Selasa, 21 Mei 2013


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Sejak Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) diberlakukan pertama kali pada tanggal 18 Agusutus 1945, bangsa Indonesia telah memiliki kesadaran akan konsep negara hukum sebagai pilihan yang ideal bagi negara Indonesia yang diproklamasikan sehari sebelumnya, yaitu pada 17 Agustus 1945. Hal ini terbukti, dimana dalam Penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).” Setelah mengalami pasang surut, perjalanan ketatanegaraan Indonesia sampai  pada era reformasi tahun 1998. Salah satu tuntutan reformasi adalah perubahan tatanan berbangsa dan bernegara Indonesia ke arah yang lebih konkret dengan semangat konstitusionalisme.

Oleh karenanya, amandemen terhadap UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan, mengingat selama rezim Orde Baru mengubah UUD 1945 dianggap sesuatu yang tabu. Sehubungan dengan itu, UUD 1945 telah diamandemen sebanyak empat kali yaitu tahun 1999 (Perubahan Pertama), 2000 (Perubahan Kedua), 2001 (Perubahan Ketiga), dan 2002 (Perubahan Keempat). Pada Perubahan Ketiga, konsep atau gagasan bahwa Indonesia sebagai negara hukum semakin diperkukuh. Hal ini terbukti jika sebelum amandemen konsep negara hukum hanya ada dalam Penjelasan, pasca amandemen telah eksplisit dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang merumuskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Pengukuhan Indonesia sebagai negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 memberi pesan adanya keinginan kuat bahwa negara menjamin terselenggaranya persamaan kedudukan dalam hukum, yang antara lain ditandai dengan terciptanya suatu keadaan dimana hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum serta jaminan kepada setiap orang yang berhak mendapatkan akses keadilan (justice for all). Hal ini bahkan merupakan hak dasar setiap orang yang bersifat universal. Konsep ini menjadi penting karena negara selalu dihadapkan pada kenyataan adanya sekelompok masyarakat yang miskin atau tidak mampu, sehingga sering tidak bisa mewujudkan haknya untuk mendapatkan keadilan (yang semestinya terselenggara dalam kaitannya dengan konsep negara hukum).

Untuk mewujudkan terselenggaranya gagasan negara hukum (konstitusionalisme) tersebut, maka negara perlu campur tangan karena hal itu menjadi kewajiban negara untuk menjamin hak setiap orang mendapatkan keadilan. Dengan kata lain, negara harus menjamin terselenggaranya bantuan hukum kepada orang miskin atau orang yang tidak mampu sehingga tidak ada yang luput dari akses keadilan yang merupakan amanat konstitusi.  


B.   Perumusan Masalah

Akses keadilan sebagai salah satu hak dasar yang bersifat universal, oleh karenanya pengalaman di berbagai negara dalam memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang tergolong miskin atau tidak mampu adalah relevan dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis. Hal ini tentu berlaku bagi Negara Republik Indonesia yang juga merupakan negara hukum yang demokratis (konstitusionalisme).

Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam masyarakat telah terdapat berbagai lembaga bantuan hukum baik berupa lembaga swadaya masyarakat maupun yang dikelola oleh fakultas hukum di perguruan tinggi yang telah memberikan bukti konkret dan kontribusi luar biasa terhadap warga negara Indonesia yang miskin atau tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan. Selain itu, terdapat juga ribuan advokat yang menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, diwajibkan untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang yang tidak mampu.

Akan tetapi, mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa serta jumlah penduduk miskin yang mencapai 32 juta jiwa serta wilayah Indonesia yang sedemikian luas, akses keadilan bagi mereka yang tergolong miskin atau tidak mampu masih jauh dari tingkat yang ideal. Secara kuantitatif saja, ratio antara advokat dan jumlah penduduk Indonesia saat ini masih sangat timpang. Menurut catatan resmi di Mahkamah Agung Republik Indonesia, jumlah advokat sampai dengan tahun 2005 berjumlah kurang dari 30.000 orang,  bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa.

C.   Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum adalah sebagai berikut:
  1. menjamin dan memenuhi hak bagi fakir miskin untuk mendapatkan akses keadilan, baik di dalam maupun di luar proses peradilan;
  2. mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip persamaan di hadapan hukum;
  3. menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
  4. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.


D.   Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan Naskah Akademik ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yang dilakukan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur atau di dalamnya terdapat ketentuan mengenai bantuan hukum. Pasal-pasal peraturan perundangan yang telah ada yang mengatur tentang bantuan hukum adalah bagian yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Bahan hukum primer yang meliputi :
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28G, dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5);
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diumumkan dengan Maklumat Tanggal 30 April 1847, S. 1847-23;
  • Reglemen Acara Perdata, (Reglement op de Rechtsvordering), S.1847-52 jo.1849-63.
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
  • Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288);
  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).


 2.    Bahan hukum sekunder, yaitu buku, surat kabar, dan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Perkara Nomor 006/PUU-lI/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya, analisis terhadap bahan-bahan hukum dan data yang diperoleh dilakukan dengan tahapan: kompilasi bahan-bahan hukum, klasifikasi, sistematisasi, yang selanjutnya dilakukan interpretasi sesuai dengan teori hukum yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

>>>>>>>Sambunganya klik di bawah Mas<<<<<<<<<<<<




0 komentar:

Posting Komentar