Selasa, 04 Juni 2013

PERAN KOMNAS HAM DALAM PEMAJUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA 


A.    Peranan Komnas HAM berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

1.        Latar Belakang/Sejarah Pembentukan Komnas HAM

Setiap orang mempunyai hak untuk menikmati kehidupannya serta tumbuh dan berkembang dalam berbagai kehidupannya yang aman, tenteram, damai dan sejahtera. Oleh karena itulah manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dikaruniai seperangkat hak yang melekat kepadanya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi untuk penghormatan dan perlindungan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia.

Akan tetapi, pada kenyataannya sejarah bangsa Indonesia telah mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh negara terhadap warga negara) maupun horizontal (dilakukan oleh antar warga negara), dan bahkan sebagian pelanggaran hak asasi manusia tersebut masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).

Selama hampir 62 tahun usia bangsa Indonesia, pelaksanaan pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia masih jauh dari harapan. Hal ini tercermin dari berbagai kejadian antara lain berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, pembakaran dan lain sebagainya.

Guna membantu masyarakat korban pelanggaran hak asasi manusia untuk memulihkan hak-haknya, maka dibutuhkan adanya sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibentuk pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden tersebut lahir menindaklanjuti hasil rekomendasi Lokakarya tentang Hak Asasi Manusia yang diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diselenggarakan pada tanggal 22 Januari 1991 di Jakarta.

Dalam perkembangannya, sejarah bangsa Indonesia terus mencatat berbagai bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan antara lain oleh warisan konsepsi tradisional tentang hubungan feodalistik dan patriarkal antara pemerintah dengan rakyat, belum konsistennya penjabaran sistem dan aparatur penegak hukum dengan norma-norma yang diletakkan para pendiri negara dalam UUD 1945, belum tersosialisasikannya secara luas dan komprehensif instrumen hak asasi manusia, dan belum kukuhnya masyarakat warga (civil society). Ringkasnya, masih didapati adanya kondisi yang belum cukup kondusif untuk perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Sebagai akibatnya, maka telah menimbulkan berbagai perilaku yang tidak adil dan diskriminatif.

Perilaku yang tidak adil dan diskriminatif tersebut mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia baik yang dilakukan oleh aparatur negara (state actor) yaitu pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat (pelanggaran HAM vertikal), maupun yang dilakukan oleh  masyarakat (non state actor) yaitu pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan diantara sesama masyarakat (pelanggaran HAM horisontal).

Hal tersebut tercermin dari berbagai kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan orang secara paksa, pembunuhan, pembakaran, penyerobotan tanah, maraknya kerusuhan sosial di beberapa daerah dan berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.

Menyikapi adanya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia tersebut diatas, maka guna menghindari jatuhnya korban pelanggaran HAM yang lebih banyak dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat telah mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Dalam Ketetapan tersebut disebutkan, antara lain menugasi lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Selain itu, dalam Ketetapan tersebut juga disebutkan bahwa pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia dilakukan oleh suatu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dengan Undang-undang.

Menindaklanjuti amanat Ketetapan MPR tersebut, maka pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-undang tersebut selain mengatur mengenai hak asasi manusia, juga mengenai kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Dengan telah ditingkatkannya dasar hukum pembentukan Komnas HAM dari Keputusan Presiden menjadi Undang-undang, diharapkan Komnas HAM dapat menjalankan fungsinya dengan lebih optimal untuk mengungkapkan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Dengan undang-undang tersebut, Komnas HAM juga mempunyai subpoena power dalam membantu penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia. 


Komnas HAM sebagaimana disebutkan di dalam pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah lembaga mandiri, yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya, yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan dapat mendirikan Perwakilan Komnas HAM di daerah. Sampai dengan saat ini, Komnas HAM memiliki sebanyak 3 (tiga) Perwakilan Komnas HAM yaitu di Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Papua dan 3 (tiga) Kantor Perwakilan Komnas HAM di Aceh, Ambon, dan palu.

Adapun yang menjadi tujuan dibentuknya Komnas HAM berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, yaitu :
a.    mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
b.    meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghormati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Menurut Undang-undang No.39 Tahun 1999 anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara, namun pada kenyataannya DPR hanya memilih sebanyak 23 orang yang kemudian diresmikan melalui Keputusan Presiden Nomor No. 165 / M Tahun 2002 tanggal 31 Agustus 2002.

