4.
Permasalahan
Pendefinisian dan Penafsiran Beberapa Terminologi dan Konsep dalam UU No.
5/1999
Permasalahan
selanjutnya adalah pemasalahan yang berhubungan dengan pendefinisian dan
penafsiran beberapa terminologi dan konsep terkait bidang hukum persaingan usaha
dan bidang hukum pada umumnya di dalam ketentuan atau pasal-pasal yang
tercantum dalam UU No. 5/1999.
UU No.
5/1999 menggunakan beberapa terminologi atau konsep yang sebelumnya telah dikenal
bidang hukum persaingan usaha maupun sistem hukum di Indonesia tetapi tidak memberikan definisi atau pengertian yang
jelas. Hal ini tentu saja menyulitkan bagi penegak hukum dalam menerapkan
pasal-pasal yang terkait dengan definisi atau konsep tersebut. Beberapa
terminologi dan konsep yang kurang tepat dalam pendefinisian atau pengertiannya
dapat diidentifikasikan antara lain sebagaimana tabel di bawah ini:
No.
|
Terminologi/Konsep
|
Definisi /
Pengertian dalam UU No. 5/1999
|
Definisi atau
Pengertian sesuai Teori / Best Practices
|
1.
|
Judul UU
|
UU ttg Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
|
Terlalu panjang dan cenderung membatasi, semestinya
cukup UU tentang Persaingan Usaha saja.
|
2.
|
Monopoli
|
Suatu tindakan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran….
|
Salah satu jenis kondisi struktur pasar dimana hanya
terdapat 1 (satu) pelaku usaha yang menjadi produsen atau penjual di pasar
bersangkutan.
|
3
|
Praktek Monopoli
|
Praktek Monopoli
|
Tindakan monopolisasi
|
4
|
Pelaku usaha
|
“Orang-perorangan” yg sebenarnya berarti kumpulan
orang-orang (persekutuan perdata) bukan merupakan memiliki individu
|
Orang-perseorangan yang memiliki arti individu
sebagaimana terminologi yang tepat sebagaimana diguanakan dalam UU No. 8/1999
tentang Perlindungan Konsumen.
|
5.
|
Pangsa Pasar
|
Terdefinisi secara sempit karena parameternya hanya
prosentase nilai jual atau beli
|
Seharusnya parameternya dapat lebih luas dengan
tidak hanya atas dasar prosentase nilai jual atau beli karena dapat diukur juga kepemilikan cadangan
(sources), kapasitas produksi, dll,
yang semestinya metode perhitungannya dilakukan secara kasus per kasus sesuai
dengan “nature” dari industri-nya.
|
6.
|
Konsumen
|
Definisinya kurang komprehensif sehingga dapat
melingkupi pula “konsumen antara” / pelaku usaha produsen atau penjual bukan
hanya “konsumen akhir”
|
Seharusnya hanya konsumen akhir maka sebaiknya
mengadopsi definisi konsumen sesuai UU No. 8/ 1999
|
7.
|
Kelompok pelaku usaha
|
Tidak memberi definisi atau penjelasan mengenai apa
yang dimaksud dengan kelompok pelaku usaha dan apa batasannya
|
Padahal, pendefinisian ini penting karena konsep
kelompok pelaku usaha digunakan sejajar dengan konsep pelaku usaha.
|
8.
|
Oligopoli
|
Suatu tindakan perjanjian
|
Salah satu jenis kondisi struktur pasar dimana hanya
terdapat beberapa pelaku usaha yang menjadi produsen atau penjual di pasar
bersangkutan.
|
9.
|
Kartel
|
Merupakan tindakan anti persaingan
|
Merupakan format atau wadah organisasi dari
sekumpulan pelaku usaha yang bersaing untuk melakukan persekongkolan yang
tindakan bersamanya dapat berwujud kesepakatan harga, pembagian lokasi,
kesepakatan kualitas produksi, dan atau kuota produksi.
|
10.
|
Oligopsoni
|
Suatu tindakan anti persaingan
|
Salah satu jenis kondisi struktur pasar dimana hanya
terdapat beberapa pembeli di pasar bersangkutan.
|
11.
|
Integrasi Vertikal
|
Suatu tindakan anti persaingan
|
Struktur afiliasi di antara beberapa pelaku usaha
yang memiliki keterkaitan proses produksi dari secara vertikal atau hulu ke
hilir yang bebas nilai (belum tentu memberikan dampak negative kepada
persaingan atau pasar)
|
12.
|
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
|
Menjadi suatu pembahasan tentang tindak anti
persaingan tersendiri
|
Seharusnya seluruh tindakan perjanjian anti
persaingan (restrictive) dapat berdimensi perjanjian dengan pihak domestik
dan dengan pihak luar negeri, sehingga tidak perlu diatur secara tersendiri.
|
13.
