BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Tugas dan Fungsi
Kepolisian
Pengertian Kepolisian,
menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah Institusi Negara yang
diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan,
ketertiban dan mengayomi masyarakat.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan
ketentraman ditengah-tengah masyarakat.
Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut,
maka dapat diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya
dengan baik, benar dan bertanggungjawab, dengan memberikan pelayanan pada
masyarakat secara optimal.
Sehubungan dengan itu, maka Rahman
Rahim, (2000:16), menyatakan bahwa tugas
yang diembang oleh institusi Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang
handal, agar semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan
efektif.
Tugas kepolisian adalah merupakan bagian
dari pada Tugas Negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka
diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi,
karena itulah di bentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk
mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan,
terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana.
Menurut G. Gewin (Djoko
Prakoso,1987:136) Tugas Polisi adalah sebagai berikut :
“Tugas polisi
adalah bagian daripada tugas negara perundang-undangan dan pelaksanaan untuk
menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan
pegertian, ketaatan dan kepatuhan”.
Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia,
telah ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1961, (1985 : 2) menyatakan sebagai berikut :
(1)
Kepolisian Negara Republik Indonesia,
selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang
terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.
(2)
Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya
selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.
Dalam Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir 31 butir a (Djoko Prakoso.1987:183)
menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :
“Kepolisian
Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk
melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum
terutama dibidang pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.
Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di
atas, maka jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang
mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada
masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban
masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan
ketertiban masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala
usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat.
Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi
perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan
perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk
melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah digariskan dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang
kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia.
2.2.
Wewenang Penyidik Polri
Sebelum peneliti menguraikan lebih jauh tentang wewenang seorang
penyidik, maka sangatlah penting untuk diketahui siapa dapat yang menjadi
penyidik. Pasal 1 butir 1 KUHAP memberikan batasan tentang penyidik.
“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Penyidik dalam melakukan tugas, harus memenuhi
syarat-syarat kepangkatan yang telah ditentukan. Syarat kepangkatan seorang
penyidik dalam melakukan penyidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan KUHAP Nomor 27 Tahun 1983. Adapun syarat-syarat tersebut dijelaskan
dalam Pasal 2 yang berbunyi :
(1) Penyidik adalah :
a.
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang
sekurang-kurang berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi.
b. Pejabat pegawai negeri
tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda Tk. I (golongan II/b) atau yang disamakan
dengan itu.
(2) Dalam sektor kepolisian
tidak ada pejabat penyidik sebagai dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka
komandan sektor kepolisian bintara dibawah pembantu letnan dua polisi karena
jabatannya adalah penyidik.
(3) Penyidik Sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a, ditunjukan oleh kepala kepolisian negara
republik indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Wewenang penunjukkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(5) Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diangkat oleh Menteri atas usul dari
Departemen yang membawahi pegawai negeri tersebut.
(6) Wewenang pengangkatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang
ditunjuk oleh menteri.
Dari wewenang di atas dapatlah dikatakan bahwa
penyidik adalah pejabat kepolisian, baik karena ia diangkat oleh komandannya.
Hal ini berarti bahwa syarat kepangkatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2
ayat (1) butir a PP. Nomor 27 Tahun 1983 tidak mutlak diterapkan dalam praktek.
Oleh karena pelaksanaan penyidik dan penyelidikan dibutuhkan jumlah polisi
(penyidik atau penyidik pembantu) yang memadai.
KUHAP memberikan ketegasan dan membedakan antara
penyelidikan dan penyidikan. Pasal 4 dan Pasal 5 KUHAP mengatur tentang pejabat
yang menjalankan kewajiban-kewajiban penyelidikan. Sedangkan Pasal 6, 7, dan 8
KUHAP dijelaskan mengenai pejabat yang menjalankan kewajiban sebagai penyidik.
Tugas penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik merupakan monopoli tunggal bagi
Polri. Hal ini cukup beralasan untuk menyederhanakan dan memberi kepastian
kepada masyarakat siapa yang berhak melakukan penyelidikan, kemudian
menghilangkan kesimpangsiuran penyelidik oleh aparat penegak hukum sehingga,
tidak lagi terjadi tumpang tindih, juga merupakan efisiensi tindakan
penyelidikan.
Mengenai tugas dan wewenang penyelidik dapat dilihat
dalam Pasal 5 KUHAP, yang berbunyi :
Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
1) Menerima laporan atau
pengaduan dari seseorang.
2) Mencari keterangan dan
barang bukti.
