Administrasi Negara dan Kebijakan Publik
Kebijakan
publik sering didefinisikan sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk
dikerjakan dan tidak dikerjakan.[1] Dengan kata lain, “diam”-nya pemerintah juga merupakan
bagian dari kebijakan, yaitu tidak mengambil tindakan apa-apa (status quo).
Misalnya, jalan lintas Sumatera yang sudah rusak parah tetapi tidak kunjung
diperbaiki oleh pemerintah. Tindakan pemerintah yang tidak memperbaiki jalan
yang telah rusak tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemerintah.
Pemerintah dapat tidak melakukan apa-apa karena beberapa faktor. Pertama,
dari sudut pandang pemerintah tidak mengambil kebijakan merupakan opsi yang
paling efektif untuk menyelesaikan suatu masalah, contoh minimnya tindakan
konkrit pemerintah dalam menyelesaikan masalah pembubaran Ahmadiyah. Kedua,
anggaran yang memang terbatas sehingga tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk
mengambil sebuah kebijakan, misalnya kurangnya kebijakan pemerintah dalam
memberikan insentif yang wajar kepada guru besar di perguruan tinggi dengan
alasan minimnya anggaran. Ketiga, terkait dengan risiko politik
yang akan diterima ketika pemerintah mengambil suatu kebijakan, contohnya
abstainnya pemerintah Indonesia dalam pengambilan suara di PBB untuk
menjatuhkan sanksi terhadap Iran yang dituduh membuat senjata nuklir,
pemerintah khawatir diembargo oleh Amerika Serikat jika mendukung Iran. Keempat,
pemerintah diam dan tidak mengambil suatu kebijakan karena desakan publik,
contoh kebijakan pembangunan gedung baru DPR yang terpaksa ditangguhkan karena
desakan dari berbagai kalangan.
Kebijakan
publik disusun dengan metode yang ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah
publik. Terdapat beberapa aktivitas dalam proses penyusunan kebijakan publik.
Menurut Dunn proses perumusan kebijakan terdiri atas beberapa aktivitas sebagai
berikut:[2]
- Perumusan masalah: Pemerintah harus mampu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh publik. Hasil identifikasi tersebut dilanjutkan dengan merumuskan masalah-masalah publik yang akan dipecahkan.
- Peramalan: Melakukan forecasting terhadap dampak, manfaat, solvabilitas dan menganalisis tingkat kesulitan implementasi suatu kebijakan yang akan diambil.
- Rekomendasi kebijakan: Memberikan alternatif kebijakan yang memiliki manfaat paling tinggi dan merekomendasikannya kepada pengambil kebijakan.
- Pemantauan: Kegiatan memantau hasil dan dampak suatu kebijakan yang telah diimplementasikan.
- Evaluasi: Menilai kinerja kebijakan secara umum sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Administrasi
negara bertanggung-jawab memformulasikan kebijakan publik yang excelent yang
mampu menguntungkan publik secara luas. Kuatnya tuntutan agar administrasi
negara bisa menghasilkan kebijakan yang berkualitas telah mimicu lahirnya
kajian analisis kebijakan publik. Analisis kebijakan publik adalah disiplin
ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multiple dalam
konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai
dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.[3] Analisis kebijakan adalah pekerjaan menghitung,
menilai dan memilih alternatif kebijakan yang memiliki manfaat bersih paling
tinggi guna memecahkan masalah publik dengan seperangkat kriteria dan metode
tertentu.
