 1967. Setelah itu, dihubungkan
apakah yang bersangkutan memang merupakan pengungsi atau tidak.
IV. Macam-macam Pengungsi
Latar
belakang terjadinya pengungsi dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yakni :
- Pengungsian
karena bencana alam (Natural
Disaster). Pengungsian ini pada prinsipnya masih dilindungi negaranya keluar untuk menyelamatkan
jiwanya, dan orang-orang ini masih dapat minta tolong pada negara dari
mana ia berasal.
- Pengungsian
karena bencana yang dibuat Manusia (Man Made Disaster). Pengungsian disini
pada prinsipnya pengungsi keluar dari negaranya karena menghindari tuntutan (persekusi) dari negaranya.
Biasannya pengungsi ini karena lasan politik terpaksa meninggalkan
negaranya, orang-orang ini tidak lagi mendapat perlindungan dari
pemerintah dimana ia berasal.
Dari dua jenis pengungsi di
atas yang diatur oleh Hukum Internasional sebagai Refugee Law (Hukum Pengungsi)
adalah jenis yang kedua, sedang pengungsi karena bencana alam itu tidak diatur
dan dilindungi oleh Hukum Internasional.
Ada suatu istilah pengungsi yang disebut
(Statutory Refugees. Yang dimaksud Statutory Refugees adalah
Pengungsi-pengungsi yang berasal dari
suatu negara tertentu yang tidak mendapatkan perlindungan diplomatik dari
negaranya (negara asalnya). Yang dapat dikategorikan sebagai Statutory Refugees
adalah mereka yang memenuhi persyaratan seperti yang disebut dalam perjanjian
Internasional sebelum 1951.
Sebenarnya, sebelum 1951 sudah
ada persetujuan Internasional yang sifatnya Regional atau setempat misalnya :
di Amerika, Eropa, yang membuat peraturan-peraturan pengungsi tetapi hanya
berlaku setempat. Perjanjian Internasional yang sifatnya regional biasanya
menyangkut tiga hal, yaitu :
- Pemberian Asylum
- Trael Document
- Travel Facilities
Pemberian Asylum terutama di
negara-negara Amerika Latin, yaitu dengan membuat banyak perjanjian-perjanjian Regional, di
samping juga terdapat di Afrika tentang aspek-aspek khusus dari masalah
pengungsi yang ditanda tangani 1969, kemudan di Asia yang berupa Deklarasi
yaitu pernyataan oleh Komite Konsultatif hukum Asia-Afrika di Bangkok,
Anggota-anggotanya adalah Sarjana hukum
dari Asia dan Afrika, diadakan pada tahun 1966 yang menyatakan prinsip-prinsip
perlakuan terhadap pengungsi ada sifatnya Universal dan ada yang sifatnya
Regional, akan tetapi sudah pengungsi dalam arti yang umum.
Dalam bagan berikut ini akan
tampak pembedaan pengungsi.
Alam Statutory
Refugee
Pengungsi UNHCR Convention Refugee
Manusia Mandate
Refugee
Lain-lain
Penjelasan
:
1. Statutory
Refugee adalah status
dari suatu pengungsi sesuai dengan persetujuan interansional sebelum tahun
1951.
2. Convention
Refugee adalah stats
pengungsi berdasarkan Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Di sini pengungsi berada
pada suatu negara pihak/peserta konvensi. Yang menetapkan status pengungsi
adalah negara tempat pengungsian (negara dimana pengungsi itu berada) denga
kejasama dari negara tersebut dengan UNHCR, wujud kerja sama itu misalnya:
dengan mengikut sertakan UNHCR dalam komisi yang menetapkan status pengungsi,
bentuk kerjasama lainnya neagar yang bersangkutan menyerahkan mandate
sepenuhnya pada UNHCR untuk menetapkan apakah seseorang itu teramsuk pengungsi
atau tidak
3. Mandate
Refugee adalah menentukan
status pengungsi bukan dari konvensi 1951 dan Protokol 1967 tapi berdasar
mandate dari UNHCR. Di sini pengungsi berada pada negara yang bukan peserta
konvensi atau bukan negara pihak. Yang berwenang menetapkan status pengungsi
adalah UNHCR bukan negara tempat pengungsian. Mengapa Mandate Refugee tidak
ditetapkan oleh negara tempat pengungsi? Hal ini disebabkan karena negara
tersebut bukan negara pihak dalam konvensi tadi, akibatnya ia tidak bisa
melakukan tindakan hukum seperti dalam konvensi tadi.
4. Pengungsi-pengungsi lain (sebab manusia):
Ada yang tidak dilindungi oleh
UNHCR, misalnya : PLO, sebab PLO sudah diurus dan dilindungi badan PBB lain
maka tidak termasuk lingkungan kekuasaan UNHCR.
Selanjutnya Haryomataram
membagi dua macam “Refugees, yaitu Human Rights Refugees dan Humanitarian Refugees
(Haryomataram, 1998: 9-10).
- Human Rights Refugees adalah mereka yang
(terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena adanya “fear
of being persecuted”, yag disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau
keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari
Human Rights Refugees ini.
- Humanitarian
Refugess adalah mereka
yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena merasa
tidak aman disebabkan karena ada konflik (bersenjata) yang berkecamuk dalam
negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka mengungsi, dianggap
sebagai ‘alien”Menurut Konvensi Geneva 1949, “alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian
mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik daam Konvensi Geneva
1949 (terutama Bag. IV), maupun dalam Protokol Tambahan I-1977.
-
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa, baik International
Humanitarian Law maupun International refugees Law, mengatur
masalah “refugess”. International Humanitarian Law memberikan perlindungan
kepada “ humanitaran refugess”,
sedang internasional Refugees”, sedang
International Refugees Law mengatur “human
rights refugees”
I. Penentuan Status Pengungsi
Istilah lain
penentuan status pengungsi ialah tentang ELIGILBILITY dari seseorang.
Untuk menentukan status pengungsi
dapat digunakan kriteria yang terdiri dari unsur/faktor, yaitu faktor subjektif
dan obyektif.
Faktor subyektif ialah faktor yang
terdapat pada diri pengungsi itu sendiri, ( yang minta status pengungsi), faktor
inilah yang menentukan ialah apakah pada diri orang tersebut ada rasa ketakutan
atau rasa kekhawatiran akan adanya persekusi /penuntutan), maka jika ada alasan
ketakutan maka dapat dikatakan orang tersebut Eligibility, ketakutan itu
dinilai dari takut terhadap tuntutan negaranya dan terancam kebebasannya.
Faktor Objektif adalah keadaan asal
pengungsi, di Negara tersebut apakah benar-benar terdapat persekusi terhadap
orang-orang tertentu. Misalnya: akibat perbedaan Ras, perbedaan Agama, karena
suatu pandangan politik atau yang lainnya. Kalau keadaan tersebut pada
negaranya memang demikian, maka keadaan ini bisa membuat seseorang menjadi
Eligibility.
Seseorang tidak dapat dinyatakan
sebagai Eligibility ialah :
- Orang-orang yang melarikan diri ke Luar Negeri, karena lasan ekonomi agar bisa lebih baik, mereka ini tidak bisa disebut sebagai pengungsi.
- Kaum Emigran, yaitu kaum yang pindah dari suatu negara ke lain negara tidak bisa disebut sebgaia pengungsi.
- Pindah ke negara lain untuk mendapatkan kenikmatan pribadi.
- Tidak bisa menyetujui kebijaksanaan pemerintah atau politik pemerintahnya tidak diakui.
Kekeliruan
yang terjadi dalam penetapan Egilibility ialah
- Bilamana orang-orang tersebut tidak jujur/tidak terus terang (faktor-faktor subjektif tidak wajar).
- Kekeliruan fatal/jelek bilamana petugasnya tidak cermat.
Sehubungan dengan hal itu, ada prinsip
yang disebut : BENEFIT OF THE DOUBT
(keuntungan keraguan) maksudnya adalah : untuk menetapkan apakah seseorang bisa
dikatakan pengungsi atau tidak, ada kemungkinan petugas dihadapkan pada suatu
keraguan, mungkin didasarkan unsur subjektif orang tersebut, untuk itu apakah
benar-benar ada rasa takut atau tidak pada orang tersebut, atau keragu-raguan
ini apakah petugas tidak tahu di Negara asalnya terdapat keadaan yang dihadapi
ini, menurut prinsip ini maka petugas harus mengambil keputusan yang paling
menguntungkan orang tersebut, d.kl. orang tersebut diterima atau diberi stautus
pengungsi.
Eligibility
pengungsi harus ditetapkan satu persatu (secara individual ), jadi tidak
ditetapkan secara bersama-sama, juga tidak bisa secara berkelompok, akan tetapi
ini hanya sesuai dengan keadaan sebelum 1951, sesudah 111951 keadaan pengungsi
tidak lagi dalam jumlah yang sedikit tapi banyak sekali, maka sering diambil
suatu keputusan tentang eligibility iu secara PRIMA FACIE (Pandangan Pertama)
keputusan semacam ini seharusnya diadakan penelitian ulang seharusnya dilakukan
secara individual, akan tetapi dalam Praktek tak pernah dilakukan sebab: juga
memerlukan petugas dan waktu yang banyak. Sehubungan dengan penelitian secara
Individual dikaitkan dengan prinsip kesatuan keluarga (PRINSIP OF THE FAMILY
UNITY), maka persoalan yang timbul adalah APAKAH SEORANG SUAMI DITERIMA SEBAGAI
PENGUNGSI DARI SUATU NEGARA APABILA ANAK DAN ISTRINYA DATANG?
Menurut
prinsip tersebut anak dan istrinya diberi status sama dengan suaminya sebagai
pengungsi supaya mereka bersatu. Dalam prinsip tersebut pengertian Family
adalah keluarga dalam arti yang luas (diakui dalam Konvensi) yaitu : Istri dan
anak-anak juga orang tua yang lanjut usia, tetapi dengan syarat orang ini
tadinya satu kehidupan keluarganya (hause hold).
Mengenai
prinsip kesatuan keluarga juga terdapat dalam
Declaration of Human Right juga terdapat dalam perjanjian-perjanjian
internasional lainnya yang menyangkut Human Right, di dalam Final Act yang
menerima Konvensi 1951 mengenai kesatuan keluarga juga diakui dan dianjurkan
supaya negara-negara menghormati prinsip ini.
V. Kedudukan dan Hak Pengungsi
Kedudukan
sebagai pengungsi tidak berlaku abadi artinya bisa berhenti, persoalan yang
timbul adalah jangan sampai pengungsi itu bisa dirugikan statusnya sebagai
pengungsi secara sewenang-wenang. Oleh karena itu penghentian status pengungsi
harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. Adapun
yang menjadi hak dan kewajiban pengungsi adalah sebagai berikut (baca juga
Sukanda Husin. 1998 : 32-34) ;
- Negara-negara peserta Konvensi tidak boleh memperlakukan pengungsi berdasarkan politik diskriminasi baik yang berkenaan dengan ras, agama atau negara asal maupun warna kulit dan mereka mempunyai kebebasan untuk menjalankan agamanya sertya kebebasan bagi pendidikan anak-anak mereka ditempat mana mereka ditampung (Pasal 3 dan 4). Ini merupakan hak non diskriminasi.
- Mengenai status pribadi para pengungsi diatur sesuai dengan hukum dimana mereka berdomisili. Jika mereka tidak mempunyai domisili, status pribadi mereka diatur oleh hukum dimana mereka ditempatkan (place of residence). Hak yang berkaitan dengan perkawinan juga harus diakui oleh negara peserta Konvensi dan Protokol (pasal 12). Ini merupakan hak status pribadi.
- Seorang pengungsi mempunyai hak yang sama dalam hal untuk mempunyai atau memiliki hak milik baik bergerak maupun tidak bergerak dan menyimpannya seperti halnya orang lain dan juga dapat menstransfer assetnya ke negara dimana dia akan menetap (Pasal 13, 14 dan 30). Ini merupakan hak kesempatan atas hak milik.
- Negara peserta Konvensi harus mengakui kebebasan pengungsi untuk berserikat dengan mendirikan perkumpulan termasuk perkumpulan dagang sepanjang perkumpulan itu bersifat non-profit dan non- politis (Pasal 15 ) Ini merupakan hak berserikat.
- Apabila ada suatu perkara yang dialami oleh para pengungsi dimana mereka ingin menyelesaikannya melalui badan peradilan, maka dalam hal ini mereka harus dianggap sama dengan warganegara lainnya jadi mereka mempunyai kebebasan untuk mengajukan gugatannya di sidang pengadilan dimana mereka ditempatkan bahkan bila diperlukan mereka harus diberikan bantuan hukum (Pasal 16 ) Ini merupakan hak berperkara di pengadilan.
- Bagi para pengungsi yang telah ditempatkan secara tetap di suatu negara dan telah diakui menurut hukum, maka mereka mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan serta mendirikan suatu perusahaan dagang dan pekerjaan bebas lainnya, dimana pekerjaan bebas ini harus sesuai dengan ketentuan yang telah diakui, seperti tanda sertifikat, gunanya adalah mengetahui keahlian untuk ditempatkan pada suatu pekerjaan yang cocok (pasal 17, 18 dan 19). Ini merupakan hak atas pekerjaan yang menghasilkan.
- Setiap pengungsi akan mendapat perlakuan yang sama dengan warganegara lainnya atas hak memperoleh pendidikan sekolah dasar. Karenanya, setiap pengungsi berhak pula atas pembebasan biaya pendidikan tertentu termasuk juga hak untuk memperoleh beasiswa (Pasal 22). Ini merupakan hak atas pendidikan dan pengajaran.
- Setiap pengungsi diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memilih di daerah atau provinsi mana mereka akan menetap sepanjang pilihan itu masih berada dalam teritorial negara dimana ia ditempatkan (Pasal 26). Ini merupakan hak kebebasan bergerak.