3) Menyuruh berhenti seorang
yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
4) Mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggungjawab.
Pasal ini membedakan antara laporan dan pengaduan
padahal kedua-duanya merupakan pemberitahuan kepada yang berwajib yakni polri
tentang adanya kejahatan atau pelanggaran yang sering terjadi atau telah
selesai. Perbedaan dapat peneliti kemukakan sebagai berikut :
Pada laporan pemberitahuan tersebut merupakan hak
atau kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap orang kepada yang berwajib,
yaitu kepolisian negara. Dalam hal yang dilaporkan merupakan tindak pidana
umum. Pada pengaduan, pemberitahuan tersebut merupakan hak atau kewajiban oleh
seorang tertentu yang disampaikan kepada yang berwajib dengan permintaan agar
yang berwajib melakukan tindakan, hal yang diadukan merupakan tindak pidana
umum.
Dari perbedaan tersebut yang terpenting adalah
bagaimana sikap dan kewajiban penyidik dalam menghadapi laporan atau pengaduan
untuk menjawab persoalan ini, Pasal 102 sampai dengan Pasal 105 sebagai berikut
:
Pasal 102 KUHAP.
- Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
- Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b.
- Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada Pasal 5 ayat (1), dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kepada penyidik daerah hukum.
Pasal 103
KUHAP.
(1) Laporan atau pengaduan
yang diajukan secara tertulis harus ditanda tangani oleh pelapor atau pengadu.
(2) Laporan atau pengadun
yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditanda tangani
oleh prlapor atau pengadu dan penyelidik.
Pasal 104 KUHAP:
Dalam hal melaksanakan tugas
penyidikan, penyelidik wajib menunjukan tanda pengenalnya.
Pasal 105 KUHAP:
Dalam melaksanakan tugas
penyidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh
penyelidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Melalui jawaban tersebut di atas maka perlu
diperhatikan beberapa faktor yang sangat menentukan sikap penyelidik dalam
tugas menerima laporan dan pengaduan. Bahwa laporan dapat diajukan sembarang
waktu, tetapi pengaduan dibatasi oleh undang-undang dalam arti bahwa pengaduan
tidak dapat diajukan sembarang waktu, yaitu waktu-waktu tertentu. Bahwa laporan
dapat dilakukan oleh setiap orang sedang pengaduan hanya boleh orang tertentu
saja. Bahwa pengaduan berisikan bukan saja laporan akan tetapi juga diikuti,
permintaan pengaduan agar orang yang diadukan dituntut menurut hukum.
Dengan demikian jelaslah kiranya faktor-faktor
tersebut pada gilirannya menentukan pula kegiatan penyelidik dalam hal mencari
keterangan dan barang bukti. Dalam hal ini keterangan apa dan barang bukti apa
yang menjadi kewajiban penyelidik untuk diselidiki, tentu tidak sembarangan.
Kewajiban penyelidik yang terdiri dari :
1) Mengenai laporan atau
pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti sebenarnya adalah masalah
pembuktian apakah ada bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk mendukung
penuntutan.
2) Menyuruh seorang yang
dicurigai berhenti dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
Bila ditelaah kewenangan tersebut serta dihubungkan
dengan maksud dan tujuan penyelidikan berdasar ketentuan undang-undang, perlulah
kita menarik pelajaran dari praktek yaitu :
a) Pelaksanaan wewenang,
sebagai kelanjutan hal menerima laporan dan pengaduan.
b) Memergoki atau keadaan
tertangkap tangan.
Bilamana penyidik menerima laporan mengenai
terjadinya peristiwa pidana yang serius.
Sebagai contoh peristiwa pembunuhan sedang pelakunya
telah siap untuk melarikan diri bila keadaan menghendaki, maka penyelidik
memiliki kewenangan untuk bertindak memeriksa dan menanyakan identitas
tersangka.
Seseorang yang tertangkap tangan karena melakukan
kejahatan memerlukan perhatian tertentu
untuk kasus-kasus tertentu. Karena tertangkap tangan atau kepergok pada satu
pihak merupakan peristiwa yang memperkuat pembuktian tentang siapa yang menjadi
pelaku kejahatan.
Kedua situasi di atas bila dibandingkan dengan
dinamika masyarakat adalah sedemikian rupa, sehingga polri tidak saja harus
berhadapan dengan peristiwa pidana tapi juga menjalankan tugas pencegahan dan
penertiban keamanan masyarakat. Disamping wewenang tersebut diatas, penyelidik
dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Maksudnya
adalah tindakan dari penyelidik harus memenuhi syarat-syarat seperti, tidak
bertentangan dengan aturan hukum, tindakan itu harus masuk akal, atas
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati, hak asasi
manusia.