Orang-orang
yang bekerja merumuskan dan menganalisis kebijakan publik seringkali disebut
sebagai analis kebijakan. Pekerjaan sebagai analis kebijakan adalah pekerjaan
yang sulit sekaligus penting. Sulit karena para analis kebijakan harus mencari
dan menentukan identitas masalah kebijakan itu dengan hati-hati, baru kemudian
dapat merumuskan kebijakan dengan benar. Sebuah masalah harus didefinisikan,
distrukturisasi, diletakkan, dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Bagaimana
proses ini terjadi merupakan hal krusial bagi penanganan suatu masalah tertentu
melalui kebijakan.[4] Selanjutnya, agar bisa
membuat kesimpulan tentang ’kebaikan’ suatu kebijakan, seorang analis
diharuskan melakukan penelitian dengan kualitas yang memadai di sekitar masalah
kebijakan yang dikajinya.[5] Selain itu, analis
kebijakan seringkali berhadapan dengan logika kekuasaan, kepentingan kelompok
dan pressure dalam merumuskan alternatif kebijakan. Namun,
demikian posisinya penting dan terhormat karena dari tangannyalah lahir
kebijakan-kebijakan yang cerdas dan solutif. Terdapat sebutan yang
beragam terhadap analis kebijakan pada organisasi pemerintah. Kadang-kadang
analis kebijakan disebut sebagai konsultan dan staf ahli.
Realitas
empiris saat ini sering membuat kita miris karena kurangnya pemahaman
pemerintah terhadap arti penting analis kebijakan. Kasus hari ini yang kasat
mata adalah kita menemukan banyak anggota DPR dan DPRD yang belum dilengkapi
dengan staf ahli yang memadai sehingga mereka kesulitan dalam merancang
kebijakan publik yang ilmiah dan menguntungkan masyarakat. Di pemerintah daerah
kondisinya lebih memprihatinkan, dimana posisi atau jabatan sebagai staf ahli
kepala daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota sebagai jabatan ”buangan” dan
kurang pamor. Kepala daerah cenderung menempatkan orang-orang yang sudah tidak
produktif, nonjob dan akan segera pensiun sebagai staf ahli. Akibatnya, kinerja
staf ahli di daerah sering dipertanyakan karena tidak menunjukkan kinerja yang
berarti.
Keilmuwan Administrasi
Negara di Beberapa Negara
Administrasi
negara di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, Australia,
Belanda dan Singapura telah menunjukkan perkembangan yang sangat cepat, baik
dari segi teoritis maupun praktis. Kebanyakan, teori-teori tentang kebijakan
publik, manajemen publik, governance, manajemen pembangunan berasal
dari negara-negara tersebut. Indonesia pada tahap ini masih sebatas follower dari
teori-teori ”asing” tersebut.
Tabel Pendidikan Master
(Pascasarjana) Administrasi Negara
di Beberapa Negara[6]
No
|
Negara
|
Perguruan Tinggi
|
Sekolah/Departemen
|
Program yang Ditawarkan
|
1
|
Amerika
Serikat
|
Harvard University
Princeton University
|
John F. Kennedy School of
Government
Woodrow Wilson School of
Public Affairs
|
Master
of Public Administration (MPA)
Master
of Public Policy (MPP)
Ph.D
Master
in Public Adminisration (MPA)
Master
in Public Policy (MPP)
Ph.D
in Public Affairs
|
2
|
Inggris
|
York University
|
Atkinson
Faculty of Liberal and Professional Studies
|
Master
of Public Policy, Administration and Law (MPPAL)
|
3
|
Belanda
|
Leiden University
Erasmus Mundus University
|
-
-
|
Master
of Science in Public Administration (M.Sc)
Master
of Arts in Public Policy (MA)
|
4
|
Australia
|
Australian National University
Monash University
Flinders University
|
-
-
-
|
Master
of Public Policy (MPP)
Master
of Development Administration (MDA)
Master
of Public Policy and Management (MPPM)
Master
of Policy and Administration (M.Pol.Admin)
Ph.D
|
5
|
Singapura
|
National University of Singapore
|
Lee Kuan Yew School of
Public Policy
|
Master
of Public Administration (MPA)
Master
of Public Policy (MPP)
Master
of Public Management (MPM)
Ph.D
|
6
|
Malaysia
|
Malaya University
University
Sains Malaysia
Universiti
Utara Malaysia
|
School of Bussines and
Administration
-
College of Law,
Government and International Studies
|
Master
of Public Administration (MPA)
Master
of Public Administration (MPA)
Ph.D
Master
of Public management (MPM)
Ph.D
|
Kemajuan tersebut
dipelopori oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ada di negara tersebut,
terutama yang menyelenggarakan pendidikan administrasi negara, baik di tingkat bacheloriat,
Master dan Ph.D. Ilmuwan-ilmuwan administrasi negara dari perguruan tinggi
inilah yang melahirkan karya-karya dan gagasan-gagasan yang diekspor ke
negara-negara lain. Teori tentang analisis kebijakan publik yang dicetuskan
oleh William N. Dunn misalnya, merupakan teori yang lahir dari kampus Graduate
School of Public and International Affairs (GSPIA) Pittsburgh
University di Amerika Serikat.
