Kamis, 23 Mei 2013

Permasalahan Penanganan Perkara
Upaya Keberatan di Peradilan Umum 


a. Ketidakjelasan Tata Cara Pemeriksaan Upaya Hukum Keberatan 

Terkait proses pemeriksaan upaya hukum Keberatan, meskipun telah ada Perma No. 3/2005 (Bab III tentang Tata Cara Pemeriksaan Keberatan), namun ketentuan dalam peraturan tersebut tidak cukup mengatur secara jelas mengenai tata cara pemeriksaan dan cenderung membuka ruang untuk perbedaan penafsiran, dimana hal tersebut tidak bertentangan dengan penerapan hukum acara yang harus rigid. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya standardisasi pemeriksaan upaya hukum Keberatan. Dalam beberapa perkara Keberatan, dimungkinkan adanya “jawab jinawab” di antara pelaku usaha yang mengajukan Keberatan dengan KPPU karena majelis hakim berpedoman pada Pasal 8 Perma No. 3/2005[1]. Pasal tersebut menentukan selain ditentukan lain dalam Perma No. 3/2005, berlaku hukum acara perdata dimana dimungkinkan adanya jawab jinawab dalam bentuk, replik, duplik, maupun kesimpulan. Sedangkan dalam perkara lain, majelis hakim cenderung merujuk ketentuan Pasal 5 ayat (4) Perma No. 3/2005[2] yang menentukan pemeriksaan hanya didasarkan pada putusan KPPU dan berkas perkara yang diserahkan KPPU. Dengan mekanisme tersebut, pemeriksaan perkara Keberatan akan cenderung lebih cepat selesai dibandingkan dengan pemeriksaan yang menggunakan proses jawab jinawab. 

Meskipun pada Pasal 5 ayat (3) Perma No. 3/2005[3] telah menentukan bahwa pemeriksaan perkara Keberatan dilakukan tanpa melalui proses mediasi, namun keberlakuan hukum acara perdata kecuali ditentukan lain oleh Perma No. 3/2005 (Pasal 8) serta pengakuan KPPU sebagai pihak dalam pemeriksaan perkara Keberatan (Pasal 2 ayat (3)) menimbulkan kebingungan bagi majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut. Mungkin, dengan berpatokan Pasal 8 dan Pasal 2 ayat (3) Perma No. 3/2005[4], sering kali majelis hakim menawarkan perdamaian (mediasi) bagi para pihak, pelaku usaha yang mengajukan upaya hukum Keberatan dan KPPU. 



Ketidakjelasan lain dalam Perma No. 3/2005 adalah batasan hukum acara yang berlaku dalam proses Keberatan khususnya mengenai dapat atau tidaknya intervensi dilakukan dalam perkara Keberatan. Hal ini menjadi penting karena sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU No. 5/1999 jo. Pasal 2 ayat (1) Perma No. 3/2005, hanya pelaku usaha Terlapor yang dapat mengajukan Keberatan. Tidak adanya kesempatan bagi pelaku usaha Pelapor untuk mengajukan Keberatan telah menutup hak pelaku usaha Pelapor memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum yang mungkin saja dirugikan atas putusan KPPU, sebagai contoh tidak dikabulkannya permintaan ganti rugi yang tercantum dalam laporannya. 



Dalam perkara Keberatan terhadap putusan KPPU terkait proses beauty contest, Mejelis Hakim menolak permohonan intervensi yang dilakukan oleh dua pelaku usaha yang sebelumnya telah menyampaikan laporan dimana laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti sebagai suatu perkara inisiatif hingga akhirnya diputus oleh KPPU. Majelis hakim berpendapat bahwa meskipun terdapat ketentuan Pasal 8 Perma No. 3/2005 yang memberlakukan hukum acara perdata selain ditentukan dalam Perma No. 3/2005, namun ketentuan tersebut tidak dapat ditafsirkan luas dengan membolehkan dilakukannya intervensi dalam perkara Keberatan karena terdapat perbedaan karakteristik antara perkara Keberatan dengan perkara perdata pada umumnya yaitu adanya jangka waktu pemeriksaan 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (5) Perma No. 3/2005[5]. Selain itu, majelis hakim menolak permohonan intervesi karena bukan merupakan pelaku usaha Terlapor dimana dapat diartikan bahwa majelis hakim cenderung menyamakan antara upaya hukum Keberatan yang hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha Terlapor dengan permohonan intervensi. 



Preseden tersebut menjadi menarik untuk dibahas lebih dalam karena dalam Perma No. 3/2005 tidak ada satu pun ketentuan yang melarang secara tegas diajukannya permohonan intervensi. Dengan menolak permohonan intervensi karena pemohon intervensi bukan merupakan pelaku usaha, maka secara a contrario, majelis hakim berpendapat sebenarnya permohonan intervensi dimungkinkan jika diajukan oleh pelaku usaha Terlapor. Sedangkan terkait jangka waktu, mengacu Pasal 5 ayat (4) Perma No. 3/2005, bukankah majelis hakim dapat memeriksa pokok-pokok permohonan intervensi melalui berkas perkara, termasuk laporan, yang sebelumnya telah diajukan pemohon intervensi selama pemeriksaan di KPPU sehingga jangka waktu tersebut tetap dapat dipenuhi oleh majelis hakim. Penolakan majelis hakim juga telah menutup kesempatan pemohon intervensi (pelaku usaha Pelapor) untuk memperoleh keadilan. 



Preseden tersebut juga memberikan gambaran keengganan KPPU untuk melaksanakan kewenangannya sebagaimana diamanatkan Pasal 36 huruf j UU No. 5/1999 untuk memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian pelaku usaha lain. Selama pemeriksaan di KPPU, dua pelaku usaha tersebut telah mengajukan bukti-bukti dugaan pelanggaran beserta dengan perhitungan dan bukti kerugian yang mereka derita atas pelanggaran tersebut. Akan tetapi, dalam putusannya, KPPU tidak menetapkan adanya kerugian meskipun secara kontradiktif mengakui adanya tindakan anti-persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha Terlapor. 


b. Kesalahpahaman mengenai Pemeriksaan Tambahan 

Pasal 6 ayat (1) Perma No. 3/2005[6] mengatur majelis hakim dapat memerintahkan KPPU melalui putusan sela untuk dilakukannya pemeriksaan tambahan apabila mejelis hakim berpendapat hal itu perlu dilakukan. Dalam ayat selanjutnya pada pasal yang sama telah ditentukan bahwa perintah tersebut memuat hal-hal yang harus diperiksa dengan alasan-alasan yang jelas dan jangka waktu pemeriksaan tambahan yang diperlukan. Meskipun pasal itu menjelaskan bahwa esensi pemeriksaan esensi pemeriksaan tambahan adalah untuk kebutuhan majelis hakim yang memeriksa perkara Keberatan, namun dalam prakteknya pemeriksaan tambahan cenderung menjadi forum yang subyektif bagi KPPU untuk mencari-cari keterangan dan atau bukti yang dapat menguatkan pertimbangan-pertimbangan KPPU dalam putusannya. 



Sebagai contoh adalah pemeriksaan tambahan dalam perkara Keberatan terhadap putusan KPPU terkait industri farmasi. Dalam pemeriksaan tambahan perkara tersebut, KPPU mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada ahli diluar dari pertanyaan-pertanyaan yang diperintahkan majelis hakim pemeriksa perkara dalam putusan selanya dimana terkesan dilakukan untuk kepentingan subjektif KPPU sebagaimana disebutkan di atas. 
c. Inkonsistensi Pembuktian dalam Upaya Hukum Keberatan dengan Pembuktian dalam Pemeriksaan di KPPU 

Pemberlakuan Pasal 8 Perma No. 3/2005 yang menentukan ketentuan hukum acara perdata diterapkan dalam perkara Keberatan kecuali ditentukan lain dalam perma menyimpulkan bahwa alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan perkara Keberatan adalah alat bukti yang dikenal dalam hukum acara perdata. Sebagaimana diatur Pasal 164 Herziene Inlands Reglement (HIR), alat bukti dalam hukum acara perdata adalah: (1) surat, (2) saksi, (3) persangkaan, (4) pengakuan, dan (5) sumpah. Penggunaan alat bukti tersebut berbeda dengan penggunaan alat bukti selama pemeriksaan di KPPU sebagaimana telah dijelaskan di atas yang memiliki pendekatan hukum acara pidana. 