Selanjutnya akan dikemukakan kewajiban dan wewenang
penyelidik dalam melakukan penyelidikan. Adapun kewajiban wewenang penyelidik
diatur dalam Pasal 7 KUHAP yaitu :
(1) Penyelidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajiban mempunyai wewenang :
- Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
- Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian.
- Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
- Melakukan penagkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan.
- Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
- Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
- Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
- Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
- Mengadakan penghentian penyidikan.
- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
(2) Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing dan
dalam pelaksanaan tugasnya berada
dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung
tinggi hukum yang berlaku.
Dalam hubungannya dengan kewajiban dan wewenang
penyidik, dapat kita lihat dalam Pasal 8 ayat (1),
(2), (3) dan Pasal 75 ayat (1), (2), (3) KUHAP. Didalam praktek berbagai
variasi dapat terjadi. Tentu pelapor atau pengadu tidak selalu dapat langsung
menemui pejabat polri yang berwenang melakukan penyidikan. Ada langsung
menghadap kepada Kepala Satuan Reserse atau kepada anggota pemeriksa.
Pejabat-pejabat itulah yang menentukan atau memberi instruksi mengenai kelanjutan
penyelidikan atau penyidikan.
2.3. Tindak Pidana Minuman
Keras
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
menyatakan bahwa tindak pidana minuman keras diatur dalam Pasal 300 dan Pasal
536 antara lain bahwa :
Pasal 300 KUHP.
(1)
Dengan hukuman penjara
selama-lamanya satu tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500 di hukum :
- Barang siapa dengan sengaja menjual atau menyuruh minum minuman-minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan nyata mabuk.
- Barang siapa dengan sengaja membuat mabuk seseorang anak yang umurnya dibawah 16 tahun.
- Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan sengaja memaksa orang akan minum minuman yang memabukkan.
(2)
Kalau perbuatan itu
menyebabkan luka berat pada tubuh, sitersalah di hukum penjara selama-lamanya
tujuh tahun.
(3)
Kalau sitersalah melakukan
kejahatan itu dalam jabatannya ia dapat dipecat dari pekerjaannya itu.
Pasal 536 KUHP.
(1) Barang siapa
yang nyata mabuk ada dijalan umum dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 225.
(2) Jika pada
waktu melakukan pelanggaran itu belum lalu satu tahun, sejak ketetapan hukuman
yang dahulu bagi sitersalah lantaran pelanggaran berupa itu juga atau
pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 492, maka hukuman denda itu dapat
diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari.
(3) Kalau
pelanggaran itu diulang untuk kedua kalinya dalam 1 tahun sesudah ketetapan
putusan hukuman yang pertama karena ulangan pelanggaran itu maka, dijatuhkan
hukuman kurungan selama-lamanya dua minggu
(4) Kalau
pelanggaran itu diulang untukketiga kalinya atau selanjutnya didalam 1 tahun
sesudah ketetapan putusan hukuman yang kemudian sekali lantara ulangan
pelanggaran untuk kedua kalinya atau selanjutnya, maka dijatuhkan hukuman
kurungan selama-lamanya tiga bulan.
Yang dimaksud dengan nyata mabuk atau
kentara mabuk atau kelihatan mabuk yaitu mabuk demikian rupa sehingga terlihat
dan dapat diketahui oleh setiap orang dan mengganggu perasaan pada orang-orang
di sekitarnya. Syarat-syaratnya sebagai berikut :
(a)
Tersangka menghembuskan
nafas yang berbau minuman keras (bau alkohol)
(b)
Tersangka berjalan dengan
sempoyongan atau dengan tidak berdaya roboh di jalanan; dan
(c)
Bicara tidak karuan (kacau)
atau tidak mampu sama sekali untuk bicara.
Yang dikenakan Pasal tersebut di atas,
terdakwa berada di jalan umum. Jika didalam rumah, tidak dikenakan Pasal
tersebut dan tugas polisi yaitu mempertahankan ketertiban dan keamanan serta
ketentraman umum, dalam tugas ini termasuk pula menyingkirkan orang-orang
kentara mabuk dari jalan umum untuk dilindungi, ditahan sementara sampai mereka
sembuh kembali dari mabuknya. Berdasarkan pendapat ini, maka biasanya oleh
polisi orang yang mabuk di jalan umum itu dibawa dan ditahan di kantor polisi.