Sistem
pendidikan administrasi negara di negara-negara maju juga telah menunjukkan
perkembangan yang signifikan sebagai upaya untuk merespon perubahan zaman. Saat ini, jamak di jumpai program-program baru
yang merupakan cabang-cabang ilmu administrasi sebagai program studi
tersendiri, seperti program Master of Public Policy (MPP) di John
F. Kennedy School of Government di Universitas Harvard atau
program studi Master of Public Management (MPM) di Lee
Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore dan
program studi Master of Public Management (MPM) di College
of Law, Government and International Studies di Universi
Utara Malaysia. Namun, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, nampaknya
di negara-negara maju belum memiliki standar yang sama dalam memberikan gelar
kepada alumni program master mereka. Di John F. Kennedy School of Government di
Universitas Harvard, lulusan pascasarjana public policy diberi
gelar Master of Public Policy (MPP), tetapi di Belanda lulusan
pada jurusan yang dihadiahi gelar Master of Arts (MA).
Dari segi penawaran mata
kuliah pun, perguruan tinggi-perguruan tinggi di negara-negara maju sudah mulai
fokus pada kajian-kajian tertentu dan lebih fleksibel dari perguruan tinggi di Indonesia. Mereka selalu kooperatif
terhadap bidang kajian tertentu yang menyangkut domain publik. Misalnya, mata
kuliah Social Policy yang ditawarkan di beberapa program
pascasarjana administrasi negara di beberapa perguruan tinggi di Australia
menandakan bahwa mereka sangat concern terhadap isu-isu dan
kebijakan sosial yang berkembang saat ini. Sedangkan di Indonesia, mata kuliah
ini merupakan monopoli mereka yang di jurusan kesejahteraan sosial atau
pembangunan sosial dan kesejahteraan.
Tabel 2. Matakuliah Wajib
dan Pilihan yang Ditawarkan
di Program Master of Public
Administration
Flinders University Australia
Kode
|
Mata Kuliah
|
SKS
|
Mata Kuliah Wajib
|
||
Public Policy
|
6
|
|
Contemporary Issues in Public
Policy
|
6
|
|
Public Management
|
6
|
|
Toolkit for Public Management
|
6
|
|
Governance and Public Policy
|
6
|
|
Ethics in Public Administration
|
6
|
|
Research Methods
|
6
|
|
Master of Public Administration
Dissertation, or
|
18
|
|
Project in Public Administration
|
12
|
|
Mata Kuliah Pilihan
|
||
Strategic Planning and Management
|
6
|
|
Knowledge Management for
Organisational Learning
|
6
|
|
Housing Policy
|
6
|
|
Housing Management
|
6
|
|
Applied Issues in Housing
Management
|
6
|
|
Management in Non-Government
Organisations
|
6
|
|
Program Evaluation
|
6
|
|
Risk Management Principles and
Practice
|
6
|
|
Economics and Public Policy
|
6
|
|
Urban Policy and Governance
|
6
|
|
Financial and Resource Management
|
6
|
|
Action Learning Project (Policy)
|
6
|
|
Project Management
|
6
|
|
Managing Human Resources in the
Public Sector
|
6
|
|
Critical Systems Thinking and
Practice
|
6
|
|
Regionalism, Decentralisation and
Governance
|
6
|
|
Action Learning Project
