Jumat, 07 Juni 2013

Teori Sistem Politik
dan
Sistem Politik Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial.[1] Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu system, yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas.  Struktur kelembagaan atau institusi khas Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia.   Namun demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.
Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem politik, maka layaknya suatu sistem, kami akan ciptakan terlebih dahulu batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia. Oleh karena itu terlebih dahulu kami akan membahas pendekatan sistem politik dari teori behavioral.  kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pendekatan sistem politik dari sudut teori struktural-fungsional, serta pembahasan pada arti penting sejarah dalam mempelajari sistem politik Indonesia.



BAB II
PENDEKATAN TEORI SISTEM POLITIK

A. Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik
David Easton (1953)[2], seorang ilmuwan politik dari Harvard University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an.  Kaum pluralis mengingkari berbicara dengan konteks spesifik.  Sedangkan ilmuwan politik kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan melihat masalah lebih konstekstual.
Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi: polity,[3] politik,[4] dan policy (kebijakan).[5] Easton berpendapat bahwa definisi politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.
Easton memandang sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan dan sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan).  Model sistem politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:
Tahap 1  : Di dalam sistem politik akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2  : Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu sendiri.
Tahap 3  :  Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4  :  Ketika kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5  :  Kembali ke tahap 1.
           
            Keuntungan metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan elemen politik ke dalam teori analisa sistem.  Proses penggabungan akan membuka peluang untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena:
  1. Sifatnya yang mutlak;
  2. Teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik;
  3. teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem.  Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan);
  4. Teori ini mengingkari keberadaan suatu negara;
  5. Teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi.[6]

B. Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik
Di tahun 1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative politics).  Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik,  tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.  Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya. 
Seperti telah disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama—atau input dan output.  Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri. 
Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik, rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah, media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun, menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan duduk dalam kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem politik.[7]
Dalam sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai terjun dalam peperangan.  Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakan kebijakan.
Pengetahuan mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum dapat menerangkan sistem politik apapun, selain memperlakukannya sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun belum mencapai tahap interaksi.  Untuk itu, lingkungan perlu tercipta lebih dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik, misalnya negara Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.[8]
Interaksi tiap bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan corak dan perilaku dalam menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi.  Tidak ada dua negara identik dalam menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat dan Cina memiliki parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah berlainan.  Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan sistem politik negara lain dapat disimak pada ilustrasi berikut:
Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja.  Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan kebijakan.  Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan kebijakan.  Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.[9]
Agar bekerja efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat dimobilisasi.  Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi pemerintahan akan mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan mendapatkan legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan apabila ada yang mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses pengadilan.[10]

C. Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia
Pentingnya sejarah juga diakui oleh para Indonesianis (ahli Indonesia) seperti Herbert Feith, dalam mempelajari sistem politik Indonesia.  Dalam mengaplikasikan sejarah dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
  1. Masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
  2. Masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat,  J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
  3. Masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas.  Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
  4. Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.”
<<<<<<<<<<<<<<Selanjutnya klik di bawah<<<<<<<<<<<<<<<<

BAB V KESIMPULAN DAN DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar