Kamis, 23 Mei 2013


4.      Permasalahan Pendefinisian dan Penafsiran Beberapa Terminologi dan Konsep dalam UU No. 5/1999

Permasalahan selanjutnya adalah pemasalahan yang berhubungan dengan pendefinisian dan penafsiran beberapa terminologi dan konsep terkait bidang hukum persaingan usaha dan bidang hukum pada umumnya di dalam ketentuan atau pasal-pasal yang tercantum dalam UU No. 5/1999.
UU No. 5/1999 menggunakan beberapa terminologi atau konsep yang sebelumnya telah dikenal bidang hukum persaingan usaha maupun sistem hukum di Indonesia tetapi tidak memberikan definisi atau pengertian yang jelas. Hal ini tentu saja menyulitkan bagi penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal yang terkait dengan definisi atau konsep tersebut. Beberapa terminologi dan konsep yang kurang tepat dalam pendefinisian atau pengertiannya dapat diidentifikasikan antara lain sebagaimana tabel di bawah ini:

No.
Terminologi/Konsep
Definisi / Pengertian dalam UU No. 5/1999
Definisi atau Pengertian sesuai Teori / Best Practices
1.
Judul UU
UU ttg Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Terlalu panjang dan cenderung membatasi, semestinya cukup UU tentang Persaingan Usaha saja.
2.
Monopoli
Suatu tindakan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran….
Salah satu jenis kondisi struktur pasar dimana hanya terdapat 1 (satu) pelaku usaha yang menjadi produsen atau penjual di pasar bersangkutan.
3
Praktek Monopoli
Praktek Monopoli
Tindakan monopolisasi
4
Pelaku usaha
“Orang-perorangan” yg sebenarnya berarti kumpulan orang-orang (persekutuan perdata) bukan merupakan memiliki individu
Orang-perseorangan yang memiliki arti individu sebagaimana terminologi yang tepat sebagaimana diguanakan dalam UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
5.
Pangsa Pasar
Terdefinisi secara sempit karena parameternya hanya prosentase nilai jual atau beli
Seharusnya parameternya dapat lebih luas dengan tidak hanya atas dasar prosentase nilai jual atau beli karena dapat  diukur juga kepemilikan cadangan (sources),  kapasitas produksi, dll, yang semestinya metode perhitungannya dilakukan secara kasus per kasus sesuai dengan “nature” dari industri-nya.
6.
Konsumen
Definisinya kurang komprehensif sehingga dapat melingkupi pula “konsumen antara” / pelaku usaha produsen atau penjual bukan hanya “konsumen akhir”
Seharusnya hanya konsumen akhir maka sebaiknya mengadopsi definisi konsumen sesuai UU No. 8/ 1999
7.
Kelompok pelaku usaha
Tidak memberi definisi atau penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kelompok pelaku usaha dan apa batasannya
Padahal, pendefinisian ini penting karena konsep kelompok pelaku usaha digunakan sejajar dengan konsep pelaku usaha.
8.
Oligopoli
Suatu tindakan perjanjian
Salah satu jenis kondisi struktur pasar dimana hanya terdapat beberapa pelaku usaha yang menjadi produsen atau penjual di pasar bersangkutan.
9.
Kartel
Merupakan tindakan anti persaingan
Merupakan format atau wadah organisasi dari sekumpulan pelaku usaha yang bersaing untuk melakukan persekongkolan yang tindakan bersamanya dapat berwujud kesepakatan harga, pembagian lokasi, kesepakatan kualitas produksi, dan atau kuota produksi.
10.
Oligopsoni
Suatu tindakan anti persaingan
Salah satu jenis kondisi struktur pasar dimana hanya terdapat beberapa pembeli di pasar bersangkutan.
11.
Integrasi Vertikal
Suatu tindakan anti persaingan
Struktur afiliasi di antara beberapa pelaku usaha yang memiliki keterkaitan proses produksi dari secara vertikal atau hulu ke hilir yang bebas nilai (belum tentu memberikan dampak negative kepada persaingan atau pasar)
12.
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Menjadi suatu pembahasan tentang tindak anti persaingan tersendiri
Seharusnya seluruh tindakan perjanjian anti persaingan (restrictive) dapat berdimensi perjanjian dengan pihak domestik dan dengan pihak luar negeri, sehingga tidak perlu diatur secara tersendiri.
13.
Persekongkolan
Pihak lain dalam persekongkolan tidak hanya diartikan pelaku usaha pesaing tapi juga pelaku usaha pemilik atau pemberi kerja (owner)
Seharusnya pihak lain dibatasi lingkup pengertiannya hanya kepada pelaku usaha pesaing karena tindak persekongkolan dalam UU ini adalah ranah persaingan usaha bukan ranah tentang tindakan korupsi oleh oknum di pelaku usaha pemilik atau pemberi kerja.
14.
Saham mayoritas
Dalam undang-undang ini memiliki konsepsi bahwa kepemilikan atas control / pengendalian suatu perusahaan itu hanya terefleksi dari berapa besar saham perusahaan yang dimiliki
Padahal pengendalian / control terhadap perusahaan belum tentu terefleksi dari berapa besar saham yang dimiliki tapi bisa terdapat perjanjian atau kesepakatan lain di antara pemilik saham yang memiliki pengaruh pada kepemilikan control atau pengendalian. Dan pengendalian / control terhadap suatu perusahaan memiliki derajat atau tingkatannya. Oleh karenanya seharusnya cukup digunakan istilah pengendali perusahaan ketimbang menggunakan istilah pemilik saham mayoritas.

Kesemua terminology dan konsep di atas merupakan contoh dari kesalahan pembentuk undang-undang pada saat penyusunan aspek substansial tindakan anti persaingan dari UU No. 5/1999 yang menjadi kendala dalam penegakan hukumnya.

5.      Ketidakjelasan Konsep Denda, Ganti Rugi, dan Aspek Pidana

Pada tanggal 7 Desember 2009, KPPU menetapkan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2009 (“Perkom No. 4/2009”) yang memberlakukan Pedoman Tindakan Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“Pedoman Pasal 47”). Pasal 2 Perkom No. 4/2009 menjelaskan bahwa Pedoman Pasal 47 merupakan penjabaran penafsiran pelaksanaan Pasal 47 UU No. 5/1999. Pasal yang sama juga mengatur bahwa Pedoman Pasal 47 merupakan pedoman bagi (i) pelaku usaha atau pihak lain yang berkepentingan dalam memahami Pasal 47 UU No. 5/1999 dan (ii) KPPU sendiri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan 36 UU No. 5/1999 jo. Pasal 4 dan Pasal 5 Keppres No. 75/1999.

Dalam Pedoman Pasal 47 ditentukan bahwa dalam menentukan besaran denda, KPPU menempuh 2 (dua) langkah yaitu (i) menentukan besaran nilai dasar dan (ii) melakukan penyesuaian dengan menambahkan atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut. Adapun nilai dasar denda, menurut Pedoman Pasal 47, terkait dengan proporsi dari nilai penjualan, tergantung dari tingkat pelanggaran, dikalikan dengan jumlah tahun pelanggaran. Dalam menentukan proporsi tersebut, KPPU harus mempertimbangkan berbagai macam faktor, seperti (a) skala perusahaan; (b) jenis pelanggaran; (c) gabungan pangsa pasar dari para Terlapor; (d) cakupan wilayah geografis pelanggaran; dan (e) telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran tersebut. Sedangkan terkait penyesuaian, Pedoman Pasal 47 menentukan KPPU dapat mempertimbangkan keadaan yang menghasilan penambahan atau pengurangan nilai dasar denda tersebut, seperti Terlapor mengulangi pelanggaran yang sama (memberatkan) atau  Terlapor bersikap baik dan kooperatif (meringankan).

Namun dalam praktek, KPPU tidak jarang mendasarkan penentuan besaran denda pada konsep yang tidak jelas dan bahkan mengabaikan ketentuan yang dibuatnya sendiri. Hal tersebut dapat dibuktikan, salah satunya, melalui Putusan KPPU No. 38/KPPU-L/2010 terkait Lelang Contract Package No. 3A Bojonegara – Cikande Distribution Pipeline. Pada bagian Tentang Perhitungan Denda, Majelis Komisi menyatakan “bahwa dalam menentukan proporsi harga penawaran tender yang diperhitungkan menjadi besaran nilai dasar, Majelis Komisi mempertimbangkan berbagai macam faktor; yaitu skala perusahaan, aset dan omset perusahaan, jenis pelanggaran, cakupan wilayah geografis pelanggaran, dan telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran tersebut …”. Melihat pertimbangan tersebut, terkesan bahwa KPPU berpegangan kepada Pedoman Pasal 47 terkait faktor-faktor penentuan proporsi. Akan tetapi pada pertimbangan berikutnya, KPPU hanya menyatakan “bahwa berdasarkan pertimbangan telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran tersebut, maka pelanggaran tersebut telah terjadi atau telah terlaksana” dan tidak memberikan pertimbangan terhadap faktor-faktor lain yang disebutkan sebelumnya, seperti skala perusahaan, aset dan omset perusahaan dan lainnya.

Ketidakjelasan konsep tersebut juga terdapat dalam hal penetapan ganti rugi. Merujuk pada halaman 2 alinea ketiga Pedoman Pasal 47 UU No. 5/1999 maka dapat dengan jelas diketahui bahwa ganti rugi ditetapkan berdasarkan kerugian yang dialami oleh pelaku usaha yang dirugikan. Sedangkan mengenai kepada siapa kompensasi ganti rugi diberikan, halaman 7 Pedoman Pasal 47 UU No. 5/1999 telah secara tegas menentukan kompensasi ganti rugi hanya dapat diberikan kepada pelaku usaha yang menderita kerugian dan bukan kepada pihak lain di luar pelaku usaha yang menderita kerugian tersebut. Akan tetapi, dalam Putusan No. 23/KPPU-L/2010 terkait Persetujuan Perpanjangan Give Away Haji, KPPU telah semena-mena memerintahkan Terlapor membayar ganti rugi kepada jemaah haji yang bukan dalam kapasitas sebagai “pelaku usaha” berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 5/1999, melainkan merupakan “konsumen” sebagaimana dijelaskan Pasal 1 angka 15 UU No. 5/1999.

Selain itu, KPPU dalam beberapa perkara menerapkan kebijakan yang berbeda terkait ganti rugi. Dalam Perkara No. 19/KPPU-L/2007 terkait industri musik (Kasus EMI), KPPU menetapkan secara tegas jumlah kerugian serta perintah pembayaran ganti rugi kepada suatu pelaku usaha, namun hal tersebut tidak terdapat dalam Perkara No. 03/KPPU-L/2008 terkait hak siar televisi berbayar (Kasus Astro). KPPU menolak memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita oleh Pelapor dengan hanya mendasarkan bahwa Pelapor tidak menyerahkan laporan keuangan, meskipun telah menunjukan bukti-bukti mengenai kerugian tersebut. Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa KPPU “mulai enggan” menetapkan adanya kerugian bagi suatu pelaku usaha meskipun hal tersebut merupakan kewenangan yang diberikan secara tegas oleh Pasal 36 huruf j UU No. 5/1999.

Terakhir, terdapat ketidakjelasan mengenai pengenaan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (Pidana Pokok) dan Pasal 49 (Pidana Tambahan) UU No. 5/1999. Jika memperhatikan seluruh ketentuan dalam UU No. 5/1999 dapat diketahui bahwa setiap pelanggaran pasal mengenai “perjanjian yang dilarang”, “kegiatan yang dilarang”, dan (penyalahgunaan) “posisi dominan” diancam dengan sanksi pidana. Akan tetapi, dalam praktek, timbul pemahaman bahwa aspek pidana tersebut hanya diterapkan terhadap tindakan-tindakan pelaku usaha yang tidak kooperatif selama pemeriksaan di KPPU[1] atau tidak melaksanakan putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap[2]. Padahal, di beberapa negara, tindakan anti-persaingan yang pada hakikatnya merugikan publik (konsumen dalam jumlah besar) dapat langsung dilakukan proses pemidanaan.

Dari paparan di atas, kiranya ada 2 (dua) alternatif untuk mengatasi permasalahan-permasalah tersebut di atas; Pertama, cara yang paling ideal adalah melakukan amandemen atau perubahan (revisi) atas UU No. 5/1999. Alternatif kedua adalah melalui penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU No. 5/1999, yang tidak mendasarkan pada satu metode penafsiran saja tetapi dengan mengkombinasikan beberapa metode penafsiran hukum, sehingga diperoleh hasil penafsiran yang sejalan dengan maksud dan tujuan yang ideal dari dibentuknya UU No. 5/1999 dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau setidaknya Peraturan KPPU yang secara substansi dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis dan ilmiah.


[1] Pelaku usaha yang melanggar kewajiban penyerahan alat bukti yang diperlukan dalam penyilidikan dan atau pemeriksaan diancam pidana denda atau pidana kurungan pengganti denda sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (3) UU No. 5/1999.
[2] Terhadap pelaku usaha yang tidak melaksanakan putusan KPPU yang berkekuatan hukum tetap, KPPU akan menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (4) UU No. 5//1999.

0 komentar:

Posting Komentar