Permasalahan Kualifikasi
Kelembagaan dan Kewenangan KPPU
1.
Permasalahan
Kualifikasi Kelembagaan KPPU
Secara
khusus, kelembagaan KPPU diatur dalam Bab VI tentang Komisi Pengawas Persaingan
Usaha, Pasal 30 s.d 37 UU No. 5/1999. Pasal 30 UU No. 5/1999 menjelaskan bahwa
KPPU sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab kepada presiden yang
dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5/1999. Berturut-turut pasal
selanjutnya mengatur mengenai keanggotaan (Pasal 31 s.d 34), tugas (Pasal 35),
wewenang (Pasal 36) dan pembiayaan KPPU (Pasal 37).
Memperhatikan
pengaturan pasal-pasal dalam UU No. 5/1999, tampak ketidakjelasan mengenai
kelembagaan KPPU. Meskipun Pasal 30 ayat (2) menyebutkan bahwa KPPU merupakan
suatu lembaga independen, namun di ayat (3) pada pasal yang sama ditentukan bahwa
KPPU bertanggung jawab kepada presiden dimana hal tersebut menyiratkan bahwa
KPPU berada dalam ranah pemerintahan eksekutif. Akan tetapi, melihat tugas KPPU
yang di antaranya memberikan penilaian terhadap (i) perjanjian, (ii) kegiatan
usaha, dan (iii) ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
serta wewenang KPPU untuk (i) menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau
pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat, (ii) memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian
pelaku usaha lain atau masyarakat dan (iii) menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif, maka KPPU mempunyai karakteristik sebagai suatu lembaga
peradilan.
Ketidakjelasan
tersebut semakin kuat apabila kita menelaah ketentuan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48/2009) dan Perma No. 3/2005.
UU No. 48/2009 tidak mengakui KPPU
sebagai suatu lembaga peradilan karena Pasal 18 UU No. 48/2009[1] secara
tegas membatasi bahwa kekuasaan kehakiman (kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan) dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh Mahkamah
Konstitusi. Lebih lanjut Pasal 27 ayat (1) UU No. 48/2009[2] juga
tidak mencantumkan KPPU sebagai suatu pengadilan khusus di antara 7 (tujuh)
pengadilan khusus yang diakui oleh UU No. 48/2009. Tambahan lagi berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung pada kasus Indomobil, dinyatakan bahwa KPPU tidak berhak
untuk menggunakan “irah-irah” sebagaimana suatu putusan lembaga peradilan.
Tidak
tepat pula menyebutkan KPPU sebagai bagian dari ranah pemerintahan eksekutif
karena Pasal 3 Perma No. 3/2005 menentukan bahwa Putusan KPPU tidak termasuk
sebagai keputusan tata usaha negara. Pasal 3 Perma No. 3/2005 menyimpulkan KPPU
bukan merupakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dimana secara a contrario hanya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang membuat
keputusan tata usaha negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 5/1986) jo. Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (UU No. 9/2004)[3].
Di
samping itu, KPPU juga tidak dapat dipersamakan dengan lembaga penyidik karena
UU No. 5/1999 tidak memberikan kewenangan khusus bagi KPPU untuk melakukan
penyidikan. Pasal 44 ayat (4) UU No. 5/1999 malah menegaskan KPPU bukan lembaga
penyidik dengan memerintahkan KPPU menyerahkan putusan kepada penyidik untuk
dilakukan penyidikan dalam hal pelaku usaha Terlapor tidak melaksanakan dan
menyampaikan pelaksanaan putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan
paparan di atas, setidaknya terdapat 2 (dua) alternatif untuk mengatasi
permasalahan terkait ketidakjelasan bentuk kelambagaan KPPU. Pertama,
menegaskan bahwa KPPU sebagai lembaga peradilan. Cara ini menyaratkan adanya
pemisahan kewenangan investigasi (penyelidikan) dan penuntutan sehingga KPPU
hanya menjalankan kekuasaan kehakiman; sedangkan kewenangan penuntutan dapat
diambil alih oleh kejaksaan sebagai lembaga negara yang memang berwenang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dan untuk itu SDM
Sekretariat KPPU tertutama yang memiliki kapasitas keahlian untuk melakukan
penyelidikan di bidang persaingan usaha yang ada dapat dialihkan dan dibuatkan
direktorat sendiri di bawah Kejaksaan seperti yang ad adi Kejaksaan Amerika
Serikat atau dapat pula menjadi Direktorat Persaingan Usaha di bawah Departemen
Perdagangan yang berisi PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) di bidang
persaingan usaha.