Masa jabatan keanggotaan Komnas HAM adalah selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Komnas HAM dipimpin oleh seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih oleh dan dari anggota Komnas HAM.  Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri atas sidang paripurna dan subkomisi.


2.    Pedoman Internasional Pembentukan Institusi Nasional HAM (Paris Principle 1991).

Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Guna memastikan adanya jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, maka kehadiran institusi nasional hak asasi manusia sangatlah diperlukan yang dibangun untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.

Pembentukan institusi nasional hak asasi manusia haruslah merupakan lembaga yang efektif dan mempunyai kelayakan untuk disebut sebagai sebuah institusi nasional. Untuk itulah, maka pembentukan institusi nasional HAM haruslah memenuhi elemen-elemen yang diatur di dalam standar internasional pembentukan institusi nasional HAM sebagaimana disebutkan di dalam Prinsip-Prinsip Paris 1991 atau Paris Principle 1991.

Adapun elemen-elemen dasar bagi pembentukan institusi nasional HAM tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Independen
Sebuah lembaga yang efektif adalah lembaga yang mampu bekerja secara terpisah dari pemerintah, partai politik, serta segala lembaga dan situasi yang mungkin dapat mempengaruhi kinerjanya. Untuk itu, pembentukan institusi nasional HAM haruslah independen. Independen disini tidak diartikan sama sekali tidak ada hubungan dengan pemerintah, akan tetapi dimaksudkan tidak adanya intervensi pemerintah maupun pihak lain dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Independensi disini dibagi dalam beberapa kriteria yaitu :
a.    Independensi melalui otonomi hukum dan operasional
Pembentukan institusi nasional HAM melalui undang-undang sangatlah penting untuk memastikan independensi hukumnya, terutama independensi dari pemerintah, sehingga memungkinkannya lembaga tersebut menjalankan fungsinya tanpa adanya gangguan dari pemerintah maupun lembaga lain.  Sedangkan otonomi operasional adalah berhubungan dengan kemampuan lembaga nasional HAM untuk melakukan kegiatan sehari-harinya secara terpisah dari individu, organisasi, departemen atau pihak mana pun.
b.    Independensi melalui otonomi keuangan
Keterkaitan antara otonomi keuangan dengan independensi fungsional sangatlah erat, karena lembaga nasional HAM yang tidak mempunyai keuangan yang mencukupi maka akan sangat tergantung kepada lembaga pemerintah atau badan lain. Untuk itu, sumber dan pendanaan lembaga nasional HAM harus disebutkan di dalam undang-undang pembentukannya untuk memastikan bahwa lembaga tersebut secara finansial mampu untuk melaksanakan fungsi dasarnya.
c.    Independensi melalui prosedur pengangkatan dan pemberhentian
Persyaratan dan ketentuan yang berlaku bagi anggota lembaga nasional HAM harus secara spesifik diatur di dalam undang-undang pembentukannya guna memastikan bahwa anggotanya baik secara individu maupun kolektif mampu menghasilkan dan mempertahankan tindakan yang independen. Pemberhentian anggota harus diatur secara jelas di dalam undang-undang pembentukan yang menyebutkan secara rinci dan jelas keadaan yang menyebabkan dapat diberhentikannya anggota.
d.    Independensi melalui komposisi
Komposisi lembaga nasional dapat lebih menjamin independensi terhadap pejabat publik dan harus mencerminkan suatu tingkat pluralisme sosiologis dan politis serta keragaman yang seluas-luasnya.
2.    Yurisdiksi yang Jelas dan wewenang yang Memadai
Yurisdiksi pokok haruslah disebutkan dengan jelas di dalam undang-undang pembentukan seperti memberikan pendidikan tentang hak asasi manusia, membantu pemerintah dalam masalah-masalah legislatif serta menerima dan menangani pengaduan pelanggaran hak asasi manusia.
3.    Kemudahan Akses
Keberadaan lembaga nasional HAM haruslah mudah diakses oleh orang-orang atau kelompok orang yang harus dilindungi, atau yang kepentingannya harus diperjuangkan. Kemudahan akses ini antara lain akses secara fisik yaitu seperti pendirian perwakilan di daerah, sehingga memudahkan rakyat yang tinggal di daerah tidak perlu harus menyampaikan keluhannya ke pusat, akan tetapi dapat dilayani di daerah.
4.    Kerjasama
Lembaga nasional HAM harus bekerjasama dengan PBB dan organisasi-organisasi lain dalam sistem PBB, lembaga-lembaga regional dan nasional dari negara-negara yang berkompeten dalam bidang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, kerjasama juga harus dilakukan dengan organisasi non pemerintah, antar lembaga nasional dan organisasi pemerintah.
5.    Efisiensi Operasional
Lembaga nasional HAM sebagaimana lembaga lainnya harus berusaha untuk memastikan bahwa metode-metode kerjanya adalah yang paling efektif dan efisien yang mungkin dilakukan. Efisiensi operasional menyentuh semua aspek prosedur lembaga dari prosedur penerimaan dan seleksi personel, pengembangan metode kerja dan peraturan prosedur serta penerapan pemeriksaan kinerja rutin.
6.    Pertanggungjawaban
Sesuai dengan dasar hukum pembentukannya, lembaga nasional akan bertanggung jawab secara hukum dan keuangan kepada pemerintah dan/atau parlemen yang dilakukan melalui pembuatan laporan secara berkala.  Selain bertanggung jawab secara hukum kepada pemerintah dan/atau parlemen, institusi nasional HAM juga secara langsung bertanggung jawab kepada publik yang dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya menyebarluaskan hasil laporan dan publikasi lainnya yang berkenaan dengan hak asasi manusia. [3]

