Selasa, 21 Mei 2013


INTERASI POLITIK DALAM PEMBENTUKAN HUKUM
STUDI UU NOMOR 32 TAHUN 2004  TENTANG 
PEMERINTAHAN DAERAH 

1.        Latar Belakang 

Pemikiran yang melatarbelakangi penulis mengambil judul ”Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum” untuk orasi ilmiah dalam rangka Dies Natalis Fakult as Hukum UNNES tahun 2009 ini yaitu,  pertama, adanya realita bahwa antara hukum dan politik keduanya tidak dapat dipisahkan baik dalm pembentukan maupun implementasinya. Soehardjo SS, pakar hukum tata negara Undip, mengatakan “…antara hukum dan politik adalah pasangan, bila hukum dikaitkan dengan recht, politik dikaitkan dengan macht, dengan demikian, hubungan antara keduanya diungkapkan sebagai: ”. . . recht bendichte Werking des macht, nicht macht bendichte Werking des recht....”[1]  Studi Moh. Mahfud (1994)[2] dalam disertasinya yang berjudul ”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia”, menunjukkan bahwa ada pengaruh cukup signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia. Karena itu, kata Mahfud, kebanyakan produk hukum sudah terkooptasi kekuasaan atau Muladi[3] menyebutnya terjadi ”instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum” dalam kehidupan sosial. Begitu pula studi yang dilakukan Loeby Loqman tentang tindak pidana politik sedikit banyak memberi gambaran tentang ketidakjelasan konsep tindak pidana politik dalam perundang-undangan di Indonesia. Ketidakjelasan ini dapat dilihat pada produk putusan peradilan pidana, yaitu, yang di dalamnya terdapat inkonsistensi antara satu putusan dengan putusan lainnya.  Kedua, masih sedikit  literatur yang  dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam rangka pendidikan hukum[5], pengkajian, dan pengembangan  ilmu hukum[6] bidang politik. Literatur yang ada selama ini[7] lebih banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi
( cita dan tujuan hukum
[8] ) serta bentuknya, dan bukan pada sisi proses pembentukannya, yang sarat dengan konflik kepentingan ( conflict of interest ), hegemoni politik, dan kompromi politik, sehingga arah dan konsentrasi pengkajiannya lebih banyak pada persoalan prosedur dan legalitas pembentukan hukum. 
Sedangkan pemikiran yang melatarbelakangi dijadikannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai konsentrasi studi kasus dalam pembentukan hukum dan implementasinya,  yaitu : pertama, bahwa UU Pemda tersebut selain substansinya mengatur tentang otonomi daerah  juga mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tentu dalam proses pembentukan dan implementasinya sarat dengan interaksi politik,  karena menyangkut langsung kepentingan partai-partai politik.  Kedua, di banyak daerah implementasi UU tentang Pemda tersebut banyak menimbulkan konflik politik dan gejolak di masyarakat, berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tentu sangat menarik untuk dijadikan sebagai objek penelitian karena terjadinya diskongruensi antara das sein dan das sollen dengan dibentuknya UU Pemda tersebut.

2.     Rumusan Permasalahan.
Secara teoretis permasalahan muncul karena adanya jarak antara harapan atau Das Sollen dengan kenyataan atau Das Sein dibentuknya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, yaitu untuk mempercepat  otonomisasi di daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi guna mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera dan adil. Kenyataan yang terjadi di masyarakat pascakeluarnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menunjukkan hal berbeda, banyak protes dari masyarakat terkait dengan isi atau muatan UU Pemda tersebut[9] yang dianggap kurang menjamin kesamaan hak warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, gejolak dan kekacauan banyak terjadi daerah yang menyebabkan terjadinya instabilitas daerah,  yang semuanya itu menjadi faktor kendala bagi percepatan pelaksanaan otonomi daerah[10]. Dengan kata lain terjadi diskongruensi[11] antara kenyataan dan harapan. Mendasarkan pada  judul  penelitian ini yaitu : “Interaksi Politik” dalam Pembentukan Hukum, Studi tentang Pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Implementasinya dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Jawa Tengah”, maka permasalahan pokok dalam disertasi ini yaitu :
1.     Bagaimana interaksi politik dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terjadi ?
2.     Sejauhmana interaksi politik dalam proses pembentukan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berpengaruh terhadap karakter hukum ?
3.       Benarkah UU 32 Tahun 2004 belum menjamin terselenggranya pembangunan demokrasi dengan baik di Indonesi ?
4.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan tentang  “Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum” untuk  orasi ilimiah pada acara kegiatan Dies Natalis Fakulat UNNES tahun 2009, yaitu :
1.     Untuk mengetahui lebih dekat sejauhmana interaksi politik yang terjadi dalam prses pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) Republik Indonesia ?
2.      Sejauhmana interaksi politik dalam proses pembentukan hukum (UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerinta Daerah ) berpengaruh terhadap karakter hukum ?
3.      Manfaat Penulisan
Sedangkan manfaat dari tulisan”Interaksi Politik dalam Prose Pembentukan Hukum “  Studi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,  yaitu pertama, secara akademis, hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan teori pada khazanah ilmu hukum bidang politik, terutama menyangkut interaksi politik dalam pembentukan undang-undang. Kedua,  tulisan ini  dapat menjadi titik tolak  untuk melakukan pengujian dan pemaknaan secara kritis terhadap beberbagai konsep, teori, dan paradigma hukum bidang politik. Tulisan ini  dapt menjadi “informasi ilmiah” bagi eksekutif dan legislatif   dan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam merancang kebijakan hukum bidang politik yang lebih transparan, demokratis, dan berkeadilan, serta humanis. Di samping itu, tulisan ini dapat pula  menjadi  masukan  bagi pembaharuan  dan pengembangan ilmu[12] hukum, khususnya bidang politik.

Pondasi Teori
Teori-teori[13] yang digunakan sebagai pondasi di sini   adalah teori-teori  yang relevan dengan judul disertasi ini, baik dilihat dari substansi maupun  segi konteksnya, terutama dalam konteks Indonesia di mana di satu pihak Indonesia memiliki  heterogenitas nilai, suku, agama, di pihak lain secara nasional menganut hukum nasional yang harus dianut oleh seluruh warga bangsa. Selain itu, teori-teori yang diangkat di sini diharapkan bisa menjadi model wacana teoritis yang dapat membantu dalam mengembangkan perspektif hukum dalam bidang politik di Indonesia, terutama untuk kepentingan ilmiah, legislatif, yudikatif dan eksekutif. Teori-teori yang diangkat di sini diharapkan dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam bab pembahasan.
Penjelasan teoretis yang dibahas menyangkut empat hal, yaitu
(1) hukum, (2) pembentukan hukum, (3) implementasi hukum, dan
(4) interaksi politik dalam pembentukan hukum dan implementasinya.  Mengingat salah satu tujuan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 diantaranya untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan demokratis, maka juga dimunculkan beberapa teori tentang  pembentukan hukum yang demokratis.
a.     Teori Hukum
Pondasi teori penulisan ini yaitu Untuk teori hukum, yang dipilih adalah teori dari Nonet dan Selznick tentang hukum yang responsif, serta teori kritis atau Critical Legal Studies (CLS) dari Roberto Mangabeira Unger. Kedua teori hukum tersebut merupakan paradigma baru dalam hukum dan meninggalkan paradigma lama. Dalam paradigma baru,  hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat[14]. Untuk itu, tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik. Hukum  yang demikian ini akan lebih mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog untuk memberikan wacana dan adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu, hukum yang responsif tidak lagi mendasarkan pertimbangan juridis belaka, melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the morrow, it must have a principle”[15]. Hukum sebagai sarana saja. Sebaliknya, keadilan harus menjadi tujuan yang mau dikejar, meskipun tidak selalu menggunakan perspektif hukum. Karena itu diskresi dalam artian positif perlu digunakan, tetapi tetap berpedoman bahwa diskresi dilakukan untuk memperoleh keadilan substantif. Dengan demikian, fleksibilitas hukum yang responsif itu tinggi terhadap hal-hal lain di luar hukum.
Konsep pembangunan hukum yang responsif yang dirumuskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick adalah sebuah konsep hukum yang memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat mendesak dan terhadap masalah-masalah keadilan sosial sambil tetap mempertahankan hasil-­hasil institusional yang telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum.
Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas kritik bahwa seringkali hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri[16]. Sekalipun tesis Nonet dan Selznick ini bukanlah teori yang mampu menyelesaikan semua problem praktis, tetapi memberikan perspektif dan kriteria untuk mendiagnosis dan menganalisis problem-­problem hukum yang muncul di masyarakat dengan penekanan khusus atas dilema-­dilema institusional dan pilihan-pilihan kebijakan yang kritis[17]
Pada keadaan terdapatnya hukum responsif, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam pengertian ini, arena hukum menjadi semacam forum politik, dan partisipasi hukum mengandung dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan wahana bagi kelompok atau organisasi untuk berperan serta dalam menentukan kebijaksanaan umum[18]. Dalam konteks kebijakan hukum, pembangunan hukum seharusnya mencakup tiga hal. Pertama, menjamin keadilan dalam masyarakat. Kedua, menciptakan ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum. Kepastian hukum berkaitan dengan efektifitas hukum akan terjamin hanya bila negara mempunyai sarana-sarana yang memadai untuk memastikan berlakunya peraturan-peraturan yang ada. Dalam hal ini aparat penegak hukum memainkan peranan penting. Ketiga, mewujudkan kegunaan dengan menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan bersama secara konkrit[19]. Dengan bergulirnya reformasi banyak pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap pembaharuan hukum di Indonesia, mulai dari lembaga-lembaga pemerintah, partai politik, LSM hingga calon-calon Presiden dan Wapres. Munculnya berbagai kontribusi pembaharuan hukum ini merupakan wujud keprihatinan bangsa atas keterpurukan kondisi hukum sejak pemerintahan orde lama yang mencapai puncaknya pada pemerintahan orde baru. Pada kedua orde itu, pembangunan hukum kurang menjadi fokus perhatian pemerintahan[20].
Searah dengan teori hukum responsif adalah teori hukum kritis dengan tokohnya Roberto Mangabeira Unger tentang Hukum Kritis atau Critical Legal Studies ( CLS )[21] atau lebih dikenal di Indonesia dengan Gerakan Studi Hukum Kritis ( GSHK ). Teori hukum kritis ini diplih karena teori hukum inilah yang paling relevan dengan judul disertasi ini. Roberto M. Unger,  secara terang-terangan menolak teori tentang pemisahan hukum dan politik ( law politics distinction ). Menurutnya, tidak mungkin dalam proses-proses hukum,  apakah  dalam membuat undang-undang atau menafsirkannya, berlangsung dalam konteks bebas atau netral dari pengaruh-pengaruh moral, agama,  dan pluralisme politik. Lebih lanjut Unger mengatakan bahwa tidak mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis. Hubungan hukum dengan lingkungan sosial menurut Unger dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjective and poliy-dependent as politics”[22].
Roberto M. Unger juga menjelaskan tidak mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan ideologis di balik putusan­-putusan hakim dan undang-undang. Bagi kalangan GSHK, hukum itu dikonstruksikan sebagai "negotiable, subjective and policy-dependent as politics".
Menurut Unger ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin membayangkan netralitas dan objektivitas hukum, seperti dikutip di bawah ini:
First, procedure is inseparable from out came: every method makes certain legislative choices more likely than others... Second, each law making system it self embodies certain values; it incorporates a view of how power ought to be distributed in the society and how conflicts should be resolved[23]."

Dengan mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan kebijakan hukum, Unger menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik,  analisis hukum tidak  hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata, sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial[24].
Roberto M. Unger mengajukan kritik keras terhadap tradisi hukum liberal, khususnya terhadap formal­ism dan objectivism. Inti serangan Unger terhadap formalisme dan objektivisme yaitu untuk menunjukkan tidak sahihnya proyek ahli hukum klasik abad ke-19, yang membayangkan bahwa di dalam struktur hukum sudah terpasang-tetap
(built) demokrasi dan pasar. Percobaan memberlakukan konsep ini menjadi perincian teknis hukum, menurut Unger justru berakhir dengan memperlihatkan kedok kepalsuannya.
Unger menentang formalisme dan objektivisme itu dengan titik tolak dari pemikiran bahwa setiap cabang doktrin harus bersandar diam­-diam, kalau tidak secara terang-terangan, pada suatu bentuk-bentuk interaksi manusia yang riil dan realitis di bidang kehidupan realistik masyarakat tempat doktrin itu berlaku. Itu artinya diperlukan suatu teori sosial yang dapat dipercaya. Katakanlah misalnya, seorang ahli hukum tata negara, ia membutuhkan teori tentang republik demokratis yang menggambarkan hubungan yang tetap antara masyarakat dan negara, sebelum ia memahami atau mem­bangun suatu doktrin hukum di bidang tata negara.
Unger mengusulkan peninjauan ulang terhadap teori-­teori sosial utama, yang menawarkan perubahan linear masyara­kat. Unger tidak mempercayai keniscayaan jalannya sejarah - sebagaimana yang menjadi premis teori-teori sosial seperti Marx­isme misalnya. Unger juga terobsesi oleh pencarian alternatif yang radikal baik terhadap Marxisme maupun Liberalisme[25].  Dalam konteks pen­carian terhadap alternatif inilah Unger menawarkan suatu program yang disebutnya sebagai "Superliberalism"[26]. Menurutnya yang dimaksud dengan superliberalisme, oleh Unger dijelaskan sebagai berikut :
Program ini mendesak fondasi pikiran liberal tentang negara dan masyarakat, tentang kemerdekaan dari ketergantungan dan penguasaan hubungan sosial oleh kemauan, sampai ke titik ketika semuanya melebur menjadi suatu ambisi besar: pembentukan suatu dunia sosial yang tidak begitu asing bagi suatu kepribadian yang dapat senantiasa melanggar peraturan generatif dari bangunan mental dan sosialnya sendiri serta menempatkan peraturan dan bangunan lain sebagai gantinya.


1.4.1    Teori Bekerjanya Hukum ( Pembentukan dan Implementasi ) dari Robert Seidman
Teori yang digunakan untuk melakukan analisis teoretis tentang pembentukan hukum dan implementasinya adalah teori dari Robert Seidman yaitu teori tentang bekerjanya hukum. Teori ini akan  didayagunakan untuk melakukan analisis tentang pembentukan hukum  sekaligus juga untuk melakukan analisis terhadap implementasi hukum[27]. Menurut teori ini, pembentukan hukum dan implementasinya tidak akan lepas dari pengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan sosial dan personal[28], terutama pengaruh atau asupan kekuatan sosial politik.
Dengan menggunakan teori bekerjanya hukum ini akan dapat dijelaskan bagaimana pengaruh dari personal, lingkungan ekonomi, sosial, budaya, serta politik dalam proses pembentukan dan implementasinya. Itulah sebabnya kualitas dan karakter hukum juga tidak lepas dari pengaruh bekerjanya kekuatan-kekuatan dan personal tersebut[29], terutama kekuatan-kekuatan politik pada saat hukum itu dibentuk. Dalam konteks disertasi ini maka kekuatan-kekuatan yang dimaksud adalah realitas kekuatan-kekuatan politik di lingkungan di DPR RI, seperti semua fraksi yang ada,  anggota Pansus 22[30], dan pemerintah, dan masyarakat yang semuanya memiliki kepentingan yang besar terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah[31].
Secara konstruktif teori Robert Seidman[32] tentang bekerjanya hukum dilukiskan oleh Satjipto sebagai berikut[33] .
Gambar 1
Bekerjanya Hukum menurut Seidman
sebagaimana dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo
 








Dari model bekerjanya hukum tersebut, oleh Seidman dirumuskan beberapa pernyataan teoretis sebagai berikut:[34]
(1) Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan tentang bagaimana seseorang pemegang peran diharapkan untuk bertindak;
(2) Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang pemegang peran sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas lembaga pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya;
(3) Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi;
(4) Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat undang-undang  sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh berfungsinya peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-saksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas mereka, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi.

1.4.3    Teori Sistem Cybernetics
Cybernetics merupakan salah satu teori sistem mekanis (mechanism system}, yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human life). Cybernetics diambil dari kata Yunani, ”kubernetes” yang sama artinya dengan ”steersman” atau ”governor”, yang dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan istilah ”alat”  atau ”pengatur” (on an engine).  Teori ini untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Norber   Wiener, seorang Guru Besar Matematika di Massachusetts Institute of Technology (MIT)[35].
Teori ini kemudian menjadi teori yang sangat menarik, di samping karena banyak disitir dan bahkan cenderung dikultuskan oleh ahli-ahli ilmu sosial, Karena terutama, pertama, Cybernetics merupakan teori sistem mekanis abad ke-20-an yang dibangun di atas prinsip-prinsip teori fisika, mekanis, dan matematika dalam bentuk kombinasinya dengan teori sistem. Kedua, Cybernetics digunakan untuk menjembatani pertentangan antara teori sistem (organis) dengan teori mekanis. Ketiga, Cybernetics secara khusus di­terapkan dalam perspektif komunikasi sosial. Keempat, secara khusus juga diterapkan di dalam perspektif pengetahuan hukum. Hal yang kemudian perlu disayangkan adalah banyak ahli sosial yang kemudian menggunakan Cybernetics dalam perspektif teori-teori ilmu sosial umum sehingga dalam kondisi tertentu penggunaan itu justru mengakibatkan kaburnya prinsip­-prinsip Cybernetics[36].
1.     Teori Cybernetics
Cybernetics adalah teori komunikasi mekanis yang oleh Wiener dibangun di atas prinsip-prinsip teori fisika dan matematika, khususnya teori probabilitas. Kendatipun bertolak dari perkembangan fisika, namun sangatlah penting diingat bahwa Cybernetics bukanlah teori fisika semata. Adalah lebih tepat mengatakannya sebagai transformasi teori komunikasi mekanis yang berakar pada fisika dan matematika ke dalam bentuk kehidupan manusia.

