Sabtu, 08 Juni 2013

Administrasi Negara dan Kebijakan Publik

Kebijakan publik sering didefinisikan sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan.[1] Dengan kata lain, “diam”-nya pemerintah juga merupakan bagian dari kebijakan, yaitu tidak mengambil tindakan apa-apa (status quo). Misalnya, jalan lintas Sumatera yang sudah rusak parah tetapi tidak kunjung diperbaiki oleh pemerintah. Tindakan pemerintah yang tidak memperbaiki jalan yang telah rusak tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Pemerintah dapat tidak melakukan apa-apa karena beberapa faktor. Pertama, dari sudut pandang pemerintah tidak mengambil kebijakan merupakan opsi yang paling efektif untuk menyelesaikan suatu masalah, contoh minimnya tindakan konkrit pemerintah dalam menyelesaikan masalah pembubaran Ahmadiyah. Kedua, anggaran yang memang terbatas sehingga tidak memungkinkan bagi pemerintah untuk mengambil sebuah kebijakan, misalnya kurangnya kebijakan pemerintah dalam memberikan insentif yang wajar kepada guru besar di perguruan tinggi dengan alasan minimnya anggaran. Ketiga, terkait dengan risiko politik yang akan diterima ketika pemerintah mengambil suatu kebijakan, contohnya abstainnya pemerintah Indonesia dalam pengambilan suara di PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap Iran yang dituduh membuat senjata nuklir, pemerintah khawatir diembargo oleh Amerika Serikat jika mendukung Iran. Keempat, pemerintah diam dan tidak mengambil suatu kebijakan karena desakan publik, contoh kebijakan pembangunan gedung baru DPR yang terpaksa ditangguhkan karena desakan dari berbagai kalangan.

Kebijakan publik disusun dengan metode yang ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah publik. Terdapat beberapa aktivitas dalam proses penyusunan kebijakan publik. Menurut Dunn proses perumusan kebijakan terdiri atas beberapa aktivitas sebagai berikut:[2]
  1. Perumusan masalah: Pemerintah harus mampu mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh publik. Hasil identifikasi tersebut dilanjutkan dengan merumuskan masalah-masalah publik yang akan dipecahkan.
  2. Peramalan: Melakukan forecasting terhadap dampak, manfaat, solvabilitas dan menganalisis tingkat kesulitan implementasi suatu kebijakan yang akan diambil.
  3. Rekomendasi kebijakan: Memberikan alternatif kebijakan yang memiliki manfaat paling tinggi dan merekomendasikannya kepada pengambil kebijakan.
  4. Pemantauan: Kegiatan memantau hasil dan dampak suatu kebijakan yang telah diimplementasikan.
  5. Evaluasi: Menilai kinerja kebijakan secara umum sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Administrasi negara bertanggung-jawab memformulasikan kebijakan publik yang excelent yang mampu menguntungkan publik secara luas. Kuatnya tuntutan agar administrasi negara bisa menghasilkan kebijakan yang berkualitas telah mimicu lahirnya kajian analisis kebijakan publik. Analisis kebijakan publik adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.[3] Analisis kebijakan adalah pekerjaan menghitung, menilai dan memilih alternatif kebijakan yang memiliki manfaat bersih paling tinggi guna memecahkan masalah publik dengan seperangkat kriteria dan metode tertentu.
Orang-orang yang bekerja merumuskan dan menganalisis kebijakan publik seringkali disebut sebagai analis kebijakan. Pekerjaan sebagai analis kebijakan adalah pekerjaan yang sulit sekaligus penting. Sulit karena para analis kebijakan harus mencari dan menentukan identitas masalah kebijakan itu dengan hati-hati, baru kemudian dapat merumuskan kebijakan dengan benar. Sebuah masalah harus didefinisikan, distrukturisasi, diletakkan, dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. Bagaimana proses ini terjadi merupakan hal krusial bagi penanganan suatu masalah tertentu melalui kebijakan.[4] Selanjutnya, agar bisa membuat kesimpulan tentang ’kebaikan’ suatu kebijakan, seorang analis diharuskan melakukan penelitian dengan kualitas yang memadai di sekitar masalah kebijakan yang dikajinya.[5] Selain itu, analis kebijakan seringkali berhadapan dengan logika kekuasaan, kepentingan kelompok dan pressure dalam merumuskan alternatif kebijakan. Namun, demikian posisinya penting dan terhormat karena dari tangannyalah lahir kebijakan-kebijakan yang cerdas dan solutif. Terdapat sebutan yang  beragam terhadap analis kebijakan pada organisasi pemerintah. Kadang-kadang analis kebijakan disebut sebagai konsultan dan staf ahli.
Realitas empiris saat ini sering membuat kita miris karena kurangnya pemahaman pemerintah terhadap arti penting analis kebijakan. Kasus hari ini yang kasat mata adalah kita menemukan banyak anggota DPR dan DPRD yang belum dilengkapi dengan staf ahli yang memadai sehingga mereka kesulitan dalam merancang kebijakan publik yang ilmiah dan menguntungkan masyarakat. Di pemerintah daerah kondisinya lebih memprihatinkan, dimana posisi atau jabatan sebagai staf ahli kepala daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota sebagai jabatan ”buangan” dan kurang pamor. Kepala daerah cenderung menempatkan orang-orang yang sudah tidak produktif, nonjob dan akan segera pensiun sebagai staf ahli. Akibatnya, kinerja staf ahli di daerah sering dipertanyakan karena tidak menunjukkan kinerja yang berarti. 