- Setiap pengungsi akan dapat menikmati hak-hak atas kesejahteraan sosial, seperti hak untuk bekerja, perumahan, mendapatkan upah dari pekerjaan yang mereka lakukan . Pasal 20 dan 22). Ini merupakan hak atas kesejahteraan sosial.
- Setiap pengungsi berhak atas surat-surat identitas dan dokumen perjalananan ke luar dari teritorial negara dimana dia ditempatkan kecuali karena alasan keamanan dan kepentngan umum. Dokumen perjalanan yang dikeluarkan atas perjanjian internasional akan diakui oleh negara peserta Konvensi (Pasal 27 dan 28). Ini merupakan hak atas tanda pengenal dan dokumen perjalanan.
- Dalam hal ini pengungsi telah ditempatkan secara tetap di suatu negara, tidak akan ada dilakukan tindakan pengusiran ke wilayah dimana kehidupannya akan terancam serta tidak akan ada penghukuman terhadap pengungsi yang masuk secara tidak syah, kecuali jika keamanan nasional menghendaki lain, seperti mereka melakukan kekacauan dimana mereka tinggal (pasal 31, 32, dan 33). Ini merupakan hak untuk tidak diusir.
Selain dari
hak-hak pengungsi yang disebutkan di atas, Konvensi juga telah menggariskan
kewajiban pengungsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Konvensi.
Every refugee has duties to the country in which he finds himself,
wihch require in particular that he conform to its laws and regulations as well
as to measures taken for maintenance of public order.”
Berdasarkan
Pasal 2 di atas setiap pengungsi berkewajiban untuk mematuhi semua hukum dan
peraturan atau ketentuan- ketentuan untuk menciptakan ketertiban umum di negara
dimana dia ditempatkan.
Hak asasi manusia yang diatur dalam Universal
Declaration of Human Rights di atas merupakan pengaturan umum. Pengaturan
yang lebih rinci dapat dilihat di dalam International
Convenant on Oconomic, Social and Cultural Rights dan International Convenant on Civil and Political Rights serta
Protokol-protokol tambahannya.
VI. Penutup
Sampai
saat ini, pengungsi masih merupakan masalah di berbagai negara di dunia. Hukum
Internasional yang digunakan untuk melindungi pengungsi sampai saat ini ialah
konvensi 1951 dan Protokol 1967. Di samping itu, Konvensi Geneva 1949 tentang
dan protokol Tambahan 1-1977 , yang mengatur khusus “Humantarian Refugees”.
Daftar Pustaka
Danilo Batistuta. 1998. “UNHCR Structure and Mandat” Makalah. Disampaikan
dalam Seminar Nasional Refugeema Pusat StudiHukum Humaniter Fakultas Hukum Tri
Sakti dengan United Nations High Commissioner for Refugees tanggal 26 Maret 1998.
Jakarta : UNHCR dan PSHH FH Usakti.
Enny Soeprapto, 1998 . “ International Protection of Refugees and Bassic
Principles of Refugeee Law an Analysis”, Makalah. Disampaikan dalam Seminar
Nasional Refugee Law dan Displaced Persons yang diselenggarakan kerjasama Pusat
Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Tri Sakti dengan United Nations High
Commissioner for Refugees tanggal 26 Maret 1998 , Jakarta : UNHCR dan PSHH FH
FH Usakti
Goodwin –Dill.G, 1996, The Refugee
in International Law (second edition).
Oxford: Claredon Press.
Haryo Mataram. 1998. “International Law dan International Humanitarian
Law”. Makalah. Disampaiakn dalam Seminar Nasional Refugee Law dan Displaced
Persons yang diselenggarakan kerjasama Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas
Hukum Tri Sakti dengan United Nations High Commissioner for Refugees tanggal 26
Maret 1998. Jakarta : UNHCR dan PSHH FH Usakti.
Hathaway, J.C. 1991. The Law of Refugee Status Toronto: Butterworths.
Staffan Bodemar, 1998. UNHC’s Role and Current Concerns”. Makalah. Disampaikan
dalam Seminar Nasional Refugee Law dan Displaced Persons yang diselenggarakan
kerjasama Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Tri Sakti dengan United
Nations High Commissioner for Refugees tanggal 26 Maret 1998. Jakarta : UNHCR
dan PSHH FH Usakti.
Sukanda Husin, 1998, “UNHCR dan Perlindungan Hak Azasi Manusia”. Jrnal
Hukum No 7 Th. V/ 1998. Padang : FH Univ. Andalas.
UNHCR. 1998. Informastion Paper. Jakarta : Regional office UNHCR.
_____________, 1996 Convention and Protocol Relating to the Status of
Refugees. Geneva : UNHCR.
0 komentar:
Posting Komentar