|
Persekongkolan
|
Pihak lain dalam persekongkolan tidak hanya
diartikan pelaku usaha pesaing tapi juga pelaku usaha pemilik atau pemberi
kerja (owner)
|
Seharusnya pihak lain dibatasi lingkup pengertiannya
hanya kepada pelaku usaha pesaing karena tindak persekongkolan dalam UU ini
adalah ranah persaingan usaha bukan ranah tentang tindakan korupsi oleh oknum
di pelaku usaha pemilik atau pemberi kerja.
|
14.
|
Saham mayoritas
|
Dalam undang-undang ini memiliki konsepsi bahwa
kepemilikan atas control / pengendalian suatu perusahaan itu hanya terefleksi
dari berapa besar saham perusahaan yang dimiliki
|
Padahal pengendalian / control terhadap perusahaan
belum tentu terefleksi dari berapa besar saham yang dimiliki tapi bisa
terdapat perjanjian atau kesepakatan lain di antara pemilik saham yang
memiliki pengaruh pada kepemilikan control atau pengendalian. Dan
pengendalian / control terhadap suatu perusahaan memiliki derajat atau
tingkatannya. Oleh karenanya seharusnya cukup digunakan istilah pengendali
perusahaan ketimbang menggunakan istilah pemilik saham mayoritas.
|
Kesemua
terminology dan konsep di atas merupakan contoh dari kesalahan pembentuk
undang-undang pada saat penyusunan aspek substansial tindakan anti persaingan
dari UU No. 5/1999 yang menjadi kendala dalam penegakan hukumnya.
5.
Ketidakjelasan
Konsep Denda, Ganti Rugi, dan Aspek Pidana
Pada
tanggal 7 Desember 2009, KPPU menetapkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha Nomor 4 Tahun 2009 (“Perkom No.
4/2009”) yang memberlakukan Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (“Pedoman
Pasal 47”). Pasal 2 Perkom No. 4/2009 menjelaskan bahwa Pedoman Pasal 47
merupakan penjabaran penafsiran pelaksanaan Pasal 47 UU No. 5/1999. Pasal yang
sama juga mengatur bahwa Pedoman Pasal 47 merupakan pedoman bagi (i) pelaku
usaha atau pihak lain yang berkepentingan dalam memahami Pasal 47 UU No. 5/1999
dan (ii) KPPU sendiri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dan 36 UU No. 5/1999 jo. Pasal 4 dan Pasal 5 Keppres
No. 75/1999.
Dalam
Pedoman Pasal 47 ditentukan bahwa dalam menentukan besaran denda, KPPU menempuh
2 (dua) langkah yaitu (i) menentukan besaran nilai dasar dan (ii) melakukan
penyesuaian dengan menambahkan atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut.
Adapun nilai dasar denda, menurut Pedoman Pasal 47, terkait dengan proporsi
dari nilai penjualan, tergantung dari tingkat pelanggaran, dikalikan dengan
jumlah tahun pelanggaran. Dalam menentukan proporsi tersebut, KPPU harus
mempertimbangkan berbagai macam faktor, seperti (a) skala perusahaan; (b) jenis
pelanggaran; (c) gabungan pangsa pasar dari para Terlapor; (d) cakupan wilayah
geografis pelanggaran; dan (e) telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran
tersebut. Sedangkan terkait penyesuaian, Pedoman Pasal 47 menentukan KPPU dapat
mempertimbangkan keadaan yang menghasilan penambahan atau pengurangan nilai
dasar denda tersebut, seperti Terlapor mengulangi pelanggaran yang sama
(memberatkan) atau Terlapor bersikap
baik dan kooperatif (meringankan).
Namun
dalam praktek, KPPU tidak jarang mendasarkan penentuan besaran denda pada
konsep yang tidak jelas dan bahkan mengabaikan ketentuan yang dibuatnya
sendiri. Hal tersebut dapat dibuktikan, salah satunya, melalui Putusan KPPU No.
38/KPPU-L/2010 terkait Lelang Contract Package No. 3A Bojonegara – Cikande
Distribution Pipeline. Pada bagian Tentang Perhitungan Denda, Majelis
Komisi menyatakan “bahwa dalam menentukan
proporsi harga penawaran tender yang diperhitungkan menjadi besaran nilai
dasar, Majelis Komisi mempertimbangkan berbagai macam faktor; yaitu skala
perusahaan, aset dan omset perusahaan, jenis pelanggaran, cakupan wilayah
geografis pelanggaran, dan telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran
tersebut …”. Melihat pertimbangan tersebut, terkesan bahwa KPPU berpegangan
kepada Pedoman Pasal 47 terkait faktor-faktor penentuan proporsi. Akan tetapi
pada pertimbangan berikutnya, KPPU hanya menyatakan “bahwa berdasarkan pertimbangan telah atau belum dilaksanakannya
pelanggaran tersebut, maka pelanggaran tersebut telah terjadi atau telah
terlaksana” dan tidak memberikan pertimbangan terhadap faktor-faktor lain
yang disebutkan sebelumnya, seperti skala perusahaan, aset dan omset perusahaan
dan lainnya.
Ketidakjelasan
konsep tersebut juga terdapat dalam hal penetapan ganti rugi. Merujuk pada halaman 2 alinea ketiga Pedoman Pasal 47 UU No. 5/1999 maka dapat
dengan jelas diketahui bahwa ganti rugi
ditetapkan berdasarkan kerugian yang dialami oleh pelaku usaha yang dirugikan. Sedangkan
mengenai kepada siapa kompensasi ganti rugi diberikan, halaman 7 Pedoman Pasal 47 UU No. 5/1999 telah secara
tegas menentukan kompensasi ganti rugi
hanya dapat diberikan kepada pelaku usaha yang menderita kerugian dan bukan
kepada pihak lain di luar pelaku usaha yang menderita kerugian tersebut. Akan tetapi, dalam Putusan No. 23/KPPU-L/2010 terkait Persetujuan Perpanjangan Give Away Haji,
KPPU telah semena-mena memerintahkan Terlapor membayar ganti rugi kepada jemaah
haji yang bukan dalam kapasitas sebagai “pelaku usaha” berdasarkan Pasal 1
angka 5 UU No. 5/1999, melainkan merupakan “konsumen” sebagaimana dijelaskan
Pasal 1 angka 15 UU No. 5/1999.
Selain itu, KPPU dalam beberapa perkara menerapkan kebijakan yang
berbeda terkait ganti rugi. Dalam Perkara No. 19/KPPU-L/2007 terkait industri
musik (Kasus EMI), KPPU menetapkan secara tegas jumlah kerugian serta perintah
pembayaran ganti rugi kepada suatu pelaku usaha, namun hal tersebut tidak
terdapat dalam Perkara No. 03/KPPU-L/2008 terkait hak siar televisi berbayar
(Kasus Astro). KPPU menolak memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita
oleh Pelapor dengan hanya mendasarkan bahwa Pelapor tidak menyerahkan laporan
keuangan, meskipun telah menunjukan bukti-bukti mengenai kerugian tersebut. Hal
tersebut menimbulkan kesan bahwa KPPU “mulai enggan” menetapkan adanya kerugian
bagi suatu pelaku usaha meskipun hal tersebut merupakan kewenangan yang
diberikan secara tegas oleh Pasal 36 huruf j UU No. 5/1999.
Terakhir, terdapat ketidakjelasan mengenai pengenaan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (Pidana Pokok) dan Pasal 49 (Pidana
Tambahan) UU No. 5/1999. Jika memperhatikan seluruh ketentuan dalam UU No.
5/1999 dapat diketahui bahwa setiap pelanggaran pasal mengenai “perjanjian yang
dilarang”, “kegiatan yang dilarang”, dan (penyalahgunaan) “posisi dominan”
diancam dengan sanksi pidana. Akan tetapi, dalam praktek, timbul pemahaman
bahwa aspek pidana tersebut hanya diterapkan terhadap tindakan-tindakan pelaku
usaha yang tidak kooperatif selama pemeriksaan di KPPU[1]
atau tidak melaksanakan putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap[2].
Padahal, di beberapa negara, tindakan anti-persaingan yang pada hakikatnya
merugikan publik (konsumen dalam jumlah besar) dapat langsung dilakukan proses pemidanaan.
Dari
paparan di atas, kiranya ada 2 (dua) alternatif untuk mengatasi
permasalahan-permasalah tersebut di atas; Pertama, cara yang paling ideal
adalah melakukan amandemen atau perubahan (revisi) atas UU No. 5/1999.
Alternatif kedua adalah melalui penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang
ada di dalam UU No. 5/1999, yang tidak mendasarkan pada satu metode penafsiran
saja tetapi dengan mengkombinasikan beberapa metode penafsiran hukum, sehingga
diperoleh hasil penafsiran yang sejalan dengan maksud dan tujuan yang ideal
dari dibentuknya UU No. 5/1999 dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau
setidaknya Peraturan KPPU yang secara substansi dapat dipertanggung-jawabkan
secara akademis dan ilmiah.
[1] Pelaku usaha yang melanggar
kewajiban penyerahan alat bukti yang diperlukan dalam penyilidikan dan atau
pemeriksaan diancam pidana denda atau pidana kurungan pengganti denda
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (3) UU No. 5/1999.
[2] Terhadap pelaku usaha yang tidak
melaksanakan putusan KPPU yang berkekuatan hukum tetap, KPPU akan menyerahkan
putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 ayat (4) UU No. 5//1999.
0 komentar:
Posting Komentar