BAB
III
TINDAK
PIDANA
a.
PENGERTIAN
TINDAK PIDANA
Hingga
saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana (strafbaar feit). Menurut
Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
Terdapat
3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
- Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
- Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
- Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya
Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan
dapat dipidananya orang (strafbaarheid
van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana (criminal responsibility).
Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan
pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.
b.
UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA
Dalam
suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak
pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka
pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan
beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi
sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.
Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang
dengan ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut
Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar
feit) adalah :
·
Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
·
Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
·
Melawan hukum (onrechtmatig)
·
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
·
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons
juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).
Unsur
Obyektif :
Ø Perbuatan
orang
Ø Akibat
yang kelihatan dari perbuatan itu.
Ø Mungkin
ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP
sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur
Subyektif :
Ø Orang
yang mampu bertanggung jawab
Ø Adanya
kesalahan (dollus atau culpa).
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan ini dapat berhubungan
dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Sementara
menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :
Ø Perbuatan
(manusia)
Ø Yang
memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
Ø Bersifat
melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur
tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
1)
Kelakuan dan akibat
2)
Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang
menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a.
Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik
jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1
ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang
menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal
tersebut
b.
Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si
pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya
melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum).
Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan
pasal ini
Unsur keadaan
ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana
yang dijatuhkan.
(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam
pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal
164 KUHP : barang
siapa mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal
104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan
masih bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat
kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan
jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Kewajiban untuk melapor kepada yang
berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak
melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi
kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah
merupakan unsur tambahan.
Pasal
531 KUHP : barang
siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak
memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan
bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu
meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan memberi
pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan,
orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan
bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak
dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat
penuntutan.
(2) Keadaan
tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal
351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat
menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman
pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah
merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana
(3)
Unsur melawan hukum
Dalam perumusan delik unsur ini
tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak
dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat
pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang
disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata
melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum.
Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh
karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan
yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan
sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian
yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara
melawan hukum.
Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur
tindak pidana. Sekalipun permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak
pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan
menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian unsur-unsur
tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari
yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula
tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan
diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum
menerapkan peraturan hukum.
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian
unsur-unsur tindak pidana adalah :
1)
Untuk menyusun surat dakwaan, agar
dengan jelas;
2)
Dapat menguraikan perbuatan terdakwa
yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan
pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi;
3)
Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada
saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;
4) Menentukan
nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi
bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur
tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana;
5) Mengarahkan
jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara
obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan
secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah;
6) Menyusun
requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsur-unsur
tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka
pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan
sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.
c.
JENIS-JENIS
TINDAK PIDANA
Di
bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik.
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian delik atas kejahatan dan
pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik
yang disebut : pelanggaran criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan
kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya
membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok
kedua pelanggaran.
Tetapi ilmu pengetahuan mencari
secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :
a.
Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu
didapati 2 jenis delik, ialah :
1.
Rechtdelicten
Ialah yang perbuatan yang
bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana
dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian.
Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).
2.
Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru
disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik,
jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir
mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini
disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima,
sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam
undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan
dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar
dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara
demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.
b.
Ada yang mengatakan bahwa antara kedua
jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya
meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah
“pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.
Mengenai pembagian delik dalam
kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang. Seminar
Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa
penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan.
Kejahatan ringan :
Dalam KUHP juga terdapat delik yang
digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382,
384, 352, 302 (1), 315, 407.
2.
Delik
formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik
dengan perumusan secara materiil)
a.
Delik formil itu adalah delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut
telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan
delik. Misal : penghasutan (pasal 160
KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan
kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP);
penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat
(pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
b.
Delik materiil adalah delik yang
perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila
akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak
hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378
KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil
tidak tajam misalnya pasal 362.
3.
Delik
commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
a.
Delik commisionis : delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian,
penggelapan, penipuan.
b.
Delik ommisionis : delik yang berupa
pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan
/ yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan
(pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).
c.
Delik commisionis per ommisionen
commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan
tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang
penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa
(doleuse en culpose delicten)
a.
Delik dolus : delik yang memuat unsur
kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP
b.
Delik culpa : delik yang memuat kealpaan
sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal
359, 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berangkai
(enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
a.
Delik tunggal : delik yang cukup
dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b.
Delik berangkai : delik yang baru
merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481
(penadahan sebagai kebiasaan)
6.
Delik
yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus :
delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal
: merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
7. Delik aduan dan delik laporan
(klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang
penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena
(gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan
(pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1
sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a.
Delik aduan yang absolut, ialah mis. :
pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut
berdasarkan pengaduan.
b.
Delik aduan yang relative ialah mis. :
pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa
antara si pembuat dan orang yang terkena.
Catatan : perlu dibedakan antara
aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A
menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A.
Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada
Polisi atau Jaksa.
8. Delik sederhana dan delik yang ada
pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde
delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal
: penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat
2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang
ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal :
pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd
delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian
(pasal 362 KUHP).
9.
Delik
ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana
ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat
tentang tindak pidana ekonomi.
d.
SUBYEK
TINDAK PIDANA
Sebagaimana
diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan
orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke
personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a.
Rumusan delik dalam undang-undang lazim
dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini
tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”.
b.
Dalam pasal 10 KUHP disebutkan
jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu :
1.
pidana pokok :
a.
pidana mati
b.
pidana penjara
c.
pidana kurungan
d.
pidana denda, yang dapat diganti dengan
pidana kurungan
2.
pidana tambahan :
a.
pencabutan hak-hak tertentu
b.
perampasan barang-barang tertentu
c.
dimumkannya keputusan hakim
Sifat dari pidana tersebut adalah
sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.
c.
Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat
dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi
petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
d.
Pengertian kesalahan yang dapat berupa
kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia.
Dalam
perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan
tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan
menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat
dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain.
Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu
fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus dapat membebaskan
diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut
campurnya.
Keterangan
: di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van
bewijslast).
Dalam
KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai
subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka
korporasinya. Vide pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”,
dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas
dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Bahwasanya
yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan
(M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya
dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam
hukum positip Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi”
(S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan
yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut
dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal
25 ayat 7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1
dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum
pidana.
Pompe
(hal. 83) menyatakan mengenai persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan
dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian
untuk problem dalam materi baru ini”.
Van
Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini
agak lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan
terhadap badan hukum kiranya akan menduduki tempat yang penting dalam hukum
pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan
kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.
Dalam pada itu
sekarang suda pasti, bahwa menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan tindak
pidana, ya bahkan kadang-kadang korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat,
bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan bahkan mereka itu dapat
mengemukakan alasan tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van
Hattum menulis a.l. : (terjemahan) …………. sebaiknya pembentuk undang-undang
membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh
suatu korporasi.
0 komentar:
Posting Komentar