Rabu, 22 Mei 2013


Interprestasi Pelaku Ekonomi 
Terhadap Merek Barang yang Berbeda

A. PENDAHULUAN
A. 1Latar Belakang
Pemahaman dan interpretasi pelaku ekonomi terhadap merek yang berbeda-beda tersebut karena adanya kepentingan yang berbeda. Produsen terkadang melanggar merek karena menginginkan keuntungan dengan cara yang melawan hukum. Contoh pelanggaran Honda oleh PT Tossa Sakti Motor Demikian juga konsumen yang menganggap bahwa merek adalah kata yang dapat dimiliki oleh siapa saja. Sehingga sebuah sepeda motor dapat dipasang merek sepeda motor lainnya sesuai keinginannya..
Pelanggaran terhadap merek, selain dipengaruhi oleh pemahaman yang keliru juga dipengaruhi oleh budaya  hukum masyarakat. Masyarakat tidak mempunyai budaya hukum sendiri. Dalam masyarakat hukum yang baru terkadang tidak diterima atau ditolak. Penolakan atau tidak menerima hukum berarti hukum tidak dilaksanakan, sehingga fungsi hukum tidak efektif, yang pada akhirnya kesadaran hukum masyarakat rendah,sehingga terjadi pelanggaran hukum.
Menurut UU No.19 th 1992 Jo UU No.14 tahun 1997 Jo UU No.15         Th. 2001, sistim kepemilikan hak atas merek adalah dengan cara mendaftarkan merek tersebut di Kantor pendaftaran merek yaitu Kantor Direktorat Patent dan Hak Cipta (Sistim Konstitutif), sehingga  yang memiliki hak atas merek adalah pihak yang sudah  mendaftarkan  mereknya di Kantor Merek.
Apabila terjadi pelanggaran hak atas merek, maka pemilik merek yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan, seperti yang dilakukan oleh PT. Astra Honda Motor kepada PT. Tossa Shakti Motor. Dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan dasarnya adalah Pasal 90 sampai dengan 95 UU No. 15 Tahun 2001 yaitu UU tentang Merek. Dari ketentuan Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 UU No.15 Tahun 2001 di atas dapat dijelaskan  bahwa barang siapa secara sengaja tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi indikasi awal dapat dikenai sanksi  : berupa pidana penjara dan pidana denda.
Penulis mengadakan penelitian tentang Pemahaman dan Interpretasi Pelaku Ekonomi terhadap Perlindungan Hak Atas Merek  Kajian Hermeneutika, karena pemahaman dan interpretasi pelaku ekonomi bervariasi terhadap hak atas merek sebagai hak kekayaan intelektual yang harus dilindungi. Pihak yang melanggar Hak Atas Merek tidak memahami dan menafsirkan bahwa hak atas merek dilindungi oleh undang-undang yaitu UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Kenyataan masih ada pelanggaran merek sepeda motor milik PT. Astra Honda Motor oleh PT. Tossa Sakti motor.

A.  2.  Fokus Studi
Pemahaman dan interpretasi pelaku ekonomi berbeda-beda dan budaya hukum masyarakat dapat menimbulkan  masalah hukum, yaitu dapat terjadinya pelanggaran merek. Padahal merek yang terdaftar mendapat perlindungan hukum baik secara preventif maupun represif yang diatur dalam undang-undang Merek.. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh budaya masyarakat, seperti ; nilai kearifan lokal, nilai religius, dan  nilai hukum.
Berdasarkan uraian di atas maka pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana budaya hukum pelaku ekonomi terhadap Hak Atas Merek ?
  2. Mengapa pemahaman dan interpretasi pelaku ekonomi terhadap pelanggaran Hak Atas Merek bervariasi ?
  3. Bagaimana regulasi Hak Atas Merek yang melindungi kepentingan Pemegang  Hak Atas Merek Terdaftar  ?