Berbeda halnya,
Peraturan Daerah Kabupaten Kolaka Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol menyatakan bahwa minuman alkohol adalah minuman
yang mengandung alkohol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang
mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi
tanpa destilasi baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau
tidak, menambah bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan mencampur
konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengeceran minuman mengandung
ethanol yang terbagi dalam tiga golongan yaitu :
(a)
Golongan A :
Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH)
1% sampai 5%
(b)
Golongan B :
Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1%
sampai 20%
(c)
Golongan C :
Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1%
sampai 55%
Tindak pidana minuman
keras sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 16 Tahun 2004, yaitu apabila
melanggar ketentuan dalam perda tersebut, mulai dari jenis minuman keras yang dijual samapai kepada
peredarannya, sebagai berikut:
Jenis minuman
beralkohol pada Pasal 10 jenis minuman beralkohol yang boleh diedarkan di
Kabupaten Kolaka yaitu Golongan A Minuman kadar alkohol/ ethanol (C2H5OH) 1%
sampai 5%
Pasal 11 Perda No.16 Tahun 2004.
- Pengedaran minuman beralkohol boleh dilakukan oleh distributor/sub distributor, yang telah mendapat izin dari Bupati Kolaka.
- Pengedaran minuman beralkohol yang dilakukan oleh distributor/ sub distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipasang stiker pada setiap botol/kaleng atau sejenisnya.
- Pemasangan stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh distributor/sub distributor sebelum disalurkan.
- Stiker sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh bupati.
- Volume dan jumah minuman beralkohol Golongan A yang akan diedarkan, ditetapkan sesuai kebutuhan miniman yang ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 12 Perda No. 16 Tahun 2004.
Minuman
beralkohol yang hanya boleh dijual di Kota Kolaka sebagai ibu kota Kabupaten
atau ditempat lain yang ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 13 Perda No. 16 Tahun 2004.
- Minuman beralkohol tidak boleh dijual di tempat umum seperti rumah makan, wisma, gelanggang olah raga, gelanggang remaja, kantin, kaki lima, terminal, stasiun, kios-kios kecil dan tempat /lokasi tertentu lainnya yang ditetapkan oleh Bupati.
- Tempat penjualan minuman beralkohol tidak boleh dekat dengan tempat ibadah, sekolah, rumah sakit dan perkantoran.
- Minuman alkohol tidak boleh dijual kepada anak dibawah umur, pelajar, dan anggota ABRI/Pegawai negeri.
Pasal 14 Perda No. 16 Tahun 2004.
- Batas waktu penjualan minuman beralkohol untuk penjualan di minum ditempat penjualan ditetapkan mulai jam 21.00 sampai jam 00.00.
- Batas waktu penjualan minuman beralkohol untuk diminum diluar tempat penjualan ditetapkan mulai jam 09.00 sampai dengan jam 21.00.
Pasal 33 Perda No. 16 Tahun 2004.
- Semua minuman beralkohol yang diedarkan, dalam botol/kemasan dengan mencantumkan stiker, jenis minuman, kadar alkohol, volume minuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Minuman beralkohol Golongan A adalah kolompok minuman beralkohol yang peredaran dan penjualannya ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan.
Pasal 34 Perda No. 16 Tahun 2004.
- Bupati melakukan pengawasan dan penerbitan peredaran minuman beralkohol di daerah dan tidak boleh dilakukan/ diberikan kepada perusahaan/swasta.
- Untuk mengawasi dan menerbitkan peredaran minuman beralkohol di daerah, Bupati dibantu oleh tim yang beranggotakan Instansi terkait di daerah.
- Tim memberikan pertimbangan kepada Bupati dalam memberikan Izin sebagaimana dimaksud Pasal 2 Peraturan Daerah ini.
- Tim sebagaimana dimaksud ayat (3) Pasal ini dibentuk dengan keputusan Bupati.
Pasal 35 Perda No. 16 Tahun 2004.
Pribadi atau Badan
Usaha yang menjual minuman beralkohol berkewajiban untuk :
- a. Menjaga ketertiban dan keamanan dalam ruangan tempat penjualan
- b. Meminta bantuan kepada petugas keamanan untuk menertibkan dan mengamankan kegaduhan yang terjadi di tempat penjualannya bila tidak dapat dicegah sendiri
- c. Izin harus ditempelkan di tempat penjualan sehingga mudah dilihat oleh umum
- d. Harus ditempelkan peringatan ditempat penjualan bahwa setiap orang yang meminum minuman beralkohol tidak boleh berlebihan atau sampai mabuk
Pasal 36 Perda No. 16 Tahun 2004.
