BAB II
BANTUAN
HUKUM SEBAGAI AMANAT KONSTITUSI
A.
Pengertian Bantuan Hukum
Ada beberapa definisi bantuan hukum yang sudah ada. Black’s Law Dictionary
mendefinisikan bahwa bantuan hukum adalah “Country
wide system administered locally by legal services is rendered to those in
financial need and who can not afford private counsel.” Menurut The International Legal Aid, bantuan hukum didefinisikan
sebagai “The legal aid work is an accepted plan under which the services of the
legal profession are made available to ensure that no one is deprived of the
right to receive legal advice or, where necessary legal representation before
the courts or tribunals, especially by reason of his or her lack of financial resources” (Frans Hendra Winarta, 2009 :
21)
Selain itu, menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan hukum adalah sebuah
program yang tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi
struktural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil
menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan nafas yang nyaman bagi
golongan mayoritas. Oleh karenanya bantuan hukum bukanlah masalah sederhana,
melainkan sebuah rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu
struktur politik, ekonomi, dan sosial yang sarat dengan penindasan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, Frans Hendra Winarta
menyimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus diberikan
kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara cuma-cuma, baik di luar
maupun di dalam pengadilan, secara pidana, perdata, dan tata usaha negara, dari
seseorang yang mengerti seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah
hukum, serta hak asasi manusia (Frans Hendra Winarta, 2009 : 23)
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, bantuan
hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan advokat tanpa menerima
pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dalam bantuan
hukum terdapat beberapa unsur, yaitu:
a.
penerima bantuan hukum adalah fakir
miskin atau orang yang tidak mampu secara ekonomi;
b.
bantuan hukum diberikan baik di dalam
maupun di luar proses peradilan;
c.
bantuan hukum diberikan baik dalam
lingkup peradilan pidana, perdata maupun tata usaha negara;
d.
bantuan hukum diberikan secara
cuma-cuma.
B.
Hubungan Bantuan Hukum
dan Konstitusionalisme
Bantuan hukum jelas mempunyai hubungan dengan konstitusionalisme.
Konstitusionalisme adalah sebuah gagasan tentang pembatasan kekuasaan dalam
pemerintahan, yang didukung oleh adanya undang-undang dasar, adanya lembaga
perwakilan yamg demokratis, kebebasan warga, dan persamaan kedudukan dalam
hukum. Persamaan kedudukan dalam hukum
berarti adanya kesempatan atau hak yang sama bagi setiap orang untuk
mendapatkan keadilan. Hal ini tercermin dalam beberapa pasal dari UUD 1945,
sehingga memberi suatu pesan (konstitusi) bahwa bantuan hukum yang
diselenggarakan oleh negara adalah sebuah keniscayaan.
Berikut beberapa pasal dari UUD 1945 yang berkaitan dengan perlunya jaminan
negara untuk menyelenggarakan bantuan hukum:
1. Pasal 28D:
Ayat (1) “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yangadil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.”
Pasal 28D ayat (1) tersebut menjamin bahwa setiap orang termasuk orang yang
tidak mampu, mempunyai hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar
hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dapat diwujudkan. Karena sangat
sulit dipahami secara konstitusional, bahwa orang miskin dapat memperoleh
jaminan terhadap hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, tetapi mereka orang tidak
mampu dan tidak pula diberi akses terhadap keadilan, melalui lembaga-lembaga
pengadilan Negara (litigasi) maupun proses non litigasi.
Dalam konsteks demikian sangat diperlukan kehadiran pemberi bantuan hukum,
yang memang sejak awal didesain untuk melakukan pekerjaan hukum untuk orang
yang tidak mampu. Agar orang yang tidak mampu dapat dijamin hak-haknya, dan
mengakses keadilan dengan mendapatkan bantuan hukum dari pemberi bantuan hukum
secara cuma-cuma. Kehadiran pemberi bantuan hukum adalah implementasi kewajiban
negara untuk membantu negara dalam tugas pemberian bantuan hukum bagi orang
yang tidak mampu. Negara, bagi terciptanya kesejahteraan kehidupan
masyarakatnya khususnya dalam jaminan hak-hak pengakuan, dan jaminan hukum,
sudah seyogyanya apabila visi dan misi yang diusung oleh pemberi bantuan hukum
dalam melakukan tugas bantuan hukum cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu,
berbeda dengan pemberian bantuan hukum sebagaimana yang dilakukan oleh pihak lain,
yakni advokat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat. Pemberi bantuan hukum sejak awal mempunyai komitmen memberikan
bantuan hukum kepada orang tidak mampu secara cuma-cuma, tetapi advokat sejak
awal didesain untuk menjadi orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan
hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien, secara profesional dengan
mendapatkan honorarium dari klien, di samping memang advokat juga mempunyai
kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan
yang tidak mampu. Beda antara pemberi bantuan hukum dengan advokat sebagaimana
ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 pemberi bantuan hukum didesain
sejak awal mengemban tugas untuk memberi bantuan hukum cuma-cuma dan tidak
sebagai sebuah profesi serta mata pencaharian/pekerjaan. Sedangkan advokat
adalah pekerjaan profesi atau mata pencaharian sehingga selalu terdapat motif
imbalan atau honorarium.
Pasal 28D Ayat (2) tersebut, memberikan hak kepada pemberi bantuan hukum dalam
melakukan tugas bantuan hukum, mendapat imbalan dan perlakukan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja yang terbentuk antara pemberi bantuan hukum dengan
orang yang tidak mampu yang mendapatkan bantuan hukum. Oleh karenanya, adalah
menjadi kewajiban negara untuk menyediakan anggaran bagi kepentingan pemberian
bantuan hukum yang dilakukan oleh pemberi bantuan hukum. Sebab sangat tidak
mungkin, aktivitas pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum berjalan
dengan baik dan optimal, jika tidak mendapatkan dukungan khususnya anggaran
dari negara. Tanpa menghilangkan semangat pemberian bantuan hukum oleh pemberi
bantuan hukum kepada orang miskin secara cuma-cuma (prodeo), maksud pemberian imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
bagi pemberi bantuan hukum harus diartikan sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan dalam konteks perlakuan adil dan layak karena telah melakukan
pekerjaan bantuan hukum sebagai pemberi bantuan hukum. Imbalan tidak sama artinya
dengan honorarium yang diterima advokat dari kliennya, melainkan anggaran dana
yang diperlukan oleh pemberi bantuan hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum.
3. Pasal
28H Ayat (2):
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
Ketentuan Pasal 28H ayat (2) tersebut semakin memperkuat terjaminnya setiap
warga negara khususnya warga negara tidak mampu, mengakses keadilan dengan cara
mendapatkan bantuan hukum dari pemberi bantuan hukum agar haknya untuk
mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, benar-benar dapat
dijamin dan terwujud. Meskipun kehadiran organisasi bantuan hukum bukanlah
menjadi satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab dalam melakukan tugas
bantuan hukum khusus bagi orang yang tidak mampu secara cuma-cuma. Tetapi
mengingat visi dan misi yang diusung oleh pemberi bantuan hukum sejak awal
adalah dalam jalur ”pengabdian” dan kerja sukarela (volunteer), maka sangat bisa dipertanggungjawabkan apabila kemudian.
kehadiran pemberi bantuan hukum perlu diatur dalam undang-undang tersendiri tentang
Bantuan Hukum, tanpa harus ditafsir bahwa kehadirannya sudah cukup terwakili
dengan hadirnya advokat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
5. Pasal
28I
Ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 28I ayat (4) dan (5) tersebut semakin meneguhkan jaminan
hak-hak setiap orang khususnya yang tidak mampu dalam mendapatkan akses
keadilan melalui kehadiran Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Pasal 28I
ayat (4) dan (5), sebagai pintu utama
bagi penegakan jaminan hak-hak setiap orang yang tidak mampu untuk mendapatkan
akses keadilan melalui pemberian bantuan hukum dari pemberi bantuan hukum, yang
sekaligus dasar utama konstitusional bagi perlunya kehadiran pemberi bantuan
hukum untuk mendapatkan pengaturan secara khusus dalam bentuk Undang-Undang
tentang Bantuan Hukum, mengingat kedudukan, tugas, dan fungsinya yang sangat
strategis, yakni melaksanakan amanat konstitusi. Dengan demikian tidak cukup
alasan bagi pihak manapun untuk menolak dan tidak setuju dengan kehadiran Undang-Undang
tentang Bantuan Hukum.
C.
Sejarah Singkat Bantuan Hukum
di Indonesia
Gerakan bantuan hukum
di negara berkembang umumya didorong oleh kebutuhan domestik akan suatu
strategi pembangunan hukum yang responsif (Garuda Nusantara, 1983). Pembangunan
hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh berbagai kelompok sosial dalam
masyarakat untuk mempengaruhi pembentukan, konseptualisasi, penerapan dan
pengembangan hukum dalam suatu proses politik. Di negara berkembang pembangunan
hukum cenderung bersifat ortodoks, di mana lembaga-lembaga negara (beserta
aparat birokrasinya) mendominasi arah perkembangan hukum (Garuda Nusantara,
1983). Hukum yang dihasilkan dari pola ortodoks adalah hukum yang bersifat positivis-instrumentalis
dan menempatkan hukum sebagai alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan
program negara, seperti persatuan nasional, stabilitas politik, modernisasi,
dan pembangunan sosial. Dalam strategi ini, keinginan untuk mewujudkan otonomi
hukum yang melibatkan pembatasan dan kontrol atas kekuasaan negara serta peran
penting lembaga peradilan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hukum,
tidak mendapat ruang yang memadai.
Kebutuhan akan
pembangunan hukum yang responsif muncul dari kesadaran atas tidak akomodatifnya
hukum positivis-instrumentalis yang dihasilkan pola ortodoks terhadap
kebutuhan dan perasaan keadilan masyarakat. Suatu produk hukum yang lebih
responsif terhadap tuntutan-tuntutan dari berbagai kelompok sosial dan individu
dalam masyarakat hanya akan dapat dicapai melalui strategi pembagunan hukum
yang menempatkan hukum sebagai wahana emansipasi (Peters dan Siswosoebroto dalam Kusumah 1995). Strategi responsif
menempatkan hukum sebagai suatu alat bagi perubahan yang independen terhadap
suatu sistem politik. Keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substansif, coersion lebih bercorak insentif dan
kewajiban moral mandiri, sedangkan moralitas yang berkembang adalah keterpaduan
antara aspirasi hukum dan politik yang tidak bersifat sub-ordinatif
(Khusumah, 1995). Strategi hukum responsif akan memberikan ruang yang besar
bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan hukum dan memungkinkan lembaga
peradilan menjadi kreatif dan mandiri (Garuda Nusantara, 1983).
Kebutuhan yang sama
juga dirasakan di Indonesia. Hanya saja, meskipun sudah mulai berkembang sejak
zaman pra kemerdekaan, bantuan hukum yang berkembang sebelum dekade 1970-an
tersebut lebih merupakan tanggung jawab moral maupun inisiatif profesional para
advokat dalam membela hak asasi manusia dengan memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Membela orang miskin
juga bagian dari pelaksanaan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before
the law) dan hak setiap orang. Tidak bisa dipungkiri bahwa, secara umum
bantuan hukum yang berkembang saat itu masih bersifat tradisional sehingga
pelayanan yang diberikan lebih bersifat individual, pasif, terbatas pada
pendekatan formal legal sehingga bertumpu pada pendampingan kasus dan
pembelaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan (Garuda Nusantara, 1981).
Nasution (1981) menilai
bahwa bangkitnya paham konstitusionalisme pada awal Orde Baru memegang peran
kunci bagi perluasan gerakan bantuan hukum. Konstitusionalisme adalah abstraksi
yang lebih tinggi dari 'rule of law' (rechtsstaat) dan menekankan
pentingnya suatu 'negara terbatas' di mana kekuasaan politik resmi dikelilingi
oleh hukum yang jelas dan penerimaannya akan mengubah 'kekuasaan' menjadi
wewenang yang ditentukan secara hukum (Lev, 1990). Paham ini pada dasarnya
menghendaki pemulihan negara hukum sesuai konstitusi yang berlaku sebagai
koreksi atas berbagai penyimpangan yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin
(Nasution 1981; dalam Garuda Nusantara, 1987). Secara umum mereka menghendaki:
(i) pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, hukum, ekonomi, kultural, sosial dan pendidikan; (ii)
peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuatan atau kekuasaan lain apa pun; dan (iii) legalisasi dalam arti hukum
dalam segala bentuknya.
Berkembangnya pemikiran
konstitusionalis ini dipengaruhi oleh masuk dan menguatnya pemikiran
liberalisme di Indonesia khususnya kalangan kelas menengah, pada dekade
1970-an. Paham ini dicirikan oleh kepercayaan terhadap netralitas dan otonomi
hukum serta pentingnya keberadaan pranata-pranata demokrasi ala barat, seperti
parlemen dan kekuasaan kehakiman, yang berfungsi dengan baik bagi terwujudnya
demokrasi (Uhlin, 1998 dalam Garuda Nusantara, 1981). Berkembangnya Liberalisme
Indonesia di kelompok kelas menengah dan elite masyarakat sipil, menurut Lev (dalam Uhlin, 1998) juga ditandai oleh
tekad untuk secara konseptual memisahkan negara dari masyarakat dan memperkuat
posisi masyarakat terhadap negara.
Faktor-faktor tersebut
kemudian mendorong bergesernya pola bantuan hukum dari bantuan hukum
tradisional menjadi gerakan bantuan hukum konstitusional (Garuda Nusantara,
1981). Bantuan hukum konstitusional merupakan bantuan hukum untuk masyarakat
miskin yang dilakukan dalam rangka usaha-usaha dan tujuan yang lebih luas dari
sekadar pelayanan hukum di dalam pengadilan. Pola ini berusaha menyadarkan
masyarakat miskin sebagai subyek hukum, atas hak-hak yang dimilikinya serta
menempatkan penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai
sendi utama tegaknya negara hukum. Sifat bantuan hukum yang diberikan juga
lebih aktif, tidak terbatas pada pendampingan individual namun juga diberikan
kepada kelompok masyarakat secara kolektif. Pendekatan yang ditempuh juga
tidak selalu pendekatan formal legal, namun juga melalui jalan politik dan
negosiasi sehingga aktivitas seperti kampanye bagi penghapusan perundangan yang
diskriminatif terhadap kaum miskin, kontrol terhadap birokrasi maupun
pendidikan hukum masyarakat menjadi bagian yang esensial di dalamnya. Orientasi
gerakan bantuan hukum ini tidak lagi hanya menjadi perwujudan negara hukum yang
berlaku, namun telah bergeser menjadi perwujudan negara hukum yang berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat
miskin dipandang sebagai suatu kewajiban dalam rangka untuk menyadarkan mereka
sebagai subyek hukum yang mempunyai hak-hak yang sama dengan golongan
masyarakat lainnya.
Tanpa menafikan kemajuan-kemajuan
yang dibawa oleh bantuan hukum konstitusional pada akhir 1970-an mulai timbul
kegelisahan akan masih terbatasnya kemampuan gerakan bantuan hukum untuk
menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia
(Garuda Nusantara, 1981). Kesadaran ini makin menguat dengan munculnya wacana
tentang ‘kemiskinan struktural’ pada awal tahun 1980-an kemiskinan struktural
adalah kemiskinan yang timbul secara alamiah namun disebabkan struktur kelembagaan
yang timpang (Garuda Nusantara, 1981). Struktur yang timpang ini menyebabkan
terjadinya ketimpangan penguasaan akses terhadap sumber daya dan penguasaan
teknologi. Dalam kemiskinan struktural, struktur sosial yang ada telah
memfasilitasi berlangsungnya proses yang merenggut hak-hak dasar manusia.
Inilah yang kemudian dirasakan secara luas tengah berlangsung dalam politik
pembangunan Orde Baru. Berbagai struktur kelembagaan, baik itu sosial, ekonomi,
politik, bahkan termasuk hukum telah menciptakan problem-problem kemiskinan.
Dalam kacamata
kemiskinan struktural, hukum tidak lagi bersifat netral. Hukum merupakan produk
dari proses sosial yang terjadi di masyarakat. Suatu masyarakat dengan pola
hubungan yang timpang tidak mungkin menghasilkan hukum yang adil bagi semua
orang. Timbul kebutuhan bagi suatu ideologi hukum yang bersifat 'merombak'
untuk membebaskan mayoritas masyarakat yang selama ini dimarjinalisasi dan
ditelantarkan oleh struktur yang timpang. Nasution (1981) menyatakan bahwa
bantuan hukum bukan hanya merupakan aksi kultural namun juga melibatkan aksi
struktural untuk mengubah tatanan masyarakat dan membebaskan masyarakat dari
struktur politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sarat dengan penindasan.
Ditinggalkannya netralitas hukum serta kebutuhan akan perubahan struktural
itulah yang mendorong pergeseran gerakan bantuan hukum dari yang bersifat
konstitusional menjadi bantuan hukum struktural.
Bantuan hukum struktural merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
menciptakan kondisi bagi terwujudnya hukum yang mampu mengubah struktur yang
timpang menuju ke arah yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan
pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan baik di lapangan politik maupun ekonomi
(Garuda Nusantara, 1981). Patra M. Zen menjelaskan bahwa jika hukum sebagai
sistem dipilah menjadi tiga elemen yaitu struktur sistem hukum (structure of
legal system), substansi sistem hukum (substance of legal system),
dan budaya hukum (legal culture), maka bantuan hukum struktural melihat
bahwa perubahan yang signifikan hanya bisa dilakukan melalui perombakan
struktur sistem hukum.
Tujuan akhir dari bantuan hukum struktural bukan lagi menawarkan jasa
bantuan hukum pada rakyat (fakir miskin) namun lebih kepada perubahan tatanan
sosial dari yang semula timpang menjadi lebih berkeadilan. Merujuk pada Fauzi
Abdullah, perbedaan tersebut ada pada ‘positioning’
gerakan bantuan hukum dimana: (i) analisis yang dilakukan menggunakan pisau
analisis struktural; (ii) berpegang pada nilai-nilai keadilan sedangkan hukum
positif merupakan objek analisis; (iii) relasi yang dikembangkan setara antara
masyarakat (pencari keadilan) dengan public
defender (pemberi jasa bantuan hukum); (iv) fakta yang dihimpun meliputi
fakta-fakta sosial; serta (v) melibatkan tindakan non hukum/non litigasi,
seperti penyadaran hak dan pengorganisasian serta penilaian.
Bantuan hukum struktural memang melibatkan tindakan yang lebih luas
dibandingkan dengan bantuan hukum yang ada sebelumnya. Hendardi lebih jauh
menjelaskan bahwa jalur-jalur non hukum merupakan bagian penting dalam bantuan
hukum. Jalur-jalur ekstra legal tersebut mencakup pula lobby, pressure, maupun kampanye publik serta jalur-jalur lain yang
bisa membangkitkan daya di dalam masyarakat untuk mengaktualisasikan hak-haknya
di dalam hukum. Seperti yang kemudian direfleksikan oleh Lev (1990), dalam
bantuan hukum struktural, organisasi bantuan hukum menggunakan hukum sebagai
‘jalan pintas bagi pembaharuan politik, sosial bahkan kultural’. Pemberian
bantuan hukum hanya merupakan basis bagi upaya yang lebih luas yang
dikembangkan untuk mewakili kepentingan petani dan buruh, kritisisme
sosial-legal dan politik, desakan melalui lobby
untuk pembaharuan hukum, pembelaan terhadap pengadilan politik yang juga digunakan
sebagai forum untuk komentar politik dan hukum, serta kampanye untuk hak-hak
asasi.
Satu hal yang menarik dari transformasi gerakan bantuan
hukum konstitusional menjadi bantuan hukum struktural adalah terjadinya
pergeseran pengarah wacana yang berkembang dalam masyarakat sipil. Merujuk pada
klasifikasi Uhlin (1998) maupun Eldrigde (1989), wacana liberal yang sebelumnya
mendominasi pada dekade 1970-an telah digantikan oleh wacana radikal kiri.
Persentuhan dengan teori kritis, seperti dependency
theory, memang diakui telah memberikan inspirasi bagi pematangan konsep
bantuan hukum struktural. Hal ini juga dialami oleh Fauzi Abdullah maupun
Hendardi. Mereka menyatakan bahwa perkenalan mereka dengan pemikir di luar
gerakan bantuan hukum, seperti Paul Mudigdo, telah memfasilitasi persentuhan
mereka dengan wacana baru tersebut. Paul Mudigdo adalah sosok yang sering
disebut sebagai tokoh kunci dalam persentuhan para aktivis bantuan hukum di
Indonesia dengan teori kritis dan mendorong perkembangan pemikiran bantuan
hukum struktural. Adnan Buyung Nasution, Fauzi Abdullah, dan Abdul Hakim Garuda
Nusantara mengakui peran penting kriminolog dari Utrecht tersebut.
Secara langsung maupun tidak langsung, pemikiran-pemikiran tersebut juga
beririsan dengan perkembangan pemikiran
yang ada di dalam ilmu hukum sendiri, khususnya pemikiran critical legal studies (CLS). Seperti yang dikemukakan Simarmata
(2003), pemikiran CLS juga memandang konsep netralitas hukum adalah sebuah
kebohongan besar. Seperti halnya diyakini dalam bantuan hukum struktural, CLS
juga memandang bahwa hukum tidak pernah netral, kebal, apalagi otonom terhadap
faktor-faktor di luar hukum (Simarmata, 2003).
Mengemukanya pendekatan bantuan hukum struktural telah mengubah ‘wajah’
gerakan bantuan hukum yang ada di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Dalam
pandangan Mohammad Zaidan, walaupun wacana bantuan hukum struktural di LBH (kemudian
YLBHI) telah dicetuskan sejak zaman Adnan Buyung Nasution dan terus
dikembangkan oleh generasi Todung Mulya Lubis (1983-1987), namun pematangan
konsep bantuan hukum struktural sendiri baru terjadi dalam masa kepemimpinan
Abdul Hakim Garuda Nusantara (1987-1993). Olle Tornquist pada tahun 1984 saat
mencermati peran LBH dalam gerakan pro demokrasi di Indonesia menyatakan bahwa
LBH merupakan ‘penyambung yang mungkin di antara LSM berbasis kelas menengah,
yang tidak punya basis massa, dengan gerakan buruh’. LBH Jakarta telah
memainkan peran sebagai ‘issue
enterpreneurs’ dengan membangkitkan kesadaran masyarakat (khususnya
masyarakat miskin) akan hak untuk mendapatkan bantuan hukum serta memberikan
alternatif untuk tidak bergantung pada inisiatif negara. Arti penting lain LBH
adalah perannya dalam mengembangkan kekuatan organisasi non pemerintah (ORNOP)
di Indonesia. Merujuk pada Uhlin (1998), lembaga bantuan hukum merupakan
sedikit dari generasi senior tersebut yang menjadi ‘cetak biru’ dan sumber
inspirasi bagi proses radikalisasi ORNOP pada dekade 1980 dan 1990-an.
Posisi tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga bantuan hukum dalam mendorong pendekatan bantuan hukum
struktural. LBH sejak tahun 1980-an secara bertahap mulai membangun kesadaran kritis dan kekuatan kolektif di
kelompok-kelompok strategis, khususnya buruh dan petani. Seperti diungkapkan
Mohammad Zaidun, kesadaran kritis tersebut dibutuhkan agar timbul daya dari
kelompok strategis tersebut untuk secara bersama-sama memecahkan masalah
kolektif yang timbul dari represi yang mereka alami. Tidak hanya itu, untuk
memperkuat gagasan dan daya jangkau gerakan bantuan hukum struktural, LBH dan
banyak para aktivisnya juga mendukung dan banyak terlibat dalam jaringan
advokasi beragam ORNOP dengan tema struktural yang lebih spesifik.
Kolaborasi antara LBH dengan komunitas ORNOP tersebut juga menghasilkan
inovasi yang menarik. Sebagai contoh, LBH bersama WALHI secara inovatif
menggunakan prinsip legal standing
(dan kemudian juga class action) untuk
mewakili kepentingan publik dalam memperkarakan “aktor-aktor”, baik negara
maupun bukan negara, yang dinilai merusak kelestarian lingkungan hidup. Salah
satu tonggak dalam kerja jejaring dan kolaborasi LBH dengan kelompok masyarakat
sipil lain adalah kasus Kedung Ombo. Terlepas dari terbatasnya dampak kebijakan
yang dihasilkannya dalam tataran domestik, merujuk pada Rochman (2002), LBH
berhasil membangun koalisi luas dengan “masyarakat akar rumput” (korban
gusuran), komunitas ORNOP lingkungan (WALHI dan SKEPHI) serta organisasi
bantuan hukum yang. Brown dan Fox (2000) bahkan secara tidak langsung menilai
peran sentral LBH (tepatnya YLBHI) untuk mengoordinasikan jejaring ORNOP
merupakan hal yang unik dalam sejarah koalisi masyarakat sipil melawan
proyek-proyek raksasa Bank Dunia. Membandingkan delapan kasus perlawanan kasus
koalisi masyarakat sipil melawan Bank Dunia di Asia dan Amerika Latin, Brown
dan Fox hanya menemukan keterlibatan sentral organisasi bantuan hukum dalam
kasus Kedung Ombo.
Hal lain yang penting dicatat dari LBH adalah relasi yang dikembangkannya
dengan negara. Orde Baru merupakan suatu rezim otoriter dan represif sehingga
merupakan hal yang menarik ketika rezim tersebut tidak hanya ‘merestui’ namun
bahkan memberikan dukungan sumber daya bagi terbentuk sebuah lembaga semacam
LBH yang memperjuangkan negara hukum. Seperti halnya yang dianalisis oleh Lubis
(1986), hal itu mungkin didorong oleh harapan pemerintah untuk menjadikan LBH
sebagai ‘alat pereda konflik yang ampuh’ untuk memperkukuh tatanan (struktural)
yang ada atau suatu ‘establishment within
the establishment’. Hanya saja argumentasi tersebut tidak memadai untuk
menjelaskan reaksi negara yang terkesan ‘cukup lunak’ terhadap LBH ketika LBH
mulai menangani kasus-kasus yang bersifat politik, seperti kasus Malari,
pembelaan HR Dharsono serta Thomas W. Wainggai, dan pengusutan kasus penembakan
misterius (petrus). Seperti dikemukakan Lev (1990), negara mempunyai kemampuan
untuk ‘memberangus’ LBH sebagai sebuah organisasi untuk selama-lamanya, namun
yang dipilih kemudian hanyalah kombinasi dari represi kelembagaan yang terbatas
serta represi ‘setengah hati’ terhadap individu aktivisnya.
Mohammad Zaidun dalam refleksinya terhadap pengalaman LBH Surabaya
sepanjang Orde Baru menyatakan bahwa secara lembaga LBH tidak pernah mengalami
represi yang sangat signifikan sebagai alat dari aktivitas bantuan hukumnya. Di
saat kebanyakan aktivitas formal mengalami tekanan sistemik, baik dalam bentuk
penangkapan maupun pemanggilan, LBH termasuk salah satu dari sedikit lembaga
yang tidak pernah dipanggil untuk diminta keterangan tentang aktivitasnya.
Kecenderungan yang sama juga berlangsung di tingkat nasional. Sebagai contoh,
walaupun sempat dihambat untuk memperluas jaringan kantor LBH di daerah,
larangan tersebut kemudian dihapus pada tahun 1978 dan pada akhirnya
memungkinkan terbentuknya YLBHI (Uhlin, 1998). Menurut Mohammad Zaidun,
kemampuan LBH saat itu untuk ‘meminimalisasi’ represi negara bersumber dari
kemampuannya untuk memelihara keseimbangan antara kuatnya dukungan ‘populer’
dari masyarakat dan “kelompok akar rumput”, serta dukungan ‘informal’ dari
komponen birokrasi pemerintahan dan militer. Seperti yang dikemukakan Lev
(1990), meskipun pemerintahan Orde Baru dari segi politik lebih kuat dari pemerintahan
lain yang pernah ada di Indonesia sejak kemerdekaan, namun dari segi ideologi
tidak pernah sepi dari perdebatan. Selalu ada ‘perbedaan sudut pandang’, bahkan
di antara pemegang peran intinya, tentang jenis negara apa yang seharusnya
merupakan sifat negara Indonesia dan jenis masyarakat apa yang seharusnya
dibangun, jika bukan jenis yang sudah ada. Konsep negara hukum dan kemudian
perubahan struktural yang dibawa LBH
membantu mengisi ruang yang terbuka akibat perdebatan tersebut dan mampu
menarik simpati dari dalam rezim Orde Baru sendiri. Tidak mengherankan jika
kemudian Eldrigde (1989) menggolongkan YLBHI sebagai ORNOP yang menggunakan
strategi ‘politik tingkat tinggi-mobilisasi akar rumput’. Organisasi semacam
ini membatasi kerja sama dengan pemerintah karena lebih mengutamakan peningkatan
kesadaran kritis di masyarakat namun memiliki hubungan baik, bahkan pengaruh,
jaringan militer dan birokrasi di pusat maupun di daerah yang dapat digunakan
untuk memberikan perlindungan terhadap aktivitas-aktivitas mereka.
Lev (1990), di sisi lain, menyatakan bahwa posisi LBH yang kuat dalam
relasinya dengan negara tersebut tidak bisa dilepaskan dari kemampuannya untuk
menghimpun basis dukungan dan sumber daya, tidak hanya dari birokrasi maupun
masyarakat, namun juga entitas kelas menengah lain dan pihak ketiga serta tidak
hanya basis dukungan domestik namun juga dari luar negeri. Menurutnya, dukungan
terhadap LBH juga datang dari unsur pengusaha dan kaum profesional kelas menengah yang di satu sisi berterima
kasih kepada kesempatan ekonomi yang diberikan rezim Orde Baru, namun di sisi
lain, mulai muak dengan meningkatnya korupsi serta kesewenangan politik yang
dilakukan oleh rezim yang sama. Dukungan lain juga diperoleh dari pers yang
bersimpati serta memiliki jangkauan nasional yang luas, seperti harian Kompas,
Sinar Harapan dan mingguan Tempo. Menurut Lev, tanpa dukungan pers, LBH tidak
akan dapat mengembangkan banyak pengaruh, bahkan mungkin tidak akan dapat
bertahan. Pernyataan Lev tentang peranan pers tersebut juga diamini oleh
Budiman Tanuredjo. Budiman menyatakan bahwa tanpa adanya peran mediasi dari
media massa sebagai agen komunikator maka ide-ide bantuan hukum struktural dari
tokoh-tokoh LBH tidak akan pernah tersosialisasikan ke masyarakat. Budiman merujuk
pada pengalaman kolaborasi media massa dan LBH saat menolak pengundangan RUU
Keselamatan dan Keamanan Negara oleh Presiden BJ. Habibie yang dinilai bisa
membangkitkan lagi Orde Baru. Saat itu, LBH bertindak sebagai pemasok ide
tentang bahaya RUU tersebut sedangkan media massa berperan untuk melakukan
kapitalisasi isu dan melakukan penyadaran secara luas di tingkat masyarakat
tentang perlunya masyarakat sipil menolak RUU tersebut.
Peran donor internasional dalam aktivitas YLBHI memang
acap mengundang kritik. Beberapa pengamat menyatakan bahwa ketergantungan
terhadap donor bisa melemahkan kemandirian organisasi sehingga YLBHI lebih
cenderung melayani kepentingan donor dibandingkan membela kepentingan rakyat
miskin. Terlepas dari akurasi ‘tuduhan’ tersebut, mobilisasi sumber dana memang
cukup dilematis bagi YLBHI. Seperti yang disampaikan Abdul Hakim Garuda
Nusantara, YLBHI memandang bahwa mobilisasi dana dari donor asing adalah suatu
kewajaran karena hak asasi manusia merupakan isu global. Hal itu menjadi makin
tidak terelakkan ketika mobilisasi sumber dana domestik mengalami banyak
kendala. Seperti yang disampaikan Mohammad Zaidun, LBH Surabaya tidak mungkin
menerima dana dari pemerintah daerah karena secara politis itu akan menyulitkan
posisi LBH dan akan membuat masyarakat dampingan mempertanyakan kemandirian LBH
terhadap negara. Hal yang sama juga dialami oleh beberapa LBH di daerah lain. Hal
senada disampaikan oleh Direktur LBH Bandung saat itu, Dindin Maulani. Dindin
mencontohkan kasus batalnya sokongan dana dari Pemda Jawa Barat ketika LBH
membela kasus klien yang bersengketa dengan pemerintah (The Jakarta Post, 30
Oktober 1990). Ini menyebabkan donor internasional tetap menjadi pilihan utama
mengingat mereka memiliki sumber daya yang lebih besar dan kredibilitas yang
lebih tinggi dibandingkan sumber daya domestik yang tidak bisa dilepaskan dari
citra represif-kooptatif rezim Orde
Baru.
0 komentar:
Posting Komentar