A.   3.  Kerangka Pemikiran
A.  3. 1.  Pemahaman dan Interpretasi atau Hermeneutika
Obyek kajian hermeneutika yang pertama adalah berupa teks, lontar, atau ayat/wahyu Tuhan yang tertuang dalm kitab suci. Pendapat ini benar manakala hermeneutika dipresentasikan  dalam teologi kristiani melalui dewa Hermes, Yahudi melalui dewa Toth, dalam mitologi Mesir melalui Nabi Musa, kalangan umat Islam melalui Nabi Idris. Mereka adalah penafsir ‘pesan, ayat dan wahyu Tuhan kepada manusia”. Obyek kajian yang kedua berupa teks, naskah kuno, dokumen resmi Negara atau konstitusi sebuah Negara. Pendapat ini benar  sebab  dalam kehidupan Negara tidak semuanya dapat dipahami oleh rakyatnya. Maka diperlukan suatu lembaga untuk menafsirkannya, bisa lembaga Negara, badan hukum atau individu yang diberi wewenang dan tugas untuk itu. Obyek kajian hermeneutika yang ketiga adalah ‘peristiwa atau pemikiran’ [1]. Peristiwa atau hasil  pemikiran manusia dapat digunakan sebagai alat bukti atau sumber hukum. Dari obyek kajian di atas maka obyek kajian heremeneutika dalam penelitian ini lebih menitik beratkan kepada hermeneutika hukum dokumen  resmi negara  yaitu merek yang terdapat dalam UU No. 15 Tahun 2001.
Paul Ricoeur, memadukan antara hermeneutika ilmu (metodologi) dengan fenomenologi  sebagai filsafat (ontology) Tujuannya adalah mengembangkan sebuah hermeneutika yang metodologis sekaligus ontologis.
Hermeneutika yang dikemukakan oleh Paul Ricoeur bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol, membuka makna yang sesungguhnya, sehingga mengurangi simbol yang beraneka ragam. Langkah pemahamannya menurut Ricoeur adalah : Pertama langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua pemberian makna symbol serta penggalian yang cermat atas makna, Ketiga langkah filosofis, yaitu berfikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Menurut Gadamer hermeneutika pada awalnya di bawah pengaruh inspirasi ilmu hukum. Seperti dalam kodifikasi Yustianus (Corpus Iuris Iustinani), pada abad ke-enam. Hal itu timbul karena kebutuhan pada suatu metode membuat teks-teks yuridikal, yang berlaku dari suatu periode historical terdahulu lewat interpretasi. Selanjutnya hermeneutika dijadikan sebagai penafsiran teks yang dapat menginterpretasi perilaku manusia. ‘Titik tolak dari hermeneutika adalah kehidupan manusia dan produk kulturalnya (Teks yuridikal)’[2]. Menurut Gadamer hermeneutika merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang dunia.
Hermeneutika dalam penelitian ini adalah penafsiran dan pemahaman teks yang terdapat dalam Undang-Undang Merek No. 15 tahun 2001 mengenai pelanggaran Hak Atas Merek. Bentuk pelanggaran tersebut adalah sebuah teks yang terdapat dalam Undang-Undang Merek. Oleh karena itu perlu adanya penafsiran terhadap teks tersebut. Hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeneutika dapat membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman makna dari simbol-simbol.

A.  3. 2.  Pelaku Ekonomi
Kegiatan ekonomi akan dapat berlangsung apabila ada ‘pihak yang menjalankan kegiatan ekonomi’ [3], yaitu pelaku ekonomi. Tanpa pelaku ekonomi maka kegiatan ekonomi tidak mungkin dapat berjalan. Oleh karena itu pelaku ekonomi sangat penting dalam kegiatan ekonomi. Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa pelaku ekonomi bisa produsen, dan konsumen.

