INTERASI
POLITIK DALAM PEMBENTUKAN HUKUM
STUDI UU NOMOR 32 TAHUN
2004 TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
1.
Latar Belakang
Pemikiran yang melatarbelakangi penulis mengambil
judul ”Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum” untuk orasi ilmiah dalam
rangka Dies Natalis Fakult as Hukum UNNES tahun 2009 ini yaitu, pertama, adanya realita bahwa antara hukum dan politik keduanya tidak dapat
dipisahkan baik dalm pembentukan maupun implementasinya. Soehardjo SS, pakar
hukum tata negara Undip, mengatakan “…antara hukum dan politik adalah pasangan, bila hukum
dikaitkan dengan recht, politik dikaitkan dengan macht, dengan
demikian, hubungan antara keduanya diungkapkan sebagai: ”. . . recht bendichte
Werking des macht, nicht macht bendichte Werking des recht....”[1]
Studi Moh. Mahfud (1994)[2] dalam disertasinya yang berjudul
”Perkembangan Politik : Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap
Produk Hukum di Indonesia”, menunjukkan bahwa ada pengaruh cukup signifikan
antara konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia . Karena itu, kata Mahfud,
kebanyakan produk hukum sudah terkooptasi kekuasaan atau Muladi[3] menyebutnya terjadi
”instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum” dalam kehidupan sosial. Begitu
pula studi yang dilakukan Loeby Loqman tentang tindak pidana politik
sedikit banyak memberi gambaran tentang ketidakjelasan konsep tindak pidana
politik dalam perundang-undangan di Indonesia . Ketidakjelasan ini dapat
dilihat pada produk putusan peradilan pidana, yaitu, yang di dalamnya terdapat
inkonsistensi antara satu putusan dengan putusan lainnya. Kedua, masih
sedikit literatur yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam
rangka pendidikan hukum[5],
pengkajian, dan pengembangan ilmu hukum[6]
bidang politik. Literatur yang ada selama ini[7] lebih
banyak melihat hukum ( undang-undang ) dari sisi substansi
( cita dan tujuan hukum[8] ) serta bentuknya, dan bukan pada sisi proses pembentukannya, yang sarat dengan konflik kepentingan ( conflict of interest ), hegemoni politik, dan kompromi politik, sehingga arah dan konsentrasi pengkajiannya lebih banyak pada persoalan prosedur dan legalitas pembentukan hukum.
( cita dan tujuan hukum[8] ) serta bentuknya, dan bukan pada sisi proses pembentukannya, yang sarat dengan konflik kepentingan ( conflict of interest ), hegemoni politik, dan kompromi politik, sehingga arah dan konsentrasi pengkajiannya lebih banyak pada persoalan prosedur dan legalitas pembentukan hukum.
Sedangkan pemikiran yang melatarbelakangi
dijadikannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
konsentrasi studi kasus dalam pembentukan hukum dan implementasinya, yaitu : pertama, bahwa UU Pemda tersebut
selain substansinya mengatur tentang otonomi daerah juga mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah
secara langsung, yang tentu dalam proses pembentukan dan implementasinya sarat
dengan interaksi politik, karena
menyangkut langsung kepentingan partai-partai politik. Kedua, di banyak daerah implementasi
UU tentang Pemda tersebut banyak menimbulkan konflik politik dan gejolak di
masyarakat, berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara
langsung, yang tentu sangat menarik untuk dijadikan sebagai objek penelitian
karena terjadinya diskongruensi antara das
sein dan das sollen dengan
dibentuknya UU Pemda tersebut.
2.
Rumusan
Permasalahan.
Secara teoretis permasalahan
muncul karena adanya jarak antara harapan atau Das Sollen dengan
kenyataan atau Das Sein dibentuknya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, yaitu
untuk mempercepat otonomisasi di daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi guna mewujudkan masyarakat yang lebih
sejahtera dan adil. Kenyataan yang terjadi di masyarakat pascakeluarnya
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menunjukkan hal berbeda, banyak protes dari
masyarakat terkait dengan isi atau muatan UU Pemda tersebut[9] yang
dianggap kurang menjamin kesamaan hak warga negara di dalam hukum dan
pemerintahan, gejolak dan kekacauan banyak terjadi daerah yang menyebabkan
terjadinya instabilitas daerah, yang
semuanya itu menjadi faktor kendala bagi percepatan pelaksanaan otonomi daerah[10].
Dengan kata lain terjadi diskongruensi[11]
antara kenyataan dan harapan. Mendasarkan pada
judul penelitian ini yaitu : “Interaksi Politik” dalam Pembentukan
Hukum, Studi tentang Pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dan Implementasinya dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung di Jawa Tengah”, maka permasalahan pokok dalam disertasi ini yaitu :
1. Bagaimana interaksi politik
dalam proses pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terjadi ?
2. Sejauhmana interaksi politik
dalam proses pembentukan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
berpengaruh terhadap karakter hukum ?
3. Benarkah UU 32 Tahun 2004 belum menjamin terselenggranya
pembangunan demokrasi dengan baik di Indonesi ?
4.Tujuan
dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan tentang “Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum”
untuk orasi ilimiah pada acara kegiatan
Dies Natalis Fakulat UNNES tahun 2009, yaitu :
1.
Untuk mengetahui
lebih dekat sejauhmana interaksi politik yang terjadi dalam prses pembentukan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah di Kantor Dewan Perwakilan
Rakyat ( DPR ) Republik Indonesia ?
2.
Sejauhmana interaksi politik dalam proses
pembentukan hukum (UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerinta Daerah )
berpengaruh terhadap karakter hukum ?
3. Manfaat Penulisan
Sedangkan manfaat dari tulisan”Interaksi
Politik dalam Prose Pembentukan Hukum “
Studi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu pertama,
secara akademis, hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan teori pada
khazanah ilmu hukum bidang politik, terutama menyangkut interaksi politik dalam
pembentukan undang-undang. Kedua,
tulisan ini dapat menjadi titik
tolak untuk melakukan pengujian dan
pemaknaan secara kritis terhadap beberbagai konsep, teori, dan paradigma hukum
bidang politik. Tulisan ini dapt menjadi
“informasi ilmiah” bagi eksekutif dan legislatif dan
dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam merancang kebijakan hukum bidang
politik yang lebih transparan, demokratis, dan berkeadilan, serta humanis. Di
samping itu, tulisan ini dapat pula
menjadi masukan bagi pembaharuan dan pengembangan ilmu[12] hukum, khususnya bidang politik.
Pondasi Teori
Teori-teori[13] yang
digunakan sebagai pondasi di sini
adalah teori-teori yang relevan
dengan judul disertasi ini, baik dilihat dari substansi maupun segi konteksnya, terutama dalam konteks
Indonesia di mana di satu pihak Indonesia memiliki heterogenitas nilai, suku, agama, di pihak
lain secara nasional menganut hukum
nasional yang harus dianut oleh seluruh warga bangsa. Selain itu,
teori-teori yang diangkat di sini diharapkan bisa menjadi model wacana teoritis
yang dapat membantu dalam mengembangkan perspektif hukum dalam bidang politik
di Indonesia ,
terutama untuk kepentingan ilmiah, legislatif, yudikatif dan eksekutif. Teori-teori
yang diangkat di sini diharapkan dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam
bab pembahasan.
Penjelasan teoretis yang dibahas menyangkut
empat hal, yaitu
(1) hukum, (2) pembentukan hukum, (3) implementasi hukum, dan
(4) interaksi politik dalam pembentukan hukum dan implementasinya. Mengingat salah satu tujuan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 diantaranya untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan demokratis, maka juga dimunculkan beberapa teori tentang pembentukan hukum yang demokratis.
(1) hukum, (2) pembentukan hukum, (3) implementasi hukum, dan
(4) interaksi politik dalam pembentukan hukum dan implementasinya. Mengingat salah satu tujuan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 diantaranya untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan demokratis, maka juga dimunculkan beberapa teori tentang pembentukan hukum yang demokratis.
a.
Teori
Hukum
Pondasi teori penulisan ini yaitu Untuk
teori hukum, yang dipilih adalah teori dari Nonet dan Selznick tentang hukum
yang responsif, serta teori kritis atau Critical Legal Studies (CLS) dari Roberto Mangabeira Unger. Kedua teori hukum tersebut
merupakan paradigma baru dalam hukum dan meninggalkan
paradigma lama. Dalam paradigma baru,
hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan
harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk
mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat[14]. Untuk itu, tidaklah heran jika hukum bisa
berinteraksi dengan politik. Hukum yang
demikian ini akan lebih mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan
ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, didalam hukum
yang responsif terbuka lebar ruang dialog untuk memberikan wacana dan adanya
pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu, hukum yang responsif
tidak lagi mendasarkan pertimbangan juridis belaka, melainkan mencoba melihat
sebuah persoalan dari berbagai perspektif dalam rangka untuk mengejar apa yang
disebut ”keadilan substantif”.
Oleh karena itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang
cara pandang untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like
the traveller, must be ready for the morrow, it must have a principle”[15]. Hukum sebagai sarana saja.
Sebaliknya, keadilan harus menjadi tujuan yang mau dikejar, meskipun tidak
selalu menggunakan perspektif hukum. Karena itu diskresi dalam artian positif
perlu digunakan, tetapi tetap berpedoman bahwa diskresi dilakukan untuk
memperoleh keadilan substantif. Dengan demikian, fleksibilitas hukum yang
responsif itu tinggi terhadap hal-hal lain di luar hukum.
Konsep pembangunan hukum yang responsif yang
dirumuskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick adalah sebuah konsep hukum
yang memenuhi tuntutan-tuntutan agar hukum dibuat lebih responsif terhadap
kebutuhan-kebutuhan sosial yang sangat mendesak dan terhadap masalah-masalah
keadilan sosial sambil tetap mempertahankan hasil-hasil institusional yang
telah dicapai oleh kekuasaan berdasar hukum.
Konsep hukum responsif ini merupakan jawaban atas
kritik bahwa seringkali hukum tercerai dari kenyataan-kenyataan pengalaman
sosial dan dari cita-cita keadilan sendiri[16]. Sekalipun tesis Nonet dan Selznick ini bukanlah
teori yang mampu menyelesaikan semua problem praktis, tetapi memberikan
perspektif dan kriteria untuk mendiagnosis dan menganalisis problem-problem
hukum yang muncul di masyarakat dengan penekanan khusus atas dilema-dilema
institusional dan pilihan-pilihan kebijakan yang kritis[17]
Pada keadaan terdapatnya hukum responsif,
kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum lebih terbuka. Dalam
pengertian ini, arena hukum menjadi semacam forum politik, dan partisipasi
hukum mengandung dimensi politik. Dengan perkataan lain, aksi hukum merupakan
wahana bagi kelompok atau organisasi untuk berperan serta dalam menentukan
kebijaksanaan umum[18]. Dalam konteks kebijakan hukum, pembangunan hukum
seharusnya mencakup tiga hal. Pertama,
menjamin keadilan dalam masyarakat. Kedua,
menciptakan ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum. Kepastian
hukum berkaitan dengan efektifitas hukum akan terjamin hanya bila negara
mempunyai sarana-sarana yang memadai untuk memastikan berlakunya
peraturan-peraturan yang ada. Dalam hal ini aparat penegak hukum memainkan
peranan penting. Ketiga, mewujudkan
kegunaan dengan menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan
bersama secara konkrit[19]. Dengan bergulirnya reformasi banyak pihak yang
telah memberikan kontribusi terhadap pembaharuan hukum di Indonesia, mulai dari
lembaga-lembaga pemerintah, partai politik, LSM hingga calon-calon Presiden dan
Wapres. Munculnya berbagai kontribusi pembaharuan hukum ini merupakan wujud
keprihatinan bangsa atas keterpurukan kondisi hukum sejak pemerintahan orde
lama yang mencapai puncaknya pada pemerintahan orde baru. Pada kedua orde itu,
pembangunan hukum kurang menjadi fokus perhatian pemerintahan[20].
Searah dengan teori hukum responsif
adalah teori hukum kritis dengan tokohnya Roberto Mangabeira Unger tentang Hukum
Kritis atau Critical Legal Studies ( CLS )[21] atau lebih dikenal di Indonesia dengan Gerakan Studi
Hukum Kritis ( GSHK ). Teori hukum kritis ini diplih karena teori hukum inilah
yang paling relevan dengan judul disertasi ini. Roberto M. Unger, secara
terang-terangan menolak teori tentang pemisahan hukum dan politik ( law politics distinction ). Menurutnya,
tidak mungkin dalam proses-proses hukum,
apakah dalam membuat
undang-undang atau menafsirkannya, berlangsung dalam konteks bebas atau netral
dari pengaruh-pengaruh moral, agama, dan
pluralisme politik. Lebih lanjut Unger mengatakan bahwa tidak mungkin mengisolasi
hukum dari konteks di mana ia eksis. Hubungan hukum dengan lingkungan sosial
menurut Unger dikonstruksikan sebagai “negotiable,
subjective and poliy-dependent as politics”[22].
Roberto
M. Unger juga menjelaskan tidak mungkin
mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka teori tersebut
merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan
ideologis di balik putusan-putusan hakim dan undang-undang. Bagi kalangan GSHK, hukum itu
dikonstruksikan sebagai "negotiable, subjective and policy-dependent as
politics".
Menurut Unger ada dua
alasan utama mengapa tidak mungkin membayangkan netralitas dan objektivitas
hukum, seperti dikutip di bawah ini:
First, procedure is inseparable from out came: every
method makes certain legislative choices more likely than others... Second,
each law making system it self embodies certain values; it incorporates a view
of how power ought to be distributed in the society and how conflicts should be
resolved[23]."
Dengan mengacu kepada
proses-proses empiris pembuatan kebijakan hukum, Unger menunjukkan betapa tidak
realistiknya teori pemisahan hukum dan politik,
analisis hukum tidak hanya
memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata,
sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan
direkonstruksi secara sosial[24].
Roberto M. Unger
mengajukan kritik keras terhadap tradisi hukum liberal, khususnya terhadap formalism
dan objectivism. Inti serangan Unger terhadap formalisme dan objektivisme
yaitu untuk menunjukkan tidak sahihnya proyek ahli hukum klasik abad ke-19,
yang membayangkan bahwa di dalam struktur hukum sudah terpasang-tetap
(built) demokrasi dan pasar. Percobaan memberlakukan konsep ini menjadi perincian teknis hukum, menurut Unger justru berakhir dengan memperlihatkan kedok kepalsuannya.
(built) demokrasi dan pasar. Percobaan memberlakukan konsep ini menjadi perincian teknis hukum, menurut Unger justru berakhir dengan memperlihatkan kedok kepalsuannya.
Unger menentang
formalisme dan objektivisme itu dengan titik tolak dari pemikiran bahwa setiap
cabang doktrin harus bersandar diam-diam, kalau tidak secara terang-terangan,
pada suatu bentuk-bentuk interaksi manusia yang riil dan realitis di bidang
kehidupan realistik masyarakat tempat doktrin itu berlaku. Itu artinya
diperlukan suatu teori sosial yang dapat dipercaya. Katakanlah misalnya,
seorang ahli hukum tata negara, ia membutuhkan teori tentang republik demokratis
yang menggambarkan hubungan yang tetap antara masyarakat dan negara, sebelum ia
memahami atau membangun suatu doktrin hukum di bidang tata negara.
Unger mengusulkan peninjauan ulang terhadap teori-teori sosial utama, yang
menawarkan perubahan linear masyarakat. Unger tidak mempercayai keniscayaan
jalannya sejarah - sebagaimana yang menjadi premis teori-teori sosial seperti
Marxisme misalnya. Unger juga terobsesi oleh pencarian alternatif yang radikal
baik terhadap Marxisme maupun Liberalisme[25]. Dalam konteks pencarian terhadap alternatif
inilah Unger menawarkan suatu program yang disebutnya sebagai "Superliberalism"[26]. Menurutnya yang dimaksud dengan
superliberalisme, oleh Unger dijelaskan sebagai berikut :
Program ini mendesak
fondasi pikiran liberal tentang negara dan masyarakat, tentang kemerdekaan dari
ketergantungan dan penguasaan hubungan sosial oleh kemauan, sampai ke titik
ketika semuanya melebur menjadi suatu ambisi besar: pembentukan suatu dunia
sosial yang tidak begitu asing bagi suatu kepribadian yang dapat senantiasa
melanggar peraturan generatif dari bangunan mental dan sosialnya sendiri serta
menempatkan peraturan dan bangunan lain sebagai gantinya.
1.4.1 Teori
Bekerjanya Hukum ( Pembentukan dan Implementasi ) dari Robert Seidman
Teori yang digunakan
untuk melakukan analisis teoretis tentang pembentukan hukum dan implementasinya
adalah teori dari Robert Seidman yaitu
teori tentang bekerjanya hukum. Teori ini akan didayagunakan untuk melakukan analisis
tentang pembentukan hukum sekaligus juga
untuk melakukan analisis terhadap implementasi hukum[27]. Menurut teori ini,
pembentukan hukum dan implementasinya tidak akan lepas dari pengaruh atau
asupan kekuatan-kekuatan sosial dan personal[28], terutama pengaruh atau asupan
kekuatan sosial politik.
Dengan menggunakan teori bekerjanya hukum ini akan dapat dijelaskan
bagaimana pengaruh dari personal, lingkungan ekonomi, sosial, budaya, serta
politik dalam proses pembentukan dan implementasinya. Itulah sebabnya kualitas
dan karakter hukum juga tidak lepas dari pengaruh bekerjanya kekuatan-kekuatan
dan personal tersebut[29], terutama kekuatan-kekuatan
politik pada saat hukum itu dibentuk. Dalam konteks disertasi ini maka
kekuatan-kekuatan yang dimaksud adalah realitas kekuatan-kekuatan politik di
lingkungan di DPR RI, seperti semua fraksi yang ada, anggota Pansus 22[30], dan pemerintah, dan
masyarakat yang semuanya memiliki kepentingan yang besar terhadap UU Nomor 32
Tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah[31].
Secara konstruktif
teori Robert Seidman[32] tentang bekerjanya hukum dilukiskan oleh Satjipto
sebagai berikut[33] .
Gambar 1
Bekerjanya Hukum menurut Seidman
sebagaimana dilukiskan oleh Satjipto Rahardjo
Dari
model bekerjanya hukum tersebut, oleh Seidman dirumuskan beberapa pernyataan
teoretis sebagai berikut:[34]
(1) Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan
tentang bagaimana seseorang pemegang peran diharapkan untuk bertindak;
(2) Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang pemegang
peran sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan
dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari
aktivitas lembaga pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks kekuatan sosial,
politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya;
(3) Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana
sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan
dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari
seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja
atas dirinya, serta dari umpan balik yang datang dari pemegang peran dan
birokrasi;
(4) Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat
undang-undang sebagai respons terhadap
peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh berfungsinya peraturan
hukum yang berlaku, dari sanksi-saksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan
sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas mereka, serta dari umpan
balik yang datang dari pemegang peran dan birokrasi.
1.4.3 Teori Sistem
Cybernetics
Cybernetics merupakan salah satu teori sistem
mekanis (mechanism system}, yang
secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia (living organism-human life). Cybernetics diambil dari kata Yunani, ”kubernetes”
yang sama artinya dengan ”steersman”
atau ”governor”, yang dalam bahasa
Indonesia dapat dipadankan dengan istilah ”alat” atau ”pengatur” (on an engine). Teori ini
untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Norber Wiener,
seorang Guru Besar Matematika di Massachusetts Institute of Technology (MIT)[35].
Teori ini kemudian menjadi teori yang sangat menarik, di samping karena
banyak disitir dan bahkan cenderung dikultuskan oleh ahli-ahli ilmu sosial,
Karena terutama, pertama, Cybernetics
merupakan teori sistem mekanis abad ke-20-an yang dibangun di atas
prinsip-prinsip teori fisika, mekanis, dan matematika dalam bentuk kombinasinya
dengan teori sistem. Kedua, Cybernetics
digunakan untuk menjembatani pertentangan antara teori sistem (organis) dengan
teori mekanis. Ketiga, Cybernetics
secara khusus diterapkan dalam perspektif komunikasi sosial. Keempat, secara
khusus juga diterapkan di dalam perspektif pengetahuan hukum. Hal yang kemudian
perlu disayangkan adalah banyak ahli sosial yang kemudian menggunakan
Cybernetics dalam perspektif teori-teori ilmu sosial umum sehingga dalam
kondisi tertentu penggunaan itu justru mengakibatkan kaburnya prinsip-prinsip
Cybernetics[36].
1. Teori Cybernetics
Cybernetics adalah teori komunikasi mekanis yang
oleh Wiener dibangun di atas prinsip-prinsip teori fisika dan matematika,
khususnya teori probabilitas. Kendatipun bertolak dari perkembangan fisika,
namun sangatlah penting diingat bahwa Cybernetics bukanlah teori fisika semata.
Adalah lebih tepat mengatakannya sebagai transformasi teori komunikasi mekanis
yang berakar pada fisika dan matematika ke dalam bentuk kehidupan manusia.
Wiener menyebutkan ”perintah”
(commands) sebagai dasar utama sistem
komunikasi. Perintah oleh manusia digunakan sebagai alat untuk mengatur
lingkungannya. Sebagai suatu bentuk informasi, perintah merupakan alat yang
berada dalam posisi peralihan antara kondisi yang serba tidak teratur dengan
kondisi yang serba teratur. Perintah yang dikirim oleh suatu pihak kepada pihak
lain melalui sistem komunikasi, tidak selalu dapat dipahami seluruhnya oleh
pihak penerima perintah. Tindakan atau sikap, sebagai ekspresi dari reaksi
penerima perintah, dan refleksi dari keterpahamannya terhadap perintah yang ia
terima, sering menunjukkan kesenjangan antara jumlah perintah dengan reaksi
atas perintah yang dikirim itu, sehingga kesalahpahaman, kesenjangan
pengertian; merupakan kecenderungan seperti apa yang oleh Gibbs diperkenalkan
kepada kita yaitu, pertumbuhan entropi.
Wiener tidak menemukan
perbedaan esensial antara proses pemberian dan penerimaan perintah pada mesin
dan manusia. Manusia menerima perintah melalui sistem sarafnya yang bekerja
menyerupai sistem mekanis, yaitu melakukan proses seleksi terhadap perintah
(pesan) yang diterimanya. Proses ini berlangsung pada sistem saraf yang
berfungsi sebagai organ seleksi (sensory organ), setelah terlebih dahulu
berlangsung proses penerimaan melalui saraf penerima (receptor-organ), seperti
misalnya oleh saraf kinestesia (kinaesthesia), yang secara keseluruhan
dikoordinasikan oleh sistem saraf manusia.
Cybernetics
menaruh perhatian besar terhadap proses penyelenggaraan pesan (messages) dalam
proses komunikasi itu. Perhatian terpenting oleh Cybernetics ditempatkan pada kesamaan karakteristik yang menjadi dasar dari
proses komunikasi itu. Cybernetics akhirnya merupakan suatu teori pesan,
khususnya teori tentang kontrol otomatis yang berlangsung pada proses sistem
pesan itu, yaitu yang hakikatnya adalah suatu sistem kontrol mekanis.
2. Prinsip-Prinsip Dasar Cybernetics
Pada dasarnya Cybernetics merupakan
teori pesan searah, yaitu proses komunikasi (sistem komunikasi) antara pemberi
pesan dengan penerima pesan. Pemberi pesan merupakan pihak pertama yang memberi
pesan kepada pihak kedua (penerima pesan) yang mengakibatkan timbulnya reaksi
pada pihak kedua untuk memberikan informasi kepada pihak pertama, sejumlah
kehendak pihak pertama. Tanpa adanya pesan dari pihak pertama, pihak kedua
tidak akan memberi reaksi kepada pihak pertama. Sehingga pihak pertama, melalui
pesan yang diberikannya, juga berkedudukan sebagai pusat energi yang mendorong
pihak kedua untuk bereaksi, dan sebagai pengendali (controler) yang
mengakibatkan pihak kedua hanya melakukan kegiatan (reaksi) sejumlah kehendak
pihak pertama. Karenanya, teori ini disebut juga teori energi searah, atau juga
teori kontrol searah.
Menurut Wiener, hakikat dari suatu sistem komunikasi adalah sistem perintah
searah, dan sistem pengendalian searah. Sistem komunikasi itu merupakan proses
hubungan antara "pemberi pesan" (komunikan I) dengan "penerima
pesan" (komunikan II), melalui hal itu komunikan I memberikan pesan kepada
komunikan II. Jawaban dari (pesan balik) komunikan II semata-mata dianggap
sebagai reaksi otomatis (akibat) yang disebabkan oleh adanya aksi (pemberian
pesan) dari komunikan I, dan adanya pengendalian searah dari komunikan I yang
mengakibatkan komunikan II memenuhi kehendak (perintah - pesan) dari komunikan
I. Dalam formulasi kedua (control the action of another person) dari pernyataan
Wiener itu, proses perintah searah ini menjadi lebih tegas lagi. Bahwa bagi
Wiener, sistem pesan dan sistem kontrol otomatis itu hakikatnya adalah sistem
pemberian perintah (imperative mood-order)
searah. Karena bagi Wiener, pesan balik (reaksi) dari komunikan atas pesan atau
kontrol yang diberikan oleh komunikan I adalah refleksi dari pemahaman dan
penerimaan komunikan II atas perintah yang diberikan oleh komunikan I.
Gambar 2
Desain
Proses Sistem Komunikasi Menurut Cybernetics
Keterangan:
PP = pusat
perintah; melalui tindakan (action);
input = data hasil tindakan;
proses = penerimaan dan Pegolahan
data;
output = hasil
pengolahan data; menghasilkan reaksi tindakan/ informasi balik;
kontrol = monitor terhadap proses
pengolahan data;
feedback = hasil kontrol; berfungsi
sebagai input bagi proses berikutnya.
Komunikan I atau pemberi
perintah hanyalah bertugas melepaskan perintah kepada komunikan II, dan
perintah itu yang kemudian secara otomatis dianggap melakukan pengendalian
otomatis terhadap proses pada K II, yang akhirnya membuat K II secara otomatis
berproses dan memberikan reaksi sesuai dengan perintah (kehendak) K I. Gambaran
ini sekali lagi lebih memenuhi karakteristik sistem pada kesatuan-kesatuan
mekanis (mesin), sebab setiap mesin akan bekerja secara otomatis setelah
menerima instruksi. Proses penyaluran perintah ini dapat diamati pada setiap
proses mekanis pada benda-benda mekanis, seperti komputer, tangga otomatis,
proyektor film, dan lain-lain. Menurut Wiener, hal serupalah yang juga dianggap
berlangsung pada sistem perilaku manusia[37].
Teori
cybernetics ini akan digunakan untuk melakukan analisis terhadap anggota Pansus
22, yaitu Pansus yang ditugasi untuk membahas RUU 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah. Sebagai anggota dan
kepanjangan tangan dari fraksi, anggota pansus akan memperjuangkan kepentingan politik
fraksinya. Demikian juga fraksi, sebagai kepanjangan tangan dari partai, akan
memperjuangkan kepentingan partainya terhadap muatan dan isi UU 32 tahun 2004,
terutama kepentingan dalam pencalonan kepala daerah dan wakil kepada daerah.
Semua aktivitas politik yang dilakukan dan diperjuangkan oleh anggota pansus 22
akan selalu dikontrol dan dikendalikan oleh partainya masing-masing melalui fraksinya masing-masing di DPR RI .
1.4.4 Teori
Implementasi/Penegakan Hukum dari Joseph Goldstein
Menurut Muladi, implementasi atau penegakan hukum
( law enforcement ) adalah suatu
usaha untuk menegakkan dan
sekaligus nilai-nilai yang ada
dibelakang norma-norma tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa, penegakan hukum
yang ideal harus disertai kesadaran bahwa penegakan hukum merupakan subsistem
sosial, sehingga pengaruh lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh politik,
ekonomi sosial budaya, Hankam, Iptek, pendidikan dan sebagainya. Itulah
sebabnya penegakan hukum tidak bisa hanya dapat mengandalkan logika dan
kekuasaan saja[38].
Untuk dapat menganalisis interaksi politik dalam
implementasi atau penegakan UU Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan
pelaksanannya, penstudi memilih menggunakan teori penegakan hukum
( law enforcement ) dari Joseph Goldstein[39], yang melihat bahwa implementasi atau penegakan hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Total Enforcement, (2) Full Enforcement dan (3) Actual Enforcement. Penegakan hukum menurut Goldstein ini berpangkal dari konsep penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif ( substantive law of crimes ), namun dalam realitasnya hal ini dimungkinkan dapat dilakukan sepenuhnya, sebab adanya pembatasan dalam hukum acara sendiri sehingga membatasi ruang gerak, disamping pengaruh dari faktor penegak hukum itu sendiri. Oleh karena itu ada ruang dimana tidak dapat dilakukan penegakkan hukum ( Area of No Enforcement ).
( law enforcement ) dari Joseph Goldstein[39], yang melihat bahwa implementasi atau penegakan hukum pidana dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : (1) Total Enforcement, (2) Full Enforcement dan (3) Actual Enforcement. Penegakan hukum menurut Goldstein ini berpangkal dari konsep penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif ( substantive law of crimes ), namun dalam realitasnya hal ini dimungkinkan dapat dilakukan sepenuhnya, sebab adanya pembatasan dalam hukum acara sendiri sehingga membatasi ruang gerak, disamping pengaruh dari faktor penegak hukum itu sendiri. Oleh karena itu ada ruang dimana tidak dapat dilakukan penegakkan hukum ( Area of No Enforcement ).
Hampir sama dengan Total Enforcement, Full
Enforcement merupakan ruang sisa dari Total Enforcement yang dikurangi oleh Area No Enforcement, merupakan ruang
dimana penegak hukum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini
dikarenakan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penegakan hukum itu sendiri.
Pada Full Enforcement ini juga
digunakan diskresi oleh penegak hukum untuk memutuskan, melanjutkan atau tidak
terhadap kasus tersebut. Sementara Actual
Enforcement adalah ruang
penegakan hukum yang sesungguhnya.
Atas dasar konstruksi pemikiran Joseph Goldstein
di atas, memberi pemahaman bahwa dalam implementasi atau penegakan hukum tidak
mungkin dapat dilaksanakan secara total
enforcement atau full enforcement
karena pertama, secara substansial ketidakmungkinan hukum dapat menjangkau
sampai pada tujuannya ( ketertiban,
keteraturan dan keadilan ) karena adanya pengaruh dan intervensi dalam
implementasinya[40], terutama implementasi hukum bidang politik. Kedua, adanya keterbatasan sarana dan
prasarana di lingkungan penegak hukum. Ketiga, adanya intervensi atau
campur tangan baik dari dalam maupun luar lembaga[41], terutama intervensi kekuatan kekuasaan dan politik.
Pendapat Goldstein tentang penegakan hukum
tersebut semakin mendekatkan pada kebenaran untuk memotret implementasi atau
penegakan hukum bidang politik di Indonesia, khususnya implementasi UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya mengatur tentang
pemilihan Kepala Daerah. Sejak dalam pembentukannya, undang-undang ini sarat dengan konflik
kepentingan politik ( conflict of
interest ) oleh fraksi-fraksi, meskipun akhirnya ada konsensus dan kompromi politik, tetapi bukan berarti
tidak menyisakan konflik karena di dalam konsensus dan kompromi politik
tersebut ada pihak yang lebih diuntungkan dan ada pihak yang merasa dirugikan.
Belum selesainya konflik secara tuntas dalam pembentukan undang-undang menjadi
kendala dalam tahap implementasinya karena nampak adanya ketidakadilan dan
ketidaksamaan hak politik. Inilah yang menjadikan undang-undang tersebut tidak
dapat dilaksanakan secara penuh ( full
enforsement ) karena adanya ruang atau area dimana hukum tidak dapat
dilaksanakan ( Area No enforcement ).
1.4 Definisi Operasional
Dari
judul dan permasalahan disertasi, maka perlu diberikan definisi operasional
agar tidak salah kaprah dalam menggunakan dan memaknai bahasa dan istilah dalam
kerangka disertasi ini.
1.5.1 Interaksi
Politik
Yang dimaksudkan interaksi
politik dalam disertasi adalah hubungan yang saling mempengaruhi dan menekan
antar kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI maupun antar
kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI dengan kekuatan
politik di luar seperti pressure group, interest group, elit politik,
sampai kepada pendapat umum ( public
opinion ). Interaksi politik
yang dimaksud dalam disertasi ini adalah interaksi politik yang terjadi dalam
proses revisi UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah oleh
anggota legislatif di DPR RI, anggota Pansus 22, dan Mendagri selaku wakil dari
pemerintah.
1.5.2 Pembentukan
Hukum
Pembentukan hukum
yang dimaksud dalam judul disertasi ini adalah proses pembentukan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagai hasil revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, yang dianggap tidak lagi sesuai dengan perubahan
ketatanegaraan pascaamandemen UUD 1945 dengan dinamika demokrasi yang
berkembang di masyarakat menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
1.5.3 Implementasi
hukum
Yang dimaksud dengan implementasi hukum
dalam disertasi ini yaitu penegakan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pemilihan Kepala Daerah
secara langsung di Jawa Tengah yang pada
tahun 2005.
1.5
Metode
Penelitian
Sebelum peneliti lebih jauh memaparkan hasil penelitian yang diperoleh,
terlebih dahulu dipaparkan metode penelitian yang dilakukan, termasuk
justifikasi terhadap pilihan metode dan pendekatan yang digunakan. Hal ini
penting, karena metode penelitian tidak hanya membicarakan bagaimana cara atau
langkah-langkah di lapangan yang berkenaan dengan data tersebut diperoleh serta
dianalisis, tetapi lebih dari itu, metode penelitian juga membicarakan
paradigma yang digunakan dalam mencoba memahami serta menginterpretasikan data
berdasarkan fakta yang ada, serta membicarakan bagaimana sifat data yang
diperoleh, dan bagaimana posisi peneliti dalam melihat data.
1.6.1
Paradigma
Penelitian
Istilah paradigma berasal dari istilah Latin, yaitu paradigm yang berarti pola. Kemudian
kata paradigm diintroduksi oleh Khun dalam dua pengertian utama, yaitu : pertama, sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan nilai,
persepsi, dan teknik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu
tertentu yang mempengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua,
sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu
pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan semua asumsi maupun aturan yang ada.[42]
Pendapat Khun di atas kemudian diintroduksi lagi oleh Scott, yaitu bahwa paradigma diartikan sebagai pencapaian
hal yang baru dan dijadikan sebagai pola untuk pemecahan masalah masa yang
muncul di masa mendatang. Hal menarik dari pengertian ini adalah bahwa
paradigma adalah cara pemecahan suatu masalah yang seharusnya memiliki daya prediksi masa depan. Selain itu, paradigma diartikan sebagai kesatuan
nilai, ide, ukuran dan pandangan umum yang oleh kalangan ilmuwan
tertentu digunakan sebagai cara
kerja ilmiah [43]
Dalam suatu penelitian, paradigma
merupakan persoalan dasar atau subject
matter yang perlu dilihat, sebab paradigma akhirnya akan berpengaruh
terhadap keseluruhan langkah dalam proses penelitian yang sedang dilakukan,
baik menyangkut bagaimana cara melihat, maupun memproses serta menganalis data.
Bahkan perbedaan paradigma dengan sendirinya akan berpengaruh pada perbedaan
konsep, teori, asumsi dan kategori tertentu yang melatarbelakangi penelitian
tersebut dan oleh karenanya berujung pada perbedaan simpulan yang diambil. Oleh
karena itu, dalam perspektif paradigma persoalannya bukan “benar atau salahnya”
suatu penelitian, tetapi landasan paradigma apa yang melatarbelakangi
penelitian, menjadi sangat penting untuk diketahui. Paradigma dalam penelitian
ini dipahami sebagaimana Guba dan Lincoln memahaminya sebagai “set
of basic beliefs” atau keyakinan dasar sebagai sistem filosofi utama, induk
atau “payung”, yang merupakan konstruksi manusia ( human construction ),[44] bukan
dalam pengertian agama atau wahyu yang datangnya dari Illahi, tetapi lebih
didasari pada bagaimana subjek ( baca : Peneliti ) meyakini dunianya. Untuk
itu, Paradigma tidak hanya dipandang sebagai “pendekatan atau approach”[45]
ataupun “subject matter” ( substansi ) dalam ilmu pengetahuan,[46]
tetapi lebih dari itu yaitu ideologi atau keyakinan terhadap bidang yang akan
ditekuni, sehingga disanalah menurut Thomas Kuhn ilmu pengetahuan
dianggap bermula, berasal, berakar, dicetak, dan bersumber/mengalir.[47] Hal
ini dikarenakan paradigma merupakan “disciplinary matric”, yakni suatu
pangkal, wadah, tempat, cetakan, atau sumber disiplin ilmu pengetahuan.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma “constructivism”.
Dipilihnya konstruktivisme sebagai paradigma dalam penelitian ini tentunya
didasari oleh beberapa hal, seperti yang disebutkan di bawah ini :
a. Dilihat
dari objek yang diteliti tentang interaksi politik dalam pembentukan hukum dan
implementasinya, maka terlihat bahwa dalam perspektif ontologinya terlihat
bahwa objek penelitiannya bersifat plural, yaitu banyak faktor yang melingkupi
sebagai suatu proses politik, yang tidak
lepas dari pengalaman sosial, individual, latar belakang sosial politik,
budaya, ekonomi, dan pendidikan para aktornya.
b.
Demikian
juga konsep implementasi hukum, banyak faktor yang melingkupi. Hal tersebut
dapat dipahami karena hukum itu suatu realitas sosial sekaligus konstruksi
sosial, sehingga kebenaran akan pemahaman suatu konsep sangat tergantung pada
bagaimana masyarakat tersebut melakukan interpreatif terhadap fenomena yang
ada.
c.
Di
samping itu, pemilihan paradigma konstruktivisme berkaitan dengan tujuan dari
penelitian ini yaitu untuk melakukan rekonstruksi data-data yang sangat plural
untuk dikonstruksikan menjadi konsep hukum, dalam hal ini hukum yang mengatur
pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lebih demokratis,
berkualitas, dan efisien.
1.6.2 Metode Pendekatan dan
Jenis Penelitian.
Metode
yang digunakan dalam studi ini yaitu Yuridis sosiologis atau Sosio-legal approach. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mempelajar
keterkaitan hukum dengan institusi
sosial lainnya. Sebab, pada
dasarnya, institusi hukum tidak dapat dilihat sebagai entitias normatif
yang mandiri atau isoterik, tetapi
justru harus dilihat sebagai bagian
darai sistem sosial yang tentu saja kait
mengkait dengan variabel-variabel sosial lainnya.
Metode kualitatis dipakai untuk
menghasilkan data diskritif naratif mengenai interaksi anggota pansus dan semua
pihak yang terlibat dalam pembentukan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah yang menjadi fokus atau sasaran studi
ini. Secara teknis metode ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
metode lainnya, seperti dikatakan Singarimbun[48]
sebagai berikut, pertama, menyesuaikan
metode penelitian kualitatif lebih mudah
apabila berhadapan dengan kenyataan
ganda. Kedua, metode ini
menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan
responden. Ketiga , metode ini lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama pola-pola
nilai yang dihadapi.
Melihat objek penelitian ini, yang banyak ditekankan pada perilaku manusia dan
interaksinya yang selalu berubah-ubah sesuai dengan dinamika yang terjadi, maka jenis penelitian ini adalah kualitatif. Menurut David
D. William, sebagaimana yang dikutip oleh Sanafiah Faisal mengatakan bahwa, Penelitian kualitatif
berbeda dengan penelitian lainnya dalam tiga hal pokok, yaitu (1)
pandangan-pandangan dasar (axioms) tentang sifat realitas yang bersifat ganda
dan hasil konstruksi dalam pengertian dan holistik, hubungan peneliti dengan
yang diteliti sifatnya interaktif dan tak dapat dipisahkan, posibilitas
penarikan generalisasi hanya dimungkinkan dalam ikatan konteks dan waktu (idiographic
statements), peranan nilai dalam penelitian merupakan suatu keharusan dan
karenanya penelitian kualitatif tidak bebas nilai sifatnya. (2) Karakteristik pendekatan penelitian itu sendiri dan
(3) proses yang diikuti untuk melaksanakan penelitian kualitatif[49].
1.6.3 Sumber,
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
1.6.3.1
Sumber
Data
1.6.3.2
Informan
Penelitian
Informan
kunci yang digunakan sebagai informan awal dalam penelitian ini adalah :
1.
Ketua
atau anggota fraksi yang ada di DPR RI sebagai kepanjangan tangan partai politik
dalam pembentukan hukum;
2. Ketua
dan anggota Pansus 22;
3. Pejabat
staf DPR RI
yang terlibat dalam proses penyiapan materi RUU dan pembahasan RUU Nomor 32
Tahun 2004;
4. Pejabat
Depdagri yang ditugasi untuk
mempersiapkan dan menyusun pokok-pokok pikiran RUU Nomor 32 Tahun 2004 dan
terlibat juga dalam pembahasan RUU Nomor 32 Tahun 2004;
5. Ketua-ketua
partai politik di tingkat cabang dan wilayah di Kabupaten yang menyelenggarakan
Pilkada;
6. Ketua
dan anggota KPUD Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah yang menyelenggarakan Pilkada;
7. LSM
atau stakeholder yang memantau jalannya Pilkada di Jawa Tengah, secara
independen.
1.6.3.3
Metode
Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, peneliti
adalah instrumen utama dalam mengungkap suatu realitas yang akan diteliti.
Karena sebagai pusat dan instrumen utama dalam penelitian, maka kedudukan
peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit.
1.6.3.4
Pengamatan
( Observasi )
Setidaknya ada tiga situasi sosial yang
diamati dalam penelitian ini,[51] yaitu
: lokasi/fisik tempat suatu situasi sosial itu berlangsung, manusia-manusia
pelaku atau actors yang menduduki
status/posisi tertentu dan memainkan peranan-peranan tertentu, dan kegiatan
atau aktivitas para pelaku pada lokasi/tempat berlangsungnya suatu situasi
sosial.
1.6.3.5
Wawancara
Meskipun peneliti dalam penelitian
kualitatif merupakan pusat kegiatan, namun wawancara sebagai salah satu cara
pengumpulan data tetap digunakan, bahkan dengan wawancara yang sifatnya terbuka
dan terstruktur, peneliti bisa lebih jauh melihat dan memahami realitas sosial
yang sedang diteliti.
Namun demikian, dalam wawancara yang
dilakukan sejauh mungkin peneliti menghindari kesan mempengaruhi informan dalam
mengungkapkan realitas dan fakta sosial, sehingga wawancara tersebut
berlangsung dalam tataran yang wajar dan normal.
1.6.3.6
Catatan
Lapangan
Di samping kedua instrumen penelitian
tersebut di atas
( observasi dan wawancara ), peneliti juga menggunakan catatan lapangan[52] sebagai instrumen pembantu dalam rencana penelitian ini. Dengan catatan lapangan ini diharapkan mampu menjadi perantara antara apa yang sedang dilihat dan diamati antara peneliti dengan realitas dan fakta sosial.
( observasi dan wawancara ), peneliti juga menggunakan catatan lapangan[52] sebagai instrumen pembantu dalam rencana penelitian ini. Dengan catatan lapangan ini diharapkan mampu menjadi perantara antara apa yang sedang dilihat dan diamati antara peneliti dengan realitas dan fakta sosial.
1.6.3.7
Analisis
Data
Aktivitas yang cukup krusial dalam
penelitian kualitatif adalah analisis data. Dikatakan krusial karena pada tahap
inilah seluruh data yang terkumpul dimaknai ulang dan dianalisis, karena
melalui pemaknaan ulang data yang terkumpul menjadi memiliki makna.[53]
Sesuai dengan paradigma konstruktivisme,
maka teknik analisis utama terhadap data yang terkumpul dalam penelitian
ini menggunakan hermeneutik-dialektikal.[54] Hal
ini didasari oleh bahwa ekspresi-ekspresi manusia bersisi komponen penuh makna.
Penggunaan hermeneutik sebagai metode analisis data memposisikan peneliti dan
objek penelitian dalam sebuah konteks tradisi, yang mengimplikasikan bahwa
peneliti telah memiliki sebuah pra-pemahaman atas objek ketika melakukan kajian
terhadap objek tersebut, sehingga kenetralan pemikiran dalam suatu penelitian
merupakan suatu kemustahilan.[55]
Penggunaan hermeneutik dalam penelitian
ini dilakukan baik pada tataran metode, filsafat, maupun kritik.[56] Pada
tataran hermeneutik sebagai suatu metode, peneliti berlaku sebagai seorang
“pendengar yang baik”, di mana informan khususnya anggota DPR RI dan para pejabat di lingkungan
Depdagri, dibiarkan dengan bebas menceritakan interaksi politik yang terjadi
selama proses pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004, serta bagaimana pendapatnya
setelah diimplentasikannya undang-undang tersebut. Penggunaan hermeneutik ini
kiranya mampu mendeskripsikan fenomenologi “desain”
manusia dalam temporalitas dan historitasnya. Khusus terhadap dokumen hukum ( semua
produk hukum yang berkaitan dengan pemilihan Pilkada ) hermeneutik dipergunakan
untuk melihat sisi dalam serta latar sosial terbentuknya suatu teks
( undang-undang ).[57]
( undang-undang ).[57]
Data yang diperoleh dari informan ( masyarakat
) dilakukan analisis dengan menggunakan model interaktif ( interactive model of analysis ) yaitu suatu aktivitas di mana dari
data yang terkumpul dilakukan pemilahan dengan tujuan diperolehnya data yang
dinilai relevan terhadap penelitian ini, kemudian data tersebut diolah guna
ditarik menjadi simpulan.[58] Cara
yang sama juga disarankan oleh Mattew B. Miles dan Michael Huberman[59] yang
memberikan gambaran secara skematis berupa siklus dari proses analisis data
penelitian kualitatif
1.6.3.8 Validitas Data
Pengujian atas kehandalan
data ( Validitas ) dilakukan dengan teknik trianggulasi data,[60] yaitu
melakukan cek silang antara satu data dengan data yang lainnya, baik yang
diperoleh melalui observasi, wawancara terstruktur maupun catatan lapangan.
Trianggulasi ini tidak hanya dilakukan terhadap data yang diperoleh dari DPR RI
dan Kantor Depdagri serta Partai-Partai Politik, tetapi karena independensinya
turut serta mengawal proses jalannya pembentukan hukum dan implementasinya,
seperti : LSM, Organisasi Pemantau Pilkada, Media Cetak, Tokoh Masyarakat, dan
lain-lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam
bab II atau tinjauan pustaka ini penstudi memaparkan hasil penelusuran terhadap
kepustakaan yang terkait dan masih relevan dengan judul disertasi ”Interaksi Politik dalam Pembentukan Hukum
dan Implementasinya : Studi Tentang Pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan
Implementasinya dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di Jawa Tengah”,
sehingga penstudian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
akademis.
2.1 Pengertian
Interaksi
Dalam kamus politik
interaksi dimaknai sebagai bentuk pengaruh-mempengaruhi, hubungan antara suatu
sistem dengan sistem lainnya.[61] Menurut
Blumer, interaksi adalah
proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan
dan diperlihatkan. Semua jenis interaksi tak
hanya selama sosialisasi, dan memperbesar kemampuan kita untuk berpikir, lebih dari itu,
pemikiran membentuk proses interaksi. Dalam kebanyakan interaksi, aktor harus
memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan
aktivitasnya terhadap orang lain. Lebih jauh Blumer
mengatakan dalam berinteraksi tidak selamanya
melibatkan pemikiran. Blumer membedakan
( mengikuti Med ) dua bentuk interaksi yang relevan dikemukakan, yakni : (1)
interaksi nonsimbolik, yaitu percakapan atau gerak isyarat ( menurut Med )
tidak melibatkan pemikiran, dan (2)
interaksi simbolik, memerlukan proses
mental.[62]
Dalam perspektif teori interaksi sosial, dikatakan proses interaksi yang paling efektif adalah
interaksi yang dilakukan dengan tatap muka. Dengan tatap muka ekspresi bahasa
dan tingkah laku dapat terlihat secara
utuh, yang kemudian dapat memberikan pemahaman dalam berinteraksi. Dalam situasi
tatap muka subjektifitas orang lain akan muncul dan terbuka. Artinya orang lain
akan dengan bebas memaknai dan menafsirkan setiap bahasa yang muncul yang
wujudnya lisan maupun dalam bentuk sikap dan tingkah laku. Dalam situasi tatap
muka orang lain adalah nyata sepenuhnya. Kenyataan ini merupakan
bagian kenyataan hidup sehari-hari. Dalam tatap muka dapat dipahami
tipikasi orang dan tipikasi ini secara terus menerus
mempengaruhi jalannya interaksi. Skema-skema tipikasi yang muncul dalam tatap muka
bertimbal balik. Dalam interaksi terbuka untuk saling membentuk tipikasi ( campur
tangan ). Dengan kata lain, skema-skema tipikasi dapat bernegoisasi terus
menerus dalam situasi tatap muka[63].
2.2 Partai
Politik dan Peran yang Dilakukan
Pengertian politik mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas, sehingga karena keluasannya tersebut, maka pembicaraan mengenai politik
pada dasarnya membicarakan negara dengan segala substansi yang ada padanya,
baik struktur, institusi, aparatur, sistem pemerintahan dan lain sebagainya.
Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, asas-asas, sejarah pembentukan, hakekat negara serta
bentuk dan tujuan negara di samping
menyelidiki hal-hal seperti pressure
group, interest group, elit
politik, pendapat umum ( public opinion ),
peranan partai politik dan pemilihan umum.[64]
Mendasarkan pada judul disertasi
ini, maka yang dimaksudkan dengan politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang
ada dalam DPR RI, yang secara kelembagaan terwadahi dalam fraksi-fraksi dan
perseorangan yang tersebar dalam komisi-komisi, maupun institusi Depdagri
sebagai realitas institusi politik dari pemerintah. Dengan demikian itu,
maka yang dimaksudkan interaksi politik
dalam disertasi ini adalah hubungan yang saling mempengaruhi dan menekan antar
kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam institusi DPR RI maupun antar kekuatan-kekuatan
politik yang ada dalam institusi DPR RI dengan kekuatan politik di luar seperti
pressure group, interest group, elit politik, sampai kepada pendapat umum ( public opinion ) .
Menurut Raja Louis XIV pada abad 16, partai politik harus didefinisikan sebagai
organisasi perjuangan dan harus sesuai dengan hukum[65].
Sementara menurut Ferdinand
Lasalle sebelum demokrasi berkembang, peran partai politik lebih banyak dilakukan
oleh pemimpinnya, semua organisasi politik harus tunduk pada palu yang ada di tangan
pemimpinnya. Itulah yang menjadikan para pemimpin partai politik pada saat itu
berwatak diktator[66]. Namun demikian partai
politik pada saat itu sudah menunjukkan fungsinya sebagai penyanggah demokrasi
karena secara nyata sudah memiliki visi dan tujuan untuk membuat kesejahteraan
umum, yang tidak lain adalah berorientasi untuk merebut kekuasaan. Setelah itu yang berlaku adalah adagium Actonian yang terkenal itu : power
tend to corrupt, absolutely
power tend to corrupt absolutely.
Lain lagi menurut Weber,
menurutnya partai politik adalah sarana untuk
perjuangan untuk bersama-sama melaksanakan politik, atau perjuangan
untuk mempengaruhi pendistribusian kekuasaan, baik di antara kelompok-kelompok di dalam suatu negara atau sebagai “striving to share power on stiving to influence
the distribution of power, either among states or among group within state“
( Sebuah upaya untuk membagi kekuasaan atau sebuah upaya untuk mempengaruhi
cara pembagian kekuasaan di antara negara atau kelompok di dalam
negara )[67]. Menurut Budiardjo,[68] partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan politik, sebagai medium untuk menyampaikan gagasan-gagasan, tujuan, dan visi yang berasal dari kelompok mereka. Cara yang dilakukan oleh partai politik untuk kekuasaan dan kedudukan dilakukan dengan mentaati aturan main bersama agar mekanisme dinamika politik dapat berjalan dengan tertib.
negara )[67]. Menurut Budiardjo,[68] partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk memperoleh kekuasaan dan kedudukan politik, sebagai medium untuk menyampaikan gagasan-gagasan, tujuan, dan visi yang berasal dari kelompok mereka. Cara yang dilakukan oleh partai politik untuk kekuasaan dan kedudukan dilakukan dengan mentaati aturan main bersama agar mekanisme dinamika politik dapat berjalan dengan tertib.
Sepandangan
dengan Weber adalah Budiardjo mengatakan tentang tujuan partai
politik secara umum yaitu : (1) sebagai komunikasi politik, (2) sebagai
sarana sosialisasi politik, (3) sebagai sarana rekrutmen politik, dan (4)
sebagai media pengatur konflik. Cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut antara negara yang satu dengan yang lainnya tentunya berbeda-beda.
Perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan sosiologi politik di setiap
bangsa[69].
Pendapat lainnya tentang partai politik yaitu dari Carl j. Friedrich ( 1967 : 419 )[70], yang
mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia ( a group of human beings ) yang
terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan
penguasaan terhadap pemerintahan bagi kepemimpinan partainya. Penguasaan ini
memberikan kepada anggota partainya berupa kemanfaatan yang bersifat ideal
maupun material. Menurut Soltau
( 1961:199 ) mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara ( a group of citizenship ) yang mengorganisasikan, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik yang memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan menyelenggarakan kebijakan publik mereka. Sigmund Neuman
( 1963:352 ) menjelaskan bahwa partai adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik ( society sagents ) yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan sedangkan sutau golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda.
( 1961:199 ) mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara ( a group of citizenship ) yang mengorganisasikan, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik yang memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan menyelenggarakan kebijakan publik mereka. Sigmund Neuman
( 1963:352 ) menjelaskan bahwa partai adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik ( society sagents ) yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan sedangkan sutau golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda.
Paradigma yang mendasari pemikiran partai
politik adalah, bagaimana memperoleh kekuasaan dan dengan kekuasaan itu dapat
menguasai dan mengendalikan pemerintahan. Paradigma politik ini diapresiasikan
ke dalam berbagai paradigma untuk memperoleh dukungan, seperti kesejahteraan
ekonomi, sosial-budaya, moralitas, kemanusiaan, agama, dan sebagainya. Untuk
itu, tidak mengherankan jika lantas ada beberapa partai politik yang landasan
pendiriannya adalah agama, ideologi, kepentingan ekonomi, sosial, dan
sebagainya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa, pada
umumnya partai politik hanya bekerja untuk merebut kekuasaan dalam pemilu.
Perkara program partai yang direncanakan dan dikampanyekan dapat memajukan
kepentingan umum bisa direalisasikan atau tidak merupakan masalah berikutnya.
Hal ini yang membuat politik merupakan panggung yang amat kotor, penuh tipu
daya, dan rekayasa[71].
2.3
Konsep
Tentang Hukum
Sebelum jauh membicarakan tentang pembentukan hukum dan implementasinya,
akan sangat berguna jika terlebih dahulu dipahami tentang konsep hukum,
sehingga akan mampu memberikan pemahaman yang lebih utuh pengetahuan tentang
hukum.
Menurut Hart, HLA, bahwa hukum adalah merupakan sebuah konsep,[72] dan
menurut Soetandyo Wignyosoebroto tak ada konsep yang tunggal mengenai apa yang
disebut hukum itu. Menurut pendapatnya dalam sejarah pengajian hukum tercatat
sekurang-kurangnya ada 3 konsep hukum yang pernah dikemukakan orang, yaitu :
(a)
hukum
sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan menjadi
bagian inheren sistem hukum alam;
(b)
hukum
sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan tempat
tertentu, dan terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik
tertentu yang berlegitimasi; dan
(c)
hukum
sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan
bermasyarakat, baik dalam proses-proses pemilihan ketertiban dan penyelesaian
sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku
yang baru.[73]
Dijelaskannya pula, bahwa konsep tersebut (a) di
atas ada konsep yang berwarna moral dan filosofis, yang melahirkan cabang
kajian hukum yang amat moralistis. Konsep (b) jelas kalau konsep positivistis
tidak hanya Austinian juga yang pragmatik realis dan yang Neo-Kantian atau
Kelselian yang melahirkan kajian-kajian Ilmu hukum positif. Konsep-konsep (c)
adalah konsep sosiologik atau antropologik, yang kemudian melahirkan kajian-kajian
sosiologi hukum, antropologi hukum, atau cabang kajian yang akhir-akhir ini
banyak dikenal dengan nama "hukum dan masyarakat”.[74] Apa yang
disebutkan terakhir inilah yang menjadi topik pembahasan tulisan ini. Selain
itu, patut dicatat konsepsi-konsepsi hukum seperti apa yang diungkapkan di atas
juga tidak mencakup dan dapat memasukkan seluruh konsepsi tentang hukum yang
berlaku pada masa akhir-akhir ini.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, dalam arti luas konsepsi hukum tidak hanya merupakan keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat
tetapi meliputi pula lembaga/institusi dan proses-proses yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah dan asas-asas itu dalam kenyataan.[75] Konsepsi ini dapat dinilai sebagai konsepsi yang
kompromistis.
Djojodigoeno mengajukan suatu konsepsi yang tidak memandang hukum
sebagai rangkaian pengugeran, seperti pada tahun lima puluhan, tetapi sebagai
rangkaian pengugeran ( normering )
tingkah laku dan perbuatan orang.
Pengugeran ini ukurannya, ialah ”unsur-unsur yang menentukan cita-cita
keadilan yang hidup dalam masyarakat” dan ”pengugeran” harus langsung
dipergantungkan pada perikatan-perikatan yang menentukan peragaan masyarakat
dan nilai-nilai yang dijunjung rakyat dalam hubungan timbal balik dan saling
menentukan. Selanjutnya dikatakan :
“een onophoudelijk zich vernieuwend process
van normeringen door een gemeenschap, rechtstreeks of door middel van hare
gezagsorganen, van de voor zakelijk verhouding en relevante handelingan van
hare leden, dat de zin heeft orde, gerechtigheid en gezamelijke welvaart te
funderen en te onderhouden”.
(hukum adalah suatu proses
pengugeran yang terus menerus memburu yang dilakukan oleh masyarakat secara
langsung atau dengan perantaraan alat kekuasaannya, perihal perbuatan-perbuatan
dalam hubungan pamrih (lugas) dan tindak laku dari anggota-anggotanya, yang
mempunyai makna untuk memberi dasar dan mempertahankan ketertiban, keadilan
dan kesejahteraan bersama).[76]
A.A.G. Peters memandang
hukum sebagai bagian dari masyarakat. Ia melihat di dalam hukum itu, di satu
pihak endapan dari perbandingan kekuatan yang nyata dan kepentingan-kepentingan
yang dominan, sedang di lain pihak juga aspirasi untuk keadilan dan
legitimitasi. Ajaran ini mengkaji hukum dengan ukuran-ukuran yang dipergunakan
oleh hukum itu sendiri. Ia hendak mengetahui sejauh mana di belakang bentuk
juridis yang universal tersembunyi isi yang khas, yang ditentukan oleh
perbandingan kekuatan
( power relationship ) dan struktur kepentingan. Watak hukum yang sesungguhnya dapat dipahami dari aspirasi-aspirasi menuju hukum yang optimal, yang melekat pada asas-asas hukum, yang tertuju mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan melindungi hak-hak asasi manusia.[77]
( power relationship ) dan struktur kepentingan. Watak hukum yang sesungguhnya dapat dipahami dari aspirasi-aspirasi menuju hukum yang optimal, yang melekat pada asas-asas hukum, yang tertuju mengurangi kesewenang-wenangan penguasa dan melindungi hak-hak asasi manusia.[77]
Walaupun tiga
pendapat yang disebutkan terakhir, tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu
konsepsi mengenai hukum seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo, tetapi kalau
diteliti secara seksama ketiga pendapat tersebut ternyata hukum sebagai
realita, masyarakat diberi penekanan secara khusus, sehingga tidak berlebihan
bila dikatakan pendapat tersebut juga sebagai bentuk variasi daripada konsepsi
hukum yang sosiologik.
Bilamana berbicara
tentang hukum dalam perspektif sosial, ada beberapa perspektif tentang ( fungsi
) hukum di dalam masyarakat.
Antonie A.G. Peters mengemukakan ada tiga perspektif yaitu :
Antonie A.G. Peters mengemukakan ada tiga perspektif yaitu :
-
Perspektif
kontrol sosial dari hukum. Tinjauan demikian ini dapat disebut sebagai tinjauan
dari sudut pandangan seseorang polisi terhadap hukum ( the policeman view of the law ). Untuk memahami fungsi hukum dalam
perspektif ini dapat diajukan teori Emile Durkheim;
-
Perspektif
kedua dari fungsi hukum di dalam masyarakat adalah perspektif Social Engineering, merupakan tinjauan
yang dipergunakan oleh para pejabat ( the
official's perspective of the law ) dan oleh karena pusat perhatiannya
adalah apa yang diperbuat oleh pejabat penguasa dengan hukum, maka tinjauan ini
kerapkali disebut juga the technocrat's view of the law. Yang dipelajari
di sini adalah sumber-sumber kekuasaan yang dapat dimobilisasikan dengan
menggunakan hukum sebagai mekanisme. Untuk memahami hukum dalam perspektif ini
diajukan teori Max Weber mengenai hukum dan perubahan masyarakat.
- Perspektif yang ketiga adalah perspektif emansipasi
masyarakat dari hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah
terhadap hukum ( the bottom's up view of
law ) dan dapat pula disebut sebagai perspektif konsumen ( the consumer's perspective of the law ).
Dengan perspektif ini ditinjau kemungkinan-kemungkinan dan kemampuan hukum
sebagai sarana untuk menampung aspirasi masyarakat. Untuk memahami fungsi hukum
dalam perspektif emansipasi masyarakat dari hukum, oleh Peters ditunjuk
konsepsi yang dikemukakan oleh Philipe Nonet dan Philip Selznick mengenai hukum
responsif.[78]
Apa yang dikemukakan oleh Peters di atas masih dapat dipersoalkan lebih
lanjut, misalnya berkenaan dengan konsepsi ”social engineering” kiranya tidaklah sesempit yang dikemukakan oleh
Peters, karena seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto tentang social engineering merupakan cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, yang mengandung makna hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat[79]. Yang masih dapat dikaitkan dengan apa yang dikemukakannya di dalam tulisannya yang lain adalah salah satu fungsi hukum sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial ( law as a facilitation of social interaction ).[80]
Peters, karena seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto tentang social engineering merupakan cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, yang mengandung makna hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat[79]. Yang masih dapat dikaitkan dengan apa yang dikemukakannya di dalam tulisannya yang lain adalah salah satu fungsi hukum sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial ( law as a facilitation of social interaction ).[80]
Atau seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo di dalam
disertasinya, bahwa hukum sebagai sarana
social engineering adalah penggunaan
hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat
sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang
diinginkan.[81] Namun
karena hal itu tidak perlu untuk diperdebatkan karena dalam tulisan ini hanya
ingin menyoroti bagaimana pengembangan konsep sosiologik tentang hukum yang
dikaitkan dengan salah satu perspektif yang diungkapkan oleh Peters.
Pandangan yang dikemukakan di atas adalah senada pula dengan apa yang
dikemukakan oleh Lawrence Rosen, seorang
ahli sosiologi hukum dari Pronceton University, yang melihat adanya tiga
dimensi penting pendayagunaan pranata-pranata hukum di dalam masyarakat yang
sedang berkembang, yakni :
1. Hukum
sebagai pencerminan dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda mengenai tertib
dan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan pernyataan dan perlindungan
kepentingan masyarakat.
2. Hukum
dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan pembatas kekuasaan
sewenang-wenang, pendayagunaan hukum tergantung pada kekuasaan-kekuasaan lain
di luarnya.
3. Hukum
dapat didayagunakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong perubahan
sosial ekonomi.[82] Namun
di sini tidak tergambar kemungkinan berperannya hukum sebagai sarana penampung
aspirasi masyarakat.
2.4
Ciri-Ciri Hukum
2.4.1
Ciri-Ciri Hukum Represif
Setiap
aturan hukum berpotensi represif, karena dalam hal tertentu dia sangat terikat
pada status quo dan selalu tampil sewenang-wenang agar kekuasaan bisa efektif.
Karena itu ciri-ciri hukum yang represif adalah sebagai berikut :
1. Lembaga-lembaga hukum secara langsung
mempunyai akses kepada kekuasaan politik, sehingga hukum diidentifikasikan
dengan negara.
2. Perhatian utama para pejabat hukum adalah
bagaimana melestarikan kekuasaan.
3. Para aparat hukum yang khusus, seperti
polisi, memiliki kekuasaan yang independen, terisolasi dari konteks sosialnya,
dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan kekuasaannya.
4. Penguasa memiliki hukum ganda, yaitu dengan
melembagakan keadilan kelas ( class
justice ) dan melegitimasi pola-pola subkordinasi sosial.
Menurut Philip Nonet
dan Philip Selznick dalam bentuknya yang jelas dan sistematis, hukum represif
menunjukkan karakter-kerakter berikut ini[84] :
1.
Institusi hukum secara langsung dapat
diakses oleh kekuatan politik; hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan
disubkordinasikan pada tujuan negara ( raison d'etat ).
2.
Langgengnya sebuah otoritas merupakan
urusan yang paling penting dalam administrasi hukum. Dalam ”perspektif resmi”
yang terbangun, manfaat dari keraguan ( the benefit of
the doubt ) masuk ke
sistem, dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.
3.
Lembaga-lembaga kontrol yang
terspesialisasi, seperti polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang independen;
mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak, serta mampu
menolak otoritas politik.
4. Sebuah
rezim ”hukum berganda” ( ”dual law” ) melembagakan
keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi
pola-pola subkordinasi sosial.
5. Hukum
pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum yang akan
menang.
Sebelum
diuraikan lebih lanjut ciri-ciri hukum yang represif, maka perlu dijelaskan
dulu istilah ”keadilan kelas” ( class
justice ) dan ”moralisme hukum”. Gagasan tentang ”class justice” [85] memberi jalan kepada hukum untuk
melegitimasi dan secara paksa melembagakan ”class
justice”. Hal itu disebabkan ada integrasi hukum dan politik yang erat
dalam bentuk subordinasi langsung lembaga-lembaga hukum dengan elit-elit publik
dan privat yang memerintah. Hukum merupakan alat yang dapat dibengkokkan yang
siap sedia berkonsolidasi dengan kekuasaan dan menjaga privatisasi.
Selanjutnya, diskresi pejabat merupakan sesuatu yang tak terhindarkan yang
segera menghasilkan dan merupakan jaminan bagi penyalahgunaan hukum untuk
kekuasaan. Sebaliknya ”moralitas hukum” tidak cocok dengan moralitas komunal
dimana sebuah komunitas mempunyai moralitasnya sendiri yang harus dipertahankan
dan dipelihara. Namun moralitas hukum mencoba untuk membuat modelnya sendiri
dalam sebuah lembaga yang akan membedakannya dengan anggota lain yang bukan
termasuk dalam lembaga yang bersangkutan. Model-model itu bisa berupa
nilai-nilai khusus yang harus dikejar oleh lembaga yang bersangkutan sehingga
bisa dijadikan aturan perilaku bagi para anggotanya dan sekaligus menentukan
bagaimana perilaku yang benar itu dan mana pula yang tidak benar. Tujuannya
agar dapat membimbing perilaku manusia secara efektif.
Selanjutnya,
dijelaskan pula ciri-ciri hukum yang represif,[86] Pertama, norma menjadi tujuan bagi dirinya
sendiri, bukan sebagai sarana sebagaimana yang dipahami selama ini. Kedua, norma itu tampaknya tidak cukup
kuat berlaku bagi penguasa. Norma itu berlaku untuk orang-orang kecil. Ketiga, apabila terjadi diskresi, maka
hal itu dilakukan semata-mata berdasarkan selera penguasa atau pejabat hukum
yang bersangkutan, dan bukan dalam kerangka mencari kebenaran materiil, Keempat, pelaksanaan norma dilaksanakan
dengan cara paksaan yang pada gilirannya sulit dikontrol, karena tidak ada
batasan yang jelas. Kelima, hukum
disubkordinasikan langsung pada politik kekuasaan, sehingga hukum lalu menjadi
produk kekuasaan. Dengan demikian hukum benar-benar menjadi instrumen kekuasaan
untuk menekan atau melegitimasi kekuasaan. Keenam,
pelanggaran terhadap norma dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu harus
diberi sanksi. Ketujuh, tidak dimungkinkannya
kritik terhadap norma, karena itu sama artinya dengan tidak loyal kepada
kekuasaan. Ciri-ciri hukum yang represif seperti ini didasarkan pada
praktik-praktik penegakan hukum secara empiris oleh penguasa negara di berbagai
negara setelah ”rule of law” telah
disepakati sebagai rules yang
mempedomani perilaku manusia, baik penguasa, rakyat ataupun masyarakat. Namun
seperti pada awal mulanya hukum itu dibentuk bertujuan untuk mencegah
kesewenang-wenangan oleh para penguasa yang lain di zaman ”ancient regime”, maka Nonet dan Selznick mencoba menamai hukum
yang demikian sebagai hukum yang otonom.
2.4.2
Ciri-Ciri Hukum yang Otonom
Yang
dimaksud Nonet dan Selznick dengan hukum yang otonom adalah hukum yang lepas
sama sekali dari kekuasaan dan aturan-aturan hukum menjadi sumber untuk
mencegah terjadinya respresif oleh penguasa. Dalam sejarah hal ini telah
dibuktikan oleh apa yang disebut “rule of
law” di mana lembaga-lembaga hukum memperoleh cukup kewenangan untuk
menetapkan standar-standar pembatasan terhadap pelaksanaan kekuasaan.
Karena
itu untuk mengenali hukum yang otonom, maka ciri-cirinya sebagai berikut :
1. Hukum terpisah dari politik, kebebasan
peradilan terjamin, ada permisahan yang tegas antara fungsi yudisial dan
legislasi;
2. Aturan hukum menentukan ruang lingkup
tanggung jawab pejabat yang berkuasa dan pada waktu yang sama pula
lembaga-lembaga hukum sangat dibatasi kewenangannya untuk bertindak sesuai
dengan kreativitasnya. Kemudian
aksesnya ke ranah politik menjadi sangat terbatas;
3. Prosedur merupakan jantungnya hukum. Aturan
hukum merupakan tujuan utamanya, bukan keadilan substantif;
4. Kepercayaan kepada hukum dimengerti sebagai
kepatuhan yang ketat terhadap aturan-aturan hukum positif hukum yang otonom
berpusat pada hakim dan terikat pada aturan. Hakim menjadi simbol aturan-aturan hukum dan
bukan pada polisi atau para pembuat UU. [87]
Bila
dicermati ciri-ciri hukum yang otonom di atas, maka beberapa catatan berikut
ini akan sangat membantu untuk mengenali hukum yang otonom lebih jauh. Pertama, yang menjadi tujuan utama dari
hukum yang otonom adalah meletakkan dasar-dasar yang jelas bagi siapa saja yang
dilakukan penguasa kepada masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Jadi tindakan
apa pun yang dilakukan harus selalu didasarkan pada ketentuan yang sudah ditentukan
sebelumnya. Kedua, dituntut kejujuran
untuk melaksanakan ketentuan dan taat pada prosedur yang sudah ditetapkan,
sehingga ketentuan yang ada mengikat, baik bagi yang berkuasa maupun bagi yang
dikuasai. Ketiga, diskresi sama sekali tidak dimungkinkan
karena semuanya sudah ditentukan oleh peraturan yang sudah ditentukan
sebelumnya. Dengan demikian, moral yang mendasari bekerjanya hukum yang otonom
adalah ”moralitas konstitusi”. Atau dengan kata lain hukum yang otonom itu
sangat UU oriented.
Dari
gambaran hukum yang otonom seperti ini dapat dilacak di dalam pikiran Kelsen
dengan teori hukum murninya. Seperti diketahui, teori ini pada dasarnya
menekankan bahwa hukum sama sekali otonom dan berdiri sendiri dan keabsahan
sebuah tindakan harus selalu dipahami dalam terminologi moral atau sistem norma
dan nilai yang lain.
Pandangan
ini tidak selalu bisa diikuti oleh setiap zaman. Hal ini disebabkan oleh adanya
perkembangan dimana tuntutan masyarakat demikian cepat sementara hukum
cenderung mengikuti dari belakang yang lama kelamaan hukum itu tak bisa
akomodatif lagi dengan perkembangan zamannya. Menghadapi perkembangan yang
demikian tak bisa lain dibutuhkan sebuah hukum yang bisa merespons keadaan yang
berkembang di dalam masyarakat. Hukum yang demikian nampaknya lebih cocok
mengakomodir kebutuhan masyarakat yang demikian cepat berubah dan berkembang.
Karena itulah menurut Nonet dan Selznick hukum yang bisa merespons keadaan itu
dinamakan hukum yang responsif.
2.4.3
Ciri-Ciri Hukum yang Responsif
Dalam
paham Nonet dan Selznick[88], hukum yang responsif itu adalah hukum yang
siap mengadopsi paradigma baru dan meninggalkan paradigma lama. Artinya, hukum
tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri melainkan dia harus
mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi
kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat[89]. Atas dasar tersebut tidaklah heran jika
hukum bisa berinteraksi dengan politik, dan Hukum yang demikian akan lebih
mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang
terjadi di masyarakat. Dengan demikian,
di dalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog dan wacana serta
adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas. Karena itu hukum yang
responsif tidak lagi selalu mendasarkan pertimbangannya pada pertimbangan
juridis melainkan mencoba melihat sebuah persoalan dari berbagai perspektif
dalam rangka untuk mengejar apa yang disebut ”keadilan substantif”. Oleh karena
itu, para hakim di dalam menjalankan tugas keprofesiannya tentang cara pandang
untuk menyikapi hukum adalah sebagai berikut : “The law, like the traveller,
must be ready for the morrow, it must have a principle”[90].
Salah satu tokoh penganut realism hukum ( legal realism ) yang bernama
Jerome Frank mengatakan, pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori
hukum modern yang terus-menerus dilakukan. Lebih lanjut Jerome Frank
mengatakan, tujuan utama penganut realisme hukum ( legal realism ) adalah
untuk membuat hukum "menjadi lebih
responsif terhadap kebutuhan sosial. ”Untuk mencapai tujuan ini, mereka
mendorong perluasan ”bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum”,[91] agar
pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial
dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi para aparat hukum.
Untuk memudahkan pemahaman ketiga
jenis kategori hukum berikut implementasinya dapat dilihat dalam tabel berikut
ini :
Tabel 1
|
H. Represif
|
H. Otonom
|
H. Responsif
|
|
Tujuan
|
Aturan
|
Legitimasi
|
Kewenangan
|
|
Legitimasi
|
Perlindungan sosial
|
Kejujuran
Prosedur
|
Keadilan Substansif
|
|
Aturan
|
mendetail
tapi lemah
|
Elaborasi,
mengikat pembuat dan diatur kuat melekat pada kewenangan hukum
|
Disubkordinasi pada prinsip dan kebijakan
|
|
Nalar
|
Daya ikatnya
bagi pembuat aturan Adhoc, Articular
|
Terikat
aturan
|
Memperluas
kemampuan kognitif
|
|
Diskresi
|
Membantu
untuk hal-hal yang khusus oportunis
|
Delegasi
menyempit
|
Meluas namun tetap berpegang pada tujuan
|
|
Pemaksaan
|
Meluas, lemah
Batasannya
|
Terkontrol
oleh hukum
|
Mencari
alternatif, insentif, sistem mempertahankan diri terhadap kewajiban
|
|
Moralitas
|
Moralitas
komunal, moralisme hukum
|
Moralitas
konstittis
|
Moralitas
masyarakat, moralitas atas kerjasama
|
|
Harapan patuh
|
Tak bersyarat
|
Titik tolak
aturan
|
Tak
patuh ditentukan dalam kaitannya
dengan pelanggaran substansif
|
|
Tabel ini memperlihatkan dengan jelas
kecenderungan hukum yang lebih akomodatif kepentingan masyarakat adalah hukum
yang responsif. Akan tetapi ada persoalan mendasar yang perlu mendapat
perhatian dari pihak penegak hukum, yaitu apakah penegak hukum mempunyai
kemampuan yang memadai untuk menjalankan hukum yang responsif seperti itu ?
Karena di sana dituntut beberapa kualifikasi yang esensial yaitu pertama,
mulai bekerja dengan paradigma baru dimana penegak hukum tidak hanya tunduk
pada basis-basis hukum sebagai landasan berpikirnya, tetapi juga berusaha
sejauh mungkin menggunakan pisau analisis non-hukum. Akibatnya, interaksi hukum
dengan politik tidak bisa dihindari lagi.
Kedua, kebenaran atau keadilan tak pernah bisa
dicapai hanya dengan perspektif tunggal karena hal itu hanya mengingkari
kebenaran dan keadilan itu sendiri. Untuk itu diperlukan aparat hukum yang
berwawasan luas, yang rasional, kritis.
2.4.4 Ciri-Ciri Hukum Progresif
Dalam konsep hukum progresif, hukum tidak
untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang berada di luar
dirinya. Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradisi analytical jurisprudence
atau rechtsdog-matiek. Tradisi
atau aliran ini hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan
membicarakan dan melakukan analisis kedalam, khususnya hukum sebagai suatu
bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di
luar seperti manusia, masyarakat,
kesejahteraan, ditepiskannya[93].
Dengan tradisi analytical jurisprudence atau rechtdogmatiek, hukum progresif ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat
dengan manusia dan masyarakat. Meminjam
istilah Nonet & Selznick, hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam
tipe yang demikian itu, hukum akan selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar
narasi tekstual hukum itu sendiri. Nonet dan Selznick menyebutnya sebagai “tire souvereignity of purpose”. Lebih lanjut mereka mengatakan:
“This a distinctive feature
of responsive law is the search of implicit values in rules and policies... a
more “flexible” interpretation that sees rules as bound to specific problems
and contexts, and undertakes to identify the values at stake in procedural
protection." Dengan mengatakan itu mereka sekaligus juga
mengritik doktrin "due process of law”.
Apa yang dipikirkan oleh
Nonet dan Selznick
sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jusrisprudence di satu pihak dan
sociological jurisprudence di
lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum
otonom pada Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum
responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat digugat.
Hukum progresif berbagi
faham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre karena hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan
dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta
akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Dalam aliran realisme,
pemahaman orang mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan "looking towards last things, consequencies,
fruits". Realisme memalingkan
mukanya, "from abstraction, verbal solutions, bad apriori reasons, fixed
principles, closed systems, and pretended absolutes and origins". Sebaliknya ia menghadapkan mukanya kepada "completeness, adequacy,
facts, actions and powers"[94]
Karena kehadiran hukum dikaitkan pada tujuan
sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan sociological jurisprudence dari
Roscoe Pound”[95]. Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang
peraturan-peraturan, melainkan keluar dari situ dan melihat efek dari hukum
dan bekerjanya hukum. Dikatakan oleh Pound :
“... to enable and to compel law making, and also interpretation and
application of legal rules, to make more account, and more intelligent account,
of the social facts upon which law must proceed and to which it is to be
applied...".
Hukum progresif juga bisa dilacak mundur
sampai ke aliran yang dikenal sebagai Interessenjurisprudenz di Jerman sekitar dekade awal abad kedua puluh.
Aliran ini mengatakan bahwa, hakim tidak bisa dibiarkan untuk
hanya konstruksi dalam membuat putusan. Cara demikian ini akan menjauhkan hukum
dari kebutuhan hidup yang nyata. Mengutip pendapat Heck, “... The legislator
wants protection of interests ... The legislator can realise his so &
intention and satisfy the needs of
life only if the judge is more that slot-machine functioning according to the
law of logical mechanics ... The primacy
of logic is thus replaced by the primacy of an examination and valuation of
life ... [96]
Kedekatan hukum progresif pada teori-teori hukum alam terletak pada
kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Han Keisen disebut sebagai "meta-juridical".
Teori hukum alam mengutamakan "the search for justice" daripada
lainnya, seperti dilakukan oleh aliran analitis. Hukum progresif mendahulukan
kepentingan manusia yang lebih besar daripada menafsirkan hukum dari sudut
”logika dan peraturan”.
Barangkali ada juga yang mempertanyakan tentang hubungan antara hukum
progresif dengan Critical Legal Studies
( CLS ) yang muncul tahun 1977 di Amerika Serikat. Memang keduanya mengandung
substansi kritik sehingga muncul pertanyaan tersebut bisa dipahami. CLS muncul
karena ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum di negeri itu. Buku-buku
seperti "With Justice for None"[97] dan 'Trials
Withouth Truth"[98] bisa mewakili ketidakpuasan
tersebut. CLS langsung menusuk jantung pikiran hukum Amerika yang dominan,
yaitu suatu sistem hukum liberal yang dikisarkan pada pikiran politik liberal
dikatakan oleh seorang penstudi :
“... a group of legal scholars
has generated an body of literature that challenges some of the most cherished
ideals of modem Western legal and political trough… The major theoretical aim
of the movement is to provide a critique of liberal legal and political
philosophy, and at the total point of the critique, lies the concept of the
rule of law.[99]
Pikiran liberal yang merangkul rule of law itu sebetulnya
bertentangan dengan lain prinsip esensial dalam alam pikiran politik liberal. Dikatakan, bahwa "Law can not perform the liberal task of
constraining power and protecting people from intolerance and oppression, so
even I the rule of law did exist, it could not accomplish its liberal
goals."[100] Hukum progresif juga menggandeng kritik terhadap
sistem hukum yang liberal itu, karena hukum Indonesia juga turut mewarisi
sistem tersebut. Namun
tujuan hukum Progresif tidak hanya terpusat pada kritik terhadap sistem yang
liberal. Ini terutama terletak pada konsep ”progresif” dan ”progresivisme”
dalam hukum progresif, sebagaimana akan diuraikan di bawah.
Apabila hukum itu
bertumpu pada ”peraturan dan perilaku”, maka hukum progresif lebih menempatkan
faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian, faktor dan kontribusi
manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada. Faktor manusia
ini adalah simbol dari unsur-unsur greget
( compassion, empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination ). Ini mengingatkan kepada
ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan
peraturan yang burukpun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mantan Hakim
Agung, Bismar Siregar, sering mengatakan bahwa “keadilan ada di atas hukum” dan
oleh karena itu ia selalu memutus berdasar hati-nurani terlebih dahulu dan baru
kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena hakim harus memutus berdasarkan
hukum. Mengutamakan faktor manusia daripada hukum, membawa untuk memahami hukum
sebagai suatu proses dan proyek. Hal itu berkali-kali dikemukakan dengan
mengatakan bahwa hukum itu selalu
dalam proses membangun dirinya. Karl
Renner merumuskan hal tersebut dengan sangat bagus pada waktu mengatakan, "The
development of the law gradually works out what is socially reasonable".[101]
Hukum progresif berbagi pendapat yang sama
dengan pikiran-pikiran yang dikemukakan di atas. Ia tidak bergerak pada arah
legalistik positivistik, tetapi lebih tidak mutlak digerakkan oleh
perundang-undangan, tetapi lebih pada azas sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau hukum
perundang-undangan, tetapi bergerak pada azas non-formal. Bukti-bukti untuk itu
merupakan peluang untuk menjalankan hukum progresif.
Hukum progresif bisa merupakan koreksi
terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi dan
prosedur, sehingga sangat berpotensi meminggirkan kebenaran dan keadilan. Hukum
progresif tidak berpendapat bahwa ketertiban ( order ) hanya bekerja melalui institusi-institusi
kenegaraan, melainkan menerima dan mengakui kontribusi institusi-institusi yang
bukan negara. Ketertiban juga didukung oleh bekerjanya institusi bukan-negara
tersebut.[102]
2.4.5
Gerakan Studi Hukum Kritis
Searah dengan hukum progresif yaitu aliran hukum kritis atau
lebih dikenal dengan critical legal
studies ( CLS ). Di Indonesia oleh para penganut paham ini disebut dengan
Gerakan Studi Hukum Kritis
( GSHK ). Salah satu pemerhati tentang gerakan hukum kritis ini adalah Satjipto Rahardjo, sang begawan hukumIndonesia [103].
( GSHK ). Salah satu pemerhati tentang gerakan hukum kritis ini adalah Satjipto Rahardjo, sang begawan hukum
Munculnya Gerakan hukum kritis dilatarbelakangi oleh
adanya ketidakpuasan yang dirasakan
secara luas oleh kalangan hukum, bukan hanya terbatas pada kalangan GSHK, terhadap
tradisi pemikiran hukum Barat pada umumnya. Ketidakpuasan itu, menurut hasil
observasi
Harold Berman[104], ahli sejarah hukum, berakar pada sesuatu yang lebih serius, yakni merebaknya suatu krisis yang sangat dalam pada tradisi hukum Barat. Krisis itu telah menyebabkan doktrin, postulat, sistem penalaran atau interpretasi hukum, dan seterusnya yang terdapat di dalam tradisi hukum Barat itu digugat dan dipertanyakan kembali relevansinya. Sementara jawaban terhadap krisis itu belum muncul, yang akhirnya bermuara pada ketidakpuasan yang digambarkan tadi.
Harold Berman[104], ahli sejarah hukum, berakar pada sesuatu yang lebih serius, yakni merebaknya suatu krisis yang sangat dalam pada tradisi hukum Barat. Krisis itu telah menyebabkan doktrin, postulat, sistem penalaran atau interpretasi hukum, dan seterusnya yang terdapat di dalam tradisi hukum Barat itu digugat dan dipertanyakan kembali relevansinya. Sementara jawaban terhadap krisis itu belum muncul, yang akhirnya bermuara pada ketidakpuasan yang digambarkan tadi.
Yang dimaksud
oleh Berman dengan ketidakpuasan tersebut adalah :
The crisis of
the Western legal tradition is not merely a crisis in legal philosophy but also
a crisis in law it self. Legal philosophers have always debated, and presumably
always will debate, whether law is founded in reason and morality or whether it
is only the will of the political ruler. It is not necessary to resolve that debate
in order to conclude that as heirs to the Western legal tradition have been
rooted in certain belie forpostulates: that is, the legal system themselves
have presupposed the validity of those beliefs. Today those beliefs
orpostolates-such as the structural integrity of law, its ongoingness, its
religious roots, its transcendent qualities- are rapidly disappearing, not
only from the minds of philosophers, not only from the minds of lawmakers,
judges, lawyers, law teachers, and other members of legal profession, but from
the consciousnesss of the vast majority of citizens, the peopels as whole; and
more than that, they are disappearing from the law itself[105].
Dalam
konteks krisis secara umum yang melanda tradisi hukum Barat itulah GSHK hadir
untuk memberikan pencerahan dan dengan mengembangkan pemikiran alternatif
terhadap pemikiran atau teori hukum liberal. Yang paling
menonjol dari doktrin hukum kritis ini yaitu menolak adanya pemisahan hukum
dengan politik. Paham hukum kritis ini memandang bahwa, hukum merupakan
bangunan dari kepentingan politik yang tidak memungkinkan hukum dapat
dipisahkan dari politik, baik dalam proses pembuatan maupun dalam
implementasinya[106]. Tokoh
utama dari paham GSHK adalah Roberto M. Unger.
Ada dua kecenderungan utama dapat dibedakan dalam
Gerakan Studi Hukum Kritis. Kecenderungan yang pertama yaitu yang
memandang doktrin masa lalu atau masa kini sebagai ungkapan suatu visi khusus
dari masyarakat sambil menekankan sifat yang bertentangan dan dapat
dimanipulasi dari argumen doktriner. Hal-hal yang mendahuluinya secara
langsung terletak pada teori-teori hukum antiformalis dan
pendekatan-pendekatan strukturalis terhadap sejarah kebudayaan[107].
Kecenderungan
yang kedua,
tumbuh dari teori-teori sosial Marx dan Weber serta cara analisis
sosial dan historis yang menggabungkan metode fungsionalis dengan tujuan-tujuan
radikal. Titik tolaknya terletak pada tesis ”hukum dan doktrin hukum
mencerminkan, menegaskan, dan membentuk kembali pembagian dan hierarki sosial
yang melekat dalam suatu jenis atau tahap organisasi sosial, seperti
kapitalisme”. Namun, tesis ini telah semakin dimodifikasi oleh kesadaran bahwa
tipe-tipe atau tahap-tahap kelembagaan itu kekurangan karakter kohesif dan
yang ditakdirkan menerima atribut-atribut teori kiri untuk mereka[108].
Kedua kecenderungan ini menantang gaya
doktrin hukum dan teori hukum dominan yang mencoba memperhalus dan mengabadikan
gaya ini. Keduanya tidak mengakui usaha untuk mempertalikan susunan sosial yang
berlaku dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat industri, sifat manusia, atau
tatanan moral. Namun, keduanya harus mengambil suatu sikap yang jelas tentang
metode, isi, dan bahkan kemungkinan pemikiran preskriptif dan programatis,
barangkali karena beberapa di antara asumsi-asumsi itu menerima warisan tradisi
radikal yang menjadikannya sukar untuk mengubah usul konstruktif menjadi lebih
dari sekadar pernyataan komitmen atau antisipasi sejarah.
Makna penting dari kontras di antara
kecenderungan-kecenderungan ini seharusnya tidak dinyatakan secara berlebihan.
Kerja yang sesungguhnya sering lebih sedikit berbeda daripada
penafsiran-penafsiran abstrak yang dialamatkan ke kecenderungan-kecenderungan
itu. Banyak tulisan tidak masuk ke dalam satu di antara dua kelompok yang
disebutkan itu[109].
2.5 Wacana
Teoretik Interaksi Politik Dalam Hukum
Menurut Max Weber, hukum tidak dapat lepas dari kepentingan-kepentingan dan
pengaruh termasuk kepentingan dan pengaruh
politik. Adalah seperti apa yang
dikatakan oleh yang mengatakan bahwa, hukum itu dipengaruhi kepentingan-kepentingan, baik itu kepentingan
material maupun kepentingan-kepentingan
ideal dan menurut pendapatnya, hukum
juga sangat dipengaruhi cara berpikir kelas-kelas sosial dan kelompok-kelompok
yang berpengaruh termasuk partai politik.[110] Bahkan secara ekstrim Grifiths mengatakan bahwa, suatu
undang-undang tidak akan pernah ada tanpa ada suatu keputusan politik, begitu
pula rincian undang-undang akan menentukan pula pengaruh suatu kebijakan
politik[111].
Sependapat dengan
Max Weber, Seorang ahli hukum bernama
Donald Black, pada tahun
70-an sudah mengingatkan masyarakat agar tidak memaknai hukum sekadar sebagai
barisan kalimat dalam perundang-undangan[112]. Senada dengan
Black adalah Meir Friedman, mengajarkan ada tiga unsur dalam hukum,
yakni substance,
( aturan main ), structure ( pranata penegak hukum ), dan legal culture
( budaya hukum ), artinya hukum bukan sekadar yang tertulis melainkan juga norma agama, etika, dan norma sosial[113].
( aturan main ), structure ( pranata penegak hukum ), dan legal culture
( budaya hukum ), artinya hukum bukan sekadar yang tertulis melainkan juga norma agama, etika, dan norma sosial[113].
Menurut Milovanovic [114] tokoh aliran Legal
Realism dan pendukungnya seperti
Karl Lewellyn dan Frank secara tegas menentang paham hukum yang formal
mekanik, lebih mendahulukan rasionalitas yang substantif, dan menolak kerja
hakim yang menekankan pada metode deduksi dalam memahami hukum. Pendapat
tersebut diikuti oleh paham sociological dan
realistis jurisprodence,yang
berpendapat bahwa hukum tidak bebas
dari konteks-konteksnya. Mereka menolak hukum sebagai sistem normatif yang tertutup, yang lepas dari konteks-konteksnya, yakni politik, sosial maupun kultural. Tokoh
kaum realis, Oliver Wendell Holmes
mengatakan, Law has not been logic, it exprerience. Hukum bukanlah suatu
sistem teks normatif yang tertutup. Karena itu kemurnian hukum dengan menutup
diri dari pengaruh konteks-konteksnya adalah suatu upaya yang tidak hanya
sia-sia tetapi juga tidak realistis[115].
Hukum, sekalipun telah dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai
produk kebijakan suatu badan pemerintahan negara yang terbilang tinggi,
bukanlah sesuatu yang sakral dan berstatus di atas segala-galanya ( the suprene law –state, de hoogste rechstaat
). Alih-alih menurut konsepnya yang mutakhir, hukum pada hakikatnya adalah
produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh
kepentingan-kepentingan ekonomi mereka yang ditujukan ke norma-norma sosial
dan/atau nilai-nilai ideal kultur mereka.
Pemahaman tidak dapatnya hukum dipisahkan dari politik semakin meluas
setelah gerakan pemikiran kritis, yang dikenal dengan The Critical Legal Studies
Movement ( CLS ) tidak bisa
menerima produk hukum yang positivis-formalis. Karena itu, sekalipun merupakan
hasil kesepakatan yang sah, tetapi apakah benar-benar bisa bersifat netral dan
dapat ditegakkan oleh lembaga yudisial yang independen dan tidak memihak.
Menurut CLS, formalisme hukum hanya akan berdaya guna melegitimasi para elit
yang tengah berkuasa termasuk elit politik. Rakyat banyak terkecoh oleh
formalisme pemikiran di bawah prinsip rule
of law. Hukum dan teorinya menurut
Kruish, hakikatnya sebagai suatu ideologi dengan fungsinya sebagai pelegitimasi,
berlangsung melalui proses-proses refikasi dan proses hegemoni politik.[116]
Menurut Satjipto Rahardjo,
bahwa sistem hukum dipengaruhi oleh sistem yang lebih luas yang disebut “super system” yaitu sistem sosial[117] ( social system ) dimana sistem hukum itu
di bangun. Sistem sosial ini dapat
berupa sistem sosial budaya, sistem politik, sistem ekonomi, sistem ilmu
pengetahuan, teknologi dan lain-lain. Ini berarti bahwa sistem hukum harus
dibangun dari berbagai bahan yang terdapat dimana sistem hukum itu dibangun.
Lebih jauh Satjipto Rahardjo menyatakan, “konsentrasi energi hukum
selalu kalah kuat dari konsentrasi energi politik”.[118] Pendapat tersebut sangat tepat apabila disandingkan
realitas yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembentukan hukum di DPR RI,
dimana berbagai sistem politik yang ada di DPR RI ikut melingkupi, terutama
sistem politik dari partai-partai
politik yang besar. Dengan demikian sistem hukum ( nilai-nilai hukum )
yang terbangun dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sejatinya adalah manifestasi dari
sistem politik, terutama sistem politik dari partai-partai politik yang besar.
Menurut Trasymashus, “hukum tidak
lain kecuali kepentingan mereka yang
kuat”[119]. Kondisi dimana kalahnya hukum ketika harus berhadapan
dengan politik dalam perspektif konflik adalah hal yang dimungkinkan[120]. Tidak berlebihan jika kemudian dikatakan, fenomena
menonjolnya fungsi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik dan itu
bersifat dominan serta lebih besar dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya.
Lebih dari itu, instrumental hukum menjadi
penopang tangguh struktur
politik, ekonomi, dan sosial.[121]
Pandangan pluralis mengatakan bahwa, hukum qada dan terbentuk karena shift atau pergeseran
kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok yang berbeda-beda[122]. Perbedaan kepentingan antar kelompok ini dapat
menimbulkan terbentuknya koalisi dalam menanggapi isu-isu dan permasalahan
tertentu, dan menumbuhkan kekuasaan melalui dan dengan jalan proses politik.
Kelompok-kelompok ini bertindak melalui partai-partai politik dan
pemilihan-pemilihan, yang dapat membuat dan menjadikan mereka dapat mengontrol
dan mengendalikan hukum negara.
Perbincangan dan
perdebatan tentang pendekatan pluralisme ini pada awalnya dimulai oleh Robert
Dahl dalam satu studi tentang kekuasaan yang dilakukan di New Haven,
Connecticut pada tahun 1961. Dalam mempelajari kekuasaan dan penyusunan hukum
dan peraturan yang berlaku di New Haven, Dahl menemukan adanya 3 kelompok
terorganisir yang saling bertentangan dan dihadapkan pada konflik yang
merupakan sumber yang digunakan oleh para politisi dan pegawai pemerintah kota
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam sentra kekuasaan.
Pembahasan tentang
pluralisme ini secara lebih menyeluruh dikemukakan Lawrence Friedman ( 1977 ). Menurutnya, hukum
adalah hasil dari persaingan dan perbedaan
kepentingan antara kelompok-kelompok yang ada, yang seringkali membutuhkan
kekuatan dalam jumlah dan jenis yang berbeda-beda. Hubungan yang terjadi antara
persaingan dan perbedaan kepentingan kelompok dengan terbentuknya kekuasaan
melalui hukum adalah, kemampuan mereka kelompok-kelompok tersebut untuk
membentuk opini publik, dengan cara memperkuat dan memperluas
kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai mereka masing-masing. Perdebatan kepentingan
dan nilai-nilai yang mereka miliki akan membawa dampak kepada terciptanya
persaingan antar kelompok tadi untuk sama-sama bersaing dan
berkompetisi menanamkan
pandangan-pandangan mereka dalam pengambilan
keputusan yang nantinya akan dipakai sebagai dasar-dasar pengambilan
keputusan untuk menetapkan hukum dan
peraturan, serta implementasi atau penerapannya. Secara kontras, para elit yang
ada di lembaga dan badan-badan hukum, mereka melakukan usaha untuk mengelola
dan menegakkan kekuatan atau kekerasan ekonomi dan politik, yang
dikonsentrasikan bagi kelompok-kelompok yang sedang berkuasa, yang memiliki
kontrol terbesar dalam pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga
pemerintahan. Para elit di badan-badan hukum mengemukakan argumen mereka, bahwa
sementara mereka melakukan pengaturan atau kontrol terhadap kelompok yang
sedang berkuasa, mereka kurang dapat
melakukan kontrol terhadap masyarakat secara detail dan menyeluruh, pada
waktu yang bersamaan.
Secara spesifik, GSHK ( Gerakan Studi Hukum Kritis
) melalui Roberto M. Unger[123] mengkritik teori pemisahan hukum dan politik
( law politics distinction ). Teori ini mengandalkan bahwa, hukum itu dikonstruksikan secara objektif, seperti yang didalilkan oleh Ronald Dworkin,[124] “law is based on “obyective” decicion of principle, while polincs dependen on “subjektive decicion of policy”. Inilah yang ditolak keras oleh GSHK. Mereka menyatakan, tidak mungkin proses-proses hukum (apakah itu dalam membuat undang-undang atau menafsirkannya) berlangsung dalam konteks bebas atau netral dipengaruhi pengaruh moral, agama dan pluralisme politik. Kalangan GSHK kadang mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan dialogis dibalik putusan-putusan hakim dan undang-undang[125].
( law politics distinction ). Teori ini mengandalkan bahwa, hukum itu dikonstruksikan secara objektif, seperti yang didalilkan oleh Ronald Dworkin,[124] “law is based on “obyective” decicion of principle, while polincs dependen on “subjektive decicion of policy”. Inilah yang ditolak keras oleh GSHK. Mereka menyatakan, tidak mungkin proses-proses hukum (apakah itu dalam membuat undang-undang atau menafsirkannya) berlangsung dalam konteks bebas atau netral dipengaruhi pengaruh moral, agama dan pluralisme politik. Kalangan GSHK kadang mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana ia eksis, dan bagi mereka teori tersebut merupakan bentuk penghindaran terhadap adanya latar belakang politik dan dialogis dibalik putusan-putusan hakim dan undang-undang[125].
Makanya berbeda dengan teori liberal, bagi
kalangan GSHK hukum dikonstruksikan sebagai “negotiable, subjektictive dan poly dependent as politis”.
Menurut Roberto M. Unger ada dua alasan utama mengapa tidak mungkin
membayangkan netralitas dan objektivitas dalam hukum, karena seperti di bawah ini :
First procedure is inseparable from outcame:
every methode makes certain legislatifve choices more likely than other……….
Second, each law making sistem it self embodies certain values; it
incorporateas a view of haw power ought to be ditrubuted in the society and how
conflicts should be recolved.[126]
Dengan mengacu kepada proses-proses empiris pembuatan kebijakan hukum, Unger menunjukkan
betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik. Analisis hukum yang hanya
memusatkan pengkajian pada segi-segi
doktrinal dan asas-asas hukum semata dengan demikian mengisolasikan hukum dari
konteksnya. Sebab hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan
direkonstruksi secara sosial.[127]
Kritik terhadap teori pemisahan hukum
dan politik yang dipaparkan di atas, hanya merepresentasikan salah satu aspek dari kritik GSHK terhadap
tradisi hukum liberal. Meskipun demikian, lewat uraian
singkat mengenai kritik terhadap asas pemisahan hukum dan politik, apa yang
ingin diungkap GSHK sebetulnya juga ikut tersibak, yaitu menggunakan
kontradiksi internal di dalam teori hukum liberal. Maksudnya adalah kesenjangan
yang tajam antara apa yang diidealkan dan apa yang ada dalam realis.
Kesenjangan inilah yang menurut kalangan
GSHK menyebabkan dan gagal
memahami secara koheren antara aturan ( rules ) di satu pihak dengan nilai-nilai
( values ) di pihak lain. Di
sinilah letaknya apa yang dikatakan di
muka sebagai “self-contradiction”
atau “incoherent” di dalam struktur
internal pemikiran
( doktrin ) hukum liberal itu. Sebagai akibatnya adanya kontradiksi-kontradiksi internal, menurut Roberto M. Unger [128] “Inabalit, to arrive at a coherent understanding it the relation between rules and values in social life”.
( doktrin ) hukum liberal itu. Sebagai akibatnya adanya kontradiksi-kontradiksi internal, menurut Roberto M. Unger [128] “Inabalit, to arrive at a coherent understanding it the relation between rules and values in social life”.
2.6
Wacana
Teoretik Tentang Pembentukan Hukum
Sebagai sarana
pengintegrasi sosial, hukum tidak akan mungkin bekerja dalam ruang hampa.
Menurut Harry C. Bredemeier, ketika hukum bekerja dalam sebuah tatanan sosial,
maka ia akan selalu mendapatkan asupan dari bidang-bidang yang lain seperti
bidang ekonomi, politik, dan budaya. Asupan yang diterima oleh hukum itu
menjadi masukan ( input ) dan keluaran ( ouput ) yang dikembalikan ke dalam
masyarakat.[129] Lebih lanjut Harry C. Bredemeier mengatakan, itulah sebabnya hukum dalam
realitasya berfungsi sebagai faktor pengintegrasian masyarakat, maka hukum
harus mampu menyelesaikan konflik secara
tertib, sebagaimana yang dikatakan oleh Bredemeier :
”The law fungtiono of the las is
the orderly resolotion of conflict. As
this implies, “the law” ( the clearest model of which J. Shall take to be the court
system ) is brought into
operation after there violted by someove else”[130]
Mengikuti alur pemikiran yang demikian itu,
maka dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan sosial, hukum harus
menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan
kualitas yang berbeda-beda. Dalam garis besarnya aktivitas tersebut berlangsung
dalam dua proses hukum, yakni proses
pembuatan hukum dan proses implementasi hukum. Apabila ingin berbicara lebih
pasti, maka proses pembuatan hukum itu sesungguhnya mengandung pengertian yang
sama dengan istilah proses pembuatan
undang-undang, untuk istilah proses implementasi hukum lazim orang
menggunakan istilah proses penegakan
undang-undang,[131]
sekalipun pada prinsipnya proses hukum tersebut juga mengupayakan agar
substansi dari suatu undang-undang dapat
dijalankan atau ditegakkan.
Pada kesempatan lain Satjipto Rahardjo mengatakan perlunya pemikiran
tentang model penegakan hukum yang disebut penegakan hukum progresif. Secara
konseptual, keadilan progresif diharapkan mampu menghasilkan keadilan
substantif yang didikotomikan dengan keadilan prosedural[146]. Lebih
lanjut Satjipto Rahardjo menyebutkan ada dua determinasi penting dalam
penegakan hukum progresif. Pertama, determinasi
dari komponen penegakan hukum yang meliputi hakim, jaksa, polisi dan advokat. Di antara mereka, perlu
duduk bersama menyamakan persepsi. Suatu tindakan yang tidak mungkin dapat
dilakukan bagi mereka yang mengukuhi hukum liberal. Kedua, determinasi mengenai tujuan yang akan dicapai. Penegakan
hukum harus beringsut dari permainan kata ke pencarian makna sosial. Persamaan persepsi dapat dicapai
manakala masing-masing penegak hukum mampu melihat dalam demensi luas bukan
sekadar kepastian melainkan juga kemanfaatan hukum. Senada dengan pandangan
Satjipto Rahardjo tentang penegakan hukum yang progresif adalah Binawan
mengatakan, sekalipun secara konseptual ada keadilan prosedural dan keadilan
substantif, namun pertentangan antara keadilan prosedural dan keadilan progesif
adalah hal yang normal sebab ada ketegangan internal yakni ketegangan antara
kepastian hukum ( certainty ) dan
keadilan ( justice ), merupakan
dua cita-cita pokok hukum[147]. Di
satu sisi, keadilan prosedural mengedepankan kepastian hukum sedangkan keadilan
progesif mengedepankan keadilan dalam arti luas dan dinamis.
Secara lebih lengkap Wilhelm Lundsted[148]
menegaskan bahwa hukum baru memiliki
makna setelah ditegakkan. Tanpa
penegakan, hukum bukan apa-apa. Menurutnya tanpa substansi hukum pun,
sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para
hakim untuk menciptakan hukum[149]. Lebih
lanjut Wilhelm Lundsted justru menegaskan bahwa aturan bertingkah laku tersebut
bukan apa-apa. Pendapat itu mungkin cukup masuk akal bagi Indonesia karena
terbukti bahwa dengan banyaknya aturan, ternyata juga makin banyak tuntutan.
"Berikanlah aku
hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik maka dengan hukum yang
buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang baik”.
Sifat baik dari aparat tersebut mencakup integritas moral serta
profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas
akan dapat mengarah kepada rekayasa yang
tidak dilandasi moral. Sementara integritas saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang keluar dari jalur-jalur hukum.
Masalah lainnya dalam implementasi atau
penegakan hukum adalah cara memaknai atau interpretasi terhadap suatu produk
undang-undang. Perbedaan interpretasi terhadap undang-undang seringkali menjadi
sumber konflik hukum di masyarakat[151].
Secara umum setiap produk perundang-undangan yang
dihasilkan oleh pembuat undang-undang akan tergambar dengan sendirinya maksud
dan tujuan dibuatnya undang-undang bersangkutan. Begitu pula makna dari setiap
konsep yang digantikan. Akan tetapi ada
pula undang-undang yang tidak begitu jelas maksud dari pembuatnya dan makna
dari setiap konsep yang termaktup di dalamnya.
Dalam perspektif Hermeneutika [152], interpretasi yang ideal adalah menggunakan dua
cara, yaitu interpretasi oleh pembuat
undang-undang atau ”interpretasi
autentik[153] dan interpretasi menurut konteks pembacanya atau
zamannya. Dengan menggunakan kedua interpretasi ini akan terhindar dari
dogmatisme berpikir, karena kebenaran
dalam ilmu selalu bersifat nisbi dan tidak pernah mengenal ketunggalan.
Dia selalu bersifat tentatif dari waktu ke waktu akan selalu mengalami perubahan dan
kemajuan. Makna inilah yang selalu
dikumandangkan Hegel dalam filsafatnya bahwa yang benar adalah keseluruhan.[154] Makna terdalam dari filsafat Hegel ialah setiap
pengetahuan dan pengertian yang baru selalu bersifat dialektis, karena selalu
menggeser pengertian yang kurang tepat. Dengan mendasarkan pada filsafat Hegel
inilah, maka dapat ditarik suatu kongklusi interpretasi sebagai upaya manusia
untuk memahami tentang sesuatu ( something of something ).[155] Adalah
suatu kekeliruan epistemologis, bila hanya mengandalkan pada satu interpretasi
yang belum tentu dapat menangkap dengan tepat sesuai makna yang terkandung pada
sebuah teks perundang-undangan.
2.7 Implementasi dan Berlakunya Hukum
Menurut Soerjono Soekanto[156], ada lima faktor yang memberikan
kontribusi pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu pertama, faktor hukum ( subtance
) atau peraturan perundang- undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak
yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan
dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat,
faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di
mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku
masyarakat. Kelima, faktor
kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo[157], membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam
proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni
yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut,
maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses
penegakan hukum. Pertama, unsur
pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan
hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga,
unsur lingkungan yang meliputi
pribadi warga negara dan sosial.
Kedua pandangan di atas tampaknya saling
berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat
direduksikan menjadi tiga unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo.
Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula
dirinci lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto. Melengkapi kedua pandangan di atas, menarik juga diperhatikan
pandangan Jerome Frank, tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam
proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini meliputi selain faktor
kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta
simpati dan antipati pribadi[158] .
Dari beberapa proposisi di atas, dapat memberikan
gambaran yang jelas tentang proses penegakan hukum yang meliputi tahapan
pembuatan hukumnya, tahapan pemberlakuan dan penegakannya sampai pada tahap
pelaksanaan putusannya, adalah bersifat dinamis dan kontekstual. Dinamis dalam
arti corak dan bentuknya mengikuti dinamika dari waktu ke waktu, sedangkan kontekstual
dalam pengertian terkait erat pada interaksi berbagai faktor pendukung
sebagaimana disebutkan di atas.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya sebagai
undang-undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-undang
dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan kemudian
diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan kepentingan dan
tujuan serta untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada. Secara ideal
kepentingan-kepentingan yang dilindungi tersebut meliputi kepentingan
individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD[159] sampai
pada kesimpulan, bahwa dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai
refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain
kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi
dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan
bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik hukum,
politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum
selalu berada pada posisi yang lemah[160].
Kondisi demikian menurut Sri Soemanti[161]
mengeksplisitkan bahwa perjalaam politik di Indonesia tidak ubahnya seperti
perjalanan kereta api di luar relnya, artinya banyak sekali praktik politik
yang secara substantif bertentangan aturan-aturan hukum.
Statemen-statemen di atas memberikan penegasan, bahwa di dalam realitas
empirisnya politik sangat menentukan
bekerjanya hukum, mulai sejak proses
pembentukan sampai dengan tahap implementasinya. Menurut Moh Mahfud[162],
pengaruh politik akan berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses
pembuatannya. Mahfud kemudian sampai pada kesimpulan bahwa, hubungan
kausalitas antara hukum dan politik, khususnya dalam bidang hukum publik tampak
dengan jelas bahwa sistem politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk
hukum yang berkarakter responsif atau populistik sedangkan sistem politik yang
otoriter senantiasa melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks atau koservatif.[163]
Secara juridis dan ideologis, instansi penegak hukum dan aparat penegak
hukum di Indonesia merupakan suatu kesatuan sistem yang terintegrasi dalam
membangun satu misi penegakan hukum. Konsepsi ideologis demikian tidak atau
kurang melihat kondisi wilayah dan faktor sosio-kultural masyarakat yang
heterogen serta faktor-faktor personal dari aparat penegak hukum sendiri yang
juga dalam kenyataannya sangat heterogen.
Statemen di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kendatipun penegakan
hukum secara prinsip adalah satu, namun secara substantif penegakan hukum,
penyelesaian perkara akan melibatkan seluruh integritas kepribadian para
aparat penegak hukum yang terlibat di dalamya. Dalam hal ini Satjipto Rahardjo[164]
mengemukakan, bahwa kita tidak bisa
menutup mata dari kenyataan, bahwa para penegak hukum sebagai kategori manusia
dan sebagai jabatan, akan cenderung memberikan penafsirannya sendiri terhadap
tugas-tugas yang harus dilaksanakannya sesuai dengan tingkat dan pendidikan,
kepribadiannya dan masih banyak faktor-faktor pengaruh lain lagi.
Dalam rangkaian mekanisme penegakan hukum yang meliputi tahap pembentukan hukum
dalam berbagai fasenya, dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa keberhasilan
atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah
dimulai sejak peraturan hukum dijalankan itu dibuat. Dengan demikian terlihat
betapa besarnya peranan penegak hukum yang menduduki posisi sebagai anggota
badan legislatif yang merupakan salah satu mata rantai mekanisme penegakan
hukum[165].
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie[166], norma
hukum dapat berlaku karena beberapa pertimbangan filosofis, pertimbangan
juridis, pertimbangan sosiologis, pertimbangan politis dan pertimbangan yang
bersifat administratif.
1.
Keberlakuan
Filosofis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara
filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai
filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti dalam pandangan Hans Kelsen
mengenai ”gerund-norm” atau dalam
pandangan Hans Nawiasky tentang "staatsfundamentalnorm",
pada setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau
nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari Segala sumber
nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan.[167]
Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis negara
Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai ”staatsfundamentalnorm". Di dalam rumusan kelima sila
Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa,
humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam
ikatan berbhineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas
keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-nilai
filosofis tersebut yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum
yang terdapat dalam berbagai kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Keberlakuan Juridis
Keberlakuan juridis adalah keberlakuan norma hukum dengan daya ikatnya
untuk umum sesuatu dogma. yang dilihat dari pertimbangan
bersifat teknis
juridis. Secara juridis, suatu norma hukum itu dikatakan berlaku apabila norma
hukum sendiri memang (i) ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum
yang lebih superior atau yang lebih tinggi seperti dalam pandangan Hans Kelsen
dengan teorinya “Stuffenbau Theorie des Recht”[168] (ii) ditetapkan mengikat atau berlaku karena
menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya seperti dalam pandangan J.H.A. Logemann[169] (iii)
ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang
berlaku seperti dalan pandangan W. Zevenbergen[170], dan
(iv) ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwewenang untuk
itu. Jika ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka
norma hukum yang bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis.
3.
Keberlakuan Politis
Suatu norma hukum
dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang didukung
oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata ( riele machtsfactoren ). Meskipun norma yang bersangkutan
didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita
filosofis negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa
dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang
bersangkutan tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan
sebagai hukum. Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan
teori kekuasaan ( power theory ) yang pada gilirannya memberikan
legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut pandang
kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan,
apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut
dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma
hukum yang bersangkutan dari segi politik.
4.
Keberlakuan Sosiologis
Pandangan sosiologis
mengenai keberlakuan ini cenderung lebih mengutamakan pendekatan yang empiris
dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan (
recognition theory), (ii) kriteria
penerimaan ( reception theory ), atau (iii) kriteria faktisitas hukum.
Kriteria pertama ( principle of recognition ) menyangkut sejauh mana
subjek hukum yang diatur memang mengakui keberadaan dan daya ikat serta
kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan.
Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat, maka secara
sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku baginya.
Kriteria penerimaan
sebagai kriteria kedua (principle of reception) pada pokoknya berkenaan
dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk menerima daya-atur,
daya-ikat, dan daya-paksa norma hukum tersebut baginya. Inilah yang dijadikan
dasar Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa di Hindia Belanda dahulu yang
berlaku adalah hukum adat, bukan hukum Islam. Menurutnya, kalaupun hukum Islam
itu secara sosiologis dapat dikatakan berlaku, maka hal itu semata-mata
disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat hukum adat sudah meresepsikannya ke
dalam tradisi hukum adat masyarakat setempat[171]
Sedangkan kriteria ketiga
menekankan pada kenyataan faktual (faktisitas
hukum), yaitu sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh
berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Meskipun suatu norma hukum
secara juridis formal memang berlaku, diakui ( recognized ), dan diterima ( received ) oleh masyarakat sebagai sesuatu yang memang
ada ( exist ) dan
berlaku ( valid ), tetapi
dalam kenyataan praktiknya sama sekali tidak efektif, berarti dalam faktanya
norma hukum itu tidak berlaku. Oleh karena itu, suatu norma hokum baru
dapat berlaku secara sosiologis apabila norma dimaksud memang berlaku menurut
salah satu kriteria tersebut.
Dalam perspektif
implementasi hukum bidang politik, kajian sosiologis hukum menjadi lebih
menarik, terutama dalam penyelesaian sengketa politik, yang memperlihatkan
banyaknya variabel yang ikut berpengaruh, namun sekaligus memperlihatkan
keefektifan penyelesaian perkara politik di luar jalur pengadilan, yang
dilakukan dengan melalui mediasi oleh pihak ketiga. Hal itu menunjukkan, bahwa
keadilan tidak hanya dapat diperoleh di
pengadilan, tetapi lebih jauh dari
itu, keadilan yang sebenarnya muncul
kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa.
2.8
Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep
hukum[172] yang
dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini
berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana,
pembentukannya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap
kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan
kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam
masyarakat itu. Dalam masyarakat negara yang menganut sistem Eropa Kontinental
atau tradisi hukum sipil, pembentukannya dilakukan oleh badan legislatif.
Sedangkan dalam masyarakat negara yang menganut tradisi hukum kebiasaan ( common law ) kewenangannya terpusat
pada hakim ( judges as a centralof legal
creation )[173].
Dalam perkembangannya, terutama di negara-negara ketiga, berkecenderungan
untuk menggabungkan kedua tradisi itu. Kecenderungan ini tidak hanya terlihat
pada negara-negara ketiga, tetapi juga pada negara-negara yang pada mulanya
secara ketat memegang salah satu dari kedua tradisi besar itu, seperti Inggris,
negara-negara Eropa, dan Amerika. Kecenderungan ini ini tampak sebagai
penjelajahan baru peradaban manusia dalam bidang hukum untuk mendapatkan
formulasi paling ideal bagi usaha perwujudan tujuan-tujuannya sebagai suatu
negara hukum.
Memang ada
sedikit perbedaan antara perkembangan di Eropa kontinental dan Inggris. Di
Eropa yang mendasarkan pada hukum legislasi atau tertulis perkembangan
berjalan lebih cepat daripada Common Law di Inggris yang lebih
bersikukuh pada hukum tradisionalnya. Hukum Romawi yang coba dibawa ke Inggris
pada abad ke-enam ditolak karena akan mengganggu kontinuitas perjalanan hukum
yang berbasis tradisi itu ( Common Law ). Penolakan tersebut menjelaskan
mengapa Inggris tidak menyukai hukum yang dibuat melalui badan
perundang-undangan. Positivisme Inggris berbeda dari pada positivisme Eropa
Daratan.
Formulasi
kombinatif kedua tradisi di atas memberikan kecenderungan pembentukan hukum
dapat dilakukan baik oleh hakim, lembaga legislatif, maupun badan-badan
administratif yang melakukan fungsi semacam itu. Risikonya memang tidak kecil
karena perluasan fungsi semacam itu dapat mengaburkan kompetensi dari setiap
komponen pembentuk hukum. Di samping secara kuantitas hukum menjadi sangat
kompleks, perluasan itu juga dapat mengakibatkan overlapping substansi atau
perselisihan pandangan tentang suatu gejala hukum. Maka masalah serius yang segaris dengan lintasan masalah ini
adalah kekaburan hukum.
Negara Indonesia
sebagai negara hukum, konsep hukumnya mengikuti Eropa Kontinental, dimana
pembentukan hukumnya dilakukan oleh badan legislatif atau disebut dengan Dewan
Perwakilan Rakyat ( DPR ). Landasan Juridis pemberian kewenangan kekuasaan
pembentukan undang-undang kepada badan legislatif atau DPR didasarkan pada pertama, UUD 1945, yang merupakan hukum
dasar dan hukum tertinggi ( gerundgezetz,
groundwet ) yang menjadi bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang
ada di bawahnya. Pada Pasal 20 UUD
1945, Ayat (1) dikatakan : ”Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk”[174].
Kemudian ayat (2) : ”Setiap rancangan
undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama”.[175] Juga dalam ayat (5) : dikatakan : ”Dalam hal rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh
hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang
terebut sah menjadi undang-undang”.
Oleh perancangnya, Ayat (5)
dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan karena sesuatu hal Presiden tidak
mau memberikan persetujuannya dan untuk menghindari keterlambatan dalam proses
pembentukan undang-undang karena pihak pemerintah tidak mau atau mengulur waktu
untuk memberikan persetujuan. Kemungkinan lain ayat (5) dimaksudkan untuk
mensejajarkan kewenangan dalam pembentukan undang-undang antara DPR dengan
Presiden[176].
Landasan Juridis kedua, yaitu UU
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Kewenangan DPR dalam pembentukan undang-undang secara rinci dalam undang-undang
ini diatur dalam Bab IV tentang
”Perencanaan Penyusunan Undang-Undang” dan
Bab V tentang ”Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan” ( Pasal 17 sampai Pasal 25 ).
Dalam Bab II tentang Asas Peraturan Perundang-undangan berisi Pasal 5, 6, dan 7 UU Nomor 10 Tahun 2004, ditentukan bahwa dalam
“membentuk” Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas-asas yang dimaksud itu
meliputi :
a.
Kejelasan tujuan;
b.
Kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat;
c.
Kesesuaian antara jenis dan materi
muatan;
d.
Dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan
kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan' adalah, bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai. Yang dimaksud dengan asas "kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat” adalah, bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal
demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Sedangkan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah
bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangannya. Asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa,
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas
peraturan perundang-undangan di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
Juridis maupun sosiologis. Sedangkan yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan
dan kehasilgunaan" adalah bahwa, setiap Peraturan Perundang-undangan
dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Asas lain yang juga disebut di atas adalah asas "kejelasan
rumusan", yaitu bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika,
dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Sementara itu, yang dimaksud sebagai asas "keterbukaan" adalah
bahwa, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
sama untuk seluas-luasnya memberikan masukan dalam proses pembuatan atau
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 6 ayat (i) UU No. 10 Tahun 2004 juga menentukan adanya
asas-asas yang harus terkandung dalam materi muatan setiap peraturan
perundang-undangan. Asas-asas yang dimaksud adalah asas :
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah, bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Selain itu,
dianut pula adanya "asas kemanusiaan", yaitu bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional. Sedangkan "asas kebangsaan" adalah
bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan dan
watak bangsa Indonesia yang pluralistik (
kebhinnekaan ) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, yang dimaksud dengan asas ”kekeluargaan"
adalah bahwa, setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan. Asas yang lain adalah "asas
kenusantaraan”, yaitu bahwa, setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang
dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila. "Asas Bhinneka Tunggal Ika" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dam
bernegara.
Demikian pula dengan "asas
keadilan" dapat dipahami dengan
pengertian bahwa, setiap materi muatau peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. "Asas
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. "Asas
ketertiban dan kepastian hukum" adalah bahwa, setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan ”asas
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah bahwa, setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara.
Selain asas-asas tersebut di atas, peraturan perundang-undangan tertentu
dapat pula berisi asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya, dalam bidang hukum
pidana dikenal luas antara lain adanya asas-asas, seperti asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), asas pembinaan
narapidana, dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Semua
asas ini berlaku dalam bidang hukum
pidana yang dapat ditambahkan dalam rangka asas-asas seperti yang dimaksud di
atas. Sementara itu, dalam bidang hukum perdata, dapat dikemukakan pula contoh,
seperti adanya asas-asas yang bersifat universal, seperti asas ikatan
kesepakatan ( sanctity of contract ), asas kebebasan berkontrak (
freedom of contract ), dan asas itikad baik
( te goede trouw ).
( te goede trouw ).
2.9
Pembentukan
Undang-Undang yang Demokratis
Pembahasan tentang pembentukan undang-undang yang demokratis tidak bisa
dilepaskan dari studi sosiologi hukum[177].
Apabila memang demikian, maka pembentukan undang-undang akan dilakukan dengan
melihat dan menempatkan aktivitas tersebut dalam suatu konteks yang lebih
substansial daripada artifisial. Yang dimaksud artifisial adalah penyusunan undang-undang yang dikenal sebagai
legal drafing yang melihat penyusunan undang-undang pada kaidah-kaidah
konvensional-juridis-teknis. Berbeda dengan karakteristik tersebut, sosiologi
hukum tidak membahasnya sebagai suatu pekerjaan yang bersifat teknik dan
spesialistis, melainkan sebagai aktivitas masyarakat secara keseluruhan.
Ditempatkan pada model ”sociological
jurisprudence” Donald Black, maka penyusunan undang-undang akan dibicarakan
sebagai suatu aktivitas yang melibatkan struktur sosial dan perilaku masyarakat[178]. Disebabkan oleh kehadiran faktor struktur
sosial tersebut menjadi relevanlah untuk membicarakan penyusunan undang-undang
demokratis. Penyusunan undang-undang yang demokratis tidak lain merupakan satu
aspek dari pembuat undang-undang dalam suatu konteks struktur sosial tertentu.
Dari perspektif sosiologi hukum, pokok
pembicaraan mengenai penyusunan undang-undang yang demokratis termasuk cukup
relevan, semata-mata atas dasar pertimbangan, bahwa tindakan dan pekerjaan
dalam masyarakat tidak pernah dapat diisolasikan secara steril, tetapi saling
berhubungan antara subsistem yang satu
dengan subsistem yang lainnya.
Melihat penyusunan undang-undang sebagai
aktivitas masyarakat secara keseluruhan, mendorong kita untuk mempertanyakan
kembali konstatasi-konstatasi tradisional dan stereotopis tentang pekerjaan
tersebut. Konstatasi stereotopis adalah isue-isue yang ditanamkan dalam
pembuatan undang-undang, seperti bahwa undang- undang itu “mengatur
masyarakat”, ”menertibkan masyarakat”, ”melindungi kepentingan umum”, dan
”menimbulkan efek yang dikehendaki”. Dalam doktrin normatif-legalistik yang
mendominasi pemikiran hukum, pertanyaan-pertanyaan tersebut dilampaui saja ( taken for granted ). Dengan demikian maka membuat undang-undang memang identik dengan mengatur
dan menertibkan masyarakat, melindungi masyarakat dan sebagainya. Sosiologi
hukum mempertanyakan kembali semua yang selama ini dalam doktrin normatif
diterima sebagai sesuatu yang sudah mapan, sehingga tidak perlu diragukan dan
dipertanyakan lagi. Pertanyaan itu adalah : apakah hukum itu benar-benar
melakukan hal-hal yang ingin ia lakukan ( doing
what is said to do ), apakah hukum
itu memang sungguh-sungguh mengatur rakyat atau masyarakat ( really ordering people ), dan apakah
hukum itu memang pada akhirnya memberikan efek seperti dikehendakinya ?
Jenis pertanyaan tersebut cukup relevan dalam
sosiologi pembuatan hukum, oleh karena menuntun kita kembali untuk dapat
melihat kepada hakikat hukum sebagai sarana untuk mengatur masyarakat secara
substansial. Melalui koridor pertanyaan tersebut kita akan mampu melihat
penyusunan undang-undang sebagai suatu cara untuk memajukan dan
melindungi kepentingan tertentu atau mengutamakan suatu kepentingan di atas
yang lain. Informasi yang demikian itu tentunya sangat relevan untuk mengetahui
apakah suatu undang-undang itu disusun secara demokratis atau tidak.
Selama ini pembuatan undang-undang lebih menitikberatkan pada kebenaran
prosedur saja, yang manakala suatu undang-undang sudah dibuat melalui prosedur
yang ditentukan, menjadilah ia undang-undang yang baik. Dari kaca mata
sosiologi hukum tidak cukup hanya sampai di situ, karena ingin tahu secara
lebih mendalam, seperti bagaimanakah muatan kepentingan undang-undang itu,
misalnya seberapa besar kepentingan fraksi-fraksi kecil terakomodir dalam
undang-undang tersebut. Apabila berbicara mengenai prosedur pembuatan
undang-undang, misalnya dilihat apakah undang-undang itu sudah dibuat menurut
tata cara yang memungkinkan suara rakyat diutarakan dengan sebaik-baiknya.
Studi hukum yang mulai ditarik keluar dari batas-batas ranah perundang-undangan sudah terjadi sejak dekade
abad dua puluh, yaitu dengan kemunculan sociological jurisprudence yang
dipelopori oleh Roscoe Pound ( 1911 ). Pound mengajukan gagasan tentang suatu
studi hukum yang juga memperhatikan efek sosial dari bekerjanya hukum. Studi
tentang hukum tidak bisa dibatasi hanya tentang studi logis terhadap
peraturan-peraturan hukum dan
penerapannya, melainkan juga akibat yang ditimbulkan terhadap masyarakat[179].
Sejak sosiologi hukum melihat hukum sebagai bagian yang sama sekali tak
dapat dipisahkan dari masyarakat, maka pada waktu kita membicarakan masalah
penyusunan atau pembuatan undang-undang, pendekatan tersebut diterapkan juga.
Di atas sudah dikemukakan, bahwa pekerjaan tersebut tidak dapat dilihat sebagai
suatu kegiatan yang absolut otonom dan steril. Dalam kerangka penglihatan yang
demikian itu, pembuatan undang-undang bukan dilihat sebagai pekerjaan yang
bersifat teknis-profesional, melainkan suatu pekerjaan yang memiliki asal-usul
sosial, tujuan sosial, serta dampak sosial. Oleh Bernard, hal ini disebut
sebagai proses rekonstruksi sosial.[180]
Apabila pembuatan undang-undang dijadikan obyek kajian ilmu pengetahuan,
maka aspek sosial tersebut harus dibicarakan dengan sebaik-baiknya. Tuntutan
tersebut semata-mata didasarkan pada tugas ilmu pengetahuan untuk mengamati
dengan cermat dan menjelaskan hal-hal yang menjadi obyek kajiannya. Tanpa
menempatkan pembuatan undang-undang dalam konteks tersebut di atas sangatlah
sulit untuk membuat deskripsi mengenai realitasnya yang penuh dan penjelasan
yang baik mengenai pembuatan undang-undang itu.
"To know the true
of the community is what constitutes the sciensce of legislation; the art
consists in finding the means to realize that good...”. Begitulah kata-kata pertama Jeremy
Bentham dalam karyanya yang kemudian terkenal dengan, "Theory of Legislation", yang diterbitkan pada Tahun
1975[181].
Dengan demikian studi
terhadap pembuatan undang-undang sudah bersatu belaka dengan studi dan
penelitian sosiologis, oleh karena ia tak dapat melepaskan diri dari “finding
the means to realize the true good of the community”. Bentham menekankan, bahwa obyek
dari pemerintahan dan hukum adalah “the greatest happiness of the
community"[182]. Dengan mematok tujuan tersebut maka ilmu hukum dan
khususnya ilmu pembuatan hukum tidak dapat dipisahkan dari sosiologi hukum[183]. Uraian Bentham mengenai "happiness
of society" tersebut mendekatkan kajian-kajiannya kepada sosiologi
hukum, sejak dengan begitu ia harus membicarakan masalah "pains and
pleasures", "sensibilities",
"ends of law", "disposition", "expectations", dan
lain-lainnya. Dengan bertindak seperti itu Bentham berurusan dengan fakta
sosial, melakukan kajian analitik kontekstual dan taksonomis untuk
mengorganisasikan fakta sosial dalam rangka suatu pengkajian ilmiah. Kajian
Bentham mengenai pembuatan hukum sudah keluar dari analisis teknis legislasi ke
arah pembahasannya di dalam kerangka kehidupan sosial yang lebih besar. Ukuran-ukuran
yang digunakan bukan lagi semata-mata rasionalitas, logika, prosedur dan yang
semacamnya, melainkan hal-hal yang lebih sosiologis sifatnya sebagaimana dapat
dibaca dari kutipan di sekitar Bentham tersebut diatas.
Salah
satu aspek dari sosiologi pembuatan undang-undang adalah penggunaan
undang-undang untuk mewadahi atau menampung permasalahan dalam masyarakat.
Dengan demikian pembuatan undang- undang merefleksikan hal-hal yang tengah
terjadi dalam masyarakat, bagaimana masyarakat mempersiapkannya, bagaimana
keinginannya untuk menyelesaikan, dan bagaimana masyarakat tidak ingin melihat
hal-hal yang terjadi atau menyembunyikannya.
Ditempatkan pada latar belakang tersebut, maka
pembuatan undang-undang dapat merupakan endapan dari konflik-konflik yang
terjadi dalam masyarakat. Dalam hubungan ini Duverger mengatakan bahwa sejak
undang-undang selalu merupakan endapan dari adu kekuatan politik, maka ia juga
memanggil terjadinya konflik-konflik dalam masyarakat[184].
Undang-undang dapat dibuat sebagai sarana
penyelesaian konflik, tetapi sekaligus juga bisa menimbulkan konflik-konflik
baru. Suatu undang-undang yang pada saat diundangkan mendapat pujian, tidak
menutup kemungkinan bagi timbulnya konflik di belakang hari[185]. Dengan
demikian dapatlah dikatakan, bahwa undang-undang menyimpan potensi konflik.
Tentang pembentukan hukum yang demokratis, juga
dapat dijelaskan dengan teori komunikasi dari Habermas.[186] Teori
ini menjelaskan kesejajaran berdialog dalam perumusan hukum. Pengambilan teori
ini untuk menjelaskan pembentukan undang-undang yang demokratis, lebih dasarkan
pada realita, bahwa proses pembentukan undang-undang tidak dapat dipisahkan
dari interaksi komunikasi para legislator. Oleh karena itu dapat dikatakan baik
atau buruknya undang-undang sangat dipengaruhi oleh corak komunikasi atau
dialog para legislator pada saat pembentukan undang-undang[187].
Menurut Habermas, perbincangan ( diskursus ) yang
bisa dikategorikan sebagai perbincangan yang ”baik” harus memenuhi beberapa
syarat. Syarat itu antara lain, adalah
bahwa individu yang terlibat harus sepenuhnya bebas[188],
dipandang dan diperlakukan sejajar, serta mampu berpikir rasional. Dua syarat
pertama penting untuk menciptakan perbincangan yang sungguh fair, sedang syarat
ketiga penting untuk menciptakan pertimbangan yang dapat dipertanggung-jawabkan
secara etis dan moral. Lebih lanjut Habermas mengatakan, kompromi dalam
merumuskan hukum harus memenuhi tiga syarat, yaitu (a) lebih menguntungkan bagi
semua daripada sama sekali tidak ada kesepakatan, (b) menghindari ”penumpang
gelap” ( free riders ) yang menarik diri dari kerja sama, dan (c)
menghindarkan adanya pihak-pihak yang dirugikan, yaitu yang memberi terlalu
banyak bagi kerjasama itu padahal hanya mendapatkan sedikit keuntungan.
Jika semua syarat komunikasi dalam berdialog merumuskan hukum dan kompromi
sebagaimana disyaratkan oleh Habermas tersebut dapat dilakukan dalam proses
pembentukan undang-undang oleh wakil rakyat di DPR, maka dapat dikatakan proses pembentukan
undang-undang telah berjalan secara demokratis. Tetapi sebaliknya, jika syarat
tersebut tidak dapat penuhi, tidak salah jika dikatakan proses pembentukan
undang-undang tidak demokratis[189].
Menurut Satjipto Rahardjo, penyusunan atau pembuat undang-undang, pada dasarnya merupakan suatu aktivitas
yang melibatkan struktur sosial
dan perilaku masyarakat. Di dalam sosial kemasyarakatan yang demokratis, maka akan terdapat
penyusunan undang-undang yang demokratis
pula, sehingga akan menghasilkan sistem dan tatanan hukum yang demokratis. Lebih lanjut Satjipto Rahardjo
mengatakan, kualitas penyusunan undang-undang yang demokratis akan berjalan sesuai
dengan dinamika demokratisasi dalam masyarakat. Untuk menyusun Undang-Undang
yang demokratis, dapatlah ditempuh dengan
menciptakan ”transparansi” dan ”partisipasi” ( lebih besar ) dalam pembuatan
hukum. Sedangkan di dalam masyarakat dan sistem sosial totalitarian, akan
menghasilkan sistem dan tatanan hukum yang totalitarian, meskipun tidak
tertutup kemungkinan hukum
yang totalitarian tersebut dapat muncul dalam tradisi kultur hukum yang biasa/normal[190].
Dari studi ini akhirnya dapat ditarik suatu
kongklusi, yaitu ”pembentukan undang-undang yang demokratis tidak dapat
dipisahkan dari pengaruh lingkungan sosialnya”. Bagaimanapun, pendekatan dan
analisis sosiologi hukum akan menempatkan hukum di dalam konteks, apakah itu
struktur dan perilaku sosial yang melingkupinya. Dalam kontek disertasi
ini, maka tesis tersebut dapat
didiskripsikan sebagai berikut :
1.
Interaksi politik dalam pembentukan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tidak dapat dipisahkan dari struktur politik dan perilaku
politik yang melingkupi. Dalam hal ini yang dimasud struktur dan perilaku sosial adalah struktur
politik dan lingkungan politik pada saat
pembentukan UU tersebut dilakukan.
2.
Struktur dan perilaku politik yang
demokratis sangat berpengaruh pada karakter atau corak undang-undang yang
dihasilkan menjadi undang-undang yang demokratis. Dalam konteks UU Nomor 32
Tahun 2004, tingkat dinamika demokrasi yang terjadi pada saat pembentukan
undang-undang tersebut akan berpengaruh pada muatan atau isi UU Pemda tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar