PERAN KOMNAS HAM DALAM
PEMAJUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
A. Peranan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
1.
Latar
Belakang/Sejarah Pembentukan Komnas HAM
Setiap orang mempunyai hak untuk menikmati kehidupannya
serta tumbuh dan berkembang dalam berbagai kehidupannya yang aman, tenteram,
damai dan sejahtera. Oleh karena itulah manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa dikaruniai seperangkat hak yang melekat kepadanya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang
demi untuk penghormatan dan perlindungan harkat dan martabatnya sebagai seorang
manusia.
Akan tetapi, pada kenyataannya sejarah bangsa Indonesia
telah mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang
disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras,
warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial
lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran
hak asasi manusia baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh negara terhadap
warga negara) maupun horizontal (dilakukan oleh antar warga negara), dan bahkan
sebagian pelanggaran hak asasi manusia tersebut masuk dalam kategori
pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).
Selama hampir 62 tahun usia bangsa Indonesia, pelaksanaan
pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia masih jauh
dari harapan. Hal ini tercermin dari berbagai kejadian antara lain berupa
penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan,
pembakaran dan lain sebagainya.
Guna membantu masyarakat korban pelanggaran hak asasi
manusia untuk memulihkan hak-haknya, maka dibutuhkan adanya sebuah Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibentuk pada tanggal 7
Juni 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden tersebut lahir menindaklanjuti
hasil rekomendasi Lokakarya tentang Hak Asasi Manusia yang diprakarsai oleh
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang
diselenggarakan pada tanggal 22 Januari 1991 di Jakarta.
Dalam
perkembangannya, sejarah bangsa Indonesia terus mencatat berbagai bentuk
penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan antara lain
oleh warisan konsepsi tradisional tentang hubungan feodalistik dan patriarkal
antara pemerintah dengan rakyat, belum konsistennya penjabaran sistem dan
aparatur penegak hukum dengan norma-norma yang diletakkan para pendiri negara
dalam UUD 1945, belum tersosialisasikannya secara luas dan komprehensif
instrumen hak asasi manusia, dan belum kukuhnya masyarakat warga (civil
society). Ringkasnya, masih didapati adanya kondisi yang belum cukup
kondusif untuk perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Sebagai akibatnya,
maka telah menimbulkan berbagai perilaku yang tidak adil dan diskriminatif.
Perilaku
yang tidak adil dan diskriminatif tersebut mengakibatkan terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia baik yang dilakukan oleh aparatur negara (state actor) yaitu pelanggaran hak asasi
manusia yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat (pelanggaran HAM
vertikal), maupun yang dilakukan oleh
masyarakat (non state actor)
yaitu pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan diantara sesama masyarakat
(pelanggaran HAM horisontal).
Hal
tersebut tercermin dari berbagai kejadian berupa penangkapan yang tidak sah,
penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan orang secara paksa,
pembunuhan, pembakaran, penyerobotan tanah, maraknya kerusuhan sosial di
beberapa daerah dan berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Menyikapi
adanya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia tersebut diatas, maka guna
menghindari jatuhnya korban pelanggaran HAM yang lebih banyak dan untuk
menciptakan kondisi yang kondusif, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat telah
mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Dalam Ketetapan tersebut
disebutkan, antara lain menugasi lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh
aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Selain itu, dalam
Ketetapan tersebut juga disebutkan bahwa pelaksanaan penyuluhan, pengkajian,
pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia dilakukan oleh
suatu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Menindaklanjuti
amanat Ketetapan MPR tersebut, maka pada tanggal 23 September 1999 telah
disahkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam
Undang-undang tersebut selain mengatur mengenai hak asasi manusia, juga
mengenai kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Dengan
telah ditingkatkannya dasar hukum pembentukan Komnas HAM dari Keputusan
Presiden menjadi Undang-undang, diharapkan Komnas HAM dapat menjalankan
fungsinya dengan lebih optimal untuk mengungkapkan berbagai bentuk pelanggaran
hak asasi manusia. Dengan undang-undang tersebut, Komnas HAM juga mempunyai subpoena
power dalam membantu penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.
Komnas
HAM sebagaimana disebutkan di dalam pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 adalah lembaga mandiri, yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya, yang berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak
asasi manusia.
Komnas
HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan dapat mendirikan
Perwakilan Komnas HAM di daerah. Sampai dengan saat ini, Komnas HAM memiliki
sebanyak 3 (tiga) Perwakilan Komnas HAM yaitu di Kalimantan Barat, Sumatera
Barat, Papua dan 3 (tiga) Kantor Perwakilan Komnas HAM di Aceh, Ambon, dan
palu.
Adapun
yang menjadi tujuan dibentuknya Komnas HAM berdasarkan Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999, yaitu :
a.
mengembangkan
kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan
Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
b.
meningkatkan
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia
Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang
kehidupan.