Wiener menyebutkan ”perintah” (commands) sebagai dasar utama sistem komunikasi. Perintah oleh manusia digunakan sebagai alat untuk mengatur lingkungannya. Sebagai suatu bentuk informasi, perintah merupakan alat yang berada dalam posisi peralihan antara kondisi yang serba tidak teratur dengan kondisi yang serba teratur. Perintah yang dikirim oleh suatu pihak kepada pihak lain melalui sistem komunikasi, tidak selalu dapat dipahami seluruhnya oleh pihak penerima perintah. Tindakan atau sikap, sebagai ekspresi dari reaksi penerima perintah, dan refleksi dari keterpahamannya terhadap perintah yang ia terima, sering menunjukkan kesenjangan antara jumlah perintah dengan reaksi atas perintah yang dikirim itu, sehingga kesalahpahaman, kesenjangan pengertian; merupakan kecenderungan seperti apa yang oleh Gibbs diperkenalkan kepada kita yaitu, pertumbuhan entropi.
Wiener tidak menemukan perbedaan esensial antara proses pemberian dan penerimaan perintah pada mesin dan manusia. Manusia menerima perintah melalui sistem sarafnya yang bekerja menyerupai sistem mekanis, yaitu melakukan proses seleksi terhadap perintah (pesan) yang diterimanya. Proses ini berlangsung pada sistem saraf yang berfungsi sebagai organ seleksi (sensory organ), setelah terlebih dahulu berlangsung proses penerimaan melalui saraf penerima (receptor-organ), seperti misalnya oleh saraf kines­tesia (kinaesthesia), yang secara keseluruhan dikoordinasikan oleh sistem saraf manusia.       
Cybernetics menaruh perhatian besar terhadap proses penyelenggaraan pesan (messages) dalam proses komunikasi itu. Perhatian terpenting oleh Cybernetics ditempatkan pada kesamaan karakteristik yang menjadi dasar dari proses komunikasi itu. Cybernetics akhirnya merupakan suatu teori pesan, khususnya teori tentang kontrol otomatis yang berlangsung pada proses sistem pesan itu, yaitu yang hakikatnya adalah suatu sistem kontrol mekanis.
2.     Prinsip-Prinsip Dasar Cybernetics
Pada dasarnya Cybernetics merupakan teori pesan searah, yaitu proses komunikasi (sistem komunikasi) antara pemberi pesan dengan penerima pesan. Pemberi pesan merupakan pihak pertama yang memberi pesan kepada pihak kedua (penerima pesan) yang mengakibatkan timbulnya reaksi pada pihak kedua untuk memberikan informasi kepada pihak pertama, sejumlah kehendak pihak pertama. Tanpa adanya pesan dari pihak pertama, pihak kedua tidak akan memberi reaksi kepada pihak pertama. Sehingga pihak pertama, melalui pesan yang diberikannya, juga berkedudukan sebagai pusat energi yang mendorong pihak kedua untuk bereaksi, dan sebagai pengendali (controler) yang mengakibatkan pihak kedua hanya melakukan kegiatan (reaksi) sejumlah kehendak pihak pertama. Karenanya, teori ini disebut juga teori energi searah, atau juga teori kontrol searah.
Menurut Wiener, hakikat dari suatu sistem komunikasi adalah sistem pe­rintah searah, dan sistem pengendalian searah. Sistem komunikasi itu me­rupakan proses hubungan antara "pemberi pesan" (komunikan I) dengan "penerima pesan" (komunikan II), melalui hal itu komunikan I memberikan pesan kepada komunikan II. Jawaban dari (pesan balik) komunikan II semata-mata dianggap sebagai reaksi otomatis (akibat) yang disebabkan oleh adanya aksi (pemberian pesan) dari komunikan I, dan adanya pengen­dalian searah dari komunikan I yang mengakibatkan komunikan II meme­nuhi kehendak (perintah - pesan) dari komunikan I. Dalam formulasi kedua (control the action of another person) dari pernyataan Wiener itu, proses perintah searah ini menjadi lebih tegas lagi. Bahwa bagi Wiener, sistem pesan dan sistem kontrol otomatis itu hakikatnya adalah sistem pemberian perintah (imperative mood-order) searah. Karena bagi Wiener, pesan balik (reaksi) dari komunikan atas pesan atau kontrol yang diberikan oleh komunikan I adalah refleksi dari pemahaman dan penerimaan komunikan II atas perintah yang diberikan oleh komunikan I.

Gambar 2
Desain Proses Sistem Komunikasi Menurut Cybernetics
 






Keterangan:
PP            =  pusat perintah; melalui tindakan (action);
input        = data hasil tindakan;
proses      = penerimaan dan Pegolahan data;
output      = hasil pengolahan data; menghasilkan reaksi tindakan/ informasi balik;
kontrol     = monitor terhadap proses pengolahan data; 
feedback   = hasil kontrol; berfungsi sebagai input bagi proses berikutnya.

Komunikan I atau pemberi perintah hanyalah bertugas melepaskan perintah kepada komunikan II, dan perintah itu yang kemudian secara otomatis dianggap melakukan pengendalian otomatis ter­hadap proses pada K II, yang akhirnya membuat K II secara otomatis berproses dan memberikan reaksi sesuai dengan perintah (kehendak) K I. Gambaran ini sekali lagi lebih memenuhi karakteristik sistem pada kesatuan-kesatuan mekanis (mesin), sebab setiap mesin akan bekerja secara otomatis setelah menerima instruksi. Proses penyaluran perintah ini dapat diamati pada setiap proses mekanis pada benda-benda mekanis, seperti komputer, tangga otomatis, proyektor film, dan lain-lain. Menurut Wiener, hal serupalah yang juga dianggap berlangsung pada sistem perilaku manusia[37].
Teori cybernetics ini akan digunakan untuk melakukan analisis terhadap anggota Pansus 22, yaitu Pansus yang ditugasi untuk membahas RUU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.  Sebagai anggota dan kepanjangan tangan dari fraksi, anggota pansus akan memperjuangkan kepentingan politik fraksinya. Demikian juga fraksi, sebagai kepanjangan tangan dari partai, akan memperjuangkan kepentingan partainya terhadap muatan dan isi UU 32 tahun 2004, terutama kepentingan dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepada daerah. Semua aktivitas politik yang dilakukan dan diperjuangkan oleh anggota pansus 22 akan selalu dikontrol dan dikendalikan oleh partainya masing-masing   melalui fraksinya masing-masing di DPR RI.
1.4.4    Teori Implementasi/Penegakan Hukum dari Joseph Goldstein
Menurut Muladi, implementasi atau penegakan hukum ( law enforcement ) adalah suatu usaha  untuk menegakkan dan sekaligus  nilai-nilai yang ada dibelakang norma-norma tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa, penegakan hukum yang ideal harus disertai kesadaran bahwa penegakan hukum merupakan subsistem sosial, sehingga pengaruh lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh politik, ekonomi sosial budaya, Hankam, Iptek, pendidikan dan sebagainya. Itulah sebabnya penegakan hukum tidak bisa hanya dapat mengandalkan logika dan kekuasaan saja[38].
Untuk dapat menganalisis interaksi politik dalam implementasi atau penegakan UU Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanannya, penstudi memilih menggunakan teori penegakan hukum
( law enforcement ) dari Joseph Goldstein
[39],  yang melihat bahwa implementasi atau penegakan hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Total Enforcement, (2) Full Enforcement dan (3) Actual Enforcement. Penegakan hukum menurut Goldstein ini berpangkal dari konsep penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif ( substantive law of crimes ),  namun dalam realitasnya hal ini dimungkinkan dapat dilakukan sepenuhnya, sebab adanya pembatasan dalam hukum acara sendiri sehingga membatasi ruang gerak, disamping pengaruh dari faktor penegak hukum itu sendiri. Oleh karena itu ada ruang dimana tidak dapat dilakukan penegakkan hukum ( Area of No Enforcement ).
Hampir sama dengan Total Enforcement, Full Enforcement  merupakan ruang sisa dari Total Enforcement yang dikurangi oleh Area No Enforcement, merupakan ruang dimana penegak hukum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penegakan hukum itu sendiri. Pada Full Enforcement ini juga digunakan diskresi oleh penegak hukum untuk memutuskan, melanjutkan atau tidak terhadap kasus tersebut. Sementara Actual Enforcement adalah ruang penegakan hukum yang sesungguhnya.
Atas dasar konstruksi pemikiran Joseph Goldstein di atas, memberi pemahaman bahwa dalam implementasi atau penegakan hukum tidak mungkin dapat dilaksanakan secara total enforcement atau full enforcement karena pertama, secara substansial ketidakmungkinan hukum dapat menjangkau sampai pada tujuannya ( ketertiban, keteraturan dan keadilan ) karena adanya pengaruh dan intervensi dalam implementasinya[40], terutama implementasi hukum bidang politik. Kedua, adanya keterbatasan sarana dan prasarana di lingkungan penegak hukum. Ketiga, adanya intervensi atau campur tangan baik dari dalam maupun luar lembaga[41], terutama intervensi kekuatan kekuasaan dan politik.
Pendapat Goldstein tentang penegakan hukum tersebut semakin mendekatkan pada kebenaran untuk memotret implementasi atau penegakan hukum bidang politik di Indonesia, khususnya implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah. Sejak dalam pembentukannya,  undang-undang ini sarat dengan konflik kepentingan politik ( conflict of interest ) oleh fraksi-fraksi, meskipun akhirnya ada konsensus  dan kompromi politik, tetapi bukan berarti tidak menyisakan konflik karena di dalam konsensus dan kompromi politik tersebut ada pihak yang lebih diuntungkan dan ada pihak yang merasa dirugikan. Belum selesainya konflik secara tuntas dalam pembentukan undang-undang menjadi kendala dalam tahap implementasinya karena nampak adanya ketidakadilan dan ketidaksamaan hak politik. Inilah yang menjadikan undang-undang tersebut tidak dapat dilaksanakan secara penuh ( full enforsement ) karena adanya ruang atau area dimana hukum tidak dapat dilaksanakan ( Area No enforcement ).

1.4      Definisi Operasional
Dari judul dan permasalahan  disertasi,  maka perlu diberikan definisi operasional agar tidak salah kaprah dalam menggunakan dan memaknai bahasa dan istilah dalam kerangka disertasi ini.
1.5.1    Interaksi Politik
Yang dimaksudkan interaksi politik dalam disertasi adalah hubungan yang saling mempengaruhi dan menekan antar kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI maupun antar kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI dengan kekuatan politik di luar seperti pressure group, interest group,  elit politik,  sampai kepada pendapat umum ( public opinion ). Interaksi politik yang dimaksud dalam disertasi ini adalah interaksi politik yang terjadi dalam proses revisi UU Nomor 22 Tahun 1999  tentang Pemerintah Daerah  oleh anggota legislatif di DPR RI, anggota Pansus 22, dan Mendagri selaku wakil dari pemerintah.

1.5.2    Pembentukan Hukum
Pembentukan hukum yang dimaksud dalam judul disertasi ini adalah proses pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai hasil revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dianggap tidak lagi sesuai dengan perubahan ketatanegaraan pascaamandemen UUD 1945 dengan dinamika demokrasi yang berkembang di masyarakat menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
1.5.3    Implementasi hukum
Yang dimaksud dengan implementasi hukum dalam disertasi ini  yaitu penegakan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung di  Jawa Tengah yang pada tahun 2005.

1.5      Metode Penelitian
Sebelum peneliti lebih jauh memaparkan hasil penelitian yang diperoleh, terlebih dahulu dipaparkan metode penelitian yang dilakukan, termasuk justifikasi terhadap pilihan metode dan pendekatan yang digunakan. Hal ini penting, karena metode penelitian tidak hanya membicarakan bagaimana cara atau langkah-langkah di lapangan yang berkenaan dengan data tersebut diperoleh serta dianalisis, tetapi lebih dari itu, metode penelitian juga membicarakan paradigma yang digunakan dalam mencoba memahami serta menginterpretasikan data berdasarkan fakta yang ada, serta membicarakan bagaimana sifat data yang diperoleh, dan bagaimana posisi peneliti dalam melihat data.
1.6.1    Paradigma Penelitian
Istilah paradigma berasal dari istilah Latin, yaitu paradigm yang berarti pola. Kemudian kata paradigm diintroduksi oleh Khun dalam dua pengertian  utama, yaitu : pertama, sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan nilai, persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang mempengaruhi cara pandang realitas  mereka. Kedua,  sebagai upaya  manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan semua asumsi maupun aturan yang ada.[42] 
Pendapat Khun di atas kemudian diintroduksi lagi oleh Scott, yaitu  bahwa paradigma diartikan sebagai pencapaian hal yang baru dan dijadikan sebagai pola untuk pemecahan masalah masa yang muncul di masa mendatang. Hal menarik dari pengertian ini adalah bahwa paradigma adalah cara pemecahan suatu masalah yang seharusnya  memiliki daya prediksi masa depan. Selain itu, paradigma diartikan sebagai kesatuan nilai, ide, ukuran dan pandangan umum yang oleh kalangan  ilmuwan  tertentu digunakan  sebagai cara kerja ilmiah [43]
Dalam suatu penelitian, paradigma merupakan persoalan dasar atau subject matter yang perlu dilihat, sebab paradigma akhirnya akan berpengaruh terhadap keseluruhan langkah dalam proses penelitian yang sedang dilakukan, baik menyangkut bagaimana cara melihat, maupun memproses serta menganalis data. Bahkan perbedaan paradigma dengan sendirinya akan berpengaruh pada perbedaan konsep, teori, asumsi dan kategori tertentu yang melatarbelakangi penelitian tersebut dan oleh karenanya berujung pada perbedaan simpulan yang diambil. Oleh karena itu, dalam perspektif paradigma persoalannya bukan “benar atau salahnya” suatu penelitian, tetapi landasan paradigma apa yang melatarbelakangi penelitian, menjadi sangat penting untuk diketahui. Paradigma dalam penelitian ini dipahami sebagaimana Guba dan Lincoln memahaminya sebagai “set of basic beliefs” atau keyakinan dasar sebagai sistem filosofi utama, induk atau “payung”, yang merupakan konstruksi manusia ( human construction ),[44] bukan dalam pengertian agama atau wahyu yang datangnya dari Illahi, tetapi lebih didasari pada bagaimana subjek ( baca : Peneliti ) meyakini dunianya. Untuk itu, Paradigma tidak hanya dipandang sebagai “pendekatan atau approach[45] ataupun “subject matter” ( substansi ) dalam ilmu pengetahuan,[46] tetapi lebih dari itu yaitu ideologi atau keyakinan terhadap bidang yang akan ditekuni, sehingga disanalah menurut Thomas Kuhn ilmu pengetahuan dianggap bermula, berasal, berakar, dicetak, dan bersumber/mengalir.[47] Hal ini dikarenakan paradigma merupakan “disciplinary matric”, yakni suatu pangkal, wadah, tempat, cetakan, atau sumber disiplin ilmu pengetahuan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma constructivism”. Dipilihnya konstruktivisme sebagai paradigma dalam penelitian ini tentunya didasari oleh beberapa hal, seperti yang disebutkan di bawah ini :
a.     Dilihat dari objek yang diteliti tentang interaksi politik dalam pembentukan hukum dan implementasinya, maka terlihat bahwa dalam perspektif ontologinya terlihat bahwa objek penelitiannya bersifat plural, yaitu banyak faktor yang melingkupi sebagai suatu proses politik,  yang tidak lepas dari pengalaman sosial, individual, latar belakang sosial politik, budaya, ekonomi, dan pendidikan para aktornya.
b.     Demikian juga konsep implementasi hukum, banyak faktor yang melingkupi. Hal tersebut dapat dipahami karena hukum itu suatu realitas sosial sekaligus konstruksi sosial, sehingga kebenaran akan pemahaman suatu konsep sangat tergantung pada bagaimana masyarakat tersebut melakukan interpreatif terhadap fenomena yang ada.
c.      Di samping itu, pemilihan paradigma konstruktivisme berkaitan dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melakukan rekonstruksi data-data yang sangat plural untuk dikonstruksikan menjadi konsep hukum, dalam hal ini hukum yang mengatur pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lebih demokratis, berkualitas, dan efisien.

