Senin, 20 Mei 2013


JENIS-JENIS SANKSI (PIDANA) 
DALAM KONSEP RUU KUHP NASIONAL

I. Pendahuluan

            Masalah pidana merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam pelajaran hukum, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri (Maurach).[1]  Sedangkan di dalam Sistem Peradilan  Pidana (Crimminal Justice System) , pidana menempati posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Lebih-lebih kalau keputusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang “kontroversial”, sebab kebenaran di dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung dari mana kita memandangnya.[2] Masalah pidana dan pemidanaan di dalam sejarah umat manusia selalu mengalami perubahan, yang dilakukan sesuai dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Perkembangan perumusan sanksi (pidana) di beberapa negara terutama di Eropa Barat sudah lebih maju bila dibandingkan jenis sanksi pidana yang diatur dalam KUHP.  Dalam rangka mengejar ketinggalan hukum pidana dari perkembangan teknologi canggih, maka terjadi perubahan hukum pidana terutama sistem stelsel sanksinya dengan pesatnya. Ada negara yang melakukan revisi total KUHP-nya seperti Jerman, Austria 1975), RRC (1980). Ada pula yang terus-menerus menyisipkan dan mencabut pasal-pasal tertentu,  seperti Belanda, yang hampir setiap tahun melakukan perubahan KUHP. Indonesia termasuk negara yang sangat lamban melakukan perubahan KUHP. Sebagai bahan pembanding Jerman melakukan perubahan sangat luas yang mereka sebut revisi yang pada hakikatnya merupakan penyusunan KUHP Baru pada tahun 1975 dengan Undang-undang Reform KUHP yang ke 13 (13 Juni 1975) KUHP Baru ini pun berkali-kali direvisi dalam kurun waktu sangat pendek.[3]
            Reform ke 14 ( 22 April 1976), Reform ke 15 (18 Mei 1976), Undang-undang 2 Juli 1976, Undang-undang Kejahatan Ekonomi 29 Juli 1976, Reform ke 16 (16 Juli 1979), Reform ke 17 (21 Desember 1979), Reform ke 18 ( 28 Maret 1980), Reform ke 19 ( 7 Agustus 1981), Reform ke 20 (8 Desember 1981). Sesudah itu beberapa lagi undang-undang dikeluarkan sebelum reform ke 21 ( 13 Juni 1985), Reform ke 22 (18 Juli 1985), lalu ada lagi Amandemen KUHP 18 Juli 1985, disusul Reform ke 23 ( 4 April 1986), Undang-undang Kejahatan Ekonomi Kedua 15 Mei 1986 dan Undang-undang  Anti  Terorisme 19 Desember 1986. Kalau kita melihat perkembangan pembaharuan ( Reform ) dan Undang-undang Jerman yang dikeluarkan dalam kurun waktu 11 tahun ( 1975-1986 ), adalah upaya untuk mengejar ketinggalan Hukum Pidananya. [4]

II. Generasi Pembaharuan Sistem Sanksi Pidana

            Secara lebih khusus lagi, maka dapat digambarkan secara bertahap generasi pembaharuan sistem sanksi pidana yang dikemukakan oleh           P.J.P. Tak seorang Guru Besar di Universitas Katholik Nijmengen Belanda yang dimuat di dalam makalahnya yang berjudul “The Advancement of The Fourth Generation of Sanctions of Western Europe” ( UNAFEI Resource Material No. 38 ) mengemukakan, bahwa ada 4 generasi sistem sanksi pidana (modern) yaitu :[5]
1.          Generasi pertama sistem sanksi atau pidana dimana pidana perampasan kemerdekaan (penjara) merupakan pidana utama untuk mengganti pidana mati, pidana siksa badan, pidana kerja paksa dan pidana mendayung kapal. Ini terutama tercantum dalam KUHP negara-negara Eropa Barat. Pidana perampasan kemerdekaan (penjara) ini dipandang bukan saja lebih berprikemanusiaan dan rational, tetapi juga untuk rehabilitasi dan perbaikan kepada pelanggar. Sisa pidana mati di samping pidana penjara masih ada beberapa negara, seperti Belgia, Irlandia, Yunani dan Turki tetapi telah lama dihapus di Portugal 1867, Nederland 1870, Norwegia Raya 1965, Spanyol 1978 dan Prancis 1981, yang masih belum dihapuskan tidak lagi menerapkan dalam praktek. (Abolitio de facto).