International Co-ordinating Committee of national Institutions for the Promotion and Protection of Human Rights (ICC) pada rapatnya yang diselenggarakan pada tanggal 19 sampai dengan 22 Maret 2007, telah melakukan reakreditasi kepada Komnas HAM dengan hasil Komnas HAM telah diberikan reakreditasi dengan status “A”, dengan beberapa catatan atau rekomendasi yang harus diperhatikan, yaitu :
a.    Adanya pengaturan secara hukum hak imunitas bagi anggota dan staf Komnas HAM dalam menjalankan tugasnya.
b.    Keterwakilan perempuan dalam komisioner masih kurang.
c.    Organisasi kesekretariatan jenderal hendaknya diatur dengan peraturan Komnas HAM dan bukan dengan Keputusan Presiden untuk menjaga independensi Komnas HAM.
d.    Peningkatan kerjasama dengan lembaga lainnya.

ICC akan melakukan rekakreditasi kembali Komnas HAM pada tahun 2012 guna memastikan apakah beberapa catatan atau rekomendasi tersebut telah dilaksanakan.

 

2.    Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Komnas HAM berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM mempunyai fungsi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, serta mediasi.

 

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a)    Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi.
b)    Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
c)    Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian.
d)    Studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia.
e)    Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
f)     Kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a)    Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia.
b)    Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal serta berbagai kalangan lainnya.
c)    Kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a)    Pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
b)    Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
c)    Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya.
d)    Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan.
e)    Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
f)     Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
g)    Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
h)    Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

Selanjutnya dalam melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi, Komnas HAM bertugas dan berwenang :

a)    Mengadakan perdamaian antar pihak-pihak yang bertikai.
b)    Menyelesaikan perkara melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
c)    Memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
d)    Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya.
e)    Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk ditindaklanjuti.
3.    Prosedur Penanganan Pengaduan

Pengaduan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang disampaikan oleh masyarakat baik yang datang secara langsung ke Komnas HAM maupun melalui surat, ditangani oleh Komnas HAM sesuai dengan fungsi pemantauan maupun mediasi.  Bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang diadukan oleh masyarakat yang selama ini terjadi hampir di seluruh daerah meliputi pelanggaran hak sipil dan politik maupun pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pengaduan terhadap adanya pelanggaran ini dapat dilakukan baik secara langsung bertatap muka dengan Komnas HAM maupun secara tidak langsung melalui surat. Dalam  2006 telah diterima sebanyak 3.372 pengaduan, atau rata-rata  281 pengaduan setiap bulannya.

Seluruh pengaduan yang diterima dianalisis secara intensif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasar analisis tersebut diambil tindak lanjut yang diperlukan, baik dengan meneruskan pengaduan tersebut kepada instansi pemerintah yang bersangkutan; mengadakan peninjauan lapangan untuk memperoleh fakta lanjutan; menyarankan diadakannya mediasi, atau, jika diduga ada pelanggaran HAM yang berat, mengusulkan pembentukan tim ad hoc penyelidikan berdasar Undang-undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

>>>>>>>>>>>>>>selanjutnya<<<<<<<<<<<<<<<

0 komentar:

Posting Komentar