Ketidakkonsistenan hukum acara, khususnya mengenai penggunaan alat bukti, sangat mungkin menimbulkan masalah terkait pertimbangan atau pengambilan keputusan. Tidak jarang putusan KPPU hanya mengedepankan alat bukti indirect evidence dimana pembuktian tersebut sangatlah lemah di hadapan hukum acara perdata yang lebih mengedepankan hard evidence. Maka, dalam praktek, tidak sedikit putusan KPPU yang akhirnya dibatalkan oleh pengadilan negeri yang memeriksa perkara Keberatan. Oleh karena itu, mengingat dalam beberapa perkara sangat sulit untuk menemukan hard evidence serta menimbang kekhasan hukum persaingan usaha, maka hukum persaingan usaha tidak dapat menggunakan pendekatan hukum acara perdata melainkan menggunakan pendekatan hukum acara tersendiri atau setidaknya menggunakan pendekatan hukum acara pidana. 



3. Permasalahan Penanganan Perkara Class Action di Peradilan Umum 

Dalam beberapa putusannya, KPPU Sering menetapkan adanya kerugian yang dialami oleh masyarakat atas suatu tindakan anti-persaingan. Salah satunya dalam Putusan 07/KPPU-I/2007 terkait kelompok usaha Temasek, KPPU menyatakan adanya kerugian konsumen sebesar Rp.14.764.980.000.000,00 dan maksimal sebesar Rp.30.808.720.000.000,00. Atas putusan tersebut, beberapa kelompok masyarakat mengajukan upaya hukum gugatan perwakilan kelompok (class action) guna menuntut pemenuhan ganti rugi tersebut. Akan tetapi, semua class action tersebut berujung pada penolakan pengadilan negeri dengan dasar tidak terpenuhinya syarat formal mengenai kejelasan mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian sebagaimana ditentukan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (“Perma No. 1/2002”)[7]



Sebaiknya mulai dipikirkan untuk membuat mekanisme yang mampu mengakomodasi class action berdasarkan Putusan KPPU atas tindakan anti-persaingan yang menimbulkan kerugian kepada masyarakat secara masif, kerugian yang mungkin sangat sulit untuk diperinci secara jelas kepada tiap-tiap pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, mungkin dapat pula dibuat mekanisme lain yang mampu mengkompensasi kerugian tersebut, sebagai contoh memberikan ganti rugi yang dialami masyarakat kepada pemerintah untuk kemudian dapat dialokasikan guna memulihkan sektor yang telah dirugikan atas tindakan anti-persaingan. 




[1] Pasal 8 Perma No. 3/2005 berbunyi “Kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, Hukum Acara Perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap Pengadilan Negeri.” 


[2] Pasal 5 ayat (4) Perma No. 3/2005 berbunyi “Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan KPPU dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).” 


[3] Pasal 5 ayat (3) Perma No. 3/2005 berbunyi “Pemeriksaan dilakukan tanpa melalui proses mediasi”. 


[4] Pasal 2 ayat (3) Perma No. 3/2005 berbunyi “Dalam hal diajukan keberatan, KPPU merupakan pihak”. 


[5] Pasal 5 ayat (5) Perma No. 3/2005 berbunyi “Majelis Hakim harus memberikan putusan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut.” 


[6] Pasal 6 ayat (1) Perma No. 3/2005 berbunyi “Dalam hal Majelis Hakim berpendapat perlu pemeriksaan tambahan, maka melalui putusan sela memerintahkan kepada KPPU untuk dilakukan pemeriksaan tambahan.” 


[7] Pasal 3 Perma No. 1/2002 menyaratkan gugatan perwakilan kelompok harus memenuhi syarat formal dimana salah satunya tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci dan memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok.

0 komentar:

Posting Komentar