(Management)
|
6
|
|
Culture and Public Policy
|
6
|
|
Environmental Governance
|
6
|
|
Organisational Politics, Culture
and Management
|
6
|
|
Development Administration
|
6
|
|
POADxxxx
|
Interactive Design and Evaluation
for Democracy and Sustainable Future
|
6
|
Social Policy
|
6
|
|
Applied Evaluation Methods
|
6
|
Sumber: www.flinders.edu.au/calendar/vol2/pg/pub.admin.M.htm
yang diakses tanggal 29
September 2010
Administrasi Negara di
Indonesia: Krisis Identitas
Keilmuwan
Administrasi Negara di Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada perdebatan
wacana administrasi “negara” versus administrasi “publik”. Banyak pihak yang mendukung
perubahan terminologi dari administrasi negara ke administrasi publik, namun
tidak sedikit pula yang menentangnya. Akibatnya, terdapat dua kutub ekstrem
dalam administrasi negara saat ini yakni mereka yang mempertahankan status
quo dan mereka yang menginginkan perubahan menjadi administrasi
publik. Jauh sebelum itu, sebenarnya telah terjadi perbedaan perspektif di
kalangan teoritisi administrasi negara Indonesia dalam menerjemahkan kata
”public” dalam kata public administration. Ada yang menyamakan
istilah publik ini dengan negara, masyarakat dan pemerintah. Namun, banyak pula
yang menganggap bahwa publik itu adalah publik yang bermakna luas, tidak hanya
pemerintah, tetapi juga swasta dan organisasi masyarakat sipil.
Dampak
dari perbedaan cara pandang tersebut telah menimbulkan dinamika dalam penamaan
jurusan dan pemberian gelar terhadap alumninya. Universitas Indonesia misalnya
lebih enjoy menggunakan nama Ilmu Administrasi dan gelar
Sarjana Ilmu Politik (S.IP), tetapi Universitas Gadjah Mada dan Universitas
Padjajaran menggunakan istilah administrasi negara[7] dan
alumninya diberikan gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP). Sedangkan Universitas
Brawijaya sejak lama telah menggunakan nama administrasi publik dengan gelar
akademik Sarjana Administrasi Publik (S.AP). Baru-baru ini, Universitas Diponegoro
dan Universitas Jenderal Soedirman yang sebelumnya bernama administrasi negara,
juga ikut-ikutan menggunakan nama administrasi publik. Akibatnya, sering timbul
kebingungan dikalangan calon mahasiswa dan mahasiswa yang menempuh studi
administrasi negara.
Menurut
hemat penulis, perubahan nama tersebut tidak akan bermakna apa-apa jika tidak
terjadi transformasi di dalam institusi pendidikan administrasi negara di
Indonesia. Artinya, perubahan nama seharusnya diikuti dengan perubahan
kurikulum, sistem perkuliahan, metode pembelajaran dan mekanisme. Jika tidak
terjadi perubahan yang mendasar terhadap pendidikan administrasi negara secara
utuh (komprehensif) dari dalam perubahan yang diagung-agungkan tersebut
hanyalah pekerjaan yang sia-sia. Selain itu, perubahan yang dilakukan harus
memiliki landasan berpikir yang logis, rasional dan bisa dipertanggung-jawabkan
secara ilmiah (scientifically acceptable), bukan hanya karena faktor
pesanan dan ego sesaat.
Tabel 3. Daftar Top
Rank Perguruan Tinggi
Penyelenggara Pendidikan Administrasi Negara
di Indonesia
No
|
Perguruan Tinggi
|
Fakultas
|
Jursan/Program Studi/Departemen
|
Jenjang (Strata)
|
1
|
Universitas
Gadjah Mada
|
ISIPOL
|
Manajemen dan
Kebijakan Publik
|
S1, S2, S3
|
2
|
Universitas
Indonesia
|
ISIP
|
Ilmu
Administrasi
|
S1, S2, S3
|
3
|
Universitas
Brawijaya
|
Ilmu
Administrasi
|
Administrasi
Publik
|
S1, S2, S3
|
4
|
Universitas Padjajaran
|
ISIP
|
Administrasi Negara
|
S1, S2, S3
|
Dewasa
ini mainstream yang sedang berkembang adalah kuatnya dukungan
terhadap administrasi publik dari pada administrasi negara. Ini terjadi karena
agitasi yang sangat kuat dari beberapa akademisi di perguruan tinggi ternama di
Indonesia. Universitas Brawiya dan Universitas Gadjah Mada termasuk dalam
perguruan tinggi yang proaktif dalam mengganti administrasi negara menjadi
administrasi publik. Universitas Brawijaya memang sudah sejak lama menggunakan
konsep administrasi publik daripada Universitas Gadjah Mada, tetapi Universitas
Brawijaya tidak terlalu bersemangat dalam mempromosikan administrasi publik.
Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan dan pemikiran akademisi-akademisi
administrasi publik Universitas Brawijaya. Sebaliknya, akademisi di Universitas
Gadjah Mada begitu gencar dalam mempromosikan administrasi publik. Banyak
literatur-literatur administrasi negara yang ditulis oleh akademisi-akademisi
dari Universitas Gadjah Mada menggunakan konsep administrasi publik.[8]
Agus
Dwiyanto bisa disebut sebagai pelopor perubahan administrasi negara menjadi
administrasi publik karena melalui tulisannya konsep administrasi publik,
terutama administrasi publik yang berorientasi governance,
mendapatkan justifikasi secara akademis. Pada intinya, Dwiyanto berpendapat
bahwa administrasi publik perlu menambah orientasinya menjadi ilmu yang tidak
hanya mengkaji birokrasi, pemerintahan, kebijakan, manajemen publik, tetapi
juga concern terhadap masalah-masalah publik. Artinya
administrasi publik perlu dipahami sebagai ilmu yang dinamis yang sangat
responsif terhadap persoalan-persoalan yang tidak hanya berhubungan dengan
pemerintah, tetapi juga menyangkut civil society, mekanisme pasar
dan sektor privat asalkan mereka menyediakan kebutuhan publik dan bertindak
untuk kepentingan publik serta berorientasi kepada publik. Lebih detailnya,
Dwiyanto menulis sebagai berikut,
Di dalam studi governance,
administrasi publik didefinisikan sebagai proses penggunaan kekuasaan
administratif, politik dan ekonomi untuk menyelesaikan masalah-masalah publik.
Kelembagaan administrasi publik tidak lagi terbatas pada lembaga-lembaga
lainnya, seperti mekanisme pasar dan organisasi masyarakat sipil. Semua
lembaga, baik pemerintah maupun nonpemerintah, menjadi subjek dari studi
administrasi publik sejauh mereka beroperasi untuk merespons masalah dan
kepentingan publik. Dengan kata lain, kriteria untuk membedakan apakah suatu
institusi itu menjadi lokus dari ilmu administrasi publik tidak ditentukan oleh
kepemilikan dan statusnya, apakah mereka pemerintah, pasar atau asosiasi
sukarela, tetapi ditentukan oleh perilaku dan orientasinya. Jika institusi itu
menyelenggarakan public goods dan beroperasi untuk mencapai
tujuan-tujuan yang menjadi bagian dari kepentingan publik, maka institusi itu
seharusnya menjadi subjek dari studi administrasi publik.
...Dengan mendefinisikan ilmu administrasi
publik sebagai studi tentang governance, maka ilmu administrasi publik menjadi
sangat powerfull dalam menjelaskan masalah-masalah kontemporer
dalam administrasi publik.[9]
Sebenarnya,
apa yang dikatakan Dwiyanto di atas merupakan kelanjutan dari apa yang pernah
diungkapkan oleh Denhardt. Denhardt mengatakan bahwa agar administrasi negara
bisa eksis di dunia praktik maka administrasi negara harus memiliki wawasan publicness (berorientasi
publik) karena bidang administrasi negara berbeda dengan sektor privat dan
sektor nirlaba. Seorang administrator publik seharusnya efektif dan responsif
terhadap kebutuhan-kebutuhan publik. Efektif dan reponsif tersebut merupakan inti dari ajaran governance yang
disampaikan oleh Dwiyanto di atas.
The features in turn all derive from the simple fact that the
public or nonprofit manager is pursuing public purposes. In terms of the
actions and experiences of the public administrator, therefore, we may say that
it is the “publicness’ of the work of the public or nonprofit manager that
distinguishes public administration from other similar activities. The view of
the administrator’s role suggests that, as a public or nonprofit manager, you
must operate with one eye toward managerial effectiveness and the other toward
the desires and demands of the public. It recognizes that you are likely to
experience an inivitable tension between efficiency and responsiveness as you
work in governmental or nongovernmental organizations, a tension that will be
absolutely central to your work.[10]
Jika
dikaji lebih jauh, akar konsep governance ini lahir di Barat.
Konsep governance berasumsi bahwa kekuatan negara tidak hanya
terpusat pada satu kekuasaan yaitu pemerintah, tetapi sudah mulai terdispersi
kepada kekuasaan-kekuasaan lain di luar pemerintah, yaitu civil society dan
sektor swasta. Kedua sektor ini dapat ambil bagian dalam tata pemerintahan dan
kebijakan publik. Governance di sini diartikan sebagai
mekanisme, praktik dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya
serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance,
pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling
menentukan.[11] Artinya, masyarakat luas, sektor
swasta serta sektor-sektor lain di luar pemerintah dapat berperan serta dalam
menentukan memecahkan masalah-masalah publik. Konsep governance kemudian diadopsi oleh Bank
Dunia (World Bank), United Nation Development Program (UNDP), International
Monetary Fund (IMF) dan lembaga-lembaga donor lainnya menjadi good
governance. Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam good
governance meliputi; efisiensi, efektivitas, tranparansi,
akuntabilitas, keadilan, responsivitas dan responsibilitas. Bank Dunia begitu
aktif mengupayakan agar prinsip-prinsip ini dianut oleh negara-negara
berkembang jika ingin mendapatkan pinjaman dari mereka. Bahkan, good
governance dijadikan standar dalam memberikan bantuan kepada negara
berkembang.
Pada titik ini, tidak
ada yang salah memang karena good governance dapat
meningkatkan daya tanggap pemerintah dan partisipasi masyarakat, tetapi perlu diingat
bahwa pencangkokan ide governance ke dalam administrasi Negara
tidak selamanya akan berjalan dengan mulus karena perbedaan karakteristik
pemerintahan, sosial dan budaya diantara negara maju dan negara berkembang. Di
samping itu, perlu diingat bahwa proyek good governance Bank
Dunia di beberapa negara terbukti gagal, seperti di Sudan, Zimbabwe dan
Ethiopia yang tetap saja miskin meskipun telah meminum “obat mujarab” good
governance dari World Bank. Terlebih lagi, kita perlu
mengkritisi upaya Bank Dunia dan konco-konconya memperomosikan good
governance sebagai upaya penggembosan peran pemerintah guna upaya
memuluskan proyek neo-liberalisme dan neo-kolonialisme negara Barat terhadap
negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kita harus merenungkan nasehat Putra
di bawah ini.
Good governance berperan sebagai ideologi yang akan memuluskan ideologi yang
akan membuka jalan rintisan bagi terbentangnya jalan yang lebih luas bagi
masuknya neo-liberalisme ke dalam ruang kesadaran warga negara bangsa di
seluruh dunia. Bagaikan pasukan komando yang bertugas sebagai pasukan perintis
untuk membukan jalan bagi pasukan regular, konsep good governance merupakan
suatu unit elit yang akan meruntuhkan basis paling inti dari pertahan kesadaran
anti-liberalisme dan anti-neoliberalisme, yaitu konsep mengenai apa yang baik
(good) dalam pengelolaan Negara-bangsa.[12]
Sesungguhnya
nilai-nilai transparansi, keadilan, efektivitas dan efisiensi telah sejak lama
ada di bumi Indonesia. Masyarakat adat di Sumatera Barat, misalnya telah sejak
lama mempraktikkan prinsip-prinsip good governance yang
dikiaskan dalam bahasa Minangkabau dengan istilah; bulek aia dek
pambuluah, bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat
kata karena mufakat), basilang kayu di tungku mako nasi kamasak (bersilang
nasi di tungku sehingga nasi bisa masak), panghulu bubuek salah
bagalanggang mato urang banyak (jika penghulu/pimpinan berbuat salah
maka banyak orang yang akan melihat). Artinya, masyarakat Minangkabau dari dulu
telah menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
responsivitas dalam format yang sederhana, tetapi belum pernah di
institusionalisasikan. Masih banyak praktik-praktik lain dibelahan bumi
nusantara lainnya yang bisa diperkuat karena Indonesia kaya akan nilai-nilai
lokal (local wisdom) yang dapat diangkat kepermukaan dan dijadikan basis
untuk menyusun teori administrasi negara guna membentuk kemandirian dan
identitas sendiri. Dengan demikian, sudah saatnya kita merubah haluan dari
perspektif administrasi negara yang lebih berorientasi outward looking menjadi inward
looking.
Kesimpulan
Teori
dan konsep administrasi negara telah berkembang dengan pesat. Dari segi
keilmuwan, wacana keilmuwan administrasi negara di beberapa negara maju dan di
Indonesia mengalami dinamika yang sangat intens. Namun, kita masih
banyak mencaplok teori-teori dari luar untuk membentuk teori. Salah satu teori
administrasi negara yang menjadi mainstream adalah teori
kebijakan publik. Teori kebijakan publik mengajarkan cara merumuskan kebijakan
publik yang baik dan benar. Dalam merumuskan kebijakan publik, peran analisis
kebijakan sangat vital dalam memilih alternatif kebijakan yang memiliki manfaat
yang paing tinggi. Sebagai upaya membentuk kemandirian dan identitas
administrasi negara di Indonesia sudah saatnya akademisi administrasi negara
menggali nilai-nilai lokal yang berkembang di Indonesia guna merancang teori
yang mencerminkan identitas kita sebagai bangsa.
Referensi
- Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving not Steering. Armonk, New York: M.E Sharpe.
- Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2009. Public Administration: An Action Orientation (Sixth Edition). Belmont, California: Thomson Wadsworth.
- Dunn, William N. 2004. Public Policy Analysis: An Introduction (Second Edition). New Jersey: Prentice Hall.
- Dwiyanto, Agus. 2004. “Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FISIPOL UGM, Yogyakarta.
- Dye, Thomas R.. 1975. Understanding Public Policy. New Jersey: Englewood Cliffs.
- Gerald E. Caiden. 1982. Public Administration (Second Edition). California: Pacific Palisasdes, Palisades.
- Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs (Sixth Edition). New Jersey: Englewood Cliffs.
- Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.
- Kuhn, Thomas. 23. The Structure of Scientific Revolution (Second Edition). Chicago: University of Chicago Press.
- Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Penerjemah: Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: Prenada Media.
- Pasalong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik., Bandung: Alfabeta.
- Purwanto, Erwan Agus. 2005. “Pelayanan Publik Partisipatif ”. Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik. Editor: Agus Dwiyanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Putra, Fadillah. 2009. Senjakala Good Governance. Malang: Averroes Press.
- Soemarto, Hetifah Sj. 2004. Inovasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
- Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. “Perkembangan Mutakhir Ilmu Administrasi Negara”, Teori-teori Politik Dewasa Ini. Penyunting: Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti., Jakarta: Rajawali Pers.
- Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Jakarta: Intermedia.
0 komentar:
Posting Komentar