Teori Sistem
Politik
dan
Sistem Politik
Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem
sosial.[1] Perspektif atau pendekatan
sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu system,
yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan
yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Model sistem politik
yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem
politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output).
Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang
harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik
yang diberikan oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi
rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah
kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Indonesia merupakan bagian dari
sistem politik dunia, dimana sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada
sistem politik negara tetangga maupun dalam cakupan lebih luas. Struktur kelembagaan atau institusi khas
Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga
melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia. Namun demikian, kekhasan sistem politik
Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila kemampuan positif struktur dan
fungsinya belum diperhitungkan sistem politik negara lain.
Akhirnya, mengingat sebegitu luas
pembicaraan mengenai sistem politik, maka layaknya suatu sistem, kami akan
ciptakan terlebih dahulu batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan
terhadap sistem politik baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia.
Oleh karena itu terlebih dahulu kami akan membahas pendekatan sistem politik
dari teori behavioral. kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan pendekatan sistem politik dari sudut teori
struktural-fungsional, serta pembahasan pada arti penting sejarah dalam
mempelajari sistem politik Indonesia.
BAB II
PENDEKATAN TEORI SISTEM POLITIK
A. Pendekatan Teori Behavioral Sistem Politik
David Easton (1953)[2], seorang ilmuwan politik dari Harvard
University, memperkenalkan pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik
dalam memahami politik. Di kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi
pluralis, teori Easton yang bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun
1960-an. Kaum pluralis mengingkari
berbicara dengan konteks spesifik.
Sedangkan ilmuwan politik kontemporer
berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan melihat masalah lebih
konstekstual.
Perbedaan satu sistem politik dengan
sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi: polity,[3] politik,[4] dan policy (kebijakan).[5] Easton berpendapat bahwa definisi politik dari
ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami realitas
politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.
Easton memandang sistem politik
sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan dan sangat luwes
(berubah sesuai kebutuhan). Model sistem
politik terdiri dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi
pengolahan (conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem
politik, lebih jelasnya seperti berikut ini:
Tahap
1 : Di dalam sistem politik akan terdapat
“tuntutan” untuk “output” tertentu (misal: kebijakan), dan adanya orang atau
kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap
2 : Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan
berkompetisi (“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan
keputusan itu sendiri.
Tahap
3 :
Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan tertentu), akan
berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap
4 : Ketika
kebijakan baru berinteraksi dengan lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan
baru dan kelompok dalam mendukung atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap
5 :
Kembali ke tahap 1.
Keuntungan
metode ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan
elemen politik ke dalam teori analisa sistem.
Proses penggabungan akan membuka peluang untuk melembagakan aneka
realitas politik yang rumit dan kemudian mensistemasikannya dalam sistem, tanpa
melupakan politik yang sifatnya multidimensi.
Namun demikian, teori Easton memiliki
beberapa kelemahan, antara lain karena:
- Sifatnya yang
mutlak;
- Teori
menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem
dapat hancur atau konflik;
- teori menolak
setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton
menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya
(lihat otonomi, kedaulatan);
- Teori ini
mengingkari keberadaan suatu negara;
- Teori
bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang
timbul akibat variasi.[6]
B. Pendekatan Teori Struktural-Fungsional
Sistem Politik
Di tahun 1970-an, ilmuwan politik
Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan
struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative
politics). Mereka berargumen bahwa
memahami suatu sistem politik, tidak
hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka
masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut
harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis,
agar pemahaman dapat lebih jelas. Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai
suatu obyek, memiliki bagian yang dapat digerakan, berinteraksi di dalam suatu
lingkungan dengan batas tertentu.
Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga
yang berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat
ataupun kelompok di dalamnya.
Seperti telah disampaikan sebelumnya,
teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan
internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu
pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu
sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama—atau input dan
output. Pandangan ini juga memberikan
perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.
Pendekatan struktural-fungsional
sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan,
partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan.
Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini memiliki keenam
macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa
sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik,
rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi politik merujuk pada
bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan kepercayaan untuk generasi
selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah, media, perkumpulan
religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun, menegakan, dan
mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam terminologi
politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat menanamkan
nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga
negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik
menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga negara, untuk
memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan duduk dalam
kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem menyampaikan
nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun sistem
politik.[7]
Dalam sistem politik Almond,
kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan mengoperasikan
sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai terjun
dalam peperangan. Untuk melaksanakan
tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut
struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan,
yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa
merumuskan, melaksanakan, dan menegakan kebijakan.
Pengetahuan mengenai keenam macam
struktur politik tersebut belum dapat menerangkan sistem politik apapun, selain
memperlakukannya sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun belum mencapai
tahap interaksi. Untuk itu, lingkungan
perlu tercipta lebih dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur
politik, misalnya negara Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.[8]
Interaksi tiap bagian dalam struktur
akan memunculkan kekhasan corak dan perilaku dalam menyikapi lingkungannya,
yang disebut fungsi. Tidak ada dua
negara identik dalam menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika
Serikat dan Cina memiliki parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah
berlainan. Agar lebih jelas, interaksi
antar berbagai fungsi dalam struktur kelembagaan di dalam sistem politik
Indonesia dengan sistem politik negara lain dapat disimak pada ilustrasi
berikut:
Struktur harus dikaitkan dengan
fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi berproses dalam
menghasilkan kebijakan dan kinerja.
Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam
merumuskan kebijakan dan implementasinya dalam tiap sistem politik, antara
lain: artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan
implementasi dan penegakan kebijakan.
Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan dalam
mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum
kebijakan dirumuskan, beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan
atau masyarakat harus memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari
politik. Proses politik dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau
diartikulasikan.[9]
Agar bekerja efektif, proses harus
memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif pilihan, seperti pajak lebih
tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih tinggi atau kurang, dimana
dukungan politik dapat dimobilisasi.
Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang
mengawasi pemerintahan akan mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan
kebijakan mendapatkan legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan
diimplementasikan, dan apabila ada yang mempertanyakan ataupun melanggar harus
melalui proses pengadilan.[10]
C. Peran Penting Sejarah dalam Sistem Politik
Indonesia
Pentingnya sejarah juga diakui oleh
para Indonesianis (ahli Indonesia) seperti Herbert Feith, dalam mempelajari
sistem politik Indonesia. Dalam
mengaplikasikan sejarah dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori
sistem struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
- Masa sebelum
tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi
kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
- Masa
pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an,
ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat, J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan
berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan
nasionalisme dan revolusi,
- Masa setelah
tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat
dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas. Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan
sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai
politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
- Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.”
0 komentar:
Posting Komentar