(1) Pengawasan
dan penerbitan tempat penjualan minuman beralkohol sebagaimana dimaksud pada
Pasal 27 dilakukan oleh bupati.
(2) Untuk
mengawasi dan menertibkan tempat penjualan minuman beralkohol di daerah, Bupati
dibantu oleh tim yang beranggotakan instansi terkait di daerah.
(3) Tim
memberikan pertimbangan kepada Bupati dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud
peraturan daerah ini.
(4) Tim
sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal ini dibentuk dengan keputusan Bupati.
Pasal 37 Perda No. 16 Tahun 2004.
Bupati berwewenang
mencabut izin peredaran minuman beralkohol yang telah doberikan atau mengurangi
jumlah minuman beralkohol yang diizinkan untuk diedarkan karena pertimbangan
kepentingan umum
Bupati berwenang
mencabut izin tempat penjualan minuman beralkohol karena :
a.
Bertentangan dengan
kepentingan umum
b.
Dianggap perlu untuk menjaga
kepentingan umum
c.
Bertentangan dengan
peraturan perudangan yang berlaku.
Pasal 38 Perda No. 16 Tahun 2004.
Bupati dapat
menghentikan penjualan minuman beralkohol karena pertimbangan khusus, pada
hari-hari tertentu karena dianggap akan mengganggu ketentraman dan ketertiban
masyarakat.
2.4. Alasan Pelaksanaan Penahanan Pelaku
Tindak Pidana
Seorang yang di sangka atau diduga melakukan tindak
pidana, untuk sementara waktu dapat di batasi kebebasannya. Pembatasan itu
dapat dilakukan bilamana telah menunjukkan bukti-bukti yang kuat bahwa orang
itulah yang melakukan perbuatan tindak pidana.
Penahanan pelaku tindak pidana hanya dapat dilakukan
oleh penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, kewenangan pejabat-pejabat
tersebut harus memperhatikan ketentuan yang telah diatur dalam KUHP. Penahanan
hanya dapat dilakukan terhadap kejahatan yang diancam hukum 5 tahun atau lebih.
Walaupun Undang-undang menentukan demikian namun adakalanya penahanan dapat
ditangguhkan pada setiap tingkat pemeriksaan.
Menurut Nanda Agung Dewantara
(1987:24) Ada 2 yang menjadi dasar
diadakannya penahanan yaitu :
(1) Dasar menurut
hukum, yaitu harus adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang
itu melakukan tindak pidana lima tahun, keatas atau tindak pidana tertentu yang
ditentukan oleh Undang-Undang, meskipun ancaman pidananya kurang dari lima
tahun.
(2) Dasar menurut
keperluan yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri atau merusak/ menghilangkan barang bukti atau akan
mengulangi tindak pidana.
Pernyataan tersebut diatas, merupakan
salah satu ketentuan yang telah diatur Pasal
2 ayat 1 KUHAP.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP, penahanan didasarkan pada ketentuan yang terdapat
dalam (Het Herzieneindslands Reglemen)
Staatblat Tahun 1941 Nomor 44. Pada azasnya HIR, mengenal dua (2) macam tahanan
sementara yaitu :
(a) Tahanan
yang tidak memakai surat perintah.
(b) Tahanan
yang memakai surat perintah.
Menurut Moelyatno (Nanda Agung Dewantara.1987:26)
tahanan sementara tanpa surat permintaan didasarkan pada Pasal 83 f ayat (5)
jo. Pasal 83k ayat (3) HIR. Berikut ini peneliti mengutip kedua isi Pasal itu :
Pasal 83 f ayat (5) HIR.
Pun dalam hal tidak ditahan buat sementara sitertuduh itu boleh juga
ditahan dan tidak bertangguh lagi ia dikirim bersama-sama dengan rencana itu
kepada magistraat atau disuruh bawa
kehadapan pegawai itu, yaitu kalau dengan hal yang demikian itu dapat dicapai,
perkara itu diperiksa pengadilan pada hari itu juga dikirim bersama-sama atau
disuruh bawa kehadapan magistraat.
Pasal 83 k ayat (3) HIR.
Kalau sitertuduh ada dalam tahanan dan perkara itu
dibawah kehadapan hakim sebelum lewat waktu yang tersebut dalam Pasal 73 ayat
(1), atau tidak dapat dibawah kehadapannya selambat-lambatnya dalam 8 hari.
Sesudah tertuduh didengar oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu dalam hal yang disebut
dalam Pasal 83 f ayat (5), maka dengan mengingat peraturan dalam Pasal 83c ayat
(2), sitertuduh itu dalam penjara atau tidakkah.