2.          Generasi kedua sistem sanksi pidana ditandai dengan tambah populernya pidana penjara di Eropa Barat. Mengambil acuan negara-negara di Eropa Barat, karena negara-negara tersebut telah memberi warna kepada hukum (pidana) negara-negara berkembang bekas jajahan mereka, termasuk Indonesia yang KUHPnya (juga WvK dan BW) bersumber pada Belanda. Bahkan Jepang dan Thailand yang tidak pernah dijajah tidak luput dari pengaruh hukum pidana negara-negara Eropa Barat (Jepang dipengaruhi oleh Jerman, sedangkan Thailand dipengaruhi oleh Inggris).


                Pelaksanaan dan jenis sanksi pidana perampasan kemerdekaan (penjara) berbeda-beda di berbagai negara. Belanda mengenal dua jenis pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan (keduanya dilaksanakan di penjara) yang tentu saja sama dengan yang dikenal dalam KUHP Indonesia. Tetapi dalam Rancangan KUHP baru, tidak ada pidana kurungan, yang ada di samping pidana penjara, ialah pidana tutupan yang disediakan bagi penjahat politik. Di samping Belanda, Belgia juga mengenal pidana kurungan, tutupan (opsluiting) dan pidana penjara.
Sesudah Perang Dunia II ada kecenderungan untuk menjadikan pidana perampasan kemerdekaan menjadi satu jenis saja. Demikianlah sehingga hanya satu jenis pidana perampasan kemerdekaan di Norwegia (1962), di Jerman (1969), di Austria (1974) dan di Portugal (1983).
                Pidana penjara ditentukan maksimum secara khusus pada setiap delik, sedangkan minimumnya ditentukan secara umum. Berat ringannya pidana penjara ditentukan berdasarkan seriusnya kejahatan itu secara relatif. Kemudian, dirasakan adanya kelemahan terhadap pidana penjara  ini terutama yang singkat (yang bulanan sampai dengan satu tahun). Dipandang pidana penjara yang singkat itu tidak relatif, bahkan dapat lebih menambah kadar jahatnya seseorang dengan berguru pada penjahat kakap di dalam penjara juga stigma pada pidana penjara. Juga menambah pembiayaan yang dikeluarkan oleh negara. Pada generasi kedua inilah muncul pidana bersyarat untuk delik yang tidak terlalu berat (di Indonesia maksimum pidana penjara satu tahun dapat dikenakan pidana bersyarat ). (diatur di dalam Pasal 14 a s/d f KUHP).
                Dalam usaha menemukan alternatif lain dari pidana penjara (terutama yang singkat) inilah muncul generasi ketiga sistem sanksi pidana, terutama berupa denda.

3.          Generasi ketiga, yaitu usaha mengefektifkan pidana denda sebagai sanksi. Pidana denda di dalam KUHP Belanda yang semula sama dengan KUHP, yaitu ditentukan maksimumnya secara khusus pada setiap delik sesuai dengan kadar seriusnya, sedangkan minimumnya ditentukan secara umum (sama untuk semua delik). Tidak dikenal penerapan sanksi denda bersama dengan pidana penjara. Tetapi kemudian, Belanda mengubahnya ada delik tertentu umumnya yang menimbulkan kerugian materiil yang dimungkinkan pengenaan denda bersama pidana penjara. Juga Belanda memperkenalkan sistem denda berdasarkan kategori. Kategori I sampai dengan kategori VI. Semua ini tentulah untuk meng-efektifkan pidana denda. Semua delik dalam KUHP Belanda juga terdapat alternatif dendanya jika ada pidana penjara.
                Sistem pidana denda yang baru diperkenalkan oleh negara-negara Skandinavia (Finlandia dan Swedia), kemudian diikuti oleh jerman, Austria, Perancis dan Portugal, yang disebut denda harian (day fine), maksudnya denda didasarkan kepada kemampuan keuangan orang per hari. Tentulah pendapatannya perhari dikurangi dengan utang-utangnya. Jadi, untuk delik yang sama dipidana denda tidak sama karena ditentukan berdasarkan kemampuan keuangan pelanggar. Satuan hari berbeda antara negara yang satu dengan yang lain. Bagitu pula maksimum dan minimum per hari ditentukan dalam KUHP. Di Swedia satu hari maksimum dendanya 1.000 Crown sedangkan minimumnya 10 Crown. Satuan hari di swedia minimum 1 dan maksimum 180 yang tentu ini sama dengan 6 bulan (6 kali 30 hari = 180 hari).
                Di Jerman hanya yang dipidana 3 bulan atau kurang diganti dengan denda harian. Di Perancis hanya delik-delik ringan yang dikenakan denda harian dan dalam praktek sangat sedikit kasus yang dikenakan denda harian itu.
Ada negara-negara yang menerapkan denda harian secara konsekuen misalnya Yunani dalam Pasal 82 KUHP-nya ditentukan, bahwa semua pidana penjara tidak lebih dari 6 bulan dikonversi menjadi denda harian. Bahkan pengadilan dapat mengenakan denda harian sampai pada pidana penjara 18 bulan jika dipandang cukup memadai menerapkan pidana denda harian untuk membuat jera pelanggar melakukan delik berikutnya.
Demikian, sehingga dari semua pidana perampasan kemerdekaan Yunani, hanya 4 % dilaksanakan di penjara.

4.          Generasi keempat sistem sanksi pidana muncul ketika pidana yang ditunda dan pidana denda mulai dirasakan juga kurang jika diterapkan secara luas, karena akan mengurangi kredibilitasnya. Alternatif lain dari pidana perampasan kemerdekaan mulai ditemukan yaitu sanksi-sanksi alternatif. Yang dimaksud dengan sanksi alternatif itu, ialah pidana kerja sosial, pidana pengawasan (control) dan perhatian kepada korban kejahatan mulai meningkat, sehingga diperkenalkan ganti kerugian kepada korban kejahatan oleh pelanggar sebagai sanksi alternatif.

            Dalam konferensi Internasional mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offender ke VII dikeluarkan resolusi untuk mengurangi populasi pidana penjara, alternatif pidana penjara dan integrasi sosial narapidana. Menurut P.J.P Tak, hanya tiga alternatif yang sesuai dengan resolusi itu, yaitu :[6]
  1. Kontrak untuk pembinaan (contract treatment).
  2. Pencabutan dan larangan mengenai hak-hak dan izin (deprivation and interdicts concerning rights or licences).
  3. Kerja sosial (community service)


            Kontrak untuk pembinaan diperkenalkan di Swedia dengan Undang-undang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1988 yang telah dimulai dengan eksperimen sejak tahun 1978. Ini merupakan sanksi yang disetujui oleh pelanggar, berupa pembinaan atau treatment terutama pada pemabuk atau pecandu obat bius atau pelanggar yang memerlukan pembinaan atau penyembuhan. Pengadilan akan memutuskan contract treatment sebagai bagian dari syarat pidana percobaan. Jika pelanggar melanggar kontrak ini, ia akan menjalani pidana penjara. Lamanya pembinaan (treatment) dan supervisi sesudahnya dibatasi sampai 2 tahun.
            Mengenai pencabutan atau larangan hak dan izin, contohnya Perancis, yang dengan Undang-undang 11 Juli 1975, menentukan satu atau lebih sanksi ini sebagai pidana utama :[7]
a.          Penarikan menyeluruh atau sebagian izin mengemudi sampai dengan 5 tahun,
b.          Larangan mengemudi kendaraan tertentu sampai 5 tahun,
c.           Perampasan satu atau lebih kendaraan kepunyaan terpidana,
d.          Larangan memiliki senjata sampai 5 tahun,
e.          Pencabutan izin berburu dan larangan pemberian izin baru sampai dengan 5 tahun, dan
f.            Perampasan satu atau lebih senjata yang dimiliki atau dibuang oleh terdakwa.

            Mengenai Pidana Kerja Sosial (community service order) yang juga telah dicantumkan di dalam RUU KUHP Indonesia, di beberapa negara masih dalam tahap percobaan, seperti Norwegia, Denmark dan Belanda.
            Di samping itu ada negara seperti Swedia menolak pidana kerja sosial itu dengan alasan :[8]
  1. Masih kurang angka-angka mengenai efektivitas kerja sosial.
  2. Kerja Sosial itu memerlukan keahlian sedangkan mayoritas penghuni penjara Swedia adalah pemabuk dan pecandu Narkotika yang tidak tahu bekerja.
  3. Pekerjaan di Swedia bersifat profesional, sehingga sulit pelaksanaan kerja sosial itu.
  4. Bekerja itu adalah jalan hidup. Sulit kerja sosial itu dipandang sebagai pidana.