Keilmuwan Administrasi Negara di Beberapa Negara
Administrasi negara di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda dan Singapura telah menunjukkan perkembangan yang sangat cepat, baik dari segi teoritis maupun praktis. Kebanyakan, teori-teori tentang kebijakan publik, manajemen publik, governance, manajemen pembangunan berasal dari negara-negara tersebut. Indonesia pada tahap ini masih sebatas follower dari teori-teori ”asing” tersebut.
Tabel Pendidikan Master (Pascasarjana) Administrasi Negara
di Beberapa Negara[6]
No
Negara
Perguruan Tinggi
Sekolah/Departemen
Program yang Ditawarkan
1
Amerika Serikat
   Harvard University



   Princeton University
   John F. Kennedy School of Government


   Woodrow Wilson School of Public Affairs
   Master of Public Administration (MPA)
   Master of Public Policy (MPP)
   Ph.D
   Master in Public Adminisration (MPA)
   Master in Public Policy (MPP)
   Ph.D in Public Affairs
2
Inggris
   York University
   Atkinson Faculty of Liberal and Professional Studies
   Master of Public Policy, Administration and Law (MPPAL)
3
Belanda
   Leiden University

   Erasmus Mundus University
-

-
   Master of Science in Public Administration (M.Sc)
   Master of Arts in Public Policy (MA)
4
Australia
   Australian National University

   Monash University

   Flinders University
-


-

-
   Master of Public Policy (MPP)
   Master of Development Administration (MDA)
   Master of Public Policy and Management (MPPM)
   Master of Policy and Administration (M.Pol.Admin)
   Ph.D
5
Singapura
   National University of Singapore
  Lee Kuan Yew School of Public Policy
   Master of Public Administration (MPA)
   Master of Public Policy (MPP)
   Master of Public Management (MPM)
   Ph.D
6
Malaysia
   Malaya University

   University Sains Malaysia

   Universiti Utara Malaysia
  School of Bussines and Administration
-


  College of Law, Government and International Studies
   Master of Public Administration (MPA)
   Master of Public Administration (MPA)
   Ph.D
   Master of Public management (MPM)
   Ph.D

Kemajuan tersebut dipelopori oleh perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ada di negara tersebut, terutama yang menyelenggarakan pendidikan administrasi negara, baik di tingkat bacheloriat, Master dan Ph.D. Ilmuwan-ilmuwan administrasi negara dari perguruan tinggi inilah yang melahirkan karya-karya dan gagasan-gagasan yang diekspor ke negara-negara lain. Teori tentang analisis kebijakan publik yang dicetuskan oleh William N. Dunn misalnya, merupakan teori yang lahir dari kampus Graduate School of Public and International Affairs (GSPIA) Pittsburgh University di Amerika Serikat.
Sistem pendidikan administrasi negara di negara-negara maju juga telah menunjukkan perkembangan yang signifikan sebagai upaya untuk merespon perubahan zaman. Saat ini, jamak di jumpai program-program baru yang merupakan cabang-cabang ilmu administrasi sebagai program studi tersendiri, seperti program Master of Public Policy (MPP) di John F. Kennedy School of  Government di Universitas Harvard atau program studi Master of Public Management (MPM) di Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore dan program studi Master of Public Management (MPM) di College of LawGovernment and International Studies di Universi Utara Malaysia. Namun, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, nampaknya di negara-negara maju belum memiliki standar yang sama dalam memberikan gelar kepada alumni program master mereka. Di John F. Kennedy School of  Government di Universitas Harvard, lulusan pascasarjana public policy diberi gelar Master of Public Policy (MPP), tetapi di Belanda lulusan pada jurusan yang dihadiahi gelar Master of Arts (MA).
Dari segi penawaran mata kuliah pun, perguruan tinggi-perguruan tinggi di negara-negara maju sudah mulai fokus pada kajian-kajian tertentu dan lebih fleksibel dari perguruan tinggi di Indonesia. Mereka selalu kooperatif terhadap bidang kajian tertentu yang menyangkut domain publik. Misalnya, mata kuliah Social Policy yang ditawarkan di beberapa program pascasarjana administrasi negara di beberapa perguruan tinggi di Australia menandakan bahwa mereka sangat concern terhadap isu-isu dan kebijakan sosial yang berkembang saat ini. Sedangkan di Indonesia, mata kuliah ini merupakan monopoli mereka yang di jurusan kesejahteraan sosial atau pembangunan sosial dan kesejahteraan.

Tabel 2. Matakuliah Wajib dan Pilihan yang Ditawarkan
di Program Master of Public  Administration
Flinders University Australia

Kode
Mata Kuliah
SKS
Mata Kuliah Wajib
Public Policy
6
Contemporary Issues in Public Policy
6
Public Management
6
Toolkit for Public Management
6
Governance and Public Policy
6
Ethics in Public Administration
6
Research Methods
6
Master of Public Administration Dissertation, or
18
Project in Public Administration
12
Mata Kuliah Pilihan
Strategic Planning and Management
6
Knowledge Management for Organisational Learning
6
Housing Policy
6
Housing Management
6
Applied Issues in Housing Management
6
Management in Non-Government Organisations
6
Program Evaluation
6
Risk Management Principles and Practice
6
Economics and Public Policy
6
Urban Policy and Governance
6
Financial and Resource Management
6
Action Learning Project (Policy)
6
Project Management
6
Managing Human Resources in the Public Sector
6
Critical Systems Thinking and Practice
6
Regionalism, Decentralisation and Governance
6
Action Learning Project (Management)
6
Culture and Public Policy
6
Environmental Governance
6
Organisational Politics, Culture and Management
6
Development Administration
6
POADxxxx
Interactive Design and Evaluation for Democracy and Sustainable Future
6
Social Policy
6
Applied Evaluation Methods
6
    Sumber: www.flinders.edu.au/calendar/vol2/pg/pub.admin.M.htm
                  yang diakses tanggal 29 September 2010 