Ketentuan Pasal 83 f ayat (2) Pasal 83 k HIR, dapat
disimpulkan bahwa penahanan sementara tanpa surat perintah maksimum 2 + 8 = 10
hari, mengenai apa yang disebut tahanan sementara pakai surat perintah,
Moelyatno menyatakan :
Tahanan
sementara dipakai surat perintah, berdasarkan Pasal 62 ayat (1) jo. Ayat (2)
HIR dalam hal tertangkap tangan, atau kalau tidak berdasarkan Pasal 75 HIR.
Disitu HIR mengisyaratkan atau jaksa dapat mengeluarkan perintah untuk menahan
sementara yang lamanya 20 hari.
Penahanan sebagaimana diterangkan dalam Pasal 62
ayat (1) HIR hanya dapat dilakukan dalam hal tertangkap tangan. Mengenai hal
tertangkap tangan, Pasal 75 HIR memberikan pembatasan mengenal arti kejahatan :
(a) Tengah dilakukan orang.
(b) Segera
setelah dilakukan orang diketahui.
(c) Seorang
diserukan oleh khalayak ramai sebagai yang melakukan.
(d) Pada
orang kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat perkakas, atau surat yang
menunjukkan, bahwa orang tersebut adalah pelaku atau pembuatan perbuatan
termaksud.
Pada umumnya orang beranggapan bahwa, syarat-syarat
yang ditentukkan harus dipenuhi bagi dilakukannya penahanan sementara dalam
Pasal 62 HIR, disebut sebagai alasan obyektif. Selain alasan obyektif dalam hal
menahan seseorang penahanan sementara harus memenuhi alasan subyektif.
Moelyatno, dalam kuliah hukum acara pidana tahun 1965-1966 (Achmad Soema Di
Pradja;1974:42) menyatakan syarat- syarat subyektif itu adalah :
(1) Pasal 75 HIR menyebutkan
adanya cukup keterangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana yang
didakwakan.
(2) Penahanan dianggap perlu
sekali untuk kepentingan pemeriksaan.
(3) Penahanan perlu sekali
untuk tidak diulanginya perbuatan.
(4) Penahanan perlu sekali
untuk mencegah kalau terdakwa melarikan diri.
Pejabat yang diberi wewenang melakukan penahanan
sementara pada waktu berlakunya HIR, adalah jaksa dan juga jaksa pembantu (Polisi
Republik Indonesia). Dari apa yang dikemukakan di atas jelas belum ada
kesepakatan yang bulat mengenai istilah penangkapan, penahanan sementara,
tahanan sementara. Dalam lampiran Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Kepolisian Negeri, dan Menteri Kehakiman Nomor: 02/ K.M.A/ 70: Kep.
034/D/A/7/1970; Pol 86/SK/ Kapolri /190;JA.7/7/13 dikemukakan tentang istilah
penahanan sebagai berikut :
Undang-Undang tidak
mengenal tahanan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Undang-undang hanya
mengenal istilah penangkapan sementara dan penahanan sementara dimana
kepolisian dapat menahan seseorang selama 20 hari, kejaksaan 30 hari, dan
perpanjangan atas perintah jaksa oleh hakim setiap kali 30 hari (Pasal 75) jo.
83c jo. 62 – ayat (2).
Dasar hukum penahanan bagi jaksa terdapat dalam
Pasal 83c dan 83j HIR yang berbunyi :
Bila ada hal
yang sangat penting memberatkan sitertuduh dan cukup nyata salah perbuatan itu
masuk ha-hal yang diterangkan dalam Pasal 62 ayat (2) HIR, dan perkara itu
rasanya tidak dapat diperiksa pengadilan dalam waktu yang ditetapkan dalam
Pasal 72, maka untuk kepentingan pemeriksa atau untuk menjaga perbuatan itu
jangan diulangi oleh sitertuduh atau untuk menjaga supaya ia jangan lari opsir
justiti atau magistraat dapat memerintahkan supaya ia terus ditahan.
Perintah tersebut dalam 83c ayat
(4) hanya berlaku untuk masa 30 hari, dan setelah masa penahanan tersebut habis
dapat diperpanjang untuk masa 30 hari. Dan selanjutnya oleh keta pengadilan
negeri (Pasal 83c ayat (4) HIR). Apabila terdakwa tidak berada dalam tahanan,
jaksa dapat menuntut agar terdakwa setelah masa untuk ditahan sambil penyerahan
perkara kepengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan (Pasal 83 (1) HIR).