1.6.2    Metode Pendekatan dan Jenis Penelitian.
Metode yang digunakan dalam studi ini yaitu Yuridis sosiologis atau Sosio-legal approach. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mempelajar keterkaitan  hukum dengan institusi sosial lainnya. Sebab,  pada dasarnya,  institusi hukum  tidak dapat dilihat sebagai entitias normatif yang  mandiri atau isoterik, tetapi justru  harus dilihat sebagai bagian darai sistem sosial yang tentu saja  kait mengkait dengan  variabel-variabel  sosial lainnya.
Metode kualitatis dipakai untuk menghasilkan data diskritif naratif mengenai interaksi anggota pansus dan semua pihak yang terlibat dalam pembentukan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang  menjadi fokus atau sasaran studi ini. Secara teknis metode ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode lainnya, seperti dikatakan Singarimbun[48] sebagai berikut, pertama, menyesuaikan metode penelitian  kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan  ganda. Kedua,  metode ini  menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden. Ketiga , metode ini lebih dapat menyesuaikan  diri dengan  banyak penajaman pengaruh bersama pola-pola nilai yang dihadapi.
Melihat objek penelitian ini, yang  banyak ditekankan pada perilaku manusia dan interaksinya yang selalu berubah-ubah sesuai dengan dinamika yang terjadi,  maka jenis penelitian ini adalah kualitatif. Menurut David D. William, sebagaimana yang dikutip oleh Sanafiah Faisal mengatakan bahwa,  Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lainnya dalam tiga hal pokok, yaitu (1) pandangan-pandangan dasar (axioms) tentang sifat realitas yang bersifat ganda dan hasil konstruksi dalam pengertian dan holistik, hubungan peneliti dengan yang diteliti sifatnya interaktif dan tak dapat dipisahkan, posibilitas penarikan generalisasi hanya dimungkinkan dalam ikatan konteks dan waktu (idiographic statements), peranan nilai dalam penelitian merupakan suatu keharusan dan karenanya penelitian kualitatif tidak bebas nilai sifatnya.  (2) Karakteristik pendekatan penelitian itu sendiri dan (3) proses yang diikuti untuk melaksanakan penelitian kualitatif[49].
1.6.3    Sumber, Metode Pengumpulan dan Analisis Data
1.6.3.1   Sumber Data
Ada dua sumber data dalam penelitian ini, yaitu data yang bersifat primer dan data yang bersifat sekunder. Sumber data yang bersifat primer adalah kata-kata dan tindakan. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan dalam bentuk wawancara yang lepas, sehingga  pandangan dari masyarakat tentang objek penelitian ( berupa interaksi politik dalam pembentukan hukum dan implementasinya ), tercermin dari hasil penuturan yang sifatnya langsung. Sumber data yang bersifat sekunder berupa sumber-sumber lain yang non-manusia ( non-human source of information )[50] juga dijadikan sumber dalam penelitian ini seperti : dokumen, rekaman/cetakan ( record ), buku, disertasi/tesis, majalah, buletin, arsip, dokumen pribadi/dokumen resmi, foto, dan data statistik.
1.6.3.2   Informan Penelitian
Informan kunci yang digunakan sebagai informan awal dalam penelitian ini adalah :
1.     Ketua atau anggota fraksi yang ada di DPR RI sebagai kepanjangan tangan partai politik dalam pembentukan hukum;
2.     Ketua dan anggota Pansus 22;
3.     Pejabat staf DPR RI yang terlibat dalam proses penyiapan materi RUU dan pembahasan RUU Nomor 32 Tahun 2004;
4.     Pejabat Depdagri yang ditugasi  untuk mempersiapkan dan menyusun pokok-pokok pikiran RUU Nomor 32 Tahun 2004 dan terlibat juga dalam pembahasan RUU Nomor 32 Tahun 2004;
5.     Ketua-ketua partai politik di tingkat cabang dan wilayah di Kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada;
6.     Ketua dan anggota KPUD Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah yang menyelenggarakan Pilkada;
7.     LSM atau stakeholder yang memantau jalannya Pilkada di Jawa Tengah, secara independen.
1.6.3.3   Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama dalam mengungkap suatu realitas yang akan diteliti. Karena sebagai pusat dan instrumen utama dalam penelitian, maka kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit.


1.6.3.4   Pengamatan ( Observasi )
Setidaknya ada tiga situasi sosial yang diamati dalam penelitian ini,[51] yaitu : lokasi/fisik tempat suatu situasi sosial itu berlangsung, manusia-manusia pelaku atau actors yang menduduki status/posisi tertentu dan memainkan peranan-peranan tertentu, dan kegiatan atau aktivitas para pelaku pada lokasi/tempat berlangsungnya suatu situasi sosial.
1.6.3.5   Wawancara
Meskipun peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan pusat kegiatan, namun wawancara sebagai salah satu cara pengumpulan data tetap digunakan, bahkan dengan wawancara yang sifatnya terbuka dan terstruktur, peneliti bisa lebih jauh melihat dan memahami realitas sosial yang sedang diteliti.
Namun demikian, dalam wawancara yang dilakukan sejauh mungkin peneliti menghindari kesan mempengaruhi informan dalam mengungkapkan realitas dan fakta sosial, sehingga wawancara tersebut berlangsung dalam tataran yang wajar dan normal.

1.6.3.6   Catatan Lapangan
Di samping kedua instrumen penelitian tersebut di atas
( observasi dan wawancara ), peneliti juga menggunakan catatan lapangan
[52] sebagai instrumen pembantu dalam rencana penelitian ini. Dengan catatan lapangan ini diharapkan mampu menjadi perantara antara apa yang sedang dilihat dan diamati antara peneliti dengan realitas dan fakta sosial.
1.6.3.7   Analisis Data
Aktivitas yang cukup krusial dalam penelitian kualitatif adalah analisis data. Dikatakan krusial karena pada tahap inilah seluruh data yang terkumpul dimaknai ulang dan dianalisis, karena melalui pemaknaan ulang data yang terkumpul menjadi memiliki makna.[53]
Sesuai dengan paradigma konstruktivisme, maka teknik analisis utama terhadap data yang terkumpul dalam penelitian ini  menggunakan hermeneutik-dialektikal.[54] Hal ini didasari oleh bahwa ekspresi-ekspresi manusia bersisi komponen penuh makna. Penggunaan hermeneutik sebagai metode analisis data memposisikan peneliti dan objek penelitian dalam sebuah konteks tradisi, yang mengimplikasikan bahwa peneliti telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas objek ketika melakukan kajian terhadap objek tersebut, sehingga kenetralan pemikiran dalam suatu penelitian merupakan suatu kemustahilan.[55]
Penggunaan hermeneutik dalam penelitian ini dilakukan baik pada tataran metode, filsafat, maupun kritik.[56] Pada tataran hermeneutik sebagai suatu metode, peneliti berlaku sebagai seorang “pendengar yang baik”, di mana informan khususnya  anggota DPR RI dan para pejabat di lingkungan Depdagri, dibiarkan dengan bebas menceritakan interaksi politik yang terjadi selama proses pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004, serta bagaimana pendapatnya setelah diimplentasikannya undang-undang tersebut. Penggunaan hermeneutik ini kiranya mampu mendeskripsikan fenomenologi “desain” manusia dalam temporalitas dan historitasnya. Khusus terhadap dokumen hukum ( semua produk hukum yang berkaitan dengan pemilihan Pilkada ) hermeneutik dipergunakan untuk melihat sisi dalam serta latar sosial terbentuknya suatu teks
( undang-undang ).
[57]
Data yang diperoleh dari informan ( masyarakat ) dilakukan analisis dengan menggunakan model interaktif ( interactive model of analysis ) yaitu suatu aktivitas di mana dari data yang terkumpul dilakukan pemilahan dengan tujuan diperolehnya data yang dinilai relevan terhadap penelitian ini, kemudian data tersebut diolah guna ditarik menjadi simpulan.[58] Cara yang sama juga disarankan oleh Mattew B. Miles dan Michael Huberman[59] yang memberikan gambaran secara skematis berupa siklus dari proses analisis data penelitian kualitatif 

1.6.3.8   Validitas Data
Pengujian atas kehandalan data ( Validitas ) dilakukan dengan teknik trianggulasi data,[60] yaitu melakukan cek silang antara satu data dengan data yang lainnya, baik yang diperoleh melalui observasi, wawancara terstruktur maupun catatan lapangan. Trianggulasi ini tidak hanya dilakukan terhadap data yang diperoleh dari DPR RI dan Kantor Depdagri serta Partai-Partai Politik, tetapi karena independensinya turut serta mengawal proses jalannya pembentukan hukum dan implementasinya, seperti : LSM, Organisasi Pemantau Pilkada, Media Cetak, Tokoh Masyarakat, dan lain-lain.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab II atau tinjauan pustaka ini penstudi memaparkan hasil penelusuran terhadap kepustakaan yang terkait dan masih relevan dengan judul disertasi ”Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum dan Implementasinya : Studi Tentang Pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Implementasinya dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Jawa Tengah”, sehingga penstudian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara akademis. 

2.1      Pengertian Interaksi
Dalam kamus politik interaksi dimaknai sebagai bentuk pengaruh-mempengaruhi, hubungan antara suatu sistem dengan sistem lainnya.[61] Menurut Blumer, interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir  dikembangkan dan diperlihatkan. Semua jenis interaksi tak hanya selama sosialisasi, dan memperbesar kemampuan  kita untuk berpikir, lebih dari itu, pemikiran membentuk proses interaksi. Dalam kebanyakan interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain. Lebih jauh Blumer mengatakan dalam berinteraksi tidak selamanya melibatkan pemikiran. Blumer membedakan ( mengikuti Med ) dua bentuk interaksi yang relevan dikemukakan, yakni : (1) interaksi nonsimbolik, yaitu percakapan atau gerak isyarat ( menurut Med ) tidak melibatkan  pemikiran, dan (2) interaksi  simbolik, memerlukan proses mental.[62]
Dalam perspektif teori interaksi sosial, dikatakan proses interaksi yang paling efektif adalah interaksi yang dilakukan dengan tatap muka. Dengan tatap muka ekspresi bahasa dan tingkah laku dapat terlihat  secara utuh, yang kemudian dapat memberikan pemahaman dalam berinteraksi. Dalam situasi tatap muka subjektifitas orang lain akan muncul dan terbuka. Artinya orang lain akan dengan bebas memaknai dan menafsirkan setiap bahasa yang muncul yang wujudnya lisan maupun dalam bentuk sikap dan tingkah laku. Dalam situasi tatap muka orang lain adalah nyata sepenuhnya. Kenyataan ini  merupakan  bagian kenyataan hidup sehari-hari. Dalam tatap muka dapat dipahami tipikasi  orang  dan tipikasi ini secara terus menerus mempengaruhi jalannya  interaksi. Skema-skema tipikasi yang muncul dalam tatap muka bertimbal balik. Dalam interaksi terbuka untuk saling membentuk tipikasi ( campur tangan ). Dengan kata lain, skema-skema tipikasi dapat bernegoisasi terus menerus dalam situasi tatap muka[63].

2.2      Partai Politik dan Peran yang Dilakukan
Pengertian politik mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga karena keluasannya tersebut, maka pembicaraan mengenai politik pada dasarnya membicarakan negara dengan segala substansi yang ada padanya, baik struktur, institusi, aparatur, sistem pemerintahan dan lain sebagainya. Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas,  sejarah pembentukan, hakekat negara serta bentuk dan tujuan negara di samping  menyelidiki hal-hal seperti pressure group, interest group,  elit politik,  pendapat umum ( public opinion ), peranan partai politik dan pemilihan umum.[64]
Mendasarkan pada judul disertasi ini, maka yang dimaksudkan dengan politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam DPR RI, yang secara kelembagaan terwadahi dalam fraksi-fraksi dan perseorangan yang tersebar dalam komisi-komisi, maupun institusi Depdagri sebagai realitas institusi politik dari pemerintah. Dengan demikian itu, maka  yang dimaksudkan interaksi politik dalam disertasi ini adalah hubungan yang saling mempengaruhi dan menekan antar kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI maupun antar kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI dengan kekuatan politik di luar seperti pressure group, interest group, elit politik, sampai kepada pendapat umum ( public opinion ) .
Menurut Raja Louis XIV pada abad 16, partai politik harus didefinisikan sebagai organisasi perjuangan dan harus sesuai dengan hukum[65]. Sementara menurut Ferdinand Lasalle sebelum demokrasi berkembang, peran partai politik lebih banyak dilakukan oleh pemimpinnya, semua organisasi politik harus tunduk pada palu yang ada di tangan pemimpinnya. Itulah yang menjadikan para pemimpin partai politik pada saat itu berwatak diktator[66]. Namun demikian partai politik pada saat itu sudah menunjukkan fungsinya sebagai penyanggah demokrasi karena secara nyata sudah memiliki visi dan tujuan untuk membuat kesejah­teraan umum, yang tidak lain adalah berorientasi untuk merebut kekuasaan. Setelah itu yang berlaku adalah ada­gium Actonian yang terkenal itu : power tend to corrupt, absolutely power tend to corrupt absolutely.
Lain lagi menurut Weber, menurutnya partai politik adalah sarana untuk  perjuangan untuk bersama-sama melaksanakan politik, atau perjuangan untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik di antara  kelompok-kelompok  di dalam suatu negara atau sebagai “striving to share power on stiving  to influence  the distribution  of power,  either  among states or among group within state“ ( Sebuah upaya untuk membagi kekuasaan atau sebuah upaya untuk mempengaruhi cara pembagian kekuasaan di antara negara atau kelompok di dalam 
negara )
[67]. Menurut Budiardjo,[68] partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan politik, sebagai medium untuk menyampaikan gagasan-gagasan, tujuan, dan visi yang berasal dari kelompok mereka. Cara yang dilakukan oleh partai politik untuk kekuasaan dan kedudukan dilakukan dengan mentaati aturan main bersama agar mekanisme dinamika politik dapat berjalan dengan tertib.
Sepandangan dengan Weber adalah Budiardjo mengatakan tentang tujuan partai politik secara  umum yaitu :  (1) sebagai komunikasi politik, (2) sebagai sarana sosialisasi politik, (3) sebagai sarana rekrutmen politik, dan (4) sebagai media pengatur konflik. Cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut antara negara yang satu dengan yang lainnya tentunya berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan sosiologi politik di setiap bangsa[69]

Pendapat lainnya tentang partai politik yaitu dari Carl j. Friedrich ( 1967 : 419 )[70], yang mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia ( a group of human beings ) yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan penguasaan ter­hadap pemerintahan bagi kepemimpinan partainya. Penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya berupa kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material. Menurut  Soltau
( 1961:199 ) menga­takan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara ( a group of citizenship )  yang mengorganisasikan, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik yang memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan menyelenggarakan kebijakan publik mereka. Sigmund Neuman
( 1963:352 ) menjelaskan bahwa partai adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik ( society sagents ) yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan sedangkan sutau golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda.
Paradigma yang mendasari pemikiran partai politik adalah, bagaimana memperoleh kekuasaan dan dengan kekuasaan itu dapat menguasai dan mengendalikan pemerintahan. Paradigma politik ini diapresiasikan ke dalam berbagai paradigma untuk memperoleh dukungan, seperti kesejahteraan ekonomi, sosial-budaya, moralitas, kemanusia­an, agama, dan sebagainya. Untuk itu, tidak mengherankan jika lantas ada beberapa partai politik yang landasan pendiriannya adalah aga­ma, ideologi, kepentingan ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, pada umumnya partai politik hanya bekerja untuk merebut kekuasaan dalam pemilu. Perkara program partai yang direncanakan dan dikampanyekan dapat memajukan kepentingan umum bisa direalisasikan atau tidak merupakan masalah berikutnya. Hal ini yang membuat politik merupakan panggung yang amat kotor, penuh tipu daya, dan rekayasa[71].

2.3      Konsep Tentang Hukum
Sebelum jauh membicarakan tentang pembentukan hukum dan implementasinya, akan sangat berguna jika terlebih dahulu dipahami tentang konsep hukum, sehingga akan mampu memberikan pemahaman yang lebih utuh pengetahuan tentang hukum.
Menurut Hart, HLA, bahwa hukum adalah merupakan sebuah konsep,[72] dan menurut Soetandyo Wignyosoebroto tak ada konsep yang tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu. Menurut pendapatnya dalam sejarah pengajian hukum tercatat sekurang-kurangnya ada 3 konsep hukum yang pernah dikemukakan orang, yaitu :
(a)        hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang ber­nilai universal, dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam;
(b)       hukum sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang ber­legitimasi; dan
(c)        hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di da­lam sistem kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses-­proses pemilihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-­pola perilaku yang baru.[73]
Dijelaskannya pula, bahwa konsep tersebut (a) di atas ada ­konsep yang berwarna moral dan filosofis, yang melahirkan cabang kajian hukum yang amat moralistis. Konsep (b) jelas kalau konsep positivistis tidak hanya Aus­tinian juga yang pragmatik realis dan yang Neo-Kantian atau Kelselian yang melahirkan kajian-kajian Ilmu hukum positif. Konsep-konsep (c) adalah konsep so­siologik atau antropologik, yang kemudian melahirkan kajian-­kajian sosiologi hukum, antropologi hukum, atau cabang kajian yang akhir-akhir ini banyak dikenal dengan nama "hukum dan masyarakat”.[74] Apa yang disebutkan terakhir inilah yang menjadi topik pembahasan tulisan ini. Selain itu, patut dicatat konsepsi-konsepsi hukum seperti apa yang diungkapkan di atas juga tidak mencakup dan dapat memasukkan seluruh konsepsi tentang hukum yang berlaku pada masa akhir-akhir ini.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam arti luas konsepsi hukum tidak hanya merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat tetapi meliputi pula lem­baga/institusi dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dan asas-asas itu dalam kenyataan.[75] Konsepsi ini dapat dinilai sebagai konsepsi yang kompromis­tis.
Djojodigoeno mengajukan suatu konsepsi yang tidak memandang hukum sebagai rangkaian pengugeran, seperti pada tahun lima puluhan, tetapi sebagai rangkaian pengugeran ( normering ) tingkah laku dan perbuatan orang.  Pengugeran ini ukurannya, ialah ”unsur-unsur yang me­nentukan cita-cita keadilan yang hidup dalam masyarakat” dan ”pengugeran” harus langsung dipergantungkan pada pe­rikatan-perikatan yang menentukan peragaan masyarakat dan nilai-nilai yang dijunjung rakyat dalam hubungan timbal balik dan saling menentukan. Selanjutnya dikatakan :
een onophoudelijk zich vernieuwend process van norme­ringen door een gemeenschap, rechtstreeks of door middel van hare gezagsorganen, van de voor zakelijk verhouding en relevante handelingan van hare leden, dat de zin heeft or­de, gerechtigheid en gezamelijke welvaart te funderen en te onderhouden”. 
(hukum adalah suatu proses pengugeran yang terus menerus memburu yang dilakukan oleh masyarakat se­cara langsung atau dengan perantaraan alat kekuasaannya, perihal perbuatan-perbuatan dalam hubungan pamrih (lugas) dan tindak laku dari anggota-anggotanya, yang mempu­nyai makna untuk memberi dasar dan mempertahankan ke­tertiban, keadilan dan kesejahteraan bersama).[76]


A.A.G. Peters memandang hukum sebagai bagian dari masyarakat. Ia melihat di dalam hukum itu, di satu pihak endapan dari perbandingan kekuatan yang nyata dan kepentingan-kepentingan yang dominan, sedang di lain pihak juga aspirasi untuk keadilan dan legitimitasi. Ajaran ini mengkaji hukum dengan ukuran-ukuran yang dipergu­nakan oleh hukum itu sendiri. Ia hendak mengetahui sejauh mana di belakang bentuk juridis yang uni­versal tersembunyi isi yang khas, yang ditentukan oleh perbandingan kekuatan
( power relationship ) dan struktur ke­pentingan. Watak hukum yang sesungguhnya dapat dipahami dari aspirasi-aspirasi menuju hukum yang optimal, yang melekat pada asas-asas hukum, yang tertuju mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan melindungi hak­-hak asasi manusia.
[77]
Walaupun tiga pendapat yang disebutkan terakhir, tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu konsepsi mengenai hu­kum seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo, tetapi kalau diteliti secara seksama ketiga pendapat tersebut ternyata hukum sebagai realita, masyarakat diberi penekanan secara khusus, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan pendapat tersebut juga sebagai bentuk variasi daripada konsepsi hukum yang sosiologik.
Bilamana berbicara tentang hukum dalam perspektif sosial, ada beberapa perspektif tentang ( fungsi ) hukum di dalam masyarakat.
Antonie A.G. Peters mengemukakan ada tiga perspektif yaitu :
-       Perspektif kontrol sosial dari hukum. Tinjauan demikian ini dapat disebut sebagai tinjauan dari sudut pandangan seseorang polisi terhadap hukum ( the policeman view of the law ). Untuk memahami fungsi hukum dalam perspektif ini dapat diajukan teori Emile Durkheim;
-       Perspektif kedua dari fungsi hukum di dalam masyarakat ada­lah perspektif Social Engineering, merupakan tinjauan yang dipergunakan oleh para pejabat ( the official's perspec­tive of the law ) dan oleh karena pusat perhatiannya adalah apa yang diperbuat oleh pejabat penguasa dengan hukum, maka tinjauan ini kerapkali disebut juga the technocrat's view of the law. Yang dipelajari di sini adalah sumber-sumber kekuasaan yang dapat dimobilisasikan dengan menggunakan hukum sebagai mekanisme. Untuk memahami hukum dalam perspektif ini diajukan teori Max Weber mengenai hukum dan perubahan masyarakat.
-       Perspektif yang ketiga adalah perspektif emansipasi masyarakat dari hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum ( the bottom's up view of law ) dan dapat pula disebut sebagai perspektif konsumen ( the consumer's perspective of the law ). Dengan perspektif ini di­tinjau kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan hukum sebagai sarana untuk menampung aspirasi masyarakat. Untuk memahami fungsi hukum dalam perspektif emansipasi masyarakat dari hukum, oleh Peters ditunjuk konsepsi yang dikemukakan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick mengenai hukum responsif.[78]
Apa yang dikemukakan oleh Peters di atas masih dapat dipersoalkan lebih lanjut, misalnya berkena­an dengan konsepsi ”social engineering” kiranya tidaklah sesempit yang dikemukakan oleh
Peters, karena seperti yang di­kemukakan oleh Soerjono Soekanto tentang social engineering merupakan cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, yang mengan­dung makna hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat
[79]. Yang masih dapat dikaitkan dengan apa yang dikemukakannya di dalam tulisannya yang lain adalah salah satu fungsi hukum sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial ( law as a facilitation of social interaction ).[80]
Atau seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo di dalam disertasinya, bahwa hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan.[81] Namun karena hal itu tidak perlu untuk diperdebatkan karena dalam tulisan ini hanya ingin menyoroti bagaimana pengem­bangan konsep sosiologik tentang hukum yang dikaitkan dengan salah satu perspektif yang diungkapkan oleh Peters.
Pandangan yang dikemukakan di atas adalah senada pula dengan apa yang dikemukakan oleh Lawrence Rosen,  seorang ahli sosiologi hukum dari Pronceton University, yang melihat adanya tiga dimensi penting pendayagunaan pranata-pranata hukum di dalam masyarakat yang sedang berkembang, yakni :
1.     Hukum sebagai pencerminan dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda mengenai tertib dan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan pernyataan dan perlindungan kepentingan masyarakat.
2.     Hukum dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan pembatas kekuasaan sewenang-wenang, pendayagunaan hukum tergantung pada kekuasaan-kekuasaan lain di luarnya.
3.     Hukum dapat didayagunakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong perubahan sosial ekonomi.[82] Namun di sini tidak tergambar kemungkinan berperannya hukum sebagai sarana penampung aspirasi masyarakat.

2.4      Ciri-Ciri Hukum
2.4.1    Ciri-Ciri Hukum Represif
Setiap aturan hukum berpotensi represif, karena dalam hal tertentu dia sangat terikat pada status quo dan selalu tampil sewenang-wenang agar kekuasaan bisa efektif. Karena itu ciri-ciri hukum yang represif adalah sebagai berikut :
1.     Lembaga-lembaga hukum secara langsung mempunyai akses kepada kekuasaan politik, sehingga hukum diidentifikasikan dengan negara.
2.     Perhatian utama para pejabat hukum adalah bagaimana melestarikan kekuasaan.
3.     Para aparat hukum yang khusus, seperti polisi, memiliki kekuasaan yang independen, terisolasi dari konteks sosialnya, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kekuasaannya.
4.     Penguasa memiliki hukum ganda, yaitu dengan melembagakan keadilan kelas ( class justice ) dan melegitimasi pola-pola subkordinasi sosial.
5.     Hukum pidana mencerminkan dominasi kekuasan dan dilestarikannya moralisme hukum.[83]
Menurut Philip Nonet dan Philip Selznick dalam bentuknya yang jelas dan sistematis, hukum represif menunjukkan karakter-kerakter berikut ini[84] :
1.     Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan politik; hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan disubkordinasikan pada tujuan negara ( raison d'etat ).
2.     Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam administrasi hukum. Dalam ”perspektif resmi” yang terbangun, manfaat dari keraguan ( the benefit of the doubt masuk ke sistem, dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.
3.     Lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang independen; mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu menolak otoritas politik.
4.   Sebuah rezim ”hukum berganda” ( ”dual law” ) melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola subkordinasi sosial.
5.   Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum yang akan menang.
Sebelum diuraikan lebih lanjut ciri-ciri hukum yang represif, maka perlu dijelaskan dulu istilah ”keadilan kelas” ( class justice ) dan ”moralisme hukum”. Gagasan tentang ”class justice[85] memberi jalan kepada hukum untuk melegitimasi dan secara paksa melembagakan ”class justice”. Hal itu disebabkan ada integrasi hukum dan politik yang erat dalam bentuk subordinasi langsung lembaga-lembaga hukum dengan elit-elit publik dan privat yang memerintah. Hukum merupakan alat yang dapat dibengkokkan yang siap sedia berkonsolidasi dengan kekuasaan dan menjaga privatisasi. Selanjutnya, diskresi pejabat merupakan sesuatu yang tak terhindarkan yang segera menghasilkan dan merupakan jaminan bagi penyalahgunaan hukum untuk kekuasaan. Sebaliknya ”moralitas hukum” tidak cocok dengan moralitas komunal dimana sebuah komunitas mempunyai moralitasnya sendiri yang harus dipertahankan dan dipelihara. Namun moralitas hukum mencoba untuk membuat modelnya sendiri dalam sebuah lembaga yang akan membedakannya dengan anggota lain yang bukan termasuk dalam lembaga yang bersangkutan. Model-­model itu bisa berupa nilai-nilai khusus yang harus dikejar oleh lembaga yang bersangkutan sehingga bisa dijadikan aturan perilaku bagi para anggotanya dan sekaligus menentukan bagaimana perilaku yang benar itu dan mana pula yang tidak benar. Tujuannya agar dapat membimbing perilaku manusia secara efektif.
Selanjutnya, dijelaskan pula ciri-ciri hukum yang represif,[86] Pertama, norma menjadi tujuan bagi dirinya sendiri, bukan sebagai sarana sebagaimana yang dipahami selama ini. Kedua, norma itu tampaknya tidak cukup kuat berlaku bagi penguasa. Norma itu berlaku untuk orang-orang kecil. Ketiga, apabila terjadi diskresi, maka hal itu dilakukan semata-mata berdasarkan selera penguasa atau pejabat hukum yang bersangkutan, dan bukan dalam kerangka mencari kebenaran materiil, Keempat, pelaksanaan norma dilaksanakan dengan cara paksaan yang pada gilirannya sulit dikontrol, karena tidak ada batasan yang jelas. Kelima, hukum disubkordinasikan langsung pada politik kekuasaan, sehingga hukum lalu menjadi produk kekuasaan. Dengan demikian hukum benar-benar menjadi instrumen kekuasaan untuk menekan atau melegitimasi kekuasaan. Keenam, pelanggaran terhadap norma dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu harus diberi sanksi. Ketujuh, tidak dimungkinkannya kritik terhadap norma, karena itu sama artinya dengan tidak loyal kepada kekuasaan. Ciri-ciri hukum yang represif seperti ini didasarkan pada praktik-praktik penegakan hukum secara empiris oleh penguasa negara di berbagai negara setelah ”rule of law” telah disepakati sebagai rules yang mempedomani perilaku manusia, baik penguasa, rakyat ataupun masyarakat. Namun seperti pada awal mulanya hukum itu dibentuk bertujuan untuk mencegah kesewenang­-wenangan oleh para penguasa yang lain di zaman ”ancient regime”, maka Nonet dan Selznick mencoba menamai hukum yang demikian sebagai hukum yang otonom.
2.4.2    Ciri-Ciri Hukum yang Otonom
Yang dimaksud Nonet dan Selznick dengan hukum yang otonom adalah hukum yang lepas sama sekali dari kekuasaan dan aturan-aturan hukum menjadi sumber untuk mencegah terjadinya respresif oleh penguasa. Dalam sejarah hal ini telah dibuktikan oleh apa yang disebut “rule of law” di mana lembaga-lembaga hukum memperoleh cukup kewenangan untuk menetapkan standar-standar pembatasan terhadap pelaksanaan kekuasaan.
Karena itu untuk mengenali hukum yang otonom, maka ciri-cirinya sebagai berikut :
1.     Hukum terpisah dari politik, kebebasan peradilan terjamin, ada permisahan yang tegas antara fungsi yudisial dan legislasi;
2.     Aturan hukum menentukan ruang lingkup tanggung jawab pejabat yang berkuasa dan pada waktu yang sama pula lembaga-lembaga hukum sangat dibatasi kewenangannya untuk bertindak sesuai dengan kreativitasnya. Kemudian aksesnya ke ranah politik menjadi sangat terbatas;
3.     Prosedur merupakan jantungnya hukum. Aturan hukum merupakan tujuan utamanya, bukan keadilan substantif;
4.     Kepercayaan kepada hukum dimengerti sebagai kepatuhan yang ketat terhadap aturan-aturan hukum positif hukum yang otonom berpusat pada hakim dan terikat pada aturan. Hakim menjadi simbol aturan-aturan hukum dan bukan pada polisi atau para pembuat UU. [87]
Bila dicermati ciri-ciri hukum yang otonom di atas, maka beberapa catatan berikut ini akan sangat membantu untuk mengenali hukum yang otonom lebih jauh. Pertama, yang menjadi tujuan utama dari hukum yang otonom adalah meletakkan dasar-dasar yang jelas bagi siapa saja yang dilakukan penguasa kepada masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Jadi tindakan apa pun yang dilakukan harus selalu didasarkan pada ketentuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Kedua, dituntut kejujuran untuk melaksanakan ketentuan dan taat pada prosedur yang sudah ditetapkan, sehingga ketentuan yang ada mengikat, baik bagi yang berkuasa maupun bagi yang dikuasai. Ketiga, diskresi sama sekali tidak dimungkinkan karena semuanya sudah ditentukan oleh peraturan yang sudah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, moral yang mendasari bekerjanya hukum yang otonom adalah ”moralitas konstitusi”. Atau dengan kata lain hukum yang otonom itu sangat UU oriented.
Dari gambaran hukum yang otonom seperti ini dapat dilacak di dalam pikiran Kelsen dengan teori hukum murninya. Seperti diketahui, teori ini pada dasarnya menekankan bahwa hukum sama sekali otonom dan berdiri sendiri dan keabsahan sebuah tindakan harus selalu dipahami dalam terminologi moral atau sistem norma dan nilai yang lain.
Pandangan ini tidak selalu bisa diikuti oleh setiap zaman. Hal ini disebabkan oleh adanya perkembangan dimana tuntutan masyarakat demikian cepat sementara hukum cenderung mengikuti dari belakang yang lama kelamaan hukum itu tak bisa akomodatif lagi dengan perkembangan zamannya. Menghadapi perkembangan yang demikian tak bisa lain dibutuhkan sebuah hukum yang bisa merespons keadaan yang berkembang di dalam masyarakat. Hukum yang demikian nampaknya lebih cocok mengakomodir kebutuhan masyarakat yang demikian cepat berubah dan berkembang. Karena itulah menurut Nonet dan Selznick hukum yang bisa merespons keadaan itu dinamakan hukum yang responsif.
2.4.3    Ciri-Ciri Hukum yang Responsif 
Dalam paham Nonet dan Selznick[88], hukum yang responsif itu adalah hukum yang siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Artinya, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat[89]. Atas dasar tersebut tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik, dan Hukum yang demikian akan lebih mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat.  Dengan demikian, di dalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang responsif tidak lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan juridis melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller, must be ready for the morrow, it must have a principle”[90]. 
Salah satu tokoh penganut realism hukum ( legal realism ) yang bernama Jerome Frank mengatakan, pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus-menerus dilakukan. Lebih lanjut Jerome Frank mengatakan, tujuan utama penganut realisme hukum ( legal realism ) adalah untuk membuat hukum "menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. ”Untuk mencapai tujuan ini, mereka mendorong perluasan ”bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum”,[91] agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.
Untuk memudahkan pemahaman ketiga jenis kategori hukum berikut implementasinya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1
Tiga kategori Hukum menurut Nonet dan Selznick[92]


H. Represif
H. Otonom
H. Responsif

Tujuan
Aturan
Legitimasi
Kewenangan

Legitimasi
Perlindungan sosial
Kejujuran Prosedur
Keadilan Substansif

Aturan
mendetail tapi lemah
Elaborasi, mengikat pembuat dan diatur kuat melekat pada kewenangan hukum
Disubkordinasi pada prinsip dan kebijakan

Nalar
Daya ikatnya bagi pembuat aturan Adhoc, Articular
Terikat aturan
Memperluas kemampuan kognitif

Diskresi
Membantu untuk hal-hal yang khusus oportunis
Delegasi menyempit
Meluas namun tetap berpegang pada tujuan

Pemaksaan
Meluas, lemah
Batasannya
Terkontrol oleh hukum
Mencari alternatif, insentif, sistem mempertahankan diri terhadap kewajiban

Moralitas
Moralitas komunal, moralisme hukum
Moralitas konstittis
Moralitas masyarakat, moralitas atas kerjasama

Harapan patuh
Tak bersyarat
Titik tolak aturan
Tak patuh ditentukan dalam  kaitannya dengan pelanggaran substansif

Tabel ini memperlihatkan dengan jelas kecenderungan hukum yang lebih akomodatif kepentingan masyarakat adalah hukum yang responsif. Akan tetapi ada persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian dari pihak penegak hukum, yaitu apakah penegak hukum mempunyai kemampuan yang memadai untuk menjalankan hukum yang responsif seperti itu ? Karena di sana dituntut beberapa kualifikasi yang esensial yaitu pertama, mulai bekerja dengan paradigma baru dimana penegak hukum tidak hanya tunduk pada basis-­basis hukum sebagai landasan berpikirnya, tetapi juga berusaha sejauh mungkin menggunakan pisau analisis non-hukum. Akibatnya, interaksi hukum dengan politik tidak bisa dihindari lagi.
Kedua, kebenaran atau keadilan tak pernah bisa dicapai hanya dengan perspektif tunggal karena hal itu hanya mengingkari kebenaran dan keadilan itu sendiri. Untuk itu diperlukan aparat hukum yang berwawasan luas, yang rasional, kritis.
2.4.4    Ciri-Ciri Hukum Progresif
Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdog-matiek. Tradisi atau aliran ini hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis kedalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar  seperti manusia, masyarakat, kesejahteraan, ditepiskan­nya[93].
Dengan tradisi analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek, hukum progresif ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Meminjam istilah Nonet & Selznick, hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe yang demikian itu, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri. Nonet dan Selznick menyebutnya sebagai “tire souvereignity of purpose”. Lebih lanjut mereka mengatakan:
 “This a distinctive feature of responsive law is the search of implicit values in rules and policies... a more “flexible” interpretation that sees rules as bound to specific problems and contexts, and undertakes to identify the values at stake in procedural protection." Dengan mengatakan itu mereka sekaligus juga mengritik doktrin "due process of law”.

Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jusrisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat.
Hukum progresif berbagi faham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre karena hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Dalam aliran realisme, pemahaman orang mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan "looking towards last things, consequencies, fruits". Realisme memalingkan mukanya, "from abstraction, verbal solutions, bad apriori reasons, fixed principles, closed systems, and pretended absolutes and origins". Sebaliknya ia menghadapkan mukanya kepada "completeness, adequacy, facts, actions and powers"[94]
Karena kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound”[95]. Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-­peraturan, melainkan keluar dari situ dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. Dikatakan oleh Pound :
 “... to enable and to compel law making, and also interpretation and application of legal rules, to make more account, and more intelligent account, of the social facts upon which law must proceed and to which it is to be applied...".

Hukum progresif juga bisa dilacak mundur sampai ke aliran yang dikenal sebagai Interessenjurisprudenz di Jerman sekitar dekade awal abad kedua puluh. Aliran ini mengatakan bahwa, hakim tidak bisa dibiarkan untuk hanya konstruksi dalam membuat putusan. Cara demikian ini akan menjauhkan hukum dari kebutuhan hidup yang nyata. Mengutip pendapat Heck, “... The legislator wants  protection of interests ... The legislator can realise his so & intention and satisfy the needs of life only if the judge is more that slot-machine functioning according to the law of logical  mechanics ... The primacy of logic is thus replaced by the primacy of an examination and valuation of life ... [96]
Kedekatan hukum progresif pada teori-teori hukum alam terletak pada kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Han Keisen disebut sebagai "meta-juridical". Teori hukum alam mengutamakan "the search for justice" daripada lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut ”logika dan peraturan”.
Barangkali ada juga yang mempertanyakan tentang hubungan antara hukum progresif dengan Critical Legal Studies ( CLS ) yang muncul tahun 1977 di Amerika Serikat. Memang keduanya mengandung substansi kritik sehingga muncul pertanyaan tersebut bisa dipahami. CLS muncul karena ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum di negeri itu. Buku-buku seperti "With Justice for None"[97] dan 'Trials Withouth Truth"[98]  bisa mewakili ketidakpuasan tersebut. CLS langsung menusuk jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu suatu sistem hukum liberal yang dikisarkan pada pikiran politik liberal dikatakan oleh seorang penstudi :
“... a group of legal scholars has generated an body of literature that challenges some of the most cherished ideals of modem Western legal and political trough… The major theoretical aim of the movement is to provide a critique of liberal legal and political philosophy, and at the total point of the critique, lies the concept of the rule of law.[99]

Pikiran liberal yang merangkul rule of law itu sebetulnya bertentangan dengan lain prinsip esensial dalam alam pikiran politik liberal. Dikatakan, bahwa "Law can not perform the liberal task of constraining power and protecting people from intolerance and oppression, so even I the rule of law did exist, it could not accomplish its liberal goals."[100] Hukum progresif juga menggandeng kritik terhadap sistem hukum yang liberal itu, karena hukum Indonesia juga turut mewarisi sistem tersebut. Namun tujuan hukum Progresif tidak hanya terpusat pada kritik terhadap sistem yang liberal. Ini terutama terletak pada konsep ”progresif” dan ”progresivisme” dalam hukum progresif, sebagaimana akan diuraikan di bawah.
Apabila hukum itu bertumpu pada ”peraturan dan perilaku”, maka hukum progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian, faktor dan kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada. Faktor manusia ini adalah simbol dari unsur-unsur greget ( compassion, empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination ). Ini mengingatkan kepada ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang burukpun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mantan Hakim Agung, Bismar Siregar, sering mengatakan bahwa “keadilan ada di atas hukum” dan oleh karena itu ia selalu memutus berdasar hati-nurani terlebih dahulu dan baru kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena hakim harus memutus berdasarkan hukum. Mengutamakan faktor manusia daripada hukum, membawa untuk memahami hukum sebagai suatu proses dan proyek. Hal itu berkali-kali dikemukakan dengan mengatakan bahwa hukum itu selalu dalam proses membangun dirinya. Karl Renner merumuskan hal tersebut dengan sangat bagus pada waktu mengatakan, "The development of the law gradually works out what is socially reasonable".[101]
Hukum progresif berbagi pendapat yang sama dengan pikiran-pikiran yang dikemukakan di atas. Ia tidak bergerak pada arah legalistik positivistik, tetapi lebih tidak mutlak digerakkan oleh perundang-undangan, tetapi lebih pada azas sosiologis. Hukum tidak mutlak  digerakkan oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi bergerak pada azas non-formal. Bukti-bukti untuk itu merupakan peluang untuk menjalankan hukum progresif.
Hukum progresif bisa merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi dan prosedur, sehingga sangat berpotensi meminggirkan kebenaran dan keadilan. Hukum progresif tidak berpendapat bahwa ketertiban ( order ) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan, melainkan menerima dan mengakui kontribusi institusi-institusi yang bukan negara. Ketertiban juga didukung oleh bekerjanya institusi bukan-negara tersebut.[102]
2.4.5    Gerakan Studi Hukum Kritis
Searah dengan hukum progresif yaitu aliran hukum kritis atau lebih dikenal dengan critical legal studies ( CLS ). Di Indonesia oleh para penganut paham ini disebut dengan Gerakan Studi Hukum Kritis
( GSHK ). Salah satu pemerhati tentang gerakan hukum kritis ini adalah Satjipto Rahardjo, sang begawan hukum Indonesia
[103]
Munculnya Gerakan hukum kritis dilatarbelakangi oleh adanya  ketidakpuasan yang dirasakan secara luas oleh kalangan hukum, bukan hanya terbatas pada kalangan GSHK, ter­hadap tradisi pemikiran hukum Barat pada umumnya. Ketidakpuasan itu, menurut hasil observasi
Harold Berman
[104], ahli sejarah hu­kum, berakar pada sesuatu yang lebih serius, yakni merebaknya suatu krisis yang sangat dalam pada tradisi hukum Barat. Krisis itu telah menyebabkan doktrin, postulat, sistem penalaran atau interpretasi hukum, dan seterusnya yang terdapat di dalam tradisi hukum Barat itu digugat dan dipertanyakan kembali relevansinya. Sementara jawaban terhadap krisis itu belum muncul, yang akhirnya bermuara pada ketidakpuasan yang digambarkan tadi.
Yang dimaksud oleh Berman dengan ketidakpuasan tersebut adalah :
The crisis of the Western legal tradition is not merely a crisis in legal philosophy but also a crisis in law it self. Legal philosophers have always debated, and presumably always will debate, whether law is founded in reason and morality or whether it is only the will of the political ruler. It is not necessary to resolve that de­bate in order to conclude that as heirs to the Western legal tradi­tion have been rooted in certain belie forpostulates: that is, the legal system themselves have presupposed the validity of those beliefs. Today those beliefs orpostolates-such as the structural integrity of law, its ongoingness, its religious roots, its transcen­dent qualities- are rapidly disappearing, not only from the minds of philosophers, not only from the minds of lawmakers, judges, lawyers, law teachers, and other members of legal profession, but from the consciousnesss of the vast majority of citizens, the peopels as whole; and more than that, they are disappearing from the law itself[105].

Dalam konteks krisis secara umum yang melanda tradisi hukum Barat itulah GSHK hadir untuk memberikan pencerahan dan dengan mengembangkan pemikiran alternatif terhadap pemikiran atau teori hukum liberal. Yang paling menonjol dari doktrin hukum kritis ini yaitu menolak adanya pemisahan hukum dengan politik. Paham hukum kritis ini memandang bahwa, hukum merupakan bangunan dari kepentingan politik yang tidak memungkinkan hukum dapat dipisahkan dari politik, baik dalam proses pembuatan maupun dalam implementasinya[106]. Tokoh utama dari paham GSHK adalah Roberto M. Unger.
Ada dua kecenderungan utama dapat dibedakan dalam Gerakan Studi Hukum Kritis. Kecenderungan yang pertama yaitu yang memandang dok­trin masa lalu atau masa kini sebagai ungkapan suatu visi khusus dari masyarakat sambil menekankan sifat yang bertentangan dan dapat dimanipulasi dari argumen doktriner. Hal-hal yang men­dahuluinya secara langsung terletak pada teori-teori hukum anti­formalis dan pendekatan-pendekatan strukturalis terhadap sejarah kebudayaan[107].
 Kecenderung­an yang kedua, tumbuh dari teori-teori sosial Marx dan Weber serta cara analisis sosial dan historis yang menggabungkan metode fungsionalis dengan tujuan-tujuan radikal. Titik tolaknya terletak pada tesis ”hukum dan doktrin hukum mencerminkan, menegas­kan, dan membentuk kembali pembagian dan hierarki sosial yang melekat dalam suatu jenis atau tahap organisasi sosial, seperti kapitalisme”. Namun, tesis ini telah semakin dimodifikasi oleh ke­sadaran bahwa tipe-tipe atau tahap-tahap kelembagaan itu ke­kurangan karakter kohesif dan yang ditakdirkan menerima atribut-atribut teori kiri untuk mereka[108].
Kedua kecenderungan ini menantang gaya doktrin hukum dan teori hukum dominan yang mencoba memperhalus dan meng­abadikan gaya ini. Keduanya tidak mengakui usaha untuk mempertalikan susunan sosial yang berlaku dengan kebutuhan-ke­butuhan masyarakat industri, sifat manusia, atau tatanan moral. Namun, keduanya harus mengambil suatu sikap yang jelas tentang metode, isi, dan bahkan kemungkinan pemikiran preskriptif dan programatis, barangkali karena beberapa di antara asumsi-asumsi itu menerima warisan tradisi radikal yang menjadikannya sukar untuk mengubah usul konstruktif menjadi lebih dari sekadar pernyataan komitmen atau antisipasi sejarah.
Makna penting dari kontras di antara kecenderungan­-kecenderungan ini seharusnya tidak dinyatakan secara berlebihan. Kerja yang sesungguhnya sering lebih sedikit berbeda daripada penafsiran-penafsiran abstrak yang dialamatkan ke kecenderungan-­kecenderungan itu. Banyak tulisan tidak masuk ke dalam satu di antara dua kelompok yang disebutkan itu[109].

2.5      Wacana Teoretik Interaksi Politik Dalam Hukum
Menurut Max Weber, hukum tidak dapat lepas dari kepentingan-kepentingan dan pengaruh termasuk kepentingan dan pengaruh  politik.  Adalah seperti apa yang dikatakan oleh yang mengatakan bahwa, hukum itu dipengaruhi  kepentingan-kepentingan, baik itu kepentingan material  maupun kepentingan-kepentingan ideal dan menurut pendapatnya,  hukum juga sangat dipengaruhi cara berpikir kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok yang berpengaruh termasuk partai politik.[110] Bahkan secara ekstrim Grifiths mengatakan bahwa, suatu undang-undang tidak akan pernah ada tanpa ada suatu keputusan politik, begitu pula rincian undang-undang akan menentukan pula pengaruh suatu kebijakan politik[111].
Sependapat dengan  Max Weber, Seorang ahli hukum bernama  Donald Black, pada tahun 70-an sudah mengingatkan masyarakat agar tidak memaknai hukum sekadar sebagai barisan kalimat dalam perundang-undangan[112].  Senada dengan Black adalah Meir Friedman, mengajarkan ada tiga unsur dalam hukum, yakni substance,
( aturan main ), structure ( pranata penegak hukum ), dan legal culture
( budaya hukum ), artinya hukum bukan sekadar  yang tertulis  melainkan juga  norma agama, etika, dan norma sosial
[113].
Menurut Milovanovic [114] tokoh aliran Legal Realism dan pendukungnya seperti  Karl Lewellyn dan Frank secara tegas menentang paham hukum yang formal mekanik, lebih mendahulukan rasionalitas yang substantif, dan menolak kerja hakim yang menekankan pada metode deduksi dalam memahami hukum. Pendapat tersebut diikuti oleh paham sociological dan realistis jurisprodence,yang berpendapat bahwa hukum tidak bebas dari konteks-konteksnya. Mereka menolak hukum sebagai sistem  normatif yang tertutup, yang lepas dari  konteks-konteksnya,  yakni politik, sosial maupun kultural. Tokoh kaum realis, Oliver Wendell Holmes mengatakan, Law has not been logic, it exprerience. Hukum bukanlah suatu sistem teks normatif yang tertutup. Karena itu kemurnian hukum dengan menutup diri dari pengaruh konteks-konteksnya adalah suatu upaya yang tidak hanya sia-sia tetapi juga tidak realistis[115].
Hukum, sekalipun telah dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai produk kebijakan suatu badan pemerintahan negara yang terbilang tinggi, bukanlah sesuatu yang sakral dan berstatus di atas segala-galanya ( the suprene law –state, de hoogste rechstaat ). Alih-alih menurut konsepnya yang mutakhir, hukum pada hakikatnya adalah produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan ekonomi mereka yang ditujukan ke norma-norma sosial dan/atau nilai-nilai ideal kultur mereka.
Pemahaman tidak dapatnya hukum dipisahkan dari politik semakin meluas setelah gerakan pemikiran kritis, yang dikenal dengan The Critical Legal Studies Movement ( CLS ) tidak bisa menerima produk hukum yang positivis-formalis. Karena itu, sekalipun merupakan hasil kesepakatan yang sah, tetapi apakah benar-benar bisa bersifat netral dan dapat ditegakkan oleh lembaga yudisial yang independen dan tidak memihak. Menurut CLS, formalisme hukum hanya akan berdaya guna melegitimasi para elit yang tengah berkuasa termasuk elit politik. Rakyat banyak terkecoh oleh formalisme pemikiran di bawah prinsip rule of law.  Hukum dan teorinya menurut Kruish, hakikatnya sebagai suatu ideologi dengan fungsinya sebagai pelegitimasi, berlangsung melalui proses-proses refikasi dan proses hegemoni politik.[116]
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa sistem hukum dipengaruhi oleh sistem yang lebih  luas yang disebut  “super system” yaitu sistem sosial[117] ( social system ) dimana sistem hukum itu di bangun. Sistem sosial ini dapat berupa sistem sosial budaya, sistem politik, sistem ekonomi, sistem ilmu pengetahuan, teknologi dan lain-lain. Ini berarti bahwa sistem hukum harus dibangun dari berbagai bahan yang terdapat dimana sistem hukum itu dibangun. Lebih jauh Satjipto Rahardjo menyatakan, “konsentrasi energi hukum selalu kalah kuat dari konsentrasi energi politik”.[118] Pendapat tersebut sangat tepat apabila disandingkan realitas yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembentukan hukum di DPR RI, dimana berbagai sistem politik yang ada di DPR RI ikut melingkupi, terutama sistem politik dari partai-partai  politik yang besar. Dengan demikian sistem hukum ( nilai-nilai hukum ) yang terbangun dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sejatinya adalah manifestasi dari sistem politik, terutama sistem politik dari partai-partai politik yang besar.
Menurut  Trasymashus, “hukum  tidak lain  kecuali kepentingan mereka yang kuat”[119]. Kondisi dimana kalahnya hukum ketika harus berhadapan dengan politik dalam perspektif konflik adalah hal yang dimungkinkan[120]. Tidak berlebihan jika kemudian dikatakan, fenomena menonjolnya fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dan itu bersifat dominan serta lebih besar dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Lebih dari itu, instrumental hukum menjadi  penopang  tangguh struktur politik, ekonomi, dan  sosial.[121]
Pandangan pluralis mengatakan bahwa, hukum qada dan terbentuk karena shift atau pergeseran kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang berbeda­-beda[122]. Perbedaan kepentingan antar kelompok ini dapat menimbulkan terbentuknya koalisi dalam menanggapi isu-isu dan permasalahan tertentu, dan menumbuhkan kekuasaan melalui dan dengan jalan proses politik. Kelompok-­kelompok ini bertindak melalui partai-partai politik dan pemilihan-pemilihan, yang dapat membuat dan menjadikan mereka dapat mengontrol dan mengendalikan hukum negara.
Perbincangan dan perdebatan tentang pendekatan pluralisme ini pada awalnya dimulai oleh Robert Dahl dalam satu studi tentang kekuasaan yang dilakukan di New Haven, Connecticut pada tahun 1961. Dalam mempelajari kekuasaan dan penyusunan hukum dan peraturan yang berlaku di New Haven, Dahl menemukan adanya 3 kelompok terorganisir yang saling bertentangan dan dihadapkan pada konflik yang merupakan sumber yang digunakan oleh para politisi dan pegawai pemerintah kota sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam sentra kekuasaan.
Pembahasan tentang pluralisme ini secara lebih menyeluruh dikemukakan  Lawrence Friedman ( 1977 ). Menurutnya, hukum adalah hasil dari persaingan dan perbedaan kepentingan antara kelompok-kelompok yang ada, yang seringkali membutuhkan kekuatan dalam jumlah dan jenis yang berbeda-beda. Hubungan yang terjadi antara persaingan dan perbedaan kepentingan kelompok dengan terbentuknya kekuasaan melalui hukum adalah, kemampuan mereka kelompok-kelompok tersebut untuk membentuk opini publik, dengan cara memperkuat dan memperluas kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai mereka masing-masing. Perdebatan kepentingan dan nilai-nilai yang mereka miliki akan membawa dampak kepada terciptanya persaingan antar kelompok tadi untuk sama-­sama bersaing dan berkompetisi menanamkan pandangan-pandangan mereka dalam pengambilan keputusan yang nantinya akan dipakai sebagai dasar-dasar pengambilan keputusan untuk menetapkan hukum dan peraturan, serta implementasi atau penerapannya. Secara kontras, para elit yang ada di lembaga dan badan-badan hukum, mereka melakukan usaha untuk mengelola dan menegakkan kekuatan atau kekerasan ekonomi dan politik, yang dikonsentrasikan bagi kelompok-kelompok yang sedang berkuasa, yang memiliki kontrol terbesar dalam pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Para elit di badan-badan hukum mengemukakan argumen mereka, bahwa sementara mereka melakukan pengaturan atau kontrol terhadap kelompok yang sedang berkuasa, mereka kurang  dapat melakukan kontrol terhadap masyarakat secara detail dan menyeluruh, pada waktu  yang bersamaan.
Secara spesifik, GSHK ( Gerakan Studi Hukum Kritis ) melalui Roberto M. Unger[123] mengkritik teori pemisahan  hukum dan politik
( law politics distinction ). Teori ini mengandalkan bahwa, hukum itu dikonstruksikan secara objektif, seperti yang didalilkan oleh Ronald Dworkin,
[124]law is based on “obyective” decicion of principle, while polincs dependen on “subjektive decicion of policy”. Inilah yang ditolak keras oleh GSHK. Mereka menyatakan, tidak mungkin proses-proses hukum (apakah itu dalam membuat undang-undang atau menafsirkannya) berlangsung dalam konteks bebas atau netral dipengaruhi pengaruh moral, agama dan pluralisme politik. Kalangan GSHK  kadang mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan dialogis dibalik putusan-putusan hakim dan undang-undang[125].
Makanya berbeda dengan teori liberal, bagi kalangan GSHK hukum dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjektictive dan poly dependent as politis”.
Menurut Roberto M. Unger  ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin membayangkan netralitas dan objektivitas dalam hukum,  karena seperti di bawah ini :
First procedure is inseparable from outcame: every methode makes certain legislatifve choices more likely than other………. Second, each law making sistem it self embodies certain values; it incorporateas a view of haw power ought to be ditrubuted in the society and how conflicts should be recolved.[126]

Dengan mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan  kebijakan hukum, Unger  menunjukkan  betapa  tidak realistiknya  teori pemisahan  hukum dan politik. Analisis hukum yang hanya memusatkan  pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata dengan demikian mengisolasikan hukum dari konteksnya. Sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial.[127] Kritik terhadap teori pemisahan  hukum dan politik yang dipaparkan di atas, hanya merepresentasikan  salah satu aspek dari kritik GSHK terhadap tradisi  hukum  liberal. Meskipun demikian, lewat uraian singkat mengenai kritik terhadap asas pemisahan hukum dan politik, apa yang ingin diungkap GSHK sebetulnya juga ikut tersibak, yaitu menggunakan kontradiksi internal di dalam teori hukum liberal. Maksudnya adalah kesenjangan yang tajam antara apa yang diidealkan dan apa yang ada dalam realis. Kesenjangan inilah yang menurut kalangan  GSHK  menyebabkan dan gagal memahami secara koheren antara  aturan ( rules ) di satu pihak dengan nilai-nilai ( values ) di pihak lain. Di sinilah  letaknya apa yang dikatakan di muka sebagai “self-contradiction” atau  “incoherent” di dalam struktur  internal pemikiran
( doktrin ) hukum liberal itu. Sebagai akibatnya adanya kontradiksi-kontradiksi internal, menurut Roberto M. Unger
[128]Inabalit, to arrive at a coherent understanding it the relation between rules and values in social life”. 

2.6      Wacana Teoretik Tentang Pembentukan Hukum
Sebagai sarana pengintegrasi sosial, hukum tidak akan mungkin bekerja dalam ruang hampa. Menurut Harry C. Bredemeier, ketika hukum bekerja dalam sebuah tatanan sosial, maka ia akan selalu mendapatkan asupan dari bidang-bidang yang lain seperti bidang ekonomi, politik, dan budaya. Asupan yang diterima oleh hukum itu menjadi masukan ( input ) dan keluaran ( ouput ) yang dikembalikan ke dalam masyarakat.[129] Lebih lanjut Harry C. Bredemeier  mengatakan, itulah sebabnya hukum dalam realitasya berfungsi sebagai faktor pengintegrasian masyarakat, maka hukum harus mampu  menyelesaikan konflik secara tertib, sebagaimana yang dikatakan oleh Bredemeier :
”The law  fungtiono of the las is the  orderly resolotion of conflict. As this  implies, “the law”  ( the clearest  model of which J. Shall take to be  the court  system ) is brought into  operation after there violted by someove else”[130]

Mengikuti alur pemikiran yang demikian itu, maka dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan sosial, hukum harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Dalam garis besarnya aktivitas tersebut berlangsung dalam dua proses hukum, yakni proses pembuatan hukum dan proses implementasi hukum. Apabila ingin berbicara lebih pasti, maka proses pembuatan hukum itu sesungguhnya mengandung pengertian yang sama dengan istilah proses pembuatan undang-undang, untuk istilah proses implementasi hukum lazim orang menggunakan istilah proses penegakan undang-undang,[131] sekalipun pada prinsipnya proses hukum tersebut juga mengupayakan agar substansi dari suatu undang-undang  dapat dijalankan atau ditegakkan.
Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan pola pembentukan hukum untuk mengatur tatanan kehidupan sosial agar tercipta suasana yang aman dan tertib. Di dalam masyarakat demokratis yang modern, badan legislatif dapat dianggap sebagai prototipe penguasa yang berdaulat dalam membuat kebijakan pembuatan hukum. Penegasan kebijakan oleh badan atau lembaga ini akan merupakan salah satu sumber primer bagi suatu sistem hukum untuk mengonsepsikan standar-standar yang akan digunakan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.
Proses hukum tersebut merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Itu berarti proses pembuatan hukum merupakan sarana pemisah antara “dunia sosial” dan “dunia hukum”, yakni dunia di mana segala hal yang diatur itu mulai ditundukkan pada tatanan hukum. Dengan demikian, segala hal tersebut tidak tunduk pada ukuran-ukuran dan penilaian sosiologis, melainkan sudah mulai tunduk pada penilaian hukum, ukuran hukum, dan rumusan-rumusan akibat-akibat hukum yang ditetapkan.
Pada prinsipnya proses pembuatan hukum tersebut berlangsung dalam tiga tahapan besar, yakni tahap inisiasi, tahap sosio-politis dan tahap juridis, dan tahap penyebarluasan atau desiminasi.[132] Pertama, tahap inisiasi merupakan tahap yang menandakan lahirnya atau munculnya suatu gagasan dalam masyarakat tentang perlunya pengaturan suatu hal melalui hukum. Aktivitas yang berlangsung pada tahap inisiasi ini masih murni merupakan aktivitas sosiologis. Ia tampil sebagai bentuk reaksi terhadap sebuah fenomena sosial yang diprediksikan dapat mengganggu atau mengancam keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sinilah letak betapa pentingnya kajian-kajian sosiologis dalam memberikan sumbangan informasi yang memadai untuk memperkuat gagasan tentang perlunya pengaturan sesuatu hal dalam tatanan hukum. Kedua, aktivitas yang berlangsung pada tahap sosio-politis ini dimulai dengan mengolah, membicarakan ( mendiskusikan ), mengkritisi, mempertahankan gagasan awal yang berasal dari masyarakat melalui pertukaran pendapat antara berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat. Pada tahapan ini suatu gagasan akan mengalami ujian, apakah ia bisa terus digelindingkan untuk berproses menjadi sebuah produk hukum ataukah berhenti di tengah jalan. Apabila gagasan tersebut gagal dalam ujian tersebut, maka dengan sendirinya akan hilang dan tidak dipermasalahkan lagi oleh dan di dalam masyarakat. Sebaliknya, apabila gagasan tersebut berhasil untuk menggelinding terus, maka bentuk serta isinya juga mengalami perubahan dibandingkan dengan pada saat ia muncul untuk pertama kalinya. Perubahan itu menjadikan bentuk dan isi gagasan tersebut semakin luas dan dipertajam.[133]
Selanjutnya pada tahap yang ketiga, yakni tahap juridis merupakan tahap akhir di mana gagasan tersebut dijabarkan atau dirumuskan lebih lanjut secara lebih teknis menjadi ketentuan-ketentuan hukum, termasuk menetapkan sanksi-saksi hukumnya. Tahap ini melibatkan kegiatan intelektual yang bersifat murni dan tidak terlibat konlik kepentingan
( conflict of interest )  politik, yang tentunya ditangani oleh tenaga-tenaga yang khusus berpendidikan hukum. Aktivitas yang paling ditekankan di sini adalah merumuskan bahan hukum tersebut menurut bahasa hukum, meneliti konteksnya dalam sistem hukum yang ada sehingga tidak menimbulkan gangguan sebagai satu kesatuan sistem.
[134]
Tahap terakhir adalah tahap desiminasi atau penyebarluasan. Tahap ini merupakan tahap sosialisasi sebuah produk hukum diterapkan di masyarakat.  Sosialisasi ini berpengaruh terhadap bekerjanya hukum di masyarakat.  Betapapun secara substansial hukum bagus tetapi jika tidak disosialisasikan dengan baik, maka hukum tersebut tidak dapat diterapkan dengan baik di masysarakat. Sebaliknya jika suatu produk hukum dapat disoliasasikan dengan baik, maka hukum tesebut dapat berfungsi dengan baik di masyarakat.
Hasil akhir dari seluruh proses pembuatan hukum sebagaimana diuraikan di atas memiliki keterkaitan yang erat dengan tipologi masyarakat di mana hukum dibuat dan diberlakukan. Chambliss dan Seidman membuat pembedaan hukum menurut “tipologi masyarakat yang berbasis konsensus pada nilai-nilai” dengan “tipologi masyarakat yang berbasis konflik”. Tipologi masyarakat yang berbasis pada kesepakatan nilai-nilai ( value concensus ) selalu menghendaki agar tatanan hukum yang dibuat itu hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku di dalam masyarakat. Pembuatan hukum di sini hanya merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang disepakati dan dipertahankan oleh warga masyarakat. Langkah pembuatan hukum seperti itu dimungkinkan, karena pada tipologi masyarakat yang demikian sedikit sekali mengenal adanya konflik-konflik atau tegangan secara internal sebagai akibat dari adanya kesepakatan mengenai nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupannya. Itu berarti, tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara para anggota masyarakat mengenai apa yang seharusnya dipertahankan di dalam masyarakat.[135]
Pada tipologi masyarakat yang berbasis pada konflik tidak terlalu mengandalkan kemantapan dan kelestarian nilai-nilai, melainkan pada perubahan dan konflik-konflik sosial.[136] Dalam situasi masyarakat yang demikian itu, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat berada dalam situasi konflik satu sama lain, sehingga keadaan ini juga akan tercermin dalam pembentukan hukumnya. Tipologi masyarakat seperti ini ditandai dengan tingkat perkembangan yang lebih maju dan telah mengalami pembagian kerja yang relatif memadai dan terorganisir secara baik. Menurut Chambliss dan Saidman, pada tipologi masyarakat yang demikian ini ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi dalam pembentukan hukumnya, yaitu:[137] pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, di mana negara merupakan senjata di tangan lapisan yang berkuasa dan sekalipun terdapat pertentangan nilai-nilai di masyarakat, namun negara tetap dapat berdiri sebagai badan yang tidak memihak, di dalam mana nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang bertentangan dapat disesuaikan tanpa mengganggu kehidupan masyarakat.
Apabila dalam proses pembentukan hukum terjadi pertentangan nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, maka menurut Schuyt sebagaimana dikutip oleh  Satjipto Rahardjo, terdapat dua kemungkinan yang dapat timbul, yakni: (a) hukum dipakai sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan dalam masyarakat,[138] dan (b) hukum sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut.  Pandangan Schuyt yang demikian itu mengisyaratkan, bahwa di dalam suatu masyarakat yang tidak berlandaskan kesepakatan nilai-nilai itu, proses pembuatan hukum selalu merupakan semacam endapan pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam masyarakat. Pada kemungkinan yang pertama, pembuatan hukum merupakan suatu jalan untuk melakukan pencairan pertentangan. Lalu kemungkinan yang kedua, lebih menjelaskan tentang apa yang dapat timbul apabila masyarakat merasa tertipu oleh janji-janji atau penyelesaian yang dilakukan melalui pembuatan hukum.[139]
Proses merumuskan sesuatu hal dalam sebuah tatanan hukum tidak berlangsung secara liner dan searah, melainkan berlangsung secara timbal balik dalam alur input-output. Bredemeier berpendapat bahwa input primer yang dimasukkan oleh badan pembuat hukum ( badan legislatif ) ke dalam sistem hukum ini akan berupa deskripsi-deskripsi ideal mengenai segala urusan kehidupan sosial kemasyarakatan. Deskripsi-deskripsi ideal tersebut dapat terpola dalam berbagai pertimbangan hukum maupun dalam tampilan yang lebih operasional berupa rumusan pasal-pasal hukum ( undang-undang ). Sebaliknya, output yang dihasilkan oleh sistem hukum yang bertemalian dengan input tersebut akan berupa penerapan kebijakan hukum tersebut kepada berbagai persoalan spesifik yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam situasi seperti ini badan penerap hukum ( pengadilan, dan lain sebagainya ) tidak akan bersikap pasif atau menjadikan dirinya semata-mata sebagai pelaksana teknis terhadap kebijakan-kebijakan hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Lembaga penerap hukum mulai menginterpretasikan kebijakan hukum tersebut secara kreatif. Interpretasi dari lembaga penerap hukum jelas akan memberikan dampak kepada tatanan hukum berupa “input sekunder”.[140] 
Saling memberi antara badan pembuat dan penerap hukum ini tentu tidak berlangsung secara otomatis dan secara normal mengikuti alur yang diinginkan oleh lembaga pembuat hukum. Tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi antara tatanan hukum dengan kedua lembaga hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu dapat mengalami gangguan yang berat. Badan-badan penerap hukum, misalnya, mungkin membuat interpretasi-interpretasi yang tidak bersumber pada kebijakan badan pembuat hukum ( badan legislatif ), atau bahkan dengan terang-terangan mengabaikan ketentuan undang-undang yang ada. Sebaliknya, lembaga kekuasaan negara dapat menolak apa yang diputuskan oleh lembaga penerap hukum, atau gagal memaparkan secara jelas kebijakan-kebijakan umum yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam melakukan tindakan yudisial. Singkatnya, interaksi antara kedua pihak ini sering berjalan secara tidak seimbang, mantap, dan tepat.
Proses pertukaran antara “pedoman kebijakan” dengan “interpretasi atas kebijakan” seperti itu terkadang sangat mudah terganggu dan menjadi gagal, karena badan pembuat hukum ( badan legislatif ) selalu berada di bawah pengaruh-pengaruh opini publik terutama politik, yang selalu berubah-ubah secara mendadak, dan selalu ditekan oleh tuntutan-tuntutan golongan yang mempunyai kepentingan berbeda.
Dari sisi yang lain, interaksi antara sistem hukum ( termasuk dalam hal ini lembaga pembuat dan penerap hukum ) dengan sistem politik juga dapat mengganggu proses pembuatan maupun penerapan kebijakan hukum. Bredemeier  mengingatkan, bahwa tidak ada jaminan sedikit pun bahwa setiap keputusan yudisial itu pasti akan diimplementasikan secara otomatis. Terkadang input pelaksanaan keputusan yang diperlukan oleh sistem hukum dapat ditahan atau dimentahkan kembali oleh sistem politik. Penahanan demikian itu, dalam situasi-situasi tertentu akan dapat menyebabkan pergeseran sistem hubungan antara lembaga penerap hukum  dengan negara ke arah bentuknya yang bersifat otoriter.[141]
Tentang hubungan input-output dalam proses bekerjanya hukum sebagaimana digagas oleh Bredemeier tersebut sesungguhnya bertolak dari teori sistem  cybernetics [142] dengan tokohnya Wiener. Itulah sebabnya para pencetus teori sistem pada umumnya atau teori cybernetics pada khususnya merumuskan beberapa proposisi atau pernyataan teoretik sebagai berikut:
Pertama, sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi ( proces );  Kedua, masing-masing elemen ( subsistem ) terkait dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung ( interdependence of its parts ); Ketiga, kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang meliputi keseluruhan elemen  pembentuknya itu  ( the whole is more than the sum of its parts ); Keempat, keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya ( the whole determines the nature of its parts ); Kelima, bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu ( the parts cannot be understood concidered in isolation from the whole ); Keenam, bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan ( system ) itu.[143]
Menurut  Robert B. Seidman  dan William J. Chambliss, bahwa  proses bekerjanya hukum sangat ditentukan oleh empat komponen utama, yakni lembaga pembuat hukum ( undang-undang ), birokrasi penegakan hukum, para pemegang peran, dan pengaruh kekuatan personal dan sosial. Tiga komponen yang pertama ( lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan hukum, dan pemegang peran ) itu berperan dalam koridor hukum, sedangkan kekuatan personal maupun sosial merupakan komponen “non-hukum” yang memiliki andil yang tidak kalah pentingnya dalam menentukan arah bekerjanya hukum.[144]
Menurut Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Seidman, peraturan yang diundangkan oleh lembaga yang berwenang ( legislatif, dan lain-lain ) dalam suatu negara modern mempunyai dua sasaran kembar. Aspek yang pertama ialah peraturan hukum yang dibuat itu dimaksudkan untuk mengarahkan warga negara ( masyarakat ) agar berbuat menurut cara-cara tertentu. Sasaran yang demikian itu menurut Kelsen merupakan “bentuk sekunder” dari peraturan hukum. Sasaran yang kedua ditujukan kepada para penerap hukum atau penegak hukum (termasuk hakim, dan lain sebagainya ) untuk mengarahkan mereka dalam menerapkan sanksi manakala ada warga negara yang melanggar peraturan hukum tersebut. Sasaran hukum yang kedua ini oleh Kelsen dikategorikan sebagai “bentuk primer” dari peraturan hukum.[145]
Pandangan Kelsen mengisyaratkan bahwa, pada prinsipnya suatu peraturan hukum yang dibuat oleh lembaga pembuat hukum itu memiliki arti yang sangat penting dalam merubah perilaku warga masyarakat sebagai pemegang peran. Sekalipun demikian, terwujud atau tidaknya tujuan pembuatan hukum yang demikian itu sangat ditentukan oleh struktur normatif dan kelembagaan, ideologi-ideologi, hambatan-hambatan fisik di dalam masyarakat, struktur sosial, mitos-mitos dan tradisi-tradisi masyarakat, nilai-nilai yang dihayati, dan masih banyak yang lain. Komponen-komponen tersebut juga ikut berpengaruh terhadap sikap dan tindakan para penerap hukum ( termasuk para penegak hukum: hakim, jaksa, polisi, dan lain sebagainya ). Itulah sebabnya, dalam kerangka umum proses bekerjanya hukum, Seidman memasukan para pembuat dan penerap hukum sebagai bagian dari para pemegang peran
( role ocupant ).
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Seidman sendiri mengakui, bahwa peran-peran yang dimainkan oleh lembaga pembuat hukum, birokrasi penegakan hukum maupun para pemegang peran, tidak hanya dikontrol dan dikendalikan oleh aturan hukum, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain di luar hukum, yakni kekuatan personal ( individu ) dan kekuatan sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Kekuatan-kekuatan non-hukum pula yang membangkitkan atau mendorong lembaga pembuat hukum mempertimbangkan kembali pemberlakuan hukum yang dibuat itu atau menyempurnakan atau bahkan mencabut pemberlakuannya. Kekuatan non-hukum itu juga ikut membangkitkan atau mendorong para pelaksana birokrasi untuk merubah aktivitas birokrasi dalam menerapkan peraturan hukum.
Pada kesempatan lain Satjipto Rahardjo mengatakan perlunya pemikiran tentang model penegakan hukum yang disebut penegakan hukum progresif. Secara konseptual, keadilan progresif diharapkan mampu menghasilkan keadilan substantif yang didikotomikan dengan keadilan prosedural[146]. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyebutkan ada dua determinasi penting dalam penegakan hukum progresif. Pertama, determinasi dari komponen penegakan hukum yang meliputi hakim, jaksa,  polisi dan advokat. Di antara mereka, perlu duduk bersama menyamakan persepsi. Suatu tindakan yang tidak mungkin dapat dilakukan bagi mereka yang mengukuhi hukum liberal. Kedua, determinasi mengenai tujuan yang akan dicapai. Penegakan hukum harus beringsut dari permainan kata ke pencarian makna  sosial. Persamaan persepsi dapat dicapai manakala masing-masing penegak hukum mampu melihat dalam demensi luas bukan sekadar kepastian melainkan juga kemanfaatan hukum. Senada dengan pandangan Satjipto Rahardjo tentang penegakan hukum yang progresif adalah Binawan mengatakan, sekalipun secara konseptual ada keadilan prosedural dan keadilan substantif, namun pertentangan antara keadilan prosedural dan keadilan progesif adalah hal yang normal sebab ada ketegangan internal yakni ketegangan antara kepastian hukum ( certainty ) dan keadilan ( justice ), merupakan dua cita-cita pokok hukum[147]. Di satu sisi, keadilan prosedural mengedepankan kepastian hukum sedangkan keadilan progesif mengedepankan keadilan dalam arti luas dan dinamis.
Secara lebih lengkap Wilhelm Lundsted[148] menegaskan bahwa hukum baru memiliki  makna setelah ditegakkan. Tanpa  penegakan, hukum bukan apa-apa. Menurutnya tanpa substansi hukum pun, sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum[149]. Lebih lanjut Wilhelm Lundsted justru menegaskan bahwa aturan bertingkah laku tersebut bukan apa-apa. Pen­dapat itu mungkin cukup masuk akal bagi Indonesia karena terbukti bahwa dengan banyaknya aturan, ternyata juga makin banyak tuntutan.
Seorang pakar hukum Belanda Taverne berpendapat sebagai berikut[150] :
"Berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang baik”.

Sifat baik dari aparat tersebut mencakup integritas moral serta profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan dapat mengarah  kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas saja tanpa profesionalisme  bisa menyimpang  keluar dari jalur-jalur hukum.
Masalah lainnya dalam implementasi atau penegakan hukum adalah cara memaknai atau interpretasi terhadap suatu produk undang-undang. Perbedaan interpretasi terhadap undang-undang seringkali menjadi sumber konflik hukum di masyarakat[151].
Secara umum setiap produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh pembuat undang-undang akan tergambar dengan sendirinya maksud dan tujuan dibuatnya undang-undang bersangkutan. Begitu pula makna dari setiap konsep yang digantikan.  Akan tetapi ada pula undang-undang yang tidak begitu jelas maksud dari pembuatnya dan makna dari setiap konsep yang termaktup di dalamnya.
Dalam perspektif Hermeneutika [152], interpretasi yang ideal adalah menggunakan dua cara,  yaitu interpretasi oleh pembuat undang-undang  atau ”interpretasi autentik[153] dan interpretasi menurut konteks pembacanya atau zamannya. Dengan menggunakan kedua interpretasi ini akan terhindar dari dogmatisme berpikir, karena kebenaran  dalam ilmu selalu bersifat nisbi dan tidak pernah mengenal ketunggalan. Dia selalu bersifat tentatif dari waktu ke waktu  akan selalu mengalami perubahan dan kemajuan.  Makna inilah yang selalu dikumandangkan Hegel dalam filsafatnya bahwa yang benar adalah keseluruhan.[154] Makna terdalam dari filsafat Hegel ialah setiap pengetahuan dan pengertian yang baru selalu bersifat dialektis, karena selalu menggeser pengertian yang kurang tepat. Dengan mendasarkan pada filsafat Hegel inilah, maka dapat ditarik suatu kongklusi interpretasi sebagai upaya manusia untuk  memahami tentang sesuatu ( something of something ).[155] Adalah suatu kekeliruan epistemologis, bila hanya mengandalkan pada satu interpretasi yang belum tentu dapat menangkap dengan tepat sesuai makna yang terkandung pada sebuah teks perundang-undangan.
2.7      Implementasi dan Berlakunya Hukum
Menurut Soerjono Soekanto[156],  ada lima faktor yang memberikan kontribusi pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu  pertama, faktor hukum ( subtance ) atau peraturan perundang- un­dangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo[157], membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatan­nya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pem­buatan undang-undang cq. lembaga legislatif.  Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.
Kedua pandangan di atas tampaknya saling berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan menjadi tiga unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula dirinci lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Melengkapi kedua pandangan di atas, menarik juga diperhatikan pandangan Jerome Frank, tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini meliputi selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi[158] .
Dari beberapa proposisi di atas, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang proses penegakan hukum yang meliputi tahapan pembuatan hukumnya, ta­hapan pemberlakuan dan penegakannya sampai pada tahap pelaksanaan putusannya, adalah bersifat dinamis dan kontekstual. Dinamis dalam arti corak dan bentuknya mengikuti dinamika dari waktu ke waktu,  sedangkan kontekstual dalam pengertian terkait erat pada interaksi berbagai faktor pendukung sebagaimana disebutkan di atas.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya sebagai undang-undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepenting­an-kepentingan yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi ­tersebut meliputi kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD[159] sampai pada kesimpulan, bahwa dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah[160]. Kondisi demikian menurut Sri Soemanti[161] mengeksplisitkan bahwa perjala­am politik di Indonesia tidak ubahnya seperti perjalanan kereta api di luar relnya, artinya banyak sekali praktik politik yang secara substantif bertentangan aturan-aturan hukum.
Statemen-statemen di atas memberikan penegasan, bahwa di dalam realitas empirisnya  politik sangat menentukan bekerjanya hukum, mulai  sejak proses pembentukan sampai dengan tahap implementasinya. Menurut Moh Mahfud[162], pengaruh politik akan berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses pem­buatannya. Mahfud kemudian sampai pada kesimpulan bahwa, hubungan kausalitas antara hukum dan politik, khususnya dalam bidang hukum publik tampak dengan jelas bahwa sistem politik yang demokratis senantiasa mela­hirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau populistik sedangkan sistem politik yang otoriter senantiasa melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks atau koservatif.[163]
Secara juridis dan ideologis, instansi penegak hukum dan aparat penegak hukum di Indonesia merupakan suatu kesatuan sistem yang terintegrasi dalam membangun satu misi penegakan hukum. Konsepsi ideologis demikian ­tidak atau kurang melihat kondisi wilayah dan faktor sosio-kultural masyarakat yang heterogen serta faktor-faktor personal dari aparat penegak hukum sendiri yang juga dalam kenyataannya sangat heterogen.
Statemen di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kendatipun penegakan hukum secara prinsip adalah satu, namun secara substantif penegakan hukum, penyelesaian perkara akan melibatkan seluruh in­tegritas kepribadian para aparat penegak hukum yang terlibat di dalamya. Dalam hal ini  Satjipto Rahardjo[164] mengemukakan,  bahwa kita tidak bisa menutup mata dari kenyataan, bahwa para penegak hukum sebagai kategori manusia dan sebagai jabatan, akan cenderung memberikan penafsirannya sendiri terhadap tugas-tugas yang harus dilaksanakannya sesuai dengan tingkat dan pendidikan, kepribadiannya dan masih banyak faktor-faktor pengaruh lain lagi. 
Dalam rangkaian mekanisme penegakan hukum yang meliputi tahap pembentukan ­hukum dalam berbagai fasenya, dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, ­bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum dijalankan itu dibuat. Dengan demikian terlihat betapa besarnya peranan penegak hukum yang menduduki posisi sebagai anggota badan legislatif yang merupakan salah satu mata rantai mekanisme penegakan hukum[165].
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie[166], norma hukum dapat berlaku karena beberapa pertimbangan filosofis, pertimbangan juridis, pertimbangan sosiologis, pertimbangan politis dan pertimbangan yang bersifat administratif.
1.      Keberlakuan Filosofis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pandangan Hans Kelsen mengenai ”gerund-norm” atau dalam pandangan Hans Nawiasky tentang "staatsfundamentalnorm", pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari Segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan.[167]
Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai ”staats­fundamentalnorm". Di dalam rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan berbhineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.     Keberlakuan Juridis
Keberlakuan juridis adalah keberlakuan norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum se­suatu dogma. yang dilihat dari pertimbangan
bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila norma hukum sendiri memang (i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans Kelsen dengan teorinya “Stuffenbau Theorie des Recht”[168] (ii) ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann[169] (iii) ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku seperti dalan pandangan W. Zevenbergen[170], dan (iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis.
3.     Keberlakuan Politis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata ( riele machtsfactoren ). Meskipun norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan ( power theory ) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik.
4.     Keberlakuan  Sosiologis
Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini cenderung lebih mengutamakan pendekatan yang em­piris dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan ( recognition theory), (ii) kriteria penerimaan ( reception theory ), atau (iii) kriteria faktisitas hukum. Kriteria pertama ( principle of recognition ) menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat, maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya.
Kriteria penerimaan sebagai kriteria kedua (principle of reception) pada pokoknya berkenaan dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk menerima daya-atur, daya-ikat, dan daya-paksa norma hukum tersebut baginya. Inilah yang dijadikan dasar Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa di Hindia Belanda dahulu yang berlaku adalah hukum adat, bukan hukum Islam. Menurutnya, kalaupun hukum Islam itu secara sosiologis dapat dikatakan berlaku, maka hal itu semata-mata disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat hukum adat sudah meresepsikannya ke dalam tradisi hukum adat masyarakat setempat[171]
Sedangkan kriteria ketiga menekankan pada kenyataan faktual (faktisitas hukum), yaitu sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Meskipun suatu norma hukum secara juridis formal memang berlaku, diakui ( recognized ), dan diterima ( received ) oleh masyarakat sebagai sesuatu yang memang ada ( exist ) dan berlaku ( valid ), tetapi dalam kenyataan praktiknya sama sekali tidak efektif, berarti dalam faktanya norma hukum itu tidak berlaku. Oleh ­karena itu, suatu norma hokum baru dapat berlaku secara sosiologis apabila norma dimaksud memang berlaku menurut salah satu kriteria tersebut.
Dalam perspektif implementasi hukum bidang politik, kajian sosiologis hukum menjadi lebih menarik, terutama dalam penyelesaian sengketa politik, yang memperlihatkan banyaknya variabel yang ikut berpengaruh, namun sekaligus memperlihatkan keefektifan penyelesaian perkara politik di luar jalur pengadilan, yang dilakukan dengan melalui mediasi oleh pihak ketiga. Hal itu menunjukkan, bahwa keadilan  tidak hanya dapat diperoleh di pengadilan,  tetapi lebih jauh dari itu,  keadilan yang sebenarnya muncul kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa.
2.8            Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum[172] yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukannya dapat berlangsung se­bagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat negara yang menganut sistem Eropa Kontinental atau tradisi hukum sipil, pembentukannya dilakukan oleh badan legislatif. Sedangkan dalam masyarakat negara yang menganut tradisi hukum kebiasaan ( com­mon law ) kewenangannya terpusat pada hakim ( judges as a centralof legal creation )[173].
Dalam perkembangannya, terutama di negara-negara ketiga, berkecenderungan untuk menggabungkan kedua tradisi itu. Kecenderungan ini tidak hanya terlihat pada negara-negara ketiga, tetapi juga pada negara-negara yang pada mulanya secara ketat memegang salah satu dari kedua tradisi besar itu, seperti Inggris, negara-negara Eropa, dan Amerika. Kecenderungan ini ini tampak sebagai penjelajahan baru peradaban manusia dalam bidang hukum untuk mendapatkan formulasi paling ideal bagi usaha perwujudan tujuan-tujuannya sebagai suatu negara hukum. 
Memang ada sedikit perbedaan antara perkembangan di Eropa kontinental dan Inggris. Di Eropa yang mendasar­kan pada hukum legislasi atau tertulis perkembangan berjalan lebih cepat daripada Common Law di Inggris yang lebih bersikukuh pada hukum tradisionalnya. Hukum Romawi yang coba dibawa ke Inggris pada abad ke-enam ditolak karena akan mengganggu kontinuitas perjalanan hukum yang berbasis tradisi itu ( Common Law ). Penolakan tersebut menjelaskan mengapa Inggris tidak menyukai hukum yang dibuat melalui badan perundang-undangan. Positivisme Inggris berbeda dari pada positivisme Eropa Daratan.
Formulasi kombinatif kedua tradisi di atas memberikan kecenderungan pembentukan hukum dapat dilakukan baik oleh hakim, lembaga legislatif, maupun badan-badan administratif yang melakukan fungsi se­macam itu. Risikonya memang tidak kecil karena perluasan fungsi se­macam itu dapat mengaburkan kompetensi dari setiap komponen pembentuk hukum. Di samping secara kuantitas hukum menjadi sangat kompleks, perluasan itu juga dapat mengakibatkan overlapping substansi atau perselisihan pandangan tentang suatu gejala hukum. Maka masalah serius  yang segaris dengan lintasan masalah ini adalah kekaburan hukum.
Negara Indonesia sebagai negara hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental, dimana pembentukan hukumnya  dilakukan oleh  badan legislatif atau disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ). Landasan Juridis pemberian kewenangan kekuasaan pembentukan undang-undang kepada badan legislatif atau DPR didasarkan pada pertama, UUD 1945, yang merupakan hukum dasar dan hukum tertinggi ( gerundgezetz, groundwet ) yang menjadi bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya.  Pada Pasal 20 UUD 1945,  Ayat (1) dikatakan : ”Dewan  Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk”[174]. Kemudian ayat (2) : ”Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”.[175]  Juga dalam ayat (5) : dikatakan : ”Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang terebut sah menjadi undang-undang”.
 Oleh perancangnya, Ayat (5) dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan karena sesuatu hal Presiden tidak mau memberikan persetujuannya dan untuk menghindari keterlambatan dalam proses pembentukan undang-undang karena pihak pemerintah tidak mau atau mengulur waktu untuk memberikan persetujuan. Kemungkinan lain ayat (5) dimaksudkan untuk mensejajarkan kewenangan dalam pembentukan undang-undang antara DPR dengan Presiden[176].
Landasan Juridis kedua, yaitu UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang secara rinci dalam undang-undang ini diatur dalam  Bab IV tentang ”Perencanaan Penyusunan Undang-Undang” dan  Bab V  tentang ”Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” ( Pasal 17 sampai Pasal 25 ).
Dalam Bab II tentang Asas Peraturan Perundang-undangan berisi Pasal 5, 6, dan 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan bahwa dalam “membentuk” Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-asas yang dimaksud itu meliputi :
a.     Kejelasan tujuan;
b.     Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.      Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.     Dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan' adalah, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Yang dimaksud dengan asas "kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah, bahwa setiap jenis peraturan perundang-­undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Sedangkan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam pembentukan per­aturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Asas "dapat dilaksa­nakan" adalah bahwa, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifi­tas peraturan perundang-undangan di dalam masyara­kat, baik secara filosofis, Juridis maupun sosiologis. Sedangkan yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa, setiap Peraturan Per­undang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Asas lain yang juga disebut di atas adalah asas "kejelasan rumusan", yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, siste­matika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelak­sanaannya. Sementara itu, yang dimaksud sebagai asas "keterbukaan" adalah bahwa, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk seluas-luasnya mem­berikan masukan dalam proses pembuatan atau pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 6 ayat (i) UU No. 10 Tahun 2004 juga menentukan adanya asas-asas yang harus terkandung dalam materi muatan setiap peraturan perundang-undangan. Asas-asas yang dimaksud adalah asas :
a.    pengayoman;
b.    kemanusiaan;
c.     kebangsaan;
d.    kekeluargaan;
e.     kenusantaraan;
f.      bhinneka tunggal ika;
g.    keadilan;
h.    kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.      ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.      keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah, bahwa setiap materi muatan peraturan perun­dang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masya­rakat. Selain itu, dianut pula adanya "asas kemanusiaan", yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Sedangkan "asas kebangsaan" adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik ( kebhinnekaan ) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, yang dimaksud dengan asas ”kekeluargaan" adalah bahwa, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Asas yang lain adalah "asas kenusantaraan”, yaitu bahwa, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang ber­dasarkan Pancasila. "Asas Bhinneka Tunggal Ika" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-­undangan harus memperhatikan keragaman penduduk­ agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dam bernegara.
Demikian pula dengan "asas keadilan" dapat di­pahami dengan pengertian bahwa, setiap materi muatau peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. "Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. "Asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menim­bulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Sedangkan yang dimaksud de­ngan ”asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perun­dang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
Selain asas-asas tersebut di atas, peraturan perundang-undangan tertentu dapat pula berisi asas-­asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya, dalam bidang hukum pidana dikenal luas antara lain adanya asas-asas, seperti asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Semua asas ini  berlaku dalam bidang hukum pidana yang dapat ditambahkan dalam rangka asas-asas seperti yang dimaksud di atas. Sementara itu, dalam bidang hukum perdata, dapat dikemukakan pula contoh, seperti adanya asas-asas yang bersifat universal, seperti asas ikatan kesepakatan ( sanctity of contract ), asas kebebasan berkontrak ( freedom of contract ), dan asas itikad baik
( te goede trouw ).


