Kamis, 23 Mei 2013


Permasalahan Kualifikasi 
Kelembagaan dan Kewenangan KPPU

      1.       Permasalahan Kualifikasi Kelembagaan KPPU
Secara khusus, kelembagaan KPPU diatur dalam Bab VI tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Pasal 30 s.d 37 UU No. 5/1999. Pasal 30 UU No. 5/1999 menjelaskan bahwa KPPU sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab kepada presiden yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5/1999. Berturut-turut pasal selanjutnya mengatur mengenai keanggotaan (Pasal 31 s.d 34), tugas (Pasal 35), wewenang (Pasal 36) dan pembiayaan KPPU (Pasal 37).

Memperhatikan pengaturan pasal-pasal dalam UU No. 5/1999, tampak ketidakjelasan mengenai kelembagaan KPPU. Meskipun Pasal 30 ayat (2) menyebutkan bahwa KPPU merupakan suatu lembaga independen, namun di ayat (3) pada pasal yang sama ditentukan bahwa KPPU bertanggung jawab kepada presiden dimana hal tersebut menyiratkan bahwa KPPU berada dalam ranah pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, melihat tugas KPPU yang di antaranya memberikan penilaian terhadap (i) perjanjian, (ii) kegiatan usaha, dan (iii) ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat serta wewenang KPPU untuk (i) menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, (ii) memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian pelaku usaha lain atau masyarakat dan (iii) menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif, maka KPPU mempunyai karakteristik sebagai suatu lembaga peradilan.

Ketidakjelasan tersebut semakin kuat apabila kita menelaah ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009) dan Perma No. 3/2005. UU No. 48/2009 tidak mengakui KPPU sebagai suatu lembaga peradilan karena Pasal 18 UU No. 48/2009[1] secara tegas membatasi bahwa kekuasaan kehakiman (kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan) dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut Pasal 27 ayat (1) UU No. 48/2009[2] juga tidak mencantumkan KPPU sebagai suatu pengadilan khusus di antara 7 (tujuh) pengadilan khusus yang diakui oleh UU No. 48/2009. Tambahan lagi berdasarkan Putusan Mahkamah Agung pada kasus Indomobil, dinyatakan bahwa KPPU tidak berhak untuk menggunakan “irah-irah” sebagaimana suatu putusan lembaga peradilan.

Tidak tepat pula menyebutkan KPPU sebagai bagian dari ranah pemerintahan eksekutif karena Pasal 3 Perma No. 3/2005 menentukan bahwa Putusan KPPU tidak termasuk sebagai keputusan tata usaha negara. Pasal 3 Perma No. 3/2005 menyimpulkan KPPU bukan merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dimana secara a contrario hanya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang membuat keputusan tata usaha negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 5/1986) jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 9/2004)[3].
Di samping itu, KPPU juga tidak dapat dipersamakan dengan lembaga penyidik karena UU No. 5/1999 tidak memberikan kewenangan khusus bagi KPPU untuk melakukan penyidikan. Pasal 44 ayat (4) UU No. 5/1999 malah menegaskan KPPU bukan lembaga penyidik dengan memerintahkan KPPU menyerahkan putusan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan dalam hal pelaku usaha Terlapor tidak melaksanakan dan menyampaikan pelaksanaan putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan paparan di atas, setidaknya terdapat 2 (dua) alternatif untuk mengatasi permasalahan terkait ketidakjelasan bentuk kelambagaan KPPU. Pertama, menegaskan bahwa KPPU sebagai lembaga peradilan. Cara ini menyaratkan adanya pemisahan kewenangan investigasi (penyelidikan) dan penuntutan sehingga KPPU hanya menjalankan kekuasaan kehakiman; sedangkan kewenangan penuntutan dapat diambil alih oleh kejaksaan sebagai lembaga negara yang memang berwenang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dan untuk itu SDM Sekretariat KPPU tertutama yang memiliki kapasitas keahlian untuk melakukan penyelidikan di bidang persaingan usaha yang ada dapat dialihkan dan dibuatkan direktorat sendiri di bawah Kejaksaan seperti yang ad adi Kejaksaan Amerika Serikat atau dapat pula menjadi Direktorat Persaingan Usaha di bawah Departemen Perdagangan yang berisi PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) di bidang persaingan usaha.

Alternatif kedua adalah menjadikan KPPU sebagai lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seperti kewenangan KPK di bidang pemberantasan tidak pidana korupsi. Cara ini pun menuntut adanya penyerahan kewenangan. Kewenangan-kewenangan KPPU selama ini yang memiliki karakteristik sebagai lembaga yudikatif dapat dilimpahkan kepada lembaga peradilan yang memang berwenang melaksanakan kekuasaan kehakiman seperti pengadilan niaga atau Kamar Khusus yang berada di lingkungan peradilan umum.

Sementara itu jika produk hukum setingkat UU atau revisi UU No. 5/1999 agak sulit untuk dibuat atau diwujudkan dalam rangka perbaikan kejelasan kelembagaan KPPU; maka Perpu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) dapat menjadi pilihan yang bersifat sementara.

2.      Ketidakjelasan Kewenangan KPPU
Sebagaimana telah dipaparkan di awal makalah, UU No. 5/1999 bukan satu-satunya produk hukum yang mengatur mengenai aspek hukum persaingan usaha di Indonesia. Terhadap produk hukum atau peraturan perundang-undangan lain, ketentuan peralihan pada Pasal 52 ayat (1) UU No. 5/1999 menentukan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti oleh UU No. 5/1999.

Jika menelaah Pasal 52 ayat (1) UU No. 5/1999[4], maka menarik untuk dibahas mengenai pemberlakuan dan penegakan peraturan atau kaedah hukum persaingan usaha selain UU No. 5/1999. Sebagai contoh, Pasal 382 bis KUHP mengatur mengenai perbuatan curang dalam mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan yang isinya hampir sama dengan ketentuan Pasal 21 UU No. 5/1999[5]. Akan tetapi, Pasal 21 UU No. 5/1999 hanya mengatur perbuatan curang dalam hal menetapkan biaya produksi seperti biaya produksi atau biaya lain. Bagaimana untuk perbuatan curang diluar penetapan biaya? Jika mengacu Pasal 52 ayat (1) UU No. 5/1999, maka sepatutnya Pasal 382 bis KUHP masih tetap berlaku karena tidak bertentangan atau diganti dengan pasal-pasal, termasuk Pasal 21 UU No. 5/1999. Pertanyaan berikut yang mungkin timbul adalah siapa yang mempunyai kewenangan menegakan peraturan atau kaedah hukum persaingan usaha di luar UU No. 5/1999? Memperhatikan tujuan pembentukan, tugas dan wewenang KPPU sebagaimana dipaparkan di atas, KPPU tidak mempunyai wewenang mengawasi dan menegakan peraturan perundang-undangan terkait hukum persaingan usaha selain UU No. 5/1999.

Selain itu, ketidakjelasan kualifikasi bentuk kelembagaan KPPU, sebagaimana dipaparkan di atas, merupakan penyeban pula dari ketidakjelasan kewenangan KPPU. Pasal 36 UU No. 5/1999 tidak memberikan kewenangan penuh bagi KPPU untuk menjalankan fungsinya baik sebagai lembaga peradilan maupun sebagai lembaga penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan. Oleh karena itu, setelah adanya kejelasan kualifikasi bentuk kelembagaan KPPU, sepatutnya KPPU diberikan kewenangan komprehensif yang melekat kepada kualifikasi tersebut.

Jika memang menghendaki KPPU sebagai suatu lembaga peradilan, maka sepatutnya KPPU diberikan kewenangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman seperti mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada setiap putusannya[6], menetapkan ganti kerugian kepada pihak lain (pelaku usaha lain atau masyarakat)[7], menetapkan putusan sela guna mencegah kerugian yang lebih besar dari suatu tindakan anti-persaingan. Kejelasan KPPU sebagai lembaga peradilan akan memberikan kepastian dalam sistem hukum yang mengenal 3 (tiga) tingkat peradilan. KPPU dapat dipersamakan sebagai “pengadilan tingkat pertama” disamping adanya upaya hukum Keberatan (pengadilan tingkat banding) dan upaya hukum Kasasi (pengadilan tingkat kasasi).

Sedangkan jika menghendaki KPPU sebagai suatu lembaga penyelidikan, penyidikan atau penuntutan, maka KPPU sepatutnya diberikan kewenangan terkait penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan atau kewenangan lain yang dalam praktek mendukung kualifikasi lembaga itu. Selama ini memang berkembang kerjasama KPPU dengan penyidik, dalam hal ini Bareskrim Polri, dalam rangka membantu penanganan perkara dugaan pelanggaran UU No. 5/1999. Namun, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 36 huruf g UU No. 5/1999[8], KPPU hanya berwenang meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, ahli atau pihak lain yang tidak memenuhi panggilan KPPU; tidak untuk melakukan penggeledahan, penyitaan yang bertujuan untuk memperoleh bukti pelanggaran.

Untuk menyelesaikan permasalahan ketidakjelasan kualifikasi kelembagaan maupun kewenagann tersebut, penulis berpendapat perlu adanya amandemen atau revisi UU No. 5/1999. Dalam amandemen atau revisi tersebut perlu dilakukan pemisahan antara produk hukum yang mengatur mengenai substasi tindakan anti-persaingan (hukum materil) dengan produk hukum yang mengatur penegakan substansi tersebut (hukum formil).
Pemisahan tersebut antara lain bertujuan agar:
-         keberadaan peraturan perundang-undangan bersubstansi hukum persaingan usaha selain UU No. 5/1999 dapat pula menjadi rujukan bagi penegakan hukum persaingan usaha serta mampu mengantisipasi perkembangan hukum materil persaingan usaha yang cenderung lebih dinamis dibandingkan dengan hukum formil;
-         sementara itu, hukum formil yang memang cenderung diharapkan lebih stabil dapat memberikan kepastian hukum acara dalam pelaksanaan penegakan hukum persaingan usaha dan di sisi lain memberikan keleluasaan bagi KPPU untuk menggunakan dan merujuk seluruh produk hukum persaingan usaha yang ada; 


[1] Pasal 18 UU No. 48/2009 berbunyi “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan  tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
[2] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 48/2009 berbunyi “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan  peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”.
[3] Pasal 1 angka 3 UU No. 5/1986 jo. UU No. 9/2004 berbunyi “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.”
[4] Pasal 52 ayat (1) UU No. 5/1999 berbunyi “Sejak berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum digantikan dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini”.
[5] Passal 21 UU No. 5/1999 berbunyi “Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
[6] KPPU pernah mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Putusannya Nomor 03/KPPU-I/2002 yang kemudian oleh Mahkamah Agung putusan tersebut dinyatakan batal demi hukum karena melampaui kewenangan yang diberikan UU No. 5/1999, sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3 K/KPPU/2002.
[7] Pasal 36 huruf j hanya menentukan kewenangan KPPU memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian pihak lain tanpa secara tegas memberikan kewenangan bagi KPPU untuk menghukum pelaku usaha yang melanggar UU No. 5/1999 untuk memberikan ganti rugi kepada pihak lain tersebut.
[8] Pasal 36 huruf g berbunyi “Wewenang Komisi meliputi: … meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi”.

0 komentar:

Posting Komentar