Penahanan terdakwa pada tingkat pemeriksaan
pengadilan negeri tidak diperlukan lagi surat perintah perpanjangan penahan
sampai perkaranya diputus. Pelaksanaan dan penahanan yang diatur dalam HIR
sudah tidak berlaku lagi.
Oleh karena aturan-aturan yang terdapat didalamnya
tidak memberikan kepastian kepada pencari keadilan. Misalnya saja dalam hal
penahanan, tidak memberikan batasan waktu sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.
Kemudian HIR memberikan hak kepada tiap-tiap orang untuk melakukan penahanan
Pasal 60 ayat (1). Setelah kita mengetahui dasar hukum penahanan dasar HIR,
berikut ini dikemukakan dasar hukum penahanan yang diatur dalam hukum acara
pidana yang diatur dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Masalah
penahanan yang diatur dalam KUHAP dapat dilihat dalam Pasal 20 sampai dengan
Pasal 30 KUHAP. Sedangkan pengertian penahanan dijelaskan dalam Pasal 1 butir
21 KUHAP sebagaimana dijelaskan dimuka.
Jadi untuk keperluan penyidikan, penututan dan peradilan, Penyidikan penuntut
umum dan hakim dapat melakukan penahanan apabila atas diri tersangka atau
terdakwa diperoleh dugaan keras dan bukti yang cukup bahwa ia telah melakukan
tindak pidana. Pelaksanaan dilakukan secara cermat dan berhati-hati, juga harus
dipenuhi persyaratan :
(a) Tindak pidana yang
diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun, kecuali terhadap pelanggaran khusus
yang diatur secara limitatif didalam undang-undang ini.
(b) Penahanan tidak dilakukan
secara otomatis, walaupun memenuhi syarat pada sub diatas, melainkan harus
dalam keadaan terpaksa karena kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau akan mengulangi
tindak pidana lain.
Dalam hal pelaksanaan penahanan mengenal 3 jenis
penahanan yaitu, penahanan dalam rumah tahanan negara, penahanan rumah dan
penahanan kota. Penahanan dalam rumah tahanan negara merupakan tahanan biasa
dimana tersangka atau terdakwa ditempatkan dalam gedung tahanan sendiri
memenuhi syarat pengamanan dan pelayanan sejalan dengan martabat mereka sebagai
warga yang belum tentu bersalah. Penyidik penuntut umum dan hakim sesuai
tahapan pemeriksaannya masing-masing, berwenang mengalihkan jenis penahanan
kejenis yang lain dengan pemberian syarat-syarat tertentu dapat pula memberikan
penaguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang.
Didalam Pasal 20 KUHAP disebut tentang pejabat yang
berwenang melakukan penahanan untuk lebih jelasnya penelitian mengutip isi
pasal tersebut.
Pasal 20 KUHAP.
Ayat(1) Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 berwenang menahan.
Ayat(2) Untuk Kepentingan penuntut
umum berwenang melakukan panahanan atau penahanan lanjutan.
Ayat(3) Untuk kepentingan
pemeriksaan hakim disidang pengadilan dengan penetapan berwenang melakukan
penahanan.
Ketentuan untuk sahnya penahanan dapat kita temukan
dalam Pasal 21 KUHAP yang berbunyi :
ayat (1) Perintah penahanan atau
penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dalam hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merupakan alat bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
ayat (2) Penahanan atau penahanan
kelanjutan dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau
terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan
identitas tersangka atau terdakwa dan menyebut alasan penahanan serta uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia
ditahan.
ayat (3) Tembusan surat perintah
penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud
dalam ayat 2 harus diberikan kepada keluarganya.
ayat (4) Penahanan tersebut hanya
dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tidak pidana dan atau percobaan maupun pemberian
bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
(a) Tindak pidana itu diancam
dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
(b) Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 282 tentang Kesopanan ayat (3), Pasal 296 tentang
Perbuatan Cabul, Pasal 335 tentang Melawan Hak
/ Memaksa Orang Lain ayat (1), Pasal 351 (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal
372, Pasal 378 dan Pasal 379 tentang Penipuan, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455,
Pasal 480, dan Pasal 506 kitab undang hukum pidana Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
bea dan cukai, terakhir diubah dengan staatblat
Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1 Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang tindak pidana
imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt tahun 1955. Lembaran negara tahun 1955
nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48,
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 37 Tambahan Lembaran Negara 306).