Komnas
HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan
berintegritas tinggi, menghormati cita-cita negara hukum dan negara
kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan
kewajiban dasar manusia. Menurut Undang-undang No.39 Tahun 1999 anggota Komnas
HAM berjumlah 35 orang yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan
Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara, namun pada
kenyataannya DPR hanya memilih sebanyak 23 orang yang kemudian diresmikan
melalui Keputusan Presiden Nomor No. 165 / M Tahun 2002 tanggal
31 Agustus 2002.
Masa
jabatan keanggotaan Komnas HAM adalah selama 5 (lima) tahun dan setelah
berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Komnas
HAM dipimpin oleh seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih oleh
dan dari anggota Komnas HAM. Komnas HAM
mempunyai kelengkapan yang terdiri atas sidang paripurna dan subkomisi.
2. Pedoman Internasional Pembentukan Institusi Nasional
HAM (Paris Principle 1991).
Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1
butir (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah “seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Guna memastikan adanya jaminan perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, maka kehadiran institusi nasional
hak asasi manusia sangatlah diperlukan yang dibangun untuk pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia.
Pembentukan institusi nasional hak asasi manusia haruslah
merupakan lembaga yang efektif dan mempunyai kelayakan untuk disebut sebagai
sebuah institusi nasional. Untuk itulah, maka pembentukan institusi nasional
HAM haruslah memenuhi elemen-elemen yang diatur di dalam standar internasional
pembentukan institusi nasional HAM sebagaimana disebutkan di dalam
Prinsip-Prinsip Paris 1991 atau Paris Principle 1991.
Adapun elemen-elemen dasar bagi pembentukan institusi
nasional HAM tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Independen
Sebuah
lembaga yang efektif adalah lembaga yang mampu bekerja secara terpisah dari
pemerintah, partai politik, serta segala lembaga dan situasi yang mungkin dapat
mempengaruhi kinerjanya. Untuk itu, pembentukan institusi nasional HAM haruslah
independen. Independen disini tidak diartikan sama sekali tidak ada hubungan
dengan pemerintah, akan tetapi dimaksudkan tidak adanya intervensi pemerintah
maupun pihak lain dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Independensi disini
dibagi dalam beberapa kriteria yaitu :
a.
Independensi melalui otonomi hukum dan operasional
Pembentukan
institusi nasional HAM melalui undang-undang sangatlah penting untuk memastikan
independensi hukumnya, terutama independensi dari pemerintah, sehingga
memungkinkannya lembaga tersebut menjalankan fungsinya tanpa adanya gangguan
dari pemerintah maupun lembaga lain.
Sedangkan otonomi operasional adalah berhubungan dengan kemampuan
lembaga nasional HAM untuk melakukan kegiatan sehari-harinya secara terpisah
dari individu, organisasi, departemen atau pihak mana pun.
b.
Independensi melalui otonomi keuangan
Keterkaitan
antara otonomi keuangan dengan independensi fungsional sangatlah erat, karena
lembaga nasional HAM yang tidak mempunyai keuangan yang mencukupi maka akan
sangat tergantung kepada lembaga pemerintah atau badan lain. Untuk itu, sumber
dan pendanaan lembaga nasional HAM harus disebutkan di dalam undang-undang
pembentukannya untuk memastikan bahwa lembaga tersebut secara finansial mampu
untuk melaksanakan fungsi dasarnya.
c.
Independensi melalui prosedur pengangkatan dan pemberhentian
Persyaratan
dan ketentuan yang berlaku bagi anggota lembaga nasional HAM harus secara
spesifik diatur di dalam undang-undang pembentukannya guna memastikan bahwa
anggotanya baik secara individu maupun kolektif mampu menghasilkan dan
mempertahankan tindakan yang independen. Pemberhentian anggota harus diatur
secara jelas di dalam undang-undang pembentukan yang menyebutkan secara rinci
dan jelas keadaan yang menyebabkan dapat diberhentikannya anggota.
d.
Independensi melalui komposisi
Komposisi
lembaga nasional dapat lebih menjamin independensi terhadap pejabat publik dan
harus mencerminkan suatu tingkat pluralisme sosiologis dan politis serta
keragaman yang seluas-luasnya.
2.
Yurisdiksi yang Jelas dan wewenang yang Memadai
Yurisdiksi
pokok haruslah disebutkan dengan jelas di dalam undang-undang pembentukan
seperti memberikan pendidikan tentang hak asasi manusia, membantu pemerintah
dalam masalah-masalah legislatif serta menerima dan menangani pengaduan
pelanggaran hak asasi manusia.
3.
Kemudahan Akses
Keberadaan
lembaga nasional HAM haruslah mudah diakses oleh orang-orang atau kelompok
orang yang harus dilindungi, atau yang kepentingannya harus diperjuangkan.
Kemudahan akses ini antara lain akses secara fisik yaitu seperti pendirian
perwakilan di daerah, sehingga memudahkan rakyat yang tinggal di daerah tidak
perlu harus menyampaikan keluhannya ke pusat, akan tetapi dapat dilayani di
daerah.
4.
Kerjasama
Lembaga
nasional HAM harus bekerjasama dengan PBB dan organisasi-organisasi lain dalam
sistem PBB, lembaga-lembaga regional dan nasional dari negara-negara yang
berkompeten dalam bidang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Selain
itu, kerjasama juga harus dilakukan dengan organisasi non pemerintah, antar
lembaga nasional dan organisasi pemerintah.
5.
Efisiensi Operasional
Lembaga
nasional HAM sebagaimana lembaga lainnya harus berusaha untuk memastikan bahwa
metode-metode kerjanya adalah yang paling efektif dan efisien yang mungkin
dilakukan. Efisiensi operasional menyentuh semua aspek prosedur lembaga dari
prosedur penerimaan dan seleksi personel, pengembangan metode kerja dan
peraturan prosedur serta penerapan pemeriksaan kinerja rutin.
6.
Pertanggungjawaban
Sesuai dengan dasar hukum pembentukannya, lembaga nasional
akan bertanggung jawab secara hukum dan keuangan kepada pemerintah dan/atau
parlemen yang dilakukan melalui pembuatan laporan secara berkala. Selain bertanggung jawab secara hukum kepada
pemerintah dan/atau parlemen, institusi nasional HAM juga secara langsung
bertanggung jawab kepada publik yang dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara, misalnya menyebarluaskan hasil laporan dan publikasi lainnya yang
berkenaan dengan hak asasi manusia. [3]
International
Co-ordinating Committee of national Institutions for the Promotion and
Protection of Human Rights (ICC) pada rapatnya yang diselenggarakan pada tanggal 19 sampai
dengan 22 Maret 2007, telah melakukan reakreditasi kepada Komnas HAM dengan
hasil Komnas HAM telah diberikan reakreditasi dengan status “A”, dengan beberapa catatan atau
rekomendasi yang harus diperhatikan, yaitu :
a. Adanya pengaturan secara hukum hak
imunitas bagi anggota dan staf Komnas HAM dalam menjalankan tugasnya.
b. Keterwakilan perempuan dalam
komisioner masih kurang.
c. Organisasi kesekretariatan jenderal
hendaknya diatur dengan peraturan Komnas HAM dan bukan dengan Keputusan
Presiden untuk menjaga independensi Komnas HAM.
d. Peningkatan kerjasama dengan
lembaga lainnya.
ICC akan melakukan rekakreditasi kembali Komnas HAM pada
tahun 2012 guna memastikan apakah beberapa catatan atau rekomendasi tersebut
telah dilaksanakan.
2. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan
Komnas HAM berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM mempunyai fungsi pengkajian dan
penelitian, penyuluhan, pemantauan, serta mediasi.
Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian
dan penelitian, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
a)
Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen
internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai
kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi.
b)
Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan
perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan,
perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
hak asasi manusia.
c)
Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian.
d)
Studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di
negara lain mengenai hak asasi manusia.
e)
Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan
perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
f) Kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak
lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak
asasi manusia.
Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan :
a)
Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada
masyarakat Indonesia.
b)
Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak
asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal serta berbagai
kalangan lainnya.
c) Kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat
nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan, Komnas HAM
bertugas dan berwenang melakukan :
a)
Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
b)
Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang
timbul dalam masyarakat berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
pelanggaran hak asasi manusia.
c)
Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun
pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya.
d)
Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar
kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang
diperlukan.
e)
Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang
dianggap perlu.
f)
Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan
keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai
dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
g)
Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan,
bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu
dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
h) Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap
perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara
tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara
pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Selanjutnya dalam melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi, Komnas
HAM bertugas dan berwenang :
a)
Mengadakan perdamaian antar pihak-pihak yang bertikai.
b)
Menyelesaikan perkara melalui konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
c)
Memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan.
d)
Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran
hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya.
e) Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindaklanjuti.
3.
Prosedur Penanganan Pengaduan
Pengaduan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang disampaikan oleh masyarakat baik yang datang secara langsung ke Komnas HAM
maupun melalui surat, ditangani oleh Komnas HAM sesuai dengan fungsi pemantauan
maupun mediasi. Bentuk-bentuk
pelanggaran hak asasi manusia yang diadukan oleh masyarakat yang selama ini
terjadi hampir di seluruh daerah meliputi pelanggaran hak sipil dan politik
maupun pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pengaduan terhadap adanya
pelanggaran ini dapat dilakukan baik secara langsung bertatap muka dengan
Komnas HAM maupun secara tidak langsung melalui surat. Dalam 2006 telah diterima sebanyak 3.372 pengaduan,
atau rata-rata 281 pengaduan setiap bulannya.
Seluruh pengaduan yang diterima dianalisis secara
intensif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasar analisis tersebut diambil tindak lanjut yang diperlukan, baik dengan
meneruskan pengaduan tersebut kepada instansi pemerintah yang bersangkutan;
mengadakan peninjauan lapangan untuk memperoleh fakta lanjutan; menyarankan
diadakannya mediasi, atau, jika diduga ada pelanggaran HAM yang berat,
mengusulkan pembentukan tim ad hoc penyelidikan berdasar Undang-undang No 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
>>>>>>>>>>>>>>selanjutnya<<<<<<<<<<<<<<<
0 komentar:
Posting Komentar