2.9            Pembentukan Undang-Undang yang Demokratis
Pembahasan tentang pembentukan undang-undang yang demokratis tidak bisa dilepaskan dari studi sosiologi hukum[177]. Apabila memang demikian, maka pembentukan undang-undang akan dilakukan dengan melihat dan menem­patkan aktivitas tersebut dalam suatu konteks yang lebih substansial daripada artifisial. Yang dimaksud artifisial adalah penyusunan undang-undang yang dikenal sebagai legal drafing yang melihat penyusunan undang-undang pada kaidah-kaidah konvensional-juridis-teknis. Berbeda dengan karakteristik tersebut, sosiologi hukum tidak membahasnya sebagai suatu pekerjaan yang bersifat teknik dan spesialistis, melainkan sebagai aktivitas masyarakat secara keseluruhan. Ditempatkan pada model ”sociological jurisprudence” Donald Black, maka penyusunan undang-undang akan dibicarakan sebagai suatu aktivitas yang melibatkan struktur sosial dan perilaku masyarakat[178].  Disebabkan oleh kehadiran faktor struktur sosial tersebut menjadi relevanlah untuk membicarakan penyusunan undang-undang demokratis. Penyusunan undang-undang yang demokratis tidak lain merupakan satu aspek dari pembuat undang-undang dalam suatu konteks struktur sosial tertentu.
Dari perspektif sosiologi hukum, pokok pembicaraan mengenai penyusunan undang-undang yang demokratis termasuk cukup relevan, semata-mata atas dasar pertimbangan, bahwa tindakan dan pekerjaan dalam masyarakat tidak pernah dapat diisolasikan secara steril, tetapi saling berhubungan  antara subsistem yang satu dengan subsistem yang lainnya.
Melihat penyusunan undang-undang sebagai aktivitas masyarakat secara keseluruhan, mendorong kita untuk mempertanyakan kembali konstatasi-kon­statasi tradisional dan stereotopis tentang pekerjaan tersebut. Konstatasi stereotopis adalah isue-isue yang ditanamkan dalam pembuatan undang-un­dang, seperti bahwa undang- undang itu “mengatur masyarakat”, ”menertibkan masyarakat”, ”melindungi kepentingan umum”, dan ”menimbulkan efek yang dikehendaki”. Dalam doktrin normatif-legalistik yang mendominasi pemikiran hukum, pertanyaan-pertanyaan tersebut dilampaui saja ( taken for granted ). Dengan demikian maka membuat undang-undang memang identik dengan mengatur dan menertibkan masyarakat, melindungi masyarakat dan sebagainya. Sosiologi hukum mempertanyakan kembali semua yang selama ini dalam doktrin normatif diterima sebagai sesuatu yang sudah mapan, sehingga tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi. Pertanyaan itu adalah : apakah hukum itu benar-benar melakukan hal-hal yang ingin ia lakukan ( doing what is said to do ), apakah hukum itu memang sungguh-sungguh mengatur rakyat atau masyarakat ( really ordering people ),  dan apakah hukum itu memang pada akhirnya memberikan efek seperti dikehendakinya ?
Jenis pertanyaan tersebut cukup relevan dalam sosiologi pembuatan hukum, oleh karena menuntun kita kembali untuk dapat melihat kepada hakikat hukum sebagai sarana untuk mengatur masyarakat secara substansial. Melalui koridor pertanyaan tersebut kita akan mampu melihat penyusunan undang-undang sebagai suatu cara untuk memajukan dan melindungi kepentingan tertentu atau mengutamakan suatu kepentingan di atas yang lain. Informasi yang demikian itu tentunya sangat relevan untuk mengetahui apakah suatu undang-undang itu disusun secara demokratis atau tidak.
Selama ini pembuatan undang-undang lebih menitikberatkan pada kebenaran prosedur saja, yang mana­kala suatu undang-undang sudah dibuat melalui prosedur yang ditentukan, menjadilah ia undang-undang yang baik. Dari kaca mata sosiologi hukum tidak cukup hanya sampai di situ, karena ingin tahu secara lebih mendalam, seperti bagaimanakah muatan kepentingan undang-undang itu, misalnya seberapa besar kepentingan fraksi-fraksi kecil terakomodir dalam undang-undang tersebut. Apabila berbicara mengenai prosedur pembuatan undang-undang, misalnya dilihat apakah un­dang-undang itu sudah dibuat menurut tata cara yang memungkinkan suara rakyat diutarakan dengan sebaik-baiknya.
Studi hukum yang mulai ditarik keluar dari batas-batas ranah  perundang-undangan sudah terjadi sejak dekade abad dua puluh, yaitu dengan kemunculan sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound ( 1911 ). Pound mengajukan gagasan tentang suatu studi hukum yang juga memperhatikan efek sosial dari bekerjanya hukum. Studi tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya tentang studi logis terhadap peraturan-peraturan hukum dan  penerapannya, melainkan juga akibat yang ditimbulkan terhadap  masyarakat[179].
Sejak sosiologi hukum melihat hukum sebagai bagian yang sama sekali tak dapat dipisahkan dari masyarakat, maka pada waktu kita membicarakan masalah penyusunan atau pembuatan undang-undang, pendekatan tersebut diterapkan juga. Di atas sudah dikemukakan, bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat dilihat sebagai suatu kegiatan yang absolut otonom dan steril. Dalam kerangka penglihatan yang demikian itu, pembuatan undang-undang bukan dilihat sebagai pekerjaan yang bersifat teknis-profesional, melainkan suatu pekerjaan yang memiliki asal-usul sosial, tujuan sosial, serta dampak sosial. Oleh Bernard, hal ini disebut sebagai proses rekonstruksi sosial.[180]
Apabila pembuatan undang-undang dijadikan obyek kajian ilmu pengetahuan, maka aspek sosial tersebut harus dibicarakan dengan sebaik-­baiknya. Tuntutan tersebut semata-mata didasarkan pada tugas ilmu pengetahuan untuk mengamati dengan cermat dan menjelaskan hal-hal yang menjadi obyek kajiannya. Tanpa menempatkan pembuatan undang-undang dalam konteks tersebut di atas sangatlah sulit untuk membuat deskripsi mengenai realitasnya yang penuh dan penjelasan yang baik mengenai pembuatan undang-undang itu.
"To know the true of the community is what constitutes the sciensce of legislation; the art consists in finding the means to realize that good...”. Begitulah kata-kata pertama Jeremy Bentham dalam karyanya yang kemudian terkenal dengan, "Theory of Legislation", yang diterbitkan pada Tahun 1975[181].
Dengan demikian studi terhadap pembuatan undang-undang sudah bersatu belaka dengan studi dan penelitian sosiologis, oleh karena ia tak dapat melepaskan diri dari “finding the means to realize the true good of the community”. Bentham menekankan, bahwa obyek dari pemerintahan dan hukum adalah “the greatest happiness of the community"[182]. Dengan mematok tujuan tersebut maka ilmu hukum dan khususnya ilmu pembuatan hukum tidak dapat dipisahkan  dari sosiologi hukum[183]. Uraian Bentham mengenai "happiness of society" tersebut mendekatkan kajian-kajiannya kepada sosiologi hukum, sejak dengan begitu ia harus membicarakan masalah "pains and pleasures", "sensibilities", "ends of law", "disposition", "expectations", dan lain-lainnya. Dengan bertindak seperti itu Bentham berurusan dengan fakta sosial, melakukan kajian analitik kontekstual dan taksonomis untuk mengorganisasikan fakta sosial dalam rangka suatu pengkajian ilmiah. Kajian Bentham mengenai pembuatan hukum sudah keluar dari analisis teknis legislasi ke arah pembahasannya di dalam kerangka kehidupan sosial yang lebih besar. Ukuran-ukuran yang digunakan bukan lagi semata-mata rasionalitas, logika, prosedur dan yang semacamnya, melainkan hal-hal yang lebih sosiologis si­fatnya sebagaimana dapat dibaca dari kutipan di sekitar Bentham tersebut diatas.
Salah satu aspek dari sosiologi pembuatan undang-undang adalah penggunaan undang-undang untuk mewadahi atau menampung permasalahan dalam masyarakat. Dengan demikian pembuatan undang- undang merefleksikan hal-hal yang tengah terjadi dalam masyarakat, bagaimana masyarakat mempersiapkannya, bagaimana keinginannya untuk menyelesaikan, dan bagaimana masyarakat tidak ingin melihat hal-hal yang terjadi atau menyembunyikannya.
Ditempatkan pada latar belakang tersebut, maka pembuatan undang­-undang dapat merupakan endapan dari konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat. Dalam hubungan ini Duverger mengatakan bahwa sejak undang-undang selalu merupakan endapan dari adu kekuatan politik, maka ia juga memanggil terjadinya konflik-konflik dalam masyarakat[184].
Undang-undang dapat dibuat sebagai sarana penyelesaian konflik, tetapi sekaligus juga bisa menimbulkan konflik-konflik baru. Suatu undang-undang yang pada saat diundangkan mendapat pujian, tidak menutup kemungkinan bagi timbulnya konflik di belakang hari[185]. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa undang-undang menyimpan potensi konflik.
Tentang pembentukan hukum yang demokratis, juga dapat dijelaskan dengan teori komunikasi dari Habermas.[186] Teori ini menjelaskan kesejajaran berdialog dalam perumusan hukum. Pengambilan teori ini untuk menjelaskan pembentukan undang-undang yang demokratis, lebih dasarkan pada realita, bahwa proses pembentukan undang-undang tidak dapat dipisahkan dari interaksi komunikasi para legislator. Oleh karena itu dapat dikatakan baik atau buruknya undang-undang sangat dipengaruhi oleh corak komunikasi atau dialog para legislator pada saat pembentukan undang-undang[187].
Menurut Habermas, perbincangan ( diskursus ) yang bisa dikategorikan sebagai perbincangan yang ”baik” harus memenuhi beberapa syarat. Syarat itu antara lain,  adalah bahwa individu yang terlibat harus sepenuhnya bebas[188], dipandang dan diperlakukan sejajar, serta mampu berpikir rasional. Dua syarat pertama penting untuk menciptakan perbincangan yang sungguh fair, sedang syarat ketiga penting untuk menciptakan pertimbangan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara etis dan moral. Lebih lanjut Habermas mengatakan, kompromi dalam merumuskan hukum harus memenuhi tiga syarat, yaitu (a) lebih menguntungkan bagi semua daripada sama sekali tidak ada kesepakatan, (b) menghindari ”penumpang gelap” ( free riders ) yang menarik diri dari kerja sama, dan (c) menghindarkan adanya pihak­-pihak yang dirugikan, yaitu yang memberi terlalu banyak bagi kerja­sama itu padahal hanya mendapatkan sedikit keuntungan.
Jika semua syarat komunikasi dalam berdialog merumuskan hukum dan kompromi sebagaimana disyaratkan oleh Habermas tersebut dapat dilakukan dalam proses pembentukan undang-undang oleh wakil rakyat di DPR,  maka dapat dikatakan proses pembentukan undang-undang telah berjalan secara demokratis. Tetapi sebaliknya, jika syarat tersebut tidak dapat penuhi, tidak salah jika dikatakan proses pembentukan undang-undang tidak demokratis[189].
Menurut Satjipto Rahardjo, penyusunan atau pembuat undang-undang, pada dasarnya merupakan suatu aktivitas yang melibatkan struktur sosial dan perilaku masyarakat. Di dalam sosial kemasyarakatan yang demokratis, maka akan terdapat penyusunan undang-undang yang demokratis pula, sehingga akan menghasilkan sistem dan tatanan hukum yang demokratis. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengatakan, kualitas penyusunan undang-undang yang demokratis akan berjalan sesuai dengan dinamika demokratisasi dalam masyarakat. Untuk menyusun Undang-Undang yang demokratis, dapatlah ditempuh dengan menciptakan ”transparansi” dan ”partisipasi” ( lebih besar ) dalam pembuatan hukum. Sedangkan di dalam masyarakat dan sistem sosial totalitarian, akan mengha­silkan sistem dan tatanan hukum yang totalitarian, meskipun tidak tertutup ke­mungkinan hukum yang totalitarian tersebut dapat muncul dalam tradisi kultur hukum yang biasa/normal[190].
Dari studi ini akhirnya dapat ditarik suatu kongklusi, yaitu ”pembentukan undang-undang yang demokratis tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lingkungan sosialnya”. Bagaimanapun, pendekatan dan analisis sosiologi hukum akan menempatkan hukum di dalam konteks, apakah itu struktur dan perilaku sosial yang melingkupinya. Dalam kontek disertasi ini,  maka tesis tersebut dapat didiskripsikan sebagai berikut :
1.     Interaksi politik dalam pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak dapat dipisahkan dari struktur politik dan perilaku politik yang melingkupi. Dalam hal ini yang dimasud  struktur dan perilaku sosial adalah struktur politik dan lingkungan politik  pada saat pembentukan UU tersebut dilakukan.
2.     Struktur dan perilaku politik yang demokratis sangat berpengaruh pada karakter atau corak undang-undang yang dihasilkan menjadi undang-undang yang demokratis. Dalam konteks UU Nomor 32 Tahun 2004, tingkat dinamika demokrasi yang terjadi pada saat pembentukan undang-undang tersebut akan berpengaruh pada muatan atau isi UU Pemda tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar