HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA
A. Berbagai Perspektif Pluralisme Agama
Berbicara
tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi
perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri
dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu
kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal
beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama
adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti.[1] Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang
kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu
tidak dapat pisah darinya.[2] Berdasarkan keyakinan inilah, menurut
Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena
manusia dalam keadaan involved
(terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa
ia involved
(terlibat) dengan Islam.[3] Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam
kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex
yang mengandung religious pluralism,
bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita
harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.[4]
Dapat dicermati bahwa Rasjidi tidak memandang adanya pertemuan dalam masalah-masalah teologis. Pandangan pluralismenya tidak berarti adanya pertemuan dalam hal keimanan, namun hanya merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain. Pandangan pluralismenya tidak sampai masuk pada perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang ada di dalam agama lain. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang hal itu. Namun demikian, ia juga tidak memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis dari agama lain. Kritiknya terhadap agama lain adalah kritik sosial, dalam arti bahwa ia mengritik praktek-praktek misi atau zending dari agama Kristen. Ia mengritik aktivitas misi atau zending tersebut. Ia tidak mengritik berbagai ajaran teologis yang ada di dalam agama Kristen.
Karena itulah pola yang dipakai Rasjidi adalah pola responsif atas persoalan yang berkembang, misalnya tentang kristenisasi, sehingga terkesan defensif. Apa yang dikemukakannya adalah sebuah pembelaan, sebuah dialog bertahan, bukan menyerang. Pembelaan Rasjidi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam disampaikan secara terus-terang dan terbuka, bahkan kadang kalah tidak dapat menghindari munculnya tuduhan, tudingan dalam dalam hal-hal yang empirik (aktual). Ia tidak pernah menutupi sesuatu pun, meskipun hal itu terasa pahit dan keras, misalnya tentang apa yang dilakukan oleh umat Kristen.
Terdapat
kesan bahwa pandangan tentang absolutisme
agama didasarkan oleh kandungan ajaran bahwa pemeluk agama tidak dapat objektif
terhadap kebenaran lain. Bagi umat Islam barangkali didasarkan pada ajaran bahwa
“agama yang paling benar di sisi Allah adalah Islam”.
Pengakuan
pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali
secara sosial tidak mempersoalkan adanya
pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam
hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa
keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum
kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek) yang sama,
masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya
pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Mariam.
Menurutnya, orang Islam melakukan
penghargaan yang tinggi terhadap Mariam dan Jesus. Hal itu merupakan bagian
keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani)
ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai
kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga
tidak hanya memandang al-Qur’an tetapi juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci
(Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini
otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan
berarti bahwa orang Islam selalu menolak
Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun
orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini
terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa
Bibel memuat/mengandung Kalam Tuhan.[5]
Tampak Mukti
Ali ingin menegaskan bahwa masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang
tidak bisa dikompromikan. Islam memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk
mengenai hal-hal yang diyakini oleh umat agama lain, misalnya konsep tentang
Nabi Isa. Begitu juga, Kristen memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk
mengenai hal-hal yang diyakini oleh
Islam, misalnya konsep tentang Nabi Muhammad.
Jadi, pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran
sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan
masing-masing. Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing
agama.
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.[6]
Mukti Ali sendiri setuju dengan jalan “agree in disagreement”. Ia mengakui jalan inilah yang penting ditempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup beragama. Orang yang beragama harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan orang lain juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar.[7]
Wacana pluralisme agama Djohan Effendi berbeda dengan pluralisme Rasjidi dan Mukti Ali di atas. Pengakuan pluralisme Djohan Effendi bukan hanya pengakuan secara sosiologis bahwa umat beragama berbeda, tetapi juga pengakuan tentang titik temu secara teologis di antara umat beragama. Djohan tidak setuju dengan absolutisme agama. Ia membedakan antara agama itu sendiri dengan keberagamaan manusia. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Menurutnya, agama –terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah. Agama memiliki nilai mutlak. Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri bersifat nisbi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia –termasuk kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia—bersifat nisbi, tidak absolut. Yang absolut adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan.[8]
Dengan bahasa lain, Greg Barton menyebut bahwa Djohan Effendi menolak absolutisme agama dan mengakui pluralisme agama.[9]
Djohan mengemukakan:
“Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama, yang ada dalam pikirannya bukan hanya agama sendiri, akan tetapi juga aliran yang dianutnya, bahkan pengertian dan pemahamannya sendiri. Oleh karena itu, pengertian dan pemahamannya tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak dan a priori menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.”[10]
Pemikiran pluralisme Djohan Efendi berangkat dari suatu pemahaman bahwa dakwah (baik Islam maupun Kristen) adalah sesuatu yang penting, tapi ia kurang setuju jika keberagamaan seperti itu bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim satu kelompok). Dari sinilah, menurut Djohan, dialog merupakan sesuatu yang esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar tidak mandeg dan statis.[11] Sekali lagi, Djohan tidak menyetujui absolutisme agama, sehingga paksaan atau kekerasan apapun tidak boleh mendapat tempat di dalam usaha-usaha dakwah. Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah sikap moderat dan liberal terhadap iman lain. Dari situlah, teologi kerukunan akan bisa terwujud. Djohan mengemukakan:
“Dengan pendekatan dan pemahaman yang
menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan manusia, boleh jadi
bisa dikembangkan semacam Teologi Kerukunan, yaitu suatu pandangan keagamaan
yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan
keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran
tidak pernah tertangkap dan terungkap oleh
manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keagamaan seseorang pada
umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya pengaruh lingkungan.” [12]
Djohan membuat garis pembatas yang tegas antara agama dan keberagamaan. Kedua hal ini tidak dapat dicampuraduk. Ia tidak setuju terhadap pandangan keagamaan seseorang –sebagai suatu keberagamaan-- yang dianggap bersifat absolut. Absolutisme keberagamaan adalah tidak benar. Berbagai persoalan yang menimpa umat beragama sering kali disebabkan adanya pandangan bahwa keberagamaan seseorang sebagai satu-satunya yang paling benar, sementara keberagamaan orang lain salah. Inilah yang kemudian menumbuhsuburkan adanya misi, zending, dakwah dan semacamnya.
Menurutnya, Islam secara tegas memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat
al-Qur’an yang menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.”[13] Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan
bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur terhadap-Nya.[14] Menurutnya, Islam sama sekali tidak
menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut
dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap
agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang
merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian,
membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan
kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman.[15] Ia merujuk ayat al-Qur’an yang
menyatakan keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap
mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.[16]
Hal yang sama juga dikemukan oleh
Nurcholis Madjid. Ia mengemukakan ketidaksetujuannya dengan absolutisme, karena
absolutisme adalah pangkal dari segala permusuhan. Ia mengatakan:
“Petunjuk
konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama sekali
suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang rendah atau
kurang menghargai kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang
rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah. Ini mengajajarkan
kita –dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang
percaya kepada Tuhan—tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala
permusuhan.”[17]
Nurcholish menegaskan betapa pentingnya kehidupan
beragama. Ia tidak menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini
adalah agama Islam saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum.
Namun, dengan bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk
agama. Ia mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan
para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang
amat berbahaya.[18]
Nurcholish melihat bahwa peta tahun 1992 sedang ditandai
oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Diakui, agama memang bukan
satu-satunya faktor,[19] tapi jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu
dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peran. Setiap warna keagamaan dalam
suatu konflik seringkali melibatkan agama formal atau agama terorganisir (organized religion). Ia menyebut
tempat-tempat konflik; Irlandia, sekitar Perancis dan Jerman,
Bosnia-Herzegovina, Cyprus, Palestina, Timur Dekat, Afrika Hitam, Sudan, Perang
Teluk, Pakistan, Srilangka, Burma, Thailang, dan Filipina.[20]
Menanggapi
semboyan yang diperkenalkan oleh futurolog, John Naisbitt dan Patricia
Aburdene, Spiritualiy, Yes; Organized
Religion, No, Nurcholish menyatakan bahwa semboyan itu mengandung makna
prinsipil daripada semboyan yang pernah ia kemukakan 20 tahun sebelumnya
–“Islam, Yes; Partai Islam, No”.
Nurcholish mengaku mengalami kesulitan besar, bahkan kemustahilan, untuk
dapat menerima kebenarannya. Ia juga menegaskan bahwa semboyan Spirituality, Yes; Organized Religion, No,
agaknya tidak memiliki pijakan yang kuat.[21]
Artinya, agama-agama resmi memang masih menjadi fenomena yang banyak memainkan
peran dalam kehidupan manusia.
Merujuk pada Kitab Suci al-Qur’an, Nurcholish
menegaskan bahwa setiap umat atau golongan manusia telah pernah dibangkitkan
atau diutus seorang utusan Tuhan, dengan tugas menyeru umatnya untuk menyembah
kepada Tuhan saja (dalam pengertian paham Ketuhanan Yang Maha Esa yang murni). Ia mengutip Surat al-Nahl (16): 36. Berdasarkan firman-firman Allah itu dikatakan
bahwa:
“... semua agama Nabi dan Rasul
yang telah dibangkitkan dalam setiap umat adalah sama, dan inti dari
ajaran semua Nabi dan Rasul itu ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dan perlawanan
terhadap kekuatan-kekuatan tiranik. Dengan perkataan lain, Ketuhanan Yang Maha
Esa dan perlawanan terhadap tirani adalah titik pertemuan, common platform atau, dalam bahasa al-Qur’an, kalimatun-sawâ’ (kalimat atau ajaran yang sama) antara semua kitab
suci.”[22]
Menurut Nurcholish, kesamaan-kesamaan yang ada dalam
agama-agama bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang
benar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah, Yang Maha Benar (al-Haqq). Semua Nabi dan Rasul membawa
ajaran kebenaran yang sama. Sementara itu, adanya perbedaan itu hanyalah dalam
bentuk-bentuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan
tempatnya. Ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran
pokok atau syariat para Nabi dan Rasul adalah sama. Dalam rangka menjelaskan
hal ini, ia mengutip al-Qur’an, yakni dalam Surat Al-Syûrâ (42):13, al-Nisâ’ (4):163-165, al-Baqarah (2):136,
al-Ankabût (29):46, Al-Syûrâ (42):15, dan al-Mâidah (5):8. Ayat-ayat yang
dikutip itu berkenaan dengan kesamaan antara syariat Muhammad dengan syariat Nuh,
Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, Ayyub, Yunus, Harun, Musa, Sulaiman, Dawud,
Isa dan kepada rasul-rasul yang tidak dikisahkan kepada Muhammad.[23] Ayat-ayat itu menunjukkan adanya
kesinambungan, kesatuan dan persamaan agama-agama para Nabi dan Rasul Allah.
Nurcholish mengritik masyarakat sekarang ini, baik Muslim maupun yang bukan,
karena banyak yang tidak menyadari adanya pandangan itu.
Menjelasakan tentang titik temu agama-agama, ada empat prinsip yang dikemukakan oleh
Nurcholish. Pertama, Islam mengajarkan
bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya
kepada setiap umat manusia. Kedua,
Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang
percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama
yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya,
khususnya yang secara “genealogis”
paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik
dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab).[24] Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada paksaan dalam
agama”.
Menurut Nurcholish, pandangan-pandangan inklusivitas amat
relevan untuk dikembangkan pada zaman sekarang, yaitu zaman globalisasi berkat
teknologi informasi dan transportasi, yang membuat umat manusia hidup dalam
sebuah “desa buwana” (global village). Ia menegaskan:
“Dalam desa buwana itu, seperti telah disinggung,
manusia akan semakin intim dan mendalam mengenal satu sama lain, tetapi
sekaligus juga lebih mudah terbawa kepada penghadapan dan konfrontasi langsung.
Karena itu sangat diperlukan sikap-sikap saling mengerti dan paham, dengan
kemungkinan mencari dan menemukan titik kesamaan atau kalimatun sawa’ seperti diperintahkan Allah dalam al-Qur’an. Dengan
tegas al-Qur’an melarang pemaksaan suatu agama kepada orang atau komunitas
lain, betapapun benarnya agama itu, karena akhirnya hanya Allah yang bakal
mampu memberi petunjuk kepada seseorang, secara pribadi. Namun, demi
kebahagiaannya sendiri, manusia harus terbuka kepada setiap ajaran atau
pandangan, kemudian bersedia mengikuti
mana yang terbaik. Itulah pertanda adanya hidayah Allah kepada mereka. Dan
patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana
dikutip oleh ‘Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahl al-kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen
seperti tersebut dengan jelas dalam al-Qur’an serta kaum Majusi (pengikut
Zoroaster) seperti tersebut dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama
lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.”[25]
Nurcholish
menyinggung tentang bagaimana sikap keberagamaan yang benar. Ia menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyah al-samhah,
agama yang memiliki semangat kebenaran yang lapang dan terbuka. Ia
mengemukakan:
“Sikap
mencari Kebenaran secara tulus dan murni (hanîfiyyah,
kehanifan) adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan
sejati, dan yang tidak bersifat palliative
atau menghibur secara semu dan palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme.
Maka Nabi pun menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyah al-samhah (baca:
“al-hanîfiyyatus-samhah”) yaitu semangat mencari kebenaran yang
lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.”[26]
Oleh karena itu,
umat Islam tidak dilarang untuk berbuat baik dan adil kepada siapapun dari
kalangan bukan Muslim yang tidak menunjukkan permusuhan, baik atas nama agama
atau lainnya, seperti penjajahan, pengusiran dari tempat tinggal dan bentuk
penindasan yang lain.[27]
Sementara itu,
Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme bukan dalam pengertian
pluralisme yang dikemukakan oleh Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid di muka. Ia menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun
juga.[28] Pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan
berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Sikap toleran tidak bergantung pada
tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara
alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus
kaya dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka
yang tidak pintar juga tidak kaya, yang
biasanya disebut “orang-orang terbaik’.[29] Gus Dur memberi contoh sebagaimana
yang dilakukan oleh Kyai Iskandar, dengan cara bergaul secara berbaur dalam
masyarakat.
Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.[30] Apa yang disampaikan oleh Gus Dur sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.
Berkenaan dengan makna salah satu ayat al-Qur’an Surat Al-Fath (48) ayat 9 yang berbunyi “Asyiddâ-u âlâ al-Kuffârm ruhamâ-u bayna hum, ia memahami bahwa ada perbedaan antara orang non-Muslim sekarang dengan kaum kafir yang memerangi agama Islam (dalam konteks ayat itu adalah kaum kafir Mekkah). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengembangkan sikap permusuhan kepada mereka selama tidak memerangi agama Islam. Selain itu, menurutnya, esensi “saling menyantuni” justru terletak pada sikap-sikap di mana kita bisa saling mengoreksi sesama orang Islam. Nabi pernah mencontohkan, bahwa jika Fatimah (putri beliau) melakukan pencurian maka ia tetap harus dihukum. Jadi, sikap santun tidak boleh dengan standar ganda atau tidak boleh mengabaikan keadilan kepada siapa pun, termasuk orang berlainan agama.[31]
Kemudian, berkenaan dengan bunyi ayat al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 120 (Wahai Muhammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sampai kamu ikuti agama mereka, Gus Dur memandang bahwa ayat ini sering digunakan untuk membenarkan sikap dan tindakan anti-toleransi, karena kata “tidak rela” di sini dianggap melawan atau memusuhi, lalu dikaitkan dengan pembuatan gereja-gereja, penginjilan atau pekabaran Injil, dan sebagainya. Menurutnya, kata “tidak rela” harus didudukkan secara proporsional. Tidak rela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Tentu saja, ini tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Tidak menerima konsep dasar bukan berarti mesti mengembangkan sikap permusuhan atau perlawanan. Kristen dan Yahudi tidak bisa menerima konsep dasar Islam adalah sudah pasti. Begitu juga sebaliknya, Islam juga tidak bisa menerima konsep dasar agama Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, menurutnya, kita tidak akan goyang dari konsep Tauhid, tapi kita menghargai pendapat orang lain. [32] Pendapat orang lain ini tentu saja berarti keyakinan orang lain.
Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen
penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya
untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud
dengan pluralisme adalah (1) tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan
aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama
adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak
agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. (2) pluralisme harus dibedakan dengan
kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka
ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi
positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun
ada. (3) konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena,
konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus
dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”. Oleh karena itu, seorang
relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang
berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun demikian, paham pluralisme
terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal
(monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada
pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme
yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. (4) pluralisme agama
bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur
tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian
integral dari agama baru tersebut.[33]
Satu hal yang ditegaskan oleh Alwi adalah apabila konsep
pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka ia harus bersyaratkan
komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam
berinteraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri,
belajar dan menghormati mitra dialognya, tetapi yang terpenting ia harus committed terhadap agama yang dianutnya.
Hal ini untuk menghindari relativisme agama. Ia menekankan perlunya membudayakan
sikap keterbukaan, menerima perbedaan, dan menghormati kemajemukan agama,
dibarengi loyalitas komitmen terhadap agama masing-masing. [34]
Alwi menegaskan, Islam sejak semula menganjurkan dialog
dengan umat lain. Dikatakan, terhadap pengikut Isa a.s. dan Musa a.s.,
al-Qur’an menggunakan kata ahl al-kitab
(yang memiliki kitab suci). Penggunaan kata ahl,
yang berarti keluarga, menunjukkan keakraban dan kedekatan hubungan.[35]
Dari berbagai pandangan tentang pluralisme di atas Penulis
dapat mengklasifikasi ada tiga model pluralisme. Pertama, pandangan pluralisme yang masih menyisakan adanya
absolutisme agama. Pandangan ini dikemukakan Rasjidi dan Natsir. Kedua, pandangan pluralisme liberal. Ini
dikemukakan oleh Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman
Wahid. Ketiga, pandangan pluralisme
yang menempati posisi antara absolutisme agama dan pluralisme liberal.
Pandangan ini masih memegang adanya hal-hal yang bersifat absolut yang tidak
dapat dipertemukan atau disamakan, tetapi juga mengakui bahwa pluralisme itu
tidak hanya sekedar ada namun juga harus diwujudkan dalam keterlibatan aktif
dalam memahami perbedaan dan persamaan. Ada sikap terbuka, menerima perbedaan,
dan menghormati kemajemukan agama, tetapi ada loyalitas komitmen terhadap agama
masing-masing. Konsep yang dikemukaan Mukti Ali “agree in disagreement” kiranya dapat mewakili pandangan yang
terakhir ini. Begitu juga pandangan Alwi
Shihab.
0 komentar:
Posting Komentar