Administrasi Negara di Indonesia: Krisis Identitas
Keilmuwan Administrasi Negara di Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada perdebatan wacana administrasi “negara” versus administrasi “publik”. Banyak pihak yang mendukung perubahan terminologi dari administrasi negara ke administrasi publik, namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Akibatnya, terdapat dua kutub ekstrem dalam administrasi negara saat ini yakni mereka yang mempertahankan status quo dan mereka yang menginginkan perubahan menjadi administrasi publik. Jauh sebelum itu, sebenarnya telah terjadi perbedaan perspektif di kalangan teoritisi administrasi negara Indonesia dalam menerjemahkan kata ”public” dalam kata public administration. Ada yang menyamakan istilah publik ini dengan negara, masyarakat dan pemerintah. Namun, banyak pula yang menganggap bahwa publik itu adalah publik yang bermakna luas, tidak hanya pemerintah, tetapi juga swasta dan organisasi masyarakat sipil.
Dampak dari perbedaan cara pandang tersebut telah menimbulkan dinamika dalam penamaan jurusan dan pemberian gelar terhadap alumninya. Universitas Indonesia misalnya lebih enjoy menggunakan nama Ilmu Administrasi dan gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP), tetapi Universitas Gadjah Mada dan Universitas Padjajaran menggunakan istilah administrasi negara[7] dan alumninya diberikan gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP). Sedangkan Universitas Brawijaya sejak lama telah menggunakan nama administrasi publik dengan gelar akademik Sarjana Administrasi Publik (S.AP). Baru-baru ini, Universitas Diponegoro dan Universitas Jenderal Soedirman yang sebelumnya bernama administrasi negara, juga ikut-ikutan menggunakan nama administrasi publik. Akibatnya, sering timbul kebingungan dikalangan calon mahasiswa dan mahasiswa yang menempuh studi administrasi negara.
Menurut hemat penulis, perubahan nama tersebut tidak akan bermakna apa-apa jika tidak terjadi transformasi di dalam institusi pendidikan administrasi negara di Indonesia. Artinya, perubahan nama seharusnya diikuti dengan perubahan kurikulum, sistem perkuliahan, metode pembelajaran dan mekanisme. Jika tidak terjadi perubahan yang mendasar terhadap pendidikan administrasi negara secara utuh (komprehensif) dari dalam perubahan yang diagung-agungkan tersebut hanyalah pekerjaan yang sia-sia. Selain itu, perubahan yang dilakukan harus memiliki landasan berpikir yang logis, rasional dan bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah (scientifically acceptable), bukan hanya karena faktor pesanan dan ego sesaat.
Tabel 3. Daftar Top Rank Perguruan Tinggi
Penyelenggara Pendidikan Administrasi Negara di Indonesia
No
Perguruan Tinggi
Fakultas
Jursan/Program Studi/Departemen
Jenjang (Strata)
1
Universitas Gadjah Mada
ISIPOL
Manajemen dan Kebijakan Publik
S1, S2, S3
2
Universitas Indonesia
ISIP
Ilmu Administrasi
S1, S2, S3
3
Universitas Brawijaya
Ilmu Administrasi
Administrasi Publik
S1, S2, S3
4
Universitas Padjajaran
ISIP
Administrasi Negara
S1, S2, S3

Dewasa ini mainstream yang sedang berkembang adalah kuatnya dukungan terhadap administrasi publik dari pada administrasi negara. Ini terjadi karena agitasi yang sangat kuat dari beberapa akademisi di perguruan tinggi ternama di Indonesia. Universitas Brawiya dan Universitas Gadjah Mada termasuk dalam perguruan tinggi yang proaktif dalam mengganti administrasi negara menjadi administrasi publik. Universitas Brawijaya memang sudah sejak lama menggunakan konsep administrasi publik daripada Universitas Gadjah Mada, tetapi Universitas Brawijaya tidak terlalu bersemangat dalam mempromosikan administrasi publik. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan dan pemikiran akademisi-akademisi administrasi publik Universitas Brawijaya. Sebaliknya, akademisi di Universitas Gadjah Mada begitu gencar dalam mempromosikan administrasi publik. Banyak literatur-literatur administrasi negara yang ditulis oleh akademisi-akademisi dari Universitas Gadjah Mada menggunakan konsep administrasi publik.[8]
Agus Dwiyanto bisa disebut sebagai pelopor perubahan administrasi negara menjadi administrasi publik karena melalui tulisannya konsep administrasi publik, terutama administrasi publik yang berorientasi governance, mendapatkan justifikasi secara akademis. Pada intinya, Dwiyanto berpendapat bahwa administrasi publik perlu menambah orientasinya menjadi ilmu yang tidak hanya mengkaji birokrasi, pemerintahan, kebijakan, manajemen publik, tetapi juga concern terhadap masalah-masalah publik. Artinya administrasi publik perlu dipahami sebagai ilmu yang dinamis yang sangat responsif terhadap persoalan-persoalan yang tidak hanya berhubungan dengan pemerintah, tetapi juga menyangkut civil society, mekanisme pasar dan sektor privat asalkan mereka menyediakan kebutuhan publik dan bertindak untuk kepentingan publik serta berorientasi kepada publik. Lebih detailnya, Dwiyanto menulis sebagai berikut,
Di dalam studi governance, administrasi publik didefinisikan sebagai proses penggunaan kekuasaan administratif, politik dan ekonomi untuk menyelesaikan masalah-masalah publik. Kelembagaan administrasi publik tidak lagi terbatas pada lembaga-lembaga lainnya, seperti mekanisme pasar dan organisasi masyarakat sipil. Semua lembaga, baik pemerintah maupun nonpemerintah, menjadi subjek dari studi administrasi publik sejauh mereka beroperasi untuk merespons masalah dan kepentingan publik. Dengan kata lain, kriteria untuk membedakan apakah suatu institusi itu menjadi lokus dari ilmu administrasi publik tidak ditentukan oleh kepemilikan dan statusnya, apakah mereka pemerintah, pasar atau asosiasi sukarela, tetapi ditentukan oleh perilaku dan orientasinya. Jika institusi itu menyelenggarakan public goods dan beroperasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang menjadi bagian dari kepentingan publik, maka institusi itu seharusnya menjadi subjek dari studi administrasi publik.
...Dengan mendefinisikan ilmu administrasi publik sebagai studi tentang governance, maka ilmu administrasi publik menjadi sangat powerfull dalam menjelaskan masalah-masalah kontemporer dalam administrasi publik.[9]

Sebenarnya, apa yang dikatakan Dwiyanto di atas merupakan kelanjutan dari apa yang pernah diungkapkan oleh Denhardt. Denhardt mengatakan bahwa agar administrasi negara bisa eksis di dunia praktik maka administrasi negara harus memiliki wawasan publicness (berorientasi publik) karena bidang administrasi negara berbeda dengan sektor privat dan sektor nirlaba. Seorang administrator publik seharusnya efektif dan responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan publik. Efektif dan reponsif tersebut merupakan inti dari ajaran governance yang disampaikan oleh Dwiyanto di atas.
The features in turn all derive from the simple fact that the public or nonprofit manager is pursuing public purposes. In terms of the actions and experiences of the public administrator, therefore, we may say that it is the “publicness’ of the work of the public or nonprofit manager that distinguishes public administration from other similar activities. The view of the administrator’s role suggests that, as a public or nonprofit manager, you must operate with one eye toward managerial effectiveness and the other toward the desires and demands of the public. It recognizes that you are likely to experience an inivitable tension between efficiency and responsiveness as you work in governmental or nongovernmental organizations, a tension that will be absolutely central to your work.[10]

Jika dikaji lebih jauh, akar konsep governance ini lahir di Barat. Konsep governance berasumsi bahwa kekuatan negara tidak hanya terpusat pada satu kekuasaan yaitu pemerintah, tetapi sudah mulai terdispersi kepada kekuasaan-kekuasaan lain di luar pemerintah, yaitu civil society dan sektor swasta. Kedua sektor ini dapat ambil bagian dalam tata pemerintahan dan kebijakan publik. Governance di sini diartikan sebagai mekanisme, praktik dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan.[11] Artinya, masyarakat luas, sektor swasta serta sektor-sektor lain di luar pemerintah dapat berperan serta dalam menentukan memecahkan masalah-masalah publik. Konsep governance kemudian diadopsi oleh Bank Dunia (World Bank), United Nation Development Program (UNDP), International Monetary Fund (IMF) dan lembaga-lembaga donor lainnya menjadi good governance. Adapun prinsip-prinsip yang terkandung dalam good governance meliputi; efisiensi, efektivitas, tranparansi, akuntabilitas, keadilan, responsivitas dan responsibilitas. Bank Dunia begitu aktif mengupayakan agar prinsip-prinsip ini dianut oleh negara-negara berkembang jika ingin mendapatkan pinjaman dari mereka. Bahkan, good governance dijadikan standar dalam memberikan bantuan kepada negara berkembang.
Pada titik ini, tidak ada yang salah memang karena good governance dapat meningkatkan daya tanggap pemerintah dan partisipasi masyarakat, tetapi perlu diingat bahwa pencangkokan ide governance ke dalam administrasi Negara tidak selamanya akan berjalan dengan mulus karena perbedaan karakteristik pemerintahan, sosial dan budaya diantara negara maju dan negara berkembang. Di samping itu, perlu diingat bahwa proyek good governance Bank Dunia di beberapa negara terbukti gagal, seperti di Sudan, Zimbabwe dan Ethiopia yang tetap saja miskin meskipun telah meminum “obat mujarab” good governance dari World Bank. Terlebih lagi, kita perlu mengkritisi upaya Bank Dunia dan konco-konconya memperomosikan good governance sebagai upaya penggembosan peran pemerintah guna upaya memuluskan proyek neo-liberalisme dan neo-kolonialisme negara Barat terhadap negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kita harus merenungkan nasehat Putra di bawah ini.
Good governance berperan sebagai ideologi yang akan memuluskan ideologi yang akan membuka jalan rintisan bagi terbentangnya jalan yang lebih luas bagi masuknya neo-liberalisme ke dalam ruang kesadaran warga negara bangsa di seluruh dunia. Bagaikan pasukan komando yang bertugas sebagai pasukan perintis untuk membukan jalan bagi pasukan regular, konsep good governance merupakan suatu unit elit yang akan meruntuhkan basis paling inti dari pertahan kesadaran anti-liberalisme dan anti-neoliberalisme, yaitu konsep mengenai apa yang baik (good) dalam pengelolaan Negara-bangsa.[12]

Sesungguhnya nilai-nilai transparansi, keadilan, efektivitas dan efisiensi telah sejak lama ada di bumi Indonesia. Masyarakat adat di Sumatera Barat, misalnya telah sejak lama mempraktikkan prinsip-prinsip good governance yang dikiaskan dalam bahasa Minangkabau dengan istilah; bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat), basilang kayu di tungku mako nasi kamasak (bersilang nasi di tungku sehingga nasi bisa masak), panghulu bubuek salah bagalanggang mato urang banyak (jika penghulu/pimpinan berbuat salah maka banyak orang yang akan melihat). Artinya, masyarakat Minangkabau dari dulu telah menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, responsivitas dalam format yang sederhana, tetapi belum pernah di institusionalisasikan. Masih banyak praktik-praktik lain dibelahan bumi nusantara lainnya yang bisa diperkuat karena Indonesia kaya akan nilai-nilai lokal (local wisdom) yang dapat diangkat kepermukaan dan dijadikan basis untuk menyusun teori administrasi negara guna membentuk kemandirian dan identitas sendiri. Dengan demikian, sudah saatnya kita merubah haluan dari perspektif administrasi negara yang lebih berorientasi outward looking menjadi inward looking.

Kesimpulan
Teori dan konsep administrasi negara telah berkembang dengan pesat. Dari segi keilmuwan, wacana keilmuwan administrasi negara di beberapa negara maju dan di Indonesia mengalami dinamika yang sangat intens. Namun, kita masih banyak mencaplok teori-teori dari luar untuk membentuk teori. Salah satu teori administrasi negara yang menjadi mainstream adalah teori kebijakan publik. Teori kebijakan publik mengajarkan cara merumuskan kebijakan publik yang baik dan benar. Dalam merumuskan kebijakan publik, peran analisis kebijakan sangat vital dalam memilih alternatif kebijakan yang memiliki manfaat yang paing tinggi. Sebagai upaya membentuk kemandirian dan identitas administrasi negara di Indonesia sudah saatnya akademisi administrasi negara menggali nilai-nilai lokal yang berkembang di Indonesia guna merancang teori yang mencerminkan identitas kita sebagai bangsa.

Referensi
  • Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving not Steering. Armonk, New York: M.E Sharpe.
  • Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2009. Public Administration: An Action Orientation (Sixth Edition). Belmont, California: Thomson Wadsworth.
  • Dunn, William N. 2004. Public Policy Analysis: An Introduction (Second Edition). New Jersey: Prentice Hall.
  • Dwiyanto, Agus. 2004. “Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FISIPOL UGM, Yogyakarta.
  • Dye, Thomas R.. 1975. Understanding Public Policy. New Jersey: Englewood Cliffs.
  • Gerald E. Caiden. 1982. Public Administration (Second Edition). California: Pacific Palisasdes, Palisades.
  • Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs (Sixth Edition). New Jersey: Englewood Cliffs.
  • Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep Teori dan IsuYogyakarta: Gava Media.
  •  
  • Kuhn, Thomas. 23. The Structure of Scientific Revolution (Second Edition). Chicago: University of Chicago Press.
  • Parsons, Wayne. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, Penerjemah: Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: Prenada Media.
  • Pasalong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik., Bandung: Alfabeta.
  • Purwanto, Erwan Agus. 2005. “Pelayanan Publik Partisipatif ”. Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik. Editor: Agus Dwiyanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  •  Putra, Fadillah. 2009. Senjakala Good Governance. Malang: Averroes Press.
  • Soemarto, Hetifah Sj. 2004. Inovasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik KontemporerJakarta: Kencana.
  • Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. “Perkembangan Mutakhir Ilmu Administrasi Negara”, Teori-teori Politik Dewasa Ini. Penyunting: Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti., Jakarta: Rajawali Pers.
  • Utomo, Warsito. 2006. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi PublikYogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Jakarta: Intermedia.

0 komentar:

Posting Komentar