Selasa, 21 Mei 2013

 BAB II
BANTUAN HUKUM SEBAGAI AMANAT KONSTITUSI

  
A.    Pengertian Bantuan Hukum

Ada beberapa definisi bantuan hukum yang sudah ada. Black’s Law Dictionary mendefinisikan bahwa bantuan hukum adalah “Country wide system administered locally by legal services is rendered to those in financial need and who can not afford private counsel.” Menurut The International Legal Aid, bantuan hukum didefinisikan sebagai  “The legal aid work is an accepted plan under which the services of the legal profession are made available to ensure that no one is deprived of the right to receive legal advice or, where necessary legal representation before the courts or tribunals, especially by reason of his or her lack of financial  resources” (Frans Hendra Winarta, 2009 : 21)

Selain itu, menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan hukum adalah sebuah program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas. Oleh karenanya bantuan hukum bukanlah masalah sederhana, melainkan sebuah rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur politik, ekonomi, dan sosial yang sarat dengan penindasan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, Frans Hendra Winarta menyimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus diberikan kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara cuma-cuma, baik di luar maupun di dalam pengadilan, secara pidana, perdata, dan tata usaha negara, dari seseorang yang mengerti seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah hukum, serta hak asasi manusia (Frans Hendra Winarta, 2009 : 23)

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam bantuan hukum terdapat beberapa unsur, yaitu:
a.      penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang tidak mampu secara ekonomi;
b.      bantuan hukum diberikan baik di dalam maupun di luar proses peradilan;
c.      bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana, perdata maupun tata usaha negara;
d.      bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma.

B.     Hubungan Bantuan Hukum dan Konstitusionalisme

Bantuan hukum jelas mempunyai hubungan dengan konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah sebuah gagasan tentang pembatasan kekuasaan dalam pemerintahan, yang didukung oleh adanya undang-undang dasar, adanya lembaga perwakilan yamg demokratis, kebebasan warga, dan persamaan kedudukan dalam hukum.  Persamaan kedudukan dalam hukum berarti adanya kesempatan atau hak yang sama bagi setiap orang untuk mendapatkan keadilan. Hal ini tercermin dalam beberapa pasal dari UUD 1945, sehingga memberi suatu pesan (konstitusi) bahwa bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara adalah sebuah keniscayaan.

Berikut beberapa pasal dari UUD 1945 yang berkaitan dengan perlunya jaminan negara untuk menyelenggarakan bantuan hukum:



1.  Pasal 28D:
Ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yangadil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
          
Pasal 28D ayat (1) tersebut menjamin bahwa setiap orang termasuk orang yang tidak mampu, mempunyai hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dapat diwujudkan. Karena sangat sulit dipahami secara konstitusional, bahwa orang miskin dapat memperoleh jaminan terhadap hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, tetapi mereka orang tidak mampu dan tidak pula diberi akses terhadap keadilan, melalui lembaga-lembaga pengadilan Negara (litigasi) maupun proses non litigasi.

Dalam konsteks demikian sangat diperlukan kehadiran pemberi bantuan hukum, yang memang sejak awal didesain untuk melakukan pekerjaan hukum untuk orang yang tidak mampu. Agar orang yang tidak mampu dapat dijamin hak-haknya, dan mengakses keadilan dengan mendapatkan bantuan hukum dari pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma. Kehadiran pemberi bantuan hukum adalah implementasi kewajiban negara untuk membantu negara dalam tugas pemberian bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu. Negara, bagi terciptanya kesejahteraan kehidupan masyarakatnya khususnya dalam jaminan hak-hak pengakuan, dan jaminan hukum, sudah seyogyanya apabila visi dan misi yang diusung oleh pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, berbeda dengan pemberian bantuan hukum sebagaimana yang dilakukan oleh pihak lain, yakni advokat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pemberi bantuan hukum sejak awal mempunyai komitmen memberikan bantuan hukum kepada orang tidak mampu secara cuma-cuma, tetapi advokat sejak awal didesain untuk menjadi orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien, secara profesional dengan mendapatkan honorarium dari klien, di samping memang advokat juga mempunyai kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Beda antara pemberi bantuan hukum dengan advokat sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 pemberi bantuan hukum didesain sejak awal mengemban tugas untuk memberi bantuan hukum cuma-cuma dan tidak sebagai sebuah profesi serta mata pencaharian/pekerjaan. Sedangkan advokat adalah pekerjaan profesi atau mata pencaharian sehingga selalu terdapat motif imbalan atau honorarium.