            Di Denmark pidana kerja sosial dikaitkan dengan pidana percobaan (pidana bersyarat) yang 6 sampai 8 bulan penjara yang dapat dipidana kerja sosial ialah pengemudi, pemabuk; masa kerja minimum 40 jam, maksimum 200 jam.
            Di Norwegia, maksimum kerja sosial ialah 240 jam. Pidana penjara yang dapat diganti dengan kerja sosial ialah 12 bulan. Pidana kerja sosial terutama pada delik harta benda.
            Belanda dengan undang-undang tahun 1987 ingin pidana kerja sosial diatur berdasarkan undang-undang, berdasarkan ketentuan undang-undang itu maka jumlah jam kerja 240 jam dan harus diselesaikan dalam 6 bulan.
            Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kerja sosial bagi pidana tanpa syarat , yaitu 6 bulan atau kurang.
            Sebagai suatu praktek penanganan perkara, di New Zealand pun telah diterapkan kerja sosial bagi perkara-perkara kecil. Terdakwa cukup minta maaf kepada korban, ganti kerugian dan kerja sosial.
            Program tersebut bersifat pengalihan ( tidak diajukan ke pengadilan ). Pelanggaran itu harus tidak serius. Pelanggar, korban dan petugas polisi harus semuanya sepakat untuk pengalihan.
            Program pengalihan pada umumnya meliputi peringatan dari koordinator pengalihan polisi dan permintaan maaf kepada korban. Pelanggar harus juga menulis surat minta maaf kepada petugas polisi yang bertanggung jawab atas kasus tersebut, memberikan sumbangan derma dan ganti kerugian sepenuhnya kepada korban dan melakukan pekerjaan sosial.
            Dalam kasus pencurian toko, pelanggar pada umumnya disyaratkan memberi sumbangan 50 dolar New Zealand (27 dolar US) untuk biaya keamanan toko itu. Kerja sosial dapat berupa membantu dewan lokal, organisasi olah raga, Departemen Konservasi atau polisi itu sendiri.
            Ada pun negara-negara yang telah mencantumkan dalam undang-undang sistem sanksinya, seperti Britania Raya, Perancis, Portugal, Italia, Jerman, Luxemburg, Nowegia dan Swiss. Norwegia secara khusus tidak saja untuk mengganti pidana penjara, tetapi juga sanksi-sanksi lain dan akibat sanksi itu .[9]
            Atas dasar perkembangan sanksi pidana tersebut di atas, pertanyaan yang sekarang ini timbul berkaitan dengan masalah pidana dan pemidanaan, khususnya di kalangan ahli hukum pidana, hukum pelaksanaan pidana dan kriminolog, adalah bukan suatu pertanyaan yang dimulai dengan ”apa ?”, “mengapa?,”  dan bagaimana seharusnya ?, tetapi juga pertanyaan  yang menyangkut persoalan filsafat yaitu apa  yang menjadi hakikat dari pidana dan pemidanaan. Termasuk di dalamnya tentang stelsel sanksi , yang merupakan salah satu tiang pokok dalam  membicarakan hukum pidana.

DAFTAR PUSTAKA
Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice : The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy  to Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, ( The Australian National University, Asghate Publising Ltd, 2000),

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, ( Jakarta, Pradnya Paramita,1993)

 Barda Nawawi Arief,  Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo Dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP, Seminar Nasional “ Menyongsong  Berlakuknya KUHP Nasional ( FH UNUD, Denpasar, 30 April 2005)

----------------------, Ide-Ide Dasar (Pokok Pemikiran) Perubahan/Pembaharuan KUHP, Disampaikan Dalam Rangka Silaturahmi Akademik Di STHB, Bandung 12 Juli 2005

Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International  Human Rights, Restorative Justice : International Perspektive, Edited by Burt Galaway  and Joe Hudson, ( Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland), Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3

Dwidja Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung,STHB Press,2005)

-------------------, Alternatif Model Pengaturan Sanksi Pidana Pada Korporasi ( Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi), Pidato Pengukuhan Guru Besar di STHB, Bandung 26 September 2006


Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas;Tinjauan Etis  dan Budaya ( PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997)

ELSAM , Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3

J.E.Sahetapy , Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap  Pembunuhan Berencana,  (Rajawali Pers, Jakarta, 1982)

Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses, Background Paper for the  International Society for Reform of Criminal Law 13 th International Coference Commercial and Financial Fraud : A Comparative Perspective, Malta, 8-12 July 1999, ( Canada, The International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy)

Michael Tonry, Sentencing Matters, Oxford University Press, New York, 1996

Mohammad Noor Syam, et al, Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis  ( Lembaga Penerbitan UNBRAW, Malang,1981)

Muladi dan Barda Nawawi  Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung, Alumni, 1992)

Muladi, Proyeksi Hukum Materiil Indonesia Di Masa Datang, Pidato Pengukuhan  Guru Besar UNDIP, Semarang,1990

--------------------, Kapita Selekta  Sistem Peradilan Pidana, (Badan Penerbit UNDIP, Semarang,1995).

Prefontaine, Daniel C.,”Effective Criminal Sanctions Against Corporate Entities – Commentary :Canada,” Paper presented at the International Colloquium on Criminal Responsibility of Legal and Collective Entities, 4-6 May 1998.Berlin, Germany.

Sholehuddin. M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar  Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003)

Soedarto.R,  Pemidanaan, Pidana dan Tindakan,  ( Semarang, FH UNDIP,1987)

Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publishing Company, New York 1987


>>>>>>>>>selanjutnya klik di bawah<<<<<<<<<<<<

di dalam Konsep R.KUHP Nasional

0 komentar:

Posting Komentar