Dari bunyi Pasal diatas dapatlah dikatakan bahwa,
pembuat Undang-Undang yang sudah memperkirakan seseorang yang di duga atau di
sangka melakukan perbuatan pidana akan berusaha menyulitkan pemeriksaan
perkara. Hal itu dapat dilakukan dengan meniadakan kemungkinan akan di dengar
baik dari dirinya sendiri maupun bagi orang lain, untuk dirinya seorang
terdakwa semacam ini akan berusaha untuk sama sekali terhindari dari hukuman
pidana dengan cara melarikan diri atau menyembunyikan diri selama-lamanya.
Apabila ada kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri atau
mengulangi lagi perbuatannya, maka satu-satunya jalan untuk menghindarkan
kesulitan dalam menghentikan kemerdekaan tersangka atau terdakwa untuk tidak
pergi kemana-mana, atau memerintahkan kepadanya supaya tetap tinggal disuatu
tempat yang telah ditentukan oleh Pasal 22 KUHAP.
Kitab undang-undang hukum acara pidana telah
mengatur secara tegas mengenai pejabat-pejabat yang berhak melakukan penahanan.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, pejabat yang dimaksud adalah
penyidik, penuntut umum dan hakim dapat melkukan penahanan untuk kepentingan
pemeriksaan (Pasal 20 KUHAP).
Setelah diketahui pejabat yang berhak melakukan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan didepan sidang pengadilan maka peneliti
akan memberikan mengenai wewenang masing-masing pejabat tersebut dalam
melakukan penahanan.
Penyelesaian perkara pidana merupakan tugas dan
tanggungjawab penyidik, penuntut umum dan hakim. Dalam proses pemeriksaan
perkara pidana diperlukan tindakan-tindakan dari penguasa untuk mengungkap
secara tuntas mengenai perkara yang disangkakan. Tindakan-tindakan seperti
penangkapan, penahanan dan pengeledahan tidak dilakukan secara sewenang-wenang
tetapi harus dengan alasan-alasan seperti yang diinginkan undang-undang.
Penahanan yang dilakukan penyelidik, penuntut umum,
dan hakim benar-benar memperhatikan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 21
KUHAP. Hal ini di maksud supaya yang di tahan tidak dilanggar hak asasinya.
Dalam menetukan seorang tersangka, atau terdakwa telah bersalah nanti setelah
ada putusan pengadilan. Karena itu dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Hakim secara tegas menyatakan :
Bahwa setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuasaan hukum yang tetap.
Dari bunyi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970
dapat dikatakan bahwa tersangka ataupun terdakwa tetap di jamin hak-haknya
selama dalam pemeriksaan.
Jaminan sebagaimana tersebut dalam Pasal 14
Undang-undang tahun 1970 biasanya dinamakan dengan asas ”presmption of innocent” yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa
setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan
kekuatan hukum yang tetap tentang kesalahan tersebut.
Sebagaimana konsekuensi dari asas hukum tersebut
terhadap seorang, disangka atau dituntut telah melakukan tindak pidana
sekalipun terhadap mereka diadakan penangkapan, penahanan, dan guna pemeriksaan
ataukah telah dihadapkan didepan sidang, tidak boleh diperlukan sebagai seorang
yang bersalah sebelum kesalahannya dibuktikan dan melalui putusan hakim.
Dalam pelaksanaan panahanan oleh penyidik penuntut
umum dan hakim didasarkan pada syarat-syarat dalam Pasal 21 KUHAP. Adapun isi
syarat-syarat itu adalah :
b)
Harus adanya barang bukti yang cukup
dugaan keras bahwa tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana.
c)
Adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan akan mengulangi perbuatannya.
d)
Melakukan tindak pidana yang disebut
dalam Pasal 21 ayat (4) sub a dan b.
Ketentuan syahnya penahanan dalam Pasal 21 KUHAP
merupakan keharusan yang perlu diperhatikan oleh pejabat yang berwenang yang
melakukan penahanan, utamanya penahanan dirumah tahanan negara. Hal ini untuk
menjaga jangan sampai penahanan itu melanggar hal-hak asasi manusia yang belum
tentu bersalah.
Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa
alasan-alasan penahanan selain dari ketentuan Pasal 21 KUHAP, penahanan itu
diperlukan karena :
- Untuk memperlancar jalanya pemeriksaan tersangka atau terdakwa.
- Untuk menjaga jangan sampai tersangka atau terdakwa mempengaruhi orang lain melakukan tindak pidana.
- Untuk kepentingan keamanan tersangka atau terdakwa terhadap rasa dendam dari pihak yang dirugikan.
0 komentar:
Posting Komentar