Alternatif
kedua adalah menjadikan KPPU sebagai lembaga yang berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan seperti kewenangan KPK di bidang
pemberantasan tidak pidana korupsi. Cara ini pun menuntut adanya penyerahan
kewenangan. Kewenangan-kewenangan KPPU selama ini yang memiliki karakteristik sebagai
lembaga yudikatif dapat dilimpahkan kepada lembaga peradilan yang memang
berwenang melaksanakan kekuasaan kehakiman seperti pengadilan niaga atau Kamar
Khusus yang berada di lingkungan peradilan umum.
Sementara
itu jika produk hukum setingkat UU atau revisi UU No. 5/1999 agak sulit untuk
dibuat atau diwujudkan dalam rangka perbaikan kejelasan kelembagaan KPPU; maka
Perpu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) dapat menjadi pilihan yang bersifat
sementara.
2.
Ketidakjelasan
Kewenangan KPPU
Sebagaimana
telah dipaparkan di awal makalah, UU No. 5/1999 bukan satu-satunya produk hukum
yang mengatur mengenai aspek hukum persaingan usaha di Indonesia. Terhadap produk
hukum atau peraturan perundang-undangan lain, ketentuan peralihan pada Pasal 52
ayat (1) UU No. 5/1999 menentukan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur atau berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti oleh
UU No. 5/1999.
Jika
menelaah Pasal 52 ayat (1) UU No. 5/1999[4], maka
menarik untuk dibahas mengenai pemberlakuan dan penegakan peraturan atau kaedah
hukum persaingan usaha selain UU No. 5/1999. Sebagai contoh, Pasal 382 bis KUHP
mengatur mengenai perbuatan curang dalam mendapatkan, melangsungkan atau
memperluas hasil perdagangan yang isinya hampir sama dengan ketentuan Pasal 21
UU No. 5/1999[5].
Akan tetapi, Pasal 21 UU No. 5/1999 hanya mengatur perbuatan curang dalam hal
menetapkan biaya produksi seperti biaya produksi atau biaya lain. Bagaimana
untuk perbuatan curang diluar penetapan biaya? Jika mengacu Pasal 52 ayat (1)
UU No. 5/1999, maka sepatutnya Pasal 382 bis KUHP masih tetap berlaku karena
tidak bertentangan atau diganti dengan pasal-pasal, termasuk Pasal 21 UU No.
5/1999. Pertanyaan berikut yang mungkin timbul adalah siapa yang mempunyai
kewenangan menegakan peraturan atau kaedah hukum persaingan usaha di luar UU
No. 5/1999? Memperhatikan tujuan pembentukan, tugas dan wewenang KPPU
sebagaimana dipaparkan di atas, KPPU tidak
mempunyai wewenang mengawasi dan menegakan peraturan perundang-undangan
terkait hukum persaingan usaha selain UU No. 5/1999.
Selain
itu, ketidakjelasan kualifikasi bentuk kelembagaan KPPU, sebagaimana dipaparkan
di atas, merupakan penyeban pula dari ketidakjelasan kewenangan KPPU. Pasal 36
UU No. 5/1999 tidak memberikan kewenangan penuh bagi KPPU untuk menjalankan
fungsinya baik sebagai lembaga peradilan maupun sebagai lembaga penyelidikan,
penyidikan, atau penuntutan. Oleh karena itu, setelah adanya kejelasan
kualifikasi bentuk kelembagaan KPPU, sepatutnya KPPU diberikan kewenangan komprehensif
yang melekat kepada kualifikasi tersebut.
Jika
memang menghendaki KPPU sebagai suatu lembaga peradilan, maka sepatutnya KPPU
diberikan kewenangan yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan kehakiman
seperti mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada setiap putusannya[6],
menetapkan ganti kerugian kepada pihak lain (pelaku usaha lain atau masyarakat)[7],
menetapkan putusan sela guna mencegah kerugian yang lebih besar dari suatu
tindakan anti-persaingan. Kejelasan KPPU sebagai lembaga peradilan akan
memberikan kepastian dalam sistem hukum yang mengenal 3 (tiga) tingkat
peradilan. KPPU dapat dipersamakan sebagai “pengadilan tingkat pertama”
disamping adanya upaya hukum Keberatan (pengadilan tingkat banding) dan upaya hukum
Kasasi (pengadilan tingkat kasasi).
Sedangkan
jika menghendaki KPPU sebagai suatu lembaga penyelidikan, penyidikan atau
penuntutan, maka KPPU sepatutnya diberikan kewenangan terkait penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan, penyitaan atau kewenangan lain yang dalam praktek mendukung
kualifikasi lembaga itu. Selama ini memang berkembang kerjasama KPPU dengan
penyidik, dalam hal ini Bareskrim Polri, dalam rangka membantu penanganan
perkara dugaan pelanggaran UU No. 5/1999. Namun, jika mengacu kepada ketentuan
Pasal 36 huruf g UU No. 5/1999[8], KPPU
hanya berwenang meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, ahli atau pihak lain yang tidak memenuhi panggilan KPPU; tidak untuk
melakukan penggeledahan, penyitaan yang bertujuan untuk memperoleh bukti
pelanggaran.
Untuk
menyelesaikan permasalahan ketidakjelasan kualifikasi kelembagaan maupun
kewenagann tersebut, penulis berpendapat perlu adanya amandemen atau revisi UU
No. 5/1999. Dalam amandemen atau revisi tersebut perlu dilakukan pemisahan
antara produk hukum yang mengatur mengenai substasi tindakan anti-persaingan
(hukum materil) dengan produk hukum yang mengatur penegakan substansi tersebut
(hukum formil).
Pemisahan
tersebut antara lain bertujuan agar:
-
keberadaan peraturan perundang-undangan
bersubstansi hukum persaingan usaha selain UU No. 5/1999 dapat pula menjadi
rujukan bagi penegakan hukum persaingan usaha serta mampu mengantisipasi
perkembangan hukum materil persaingan usaha yang cenderung lebih dinamis dibandingkan
dengan hukum formil;
-
sementara itu, hukum formil yang memang cenderung
diharapkan lebih stabil dapat memberikan kepastian hukum acara dalam
pelaksanaan penegakan hukum persaingan usaha dan di sisi lain memberikan
keleluasaan bagi KPPU untuk menggunakan dan merujuk seluruh produk hukum
persaingan usaha yang ada;
[1] Pasal 18 UU No. 48/2009 berbunyi
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
[2] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU
No. 48/2009 berbunyi “Yang dimaksud dengan
“pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga,
pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan
hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang
berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”.
[3] Pasal 1 angka 3 UU No. 5/1986
jo. UU No. 9/2004 berbunyi “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.”
[4] Pasal 52 ayat (1) UU No. 5/1999
berbunyi “Sejak berlakunya undang-undang ini, semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan praktek monopoli dan
atau persaingan usaha dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum digantikan dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini”.
[5] Passal 21 UU No. 5/1999 berbunyi
“Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan
biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
[6] KPPU pernah mencantumkan
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Putusannya
Nomor 03/KPPU-I/2002 yang kemudian oleh Mahkamah Agung putusan tersebut
dinyatakan batal demi hukum karena melampaui kewenangan yang diberikan UU No.
5/1999, sebagaimana dapat dilihat dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 3
K/KPPU/2002.
[7] Pasal 36 huruf j hanya
menentukan kewenangan KPPU memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian
pihak lain tanpa secara tegas memberikan kewenangan bagi KPPU untuk menghukum
pelaku usaha yang melanggar UU No. 5/1999 untuk memberikan ganti rugi kepada
pihak lain tersebut.
[8] Pasal 36 huruf g berbunyi
“Wewenang Komisi meliputi: … meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan
huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi”.
0 komentar:
Posting Komentar