Pasal 28D Ayat (2) tersebut, memberikan hak kepada pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum, mendapat imbalan dan perlakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang terbentuk antara pemberi bantuan hukum dengan orang yang tidak mampu yang mendapatkan bantuan hukum. Oleh karenanya, adalah menjadi kewajiban negara untuk menyediakan anggaran bagi kepentingan pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh pemberi bantuan hukum. Sebab sangat tidak mungkin, aktivitas pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum berjalan dengan baik dan optimal, jika tidak mendapatkan dukungan khususnya anggaran dari negara. Tanpa menghilangkan semangat pemberian bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum kepada orang miskin secara cuma-cuma (prodeo), maksud pemberian imbalan dan perlakuan yang adil dan layak bagi pemberi bantuan hukum harus diartikan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam konteks perlakuan adil dan layak karena telah melakukan pekerjaan bantuan hukum sebagai pemberi bantuan hukum. Imbalan tidak sama artinya dengan honorarium yang diterima advokat dari kliennya, melainkan anggaran dana yang diperlukan oleh pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum.

 3. Pasal 28H Ayat (2):
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Ketentuan Pasal 28H ayat (2) tersebut semakin memperkuat terjaminnya setiap warga negara khususnya warga negara tidak mampu, mengakses keadilan dengan cara mendapatkan bantuan hukum dari pemberi bantuan hukum agar haknya untuk mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, benar-benar dapat dijamin dan terwujud. Meskipun kehadiran organisasi bantuan hukum bukanlah menjadi satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab dalam melakukan tugas bantuan hukum khusus bagi orang yang tidak mampu secara cuma-cuma. Tetapi mengingat visi dan misi yang diusung oleh pemberi bantuan hukum sejak awal adalah dalam jalur ”pengabdian” dan kerja sukarela (volunteer), maka sangat bisa dipertanggungjawabkan apabila kemudian. kehadiran pemberi bantuan hukum perlu diatur dalam undang-undang tersendiri tentang Bantuan Hukum, tanpa harus ditafsir bahwa kehadirannya sudah cukup terwakili dengan hadirnya advokat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.

  5. Pasal 28I

Ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 28I ayat (4) dan (5) tersebut semakin meneguhkan jaminan hak-hak setiap orang khususnya yang tidak mampu dalam mendapatkan akses keadilan melalui kehadiran Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Pasal 28I ayat  (4) dan (5), sebagai pintu utama bagi penegakan jaminan hak-hak setiap orang yang tidak mampu untuk mendapatkan akses keadilan melalui pemberian bantuan hukum dari pemberi bantuan hukum, yang sekaligus dasar utama konstitusional bagi perlunya kehadiran pemberi bantuan hukum untuk mendapatkan pengaturan secara khusus dalam bentuk Undang-Undang tentang Bantuan Hukum, mengingat kedudukan, tugas, dan fungsinya yang sangat strategis, yakni melaksanakan amanat konstitusi. Dengan demikian tidak cukup alasan bagi pihak manapun untuk menolak dan tidak setuju dengan kehadiran Undang-Undang tentang Bantuan Hukum.

C.    Sejarah Singkat Bantuan Hukum di Indonesia

Gerakan bantuan hukum di negara berkembang umumya didorong oleh kebutuhan domestik akan suatu strategi pembangunan hukum yang responsif (Garuda Nusantara, 1983). Pembangunan hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat untuk mempengaruhi pembentukan, konseptualisasi, penerapan dan pengembangan hukum dalam suatu proses politik. Di negara berkembang pembangunan hukum cenderung bersifat ortodoks, di mana lembaga-lembaga negara (beserta aparat birokrasinya) mendominasi arah perkembangan hukum (Garuda Nusantara, 1983). Hukum yang dihasilkan dari pola ortodoks adalah hukum yang bersifat positivis-instrumentalis dan menempatkan hukum sebagai alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara, seperti persatuan nasional, stabilitas politik, modernisasi, dan pembangunan sosial. Dalam strategi ini, keinginan untuk mewujudkan otonomi hukum yang melibatkan pembatasan dan kontrol atas kekuasaan negara serta peran penting lembaga peradilan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hukum, tidak mendapat ruang yang memadai.

Kebutuhan akan pembangunan hukum yang responsif muncul dari kesadaran atas tidak akomodatifnya hukum positivis-instrumentalis yang dihasilkan pola ortodoks terhadap kebutuhan dan perasaan keadilan masyarakat. Suatu produk hukum yang lebih responsif terhadap tuntutan-tuntutan dari berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai melalui strategi pembagunan hukum yang menempatkan hukum sebagai wahana emansipasi (Peters dan Siswosoebroto dalam Kusumah 1995). Strategi responsif menempatkan hukum sebagai suatu alat bagi perubahan yang independen terhadap suatu sistem politik. Keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substansif, coersion lebih bercorak insentif dan kewajiban moral mandiri, sedangkan moralitas yang berkembang adalah keterpaduan antara aspirasi hukum dan politik yang tidak bersifat sub-ordinatif (Khusumah, 1995). Strategi hukum responsif akan memberikan ruang yang besar bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan hukum dan memungkinkan lembaga peradilan menjadi kreatif dan mandiri (Garuda Nusantara, 1983).

Kebutuhan yang sama juga dirasakan di Indonesia. Hanya saja, meskipun sudah mulai berkembang sejak zaman pra kemerdekaan, bantuan hukum yang berkembang sebelum dekade 1970-an tersebut lebih merupakan tanggung jawab moral maupun inisiatif profesional para advokat dalam membela hak asasi manusia dengan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Membela orang miskin juga bagian dari pelaksanaan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak setiap orang. Tidak bisa dipungkiri bahwa, secara umum bantuan hukum yang berkembang saat itu masih bersifat tradisional sehingga pelayanan yang diberikan lebih bersifat individual, pasif, terbatas pada pendekatan formal legal sehingga bertumpu pada pendampingan kasus dan pembelaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan (Garuda Nusantara, 1981).

Nasution (1981) menilai bahwa bangkitnya paham konstitusionalisme pada awal Orde Baru memegang peran kunci bagi perluasan gerakan bantuan hukum. Konstitusionalisme adalah abstraksi yang lebih tinggi dari 'rule of law' (rechtsstaat) dan menekankan pentingnya suatu 'negara terbatas' di mana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan penerimaannya akan mengubah 'kekuasaan' menjadi wewenang yang ditentukan secara hukum (Lev, 1990). Paham ini pada dasarnya menghendaki pemulihan negara hukum sesuai konstitusi yang berlaku sebagai koreksi atas berbagai penyimpangan yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin (Nasution 1981; dalam Garuda Nusantara, 1987). Secara umum mereka menghendaki: (i) pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, kultural, sosial dan pendidikan; (ii) peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan atau kekuasaan lain apa pun; dan (iii) legalisasi dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Berkembangnya pemikiran konstitusionalis ini dipengaruhi oleh masuk dan menguatnya pemikiran liberalisme di Indonesia khususnya kalangan kelas menengah, pada dekade 1970-an. Paham ini dicirikan oleh kepercayaan terhadap netralitas dan otonomi hukum serta pentingnya keberadaan pranata-pranata demokrasi ala barat, seperti parlemen dan kekuasaan kehakiman, yang berfungsi dengan baik bagi terwujudnya demokrasi (Uhlin, 1998 dalam Garuda Nusantara, 1981). Berkembangnya Liberalisme Indonesia di kelompok kelas menengah dan elite masyarakat sipil, menurut Lev (dalam Uhlin, 1998) juga ditandai oleh tekad untuk secara konseptual memisahkan negara dari masyarakat dan memperkuat posisi masyarakat terhadap negara.

Faktor-faktor tersebut kemudian mendorong bergesernya pola bantuan hukum dari bantuan hukum tradisional menjadi gerakan bantuan hukum konstitusional (Garuda Nusantara, 1981). Bantuan hukum konstitusional merupakan bantuan hukum untuk masyarakat miskin yang dilakukan dalam rangka usaha-usaha dan tujuan yang lebih luas dari sekadar pelayanan hukum di dalam pengadilan. Pola ini berusaha menyadarkan masyarakat miskin sebagai subyek hukum, atas hak-hak yang dimilikinya serta menempatkan penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama tegaknya negara hukum. Sifat bantuan hukum yang diberikan juga lebih aktif, tidak terbatas pada pendampingan individual namun juga diberikan kepada kelompok­ masyarakat secara kolektif. Pendekatan yang ditempuh juga tidak selalu pendekatan formal legal, namun juga melalui jalan politik dan negosiasi sehingga aktivitas seperti kampanye bagi penghapusan perundangan yang diskriminatif terhadap kaum miskin, kontrol terhadap birokrasi maupun pendidikan hukum masyarakat menjadi bagian yang esensial di dalamnya. Orientasi gerakan bantuan hukum ini tidak lagi hanya menjadi perwujudan negara hukum yang berlaku, namun telah bergeser menjadi perwujudan negara hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat miskin dipandang sebagai suatu kewajiban dalam rangka untuk menyadarkan mereka sebagai subyek hukum yang mempunyai hak-hak yang sama dengan golongan masyarakat lainnya.

Tanpa menafikan kemajuan-kemajuan yang dibawa oleh bantuan hukum konstitusional pada akhir 1970-an mulai timbul kegelisahan akan masih terbatasnya kemampuan gerakan bantuan hukum untuk menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia (Garuda Nusantara, 1981). Kesadaran ini makin menguat dengan munculnya wacana tentang ‘kemiskinan struktural’ pada awal tahun 1980-an kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang timbul secara alamiah namun disebabkan struktur kelembagaan yang timpang (Garuda Nusantara, 1981). Struktur yang timpang ini menyebabkan terjadinya ketimpangan penguasaan akses terhadap sumber daya dan penguasaan teknologi. Dalam kemiskinan struktural, struktur sosial yang ada telah memfasilitasi berlangsungnya proses yang merenggut hak-hak dasar manusia. Inilah yang kemudian dirasakan secara luas tengah berlangsung dalam politik pembangunan Orde Baru. Berbagai struktur kelembagaan, baik itu sosial, ekonomi, politik, bahkan termasuk hukum telah menciptakan problem-problem kemiskinan.

Dalam kacamata kemiskinan struktural, hukum tidak lagi bersifat netral. Hukum merupakan produk dari proses sosial yang terjadi di masyarakat. Suatu masyarakat dengan pola hubungan yang timpang tidak mungkin menghasilkan hukum yang adil bagi semua orang. Timbul kebutuhan bagi suatu ideologi hukum yang bersifat 'merombak' untuk membebaskan mayoritas masyarakat yang selama ini dimarjinalisasi dan ditelantarkan oleh struktur yang timpang. Nasution (1981) menyatakan bahwa bantuan hukum bukan hanya merupakan aksi kultural namun juga melibatkan aksi struktural untuk mengubah tatanan masyarakat dan membebaskan masyarakat dari struktur politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sarat dengan penindasan. Ditinggalkannya netralitas hukum serta kebutuhan akan perubahan struktural itulah yang mendorong pergeseran gerakan bantuan hukum dari yang bersifat konstitusional menjadi bantuan hukum struktural.
Bantuan hukum struktural merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang timpang menuju ke arah yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan baik di lapangan politik maupun ekonomi (Garuda Nusantara, 1981). Patra M. Zen menjelaskan bahwa jika hukum sebagai sistem dipilah menjadi tiga elemen yaitu struktur sistem hukum (structure of legal system), substansi sistem hukum (substance of legal system), dan budaya hukum (legal culture), maka bantuan hukum struktural melihat bahwa perubahan yang signifikan hanya bisa dilakukan melalui perombakan struktur sistem hukum.

Tujuan akhir dari bantuan hukum struktural bukan lagi menawarkan jasa bantuan hukum pada rakyat (fakir miskin) namun lebih kepada perubahan tatanan sosial dari yang semula timpang menjadi lebih berkeadilan. Merujuk pada Fauzi Abdullah, perbedaan tersebut ada pada ‘positioning’ gerakan bantuan hukum dimana: (i) analisis yang dilakukan menggunakan pisau analisis struktural; (ii) berpegang pada nilai-nilai keadilan sedangkan hukum positif merupakan objek analisis; (iii) relasi yang dikembangkan setara antara masyarakat (pencari keadilan) dengan public defender (pemberi jasa bantuan hukum); (iv) fakta yang dihimpun meliputi fakta-fakta sosial; serta (v) melibatkan tindakan non hukum/non litigasi, seperti penyadaran hak dan pengorganisasian serta penilaian.

Bantuan hukum struktural memang melibatkan tindakan yang lebih luas dibandingkan dengan bantuan hukum yang ada sebelumnya. Hendardi lebih jauh menjelaskan bahwa jalur-jalur non hukum merupakan bagian penting dalam bantuan hukum. Jalur-jalur ekstra legal tersebut mencakup pula lobby, pressure, maupun kampanye publik serta jalur-jalur lain yang bisa membangkitkan daya di dalam masyarakat untuk mengaktualisasikan hak-haknya di dalam hukum. Seperti yang kemudian direfleksikan oleh Lev (1990), dalam bantuan hukum struktural, organisasi bantuan hukum menggunakan hukum sebagai ‘jalan pintas bagi pembaharuan politik, sosial bahkan kultural’. Pemberian bantuan hukum hanya merupakan basis bagi upaya yang lebih luas yang dikembangkan untuk mewakili kepentingan petani dan buruh, kritisisme sosial-legal dan politik, desakan melalui lobby untuk pembaharuan hukum, pembelaan terhadap pengadilan politik yang juga digunakan sebagai forum untuk komentar politik dan hukum, serta kampanye untuk hak-hak asasi.

Satu hal yang menarik dari transformasi gerakan bantuan hukum konstitusional menjadi bantuan hukum struktural adalah terjadinya pergeseran pengarah wacana yang berkembang dalam masyarakat sipil. Merujuk pada klasifikasi Uhlin (1998) maupun Eldrigde (1989), wacana liberal yang sebelumnya mendominasi pada dekade 1970-an telah digantikan oleh wacana radikal kiri. Persentuhan dengan teori kritis, seperti dependency theory, memang diakui telah memberikan inspirasi bagi pematangan konsep bantuan hukum struktural. Hal ini juga dialami oleh Fauzi Abdullah maupun Hendardi. Mereka menyatakan bahwa perkenalan mereka dengan pemikir di luar gerakan bantuan hukum, seperti Paul Mudigdo, telah memfasilitasi persentuhan mereka dengan wacana baru tersebut. Paul Mudigdo adalah sosok yang sering disebut sebagai tokoh kunci dalam persentuhan para aktivis bantuan hukum di Indonesia dengan teori kritis dan mendorong perkembangan pemikiran bantuan hukum struktural. Adnan Buyung Nasution, Fauzi Abdullah, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara mengakui peran penting kriminolog dari Utrecht tersebut.

Secara langsung maupun tidak langsung, pemikiran-pemikiran tersebut juga beririsan  dengan perkembangan pemikiran yang ada di dalam ilmu hukum sendiri, khususnya pemikiran critical legal studies (CLS). Seperti yang dikemukakan Simarmata (2003), pemikiran CLS juga memandang konsep netralitas hukum adalah sebuah kebohongan besar. Seperti halnya diyakini dalam bantuan hukum struktural, CLS juga memandang bahwa hukum tidak pernah netral, kebal, apalagi otonom terhadap faktor-faktor di luar hukum (Simarmata, 2003).

Mengemukanya pendekatan bantuan hukum struktural telah mengubah ‘wajah’ gerakan bantuan hukum yang ada di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Dalam pandangan Mohammad Zaidan, walaupun wacana bantuan hukum struktural di LBH (kemudian YLBHI) telah dicetuskan sejak zaman Adnan Buyung Nasution dan terus dikembangkan oleh generasi Todung Mulya Lubis (1983-1987), namun pematangan konsep bantuan hukum struktural sendiri baru terjadi dalam masa kepemimpinan Abdul Hakim Garuda Nusantara (1987-1993). Olle Tornquist pada tahun 1984 saat mencermati peran LBH dalam gerakan pro demokrasi di Indonesia menyatakan bahwa LBH merupakan ‘penyambung yang mungkin di antara LSM berbasis kelas menengah, yang tidak punya basis massa, dengan gerakan buruh’. LBH Jakarta telah memainkan peran sebagai ‘issue enterpreneurs’ dengan membangkitkan kesadaran masyarakat (khususnya masyarakat miskin) akan hak untuk mendapatkan bantuan hukum serta memberikan alternatif untuk tidak bergantung pada inisiatif negara. Arti penting lain LBH adalah perannya dalam mengembangkan kekuatan organisasi non pemerintah (ORNOP) di Indonesia. Merujuk pada Uhlin (1998), lembaga bantuan hukum merupakan sedikit dari generasi senior tersebut yang menjadi ‘cetak biru’ dan sumber inspirasi bagi proses radikalisasi ORNOP pada dekade 1980 dan 1990-an.

Posisi tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga bantuan hukum  dalam mendorong pendekatan bantuan hukum struktural. LBH sejak tahun 1980-an secara bertahap mulai membangun  kesadaran kritis dan kekuatan kolektif di kelompok-kelompok strategis, khususnya buruh dan petani. Seperti diungkapkan Mohammad Zaidun, kesadaran kritis tersebut dibutuhkan agar timbul daya dari kelompok strategis tersebut untuk secara bersama-sama memecahkan masalah kolektif yang timbul dari represi yang mereka alami. Tidak hanya itu, untuk memperkuat gagasan dan daya jangkau gerakan bantuan hukum struktural, LBH dan banyak para aktivisnya juga mendukung dan banyak terlibat dalam jaringan advokasi beragam ORNOP dengan tema struktural yang lebih spesifik.

Kolaborasi antara LBH dengan komunitas ORNOP tersebut juga menghasilkan inovasi yang menarik. Sebagai contoh, LBH bersama WALHI secara inovatif menggunakan prinsip legal standing (dan kemudian juga class action) untuk mewakili kepentingan publik dalam memperkarakan “aktor-aktor”, baik negara maupun bukan negara, yang dinilai merusak kelestarian lingkungan hidup. Salah satu tonggak dalam kerja jejaring dan kolaborasi LBH dengan kelompok masyarakat sipil lain adalah kasus Kedung Ombo. Terlepas dari terbatasnya dampak kebijakan yang dihasilkannya dalam tataran domestik, merujuk pada Rochman (2002), LBH berhasil membangun koalisi luas dengan “masyarakat akar rumput” (korban gusuran), komunitas ORNOP lingkungan (WALHI dan SKEPHI) serta organisasi bantuan hukum yang. Brown dan Fox (2000) bahkan secara tidak langsung menilai peran sentral LBH (tepatnya YLBHI) untuk mengoordinasikan jejaring ORNOP merupakan hal yang unik dalam sejarah koalisi masyarakat sipil melawan proyek-proyek raksasa Bank Dunia. Membandingkan delapan kasus perlawanan kasus koalisi masyarakat sipil melawan Bank Dunia di Asia dan Amerika Latin, Brown dan Fox hanya menemukan keterlibatan sentral organisasi bantuan hukum dalam kasus Kedung Ombo.

Hal lain yang penting dicatat dari LBH adalah relasi yang dikembangkannya dengan negara. Orde Baru merupakan suatu rezim otoriter dan represif sehingga merupakan hal yang menarik ketika rezim tersebut tidak hanya ‘merestui’ namun bahkan memberikan dukungan sumber daya bagi terbentuk sebuah lembaga semacam LBH yang memperjuangkan negara hukum. Seperti halnya yang dianalisis oleh Lubis (1986), hal itu mungkin didorong oleh harapan pemerintah untuk menjadikan LBH sebagai ‘alat pereda konflik yang ampuh’ untuk memperkukuh tatanan (struktural) yang ada atau suatu ‘establishment within the establishment’. Hanya saja argumentasi tersebut tidak memadai untuk menjelaskan reaksi negara yang terkesan ‘cukup lunak’ terhadap LBH ketika LBH mulai menangani kasus-kasus yang bersifat politik, seperti kasus Malari, pembelaan HR Dharsono serta Thomas W. Wainggai, dan pengusutan kasus penembakan misterius (petrus). Seperti dikemukakan Lev (1990), negara mempunyai kemampuan untuk ‘memberangus’ LBH sebagai sebuah organisasi untuk selama-lamanya, namun yang dipilih kemudian hanyalah kombinasi dari represi kelembagaan yang terbatas serta represi ‘setengah hati’ terhadap individu aktivisnya.

Mohammad Zaidun dalam refleksinya terhadap pengalaman LBH Surabaya sepanjang Orde Baru menyatakan bahwa secara lembaga LBH tidak pernah mengalami represi yang sangat signifikan sebagai alat dari aktivitas bantuan hukumnya. Di saat kebanyakan aktivitas formal mengalami tekanan sistemik, baik dalam bentuk penangkapan maupun pemanggilan, LBH termasuk salah satu dari sedikit lembaga yang tidak pernah dipanggil untuk diminta keterangan tentang aktivitasnya. Kecenderungan yang sama juga berlangsung di tingkat nasional. Sebagai contoh, walaupun sempat dihambat untuk memperluas jaringan kantor LBH di daerah, larangan tersebut kemudian dihapus pada tahun 1978 dan pada akhirnya memungkinkan terbentuknya YLBHI (Uhlin, 1998). Menurut Mohammad Zaidun, kemampuan LBH saat itu untuk ‘meminimalisasi’ represi negara bersumber dari kemampuannya untuk memelihara keseimbangan antara kuatnya dukungan ‘populer’ dari masyarakat dan “kelompok akar rumput”, serta dukungan ‘informal’ dari komponen birokrasi pemerintahan dan militer. Seperti yang dikemukakan Lev (1990), meskipun pemerintahan Orde Baru dari segi politik lebih kuat dari pemerintahan lain yang pernah ada di Indonesia sejak kemerdekaan, namun dari segi ideologi tidak pernah sepi dari perdebatan. Selalu ada ‘perbedaan sudut pandang’, bahkan di antara pemegang peran intinya, tentang jenis negara apa yang seharusnya merupakan sifat negara Indonesia dan jenis masyarakat apa yang seharusnya dibangun, jika bukan jenis yang sudah ada. Konsep negara hukum dan kemudian perubahan struktural  yang dibawa LBH membantu mengisi ruang yang terbuka akibat perdebatan tersebut dan mampu menarik simpati dari dalam rezim Orde Baru sendiri. Tidak mengherankan jika kemudian Eldrigde (1989) menggolongkan YLBHI sebagai ORNOP yang menggunakan strategi ‘politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput’. Organisasi semacam ini membatasi kerja sama dengan pemerintah karena lebih mengutamakan peningkatan kesadaran kritis di masyarakat namun memiliki hubungan baik, bahkan pengaruh, jaringan militer dan birokrasi di pusat maupun di daerah yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap aktivitas-aktivitas mereka.

Lev (1990), di sisi lain, menyatakan bahwa posisi LBH yang kuat dalam relasinya dengan negara tersebut tidak bisa dilepaskan dari kemampuannya untuk menghimpun basis dukungan dan sumber daya, tidak hanya dari birokrasi maupun masyarakat, namun juga entitas kelas menengah lain dan pihak ketiga serta tidak hanya basis dukungan domestik namun juga dari luar negeri. Menurutnya, dukungan terhadap LBH juga datang dari unsur pengusaha dan kaum profesional  kelas menengah yang di satu sisi berterima kasih kepada kesempatan ekonomi yang diberikan rezim Orde Baru, namun di sisi lain, mulai muak dengan meningkatnya korupsi serta kesewenangan politik yang dilakukan oleh rezim yang sama. Dukungan lain juga diperoleh dari pers yang bersimpati serta memiliki jangkauan nasional yang luas, seperti harian Kompas, Sinar Harapan dan mingguan Tempo. Menurut Lev, tanpa dukungan pers, LBH tidak akan dapat mengembangkan banyak pengaruh, bahkan mungkin tidak akan dapat bertahan. Pernyataan Lev tentang peranan pers tersebut juga diamini oleh Budiman Tanuredjo. Budiman menyatakan bahwa tanpa adanya peran mediasi dari media massa sebagai agen komunikator maka ide-ide bantuan hukum struktural dari tokoh-tokoh LBH tidak akan pernah tersosialisasikan ke masyarakat. Budiman merujuk pada pengalaman kolaborasi media massa dan LBH saat menolak pengundangan RUU Keselamatan dan Keamanan Negara oleh Presiden BJ. Habibie yang dinilai bisa membangkitkan lagi Orde Baru. Saat itu, LBH bertindak sebagai pemasok ide tentang bahaya RUU tersebut sedangkan media massa berperan untuk melakukan kapitalisasi isu dan melakukan penyadaran secara luas di tingkat masyarakat tentang perlunya masyarakat sipil menolak RUU tersebut.

Peran donor internasional dalam aktivitas YLBHI memang acap mengundang kritik. Beberapa pengamat menyatakan bahwa ketergantungan terhadap donor bisa melemahkan kemandirian organisasi sehingga YLBHI lebih cenderung melayani kepentingan donor dibandingkan membela kepentingan rakyat miskin. Terlepas dari akurasi ‘tuduhan’ tersebut, mobilisasi sumber dana memang cukup dilematis bagi YLBHI. Seperti yang disampaikan Abdul Hakim Garuda Nusantara, YLBHI memandang bahwa mobilisasi dana dari donor asing adalah suatu kewajaran karena hak asasi manusia merupakan isu global. Hal itu menjadi makin tidak terelakkan ketika mobilisasi sumber dana domestik mengalami banyak kendala. Seperti yang disampaikan Mohammad Zaidun, LBH Surabaya tidak mungkin menerima dana dari pemerintah daerah karena secara politis itu akan menyulitkan posisi LBH dan akan membuat masyarakat dampingan mempertanyakan kemandirian LBH terhadap negara. Hal yang sama juga dialami oleh beberapa LBH di daerah lain. Hal senada disampaikan oleh Direktur LBH Bandung saat itu, Dindin Maulani. Dindin mencontohkan kasus batalnya sokongan dana dari Pemda Jawa Barat ketika LBH membela kasus klien yang bersengketa dengan pemerintah (The Jakarta Post, 30 Oktober 1990). Ini menyebabkan donor internasional tetap menjadi pilihan utama mengingat mereka memiliki sumber daya yang lebih besar dan kredibilitas yang lebih tinggi dibandingkan sumber daya domestik yang tidak bisa dilepaskan dari citra represif-kooptatif  rezim Orde Baru.



0 komentar:

Posting Komentar