A.  3. 3. Budaya Hukum
Budaya hukum atau kultur hukum merupakan salah satu unsur dari sistem hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, budaya hukum merupakan nilai-nilai dan sikap masyarakat yang dapat mempengaruhi kerjanya hukum.
Menurut Lawrence Friedman[4] budaya hukum dibedakan menjadi dua macam. Pertama   ‘internal legal culture, yakni kultur hukumnya para lawyer’s dan judged’s dan external legal culture, yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya. Semua kekuatan sosial akan mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat. Sikap masyarakat, salah satunya tidak melaksanakan produk hukum karena masyarakat mempunyai budaya hukum sendiri. Hukum sebagai sistem nilai dalam masyarakat kadang dipatuhi kadang tidak dipatuhi. Dalam suatu komunitas hukum kadang-kadang tidak selalu dipatuhi.
Hubungan antara hukum dan masyarakat, diungkapkan oleh H.L.A Hart, yang memperkenalkan tipe masyarakat yaitu primary  rules of obligation dan secundary rules of obligation[5]. Dalam tipe mayarakat primary (sederhana, kecil) tidak dijumpai peraturan yang terperinci dan resmi. Tidak dijumpai  adanya diferensiasi dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Karena komunitasnya kecil dan berdasarkan kekerabatan. Kontrol sosial  bagi masyarakat ini sudah dapat berjalan efektif. Oleh karena itu tidak perlu peraturan yang terperinci dan resmi seperti  undang-undang . 
Budaya hukum menempati posisi yang strategis dalam menentukan pilihan perilaku dalam menerima hukum atau justru sebaliknya (menolak). Oleh karena itu suatu peraturan hukum akan diterima menjadi hukum apabila benar-benar diterima dan digunakan untuk masyarakat, dipengaruhi oleh budaya hukum masyarakat yang bersangkutan. Jadi budaya hukum masyarakat akan mempengaruhi efektifitas hukum dalam masyarakat..
Kasus pelanggaran merek yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap dan pandangan masyarakat serta budaya hukum terutama para pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi berbeda budaya hukumnya. Pelaku ekonomi yang mempunyai sikap dan pandangan yang maju dan mempunyai budaya hukum (kesadaran hukumnya baik), sehingga tidak akan melakukan pelanggaran hukum. Di lain pihak bagi pelaku ekonomi yang budaya hukumnya  kurang baik akan melakukan pelanggaran hukum.

A. 4. Tujuan  Peneilitian
Tujuan penelitian ini adalah :
  1. Untuk  menjelaskan budaya hukum pelaku ekonomi terhadap pelanggaran  Hak Atas Merek.
  2. Untuk mengidentifikasi dan manganalisis pelanggaran terhadap Hak Atas Merek
  3. Untuk menemukan bentuk regulasi Hak Atas Merek yang melindungi kepentingan pemegang  Merek terdaftar


A.   5.   Metode Penelitian
A. 5. 1. Paradigma
Paradigma[6] yang digunakan dalam penelitian ini adalah ‘Paradigma Deskriptif Analitis., paradigma yang menggambarakan atau menganalisis   bahwa   ilmu  sosial  sebagai  analisis  sistematis atau Social meaningful action’ melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah, agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial mencipta dan memelihara dunia sosial. Paradigma deskriptif analitis secara ontologis  menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk fenomena sosial yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada pihak yang melakukannya. Karena itu realitas yang diamati tidak dapat di-generalisasikan. Sehingga secara epistemologis antara pengamat dengan obyek yang diamati merupakan satu kesatuan, subyektif dan merupakan perpaduan antara keduanya. Secara metodologis paradigma deskriptif analitis  menerapkan metode hermeneutika dan dialektif dalam proses mencapai kebenaran.
Dalam kegiatan ekonomi terjadi hubungan antara produsen dengan podusen, produsen dengan konsumen, konsumen dengan konsumen. Hubungan tersebut merupakan realitas yang terjadi dalam pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung pada pihak yang melakukannya..
A. 5. 2. Pendekatan
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, maka metode pendekatan yang digunakan adalah metode Socio Legal. Penggunaan metode ini dimasudkan untuk memahami keterkaitan antara hukum, budaya, nilai filosofis, nilai religius dengan realitas  masyarakat.
Digunakan pendekatan ini karena hukum tidak hanya dipandang  sebagai  peraturan atau kaidah-kaidah saja, tetapi meliputi bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat serta bagaimana hukum beriteraksi dengan lingkungan dimana hukum diberlakukan. Dengan UU Merek (UU No. 15 Tahun 2001) memberi pemahaman dan penafsiran kepada pelaku ekonomi terhadap pelanggaran Hak Atas Merek. Perlindungan Hak Atas Merek perlu diberikan kepada pemilik Merek terdaftar sebagai bentuk perlindungan hukum.
A. 5. 3.  Jenis Penelitian
Jenis dalam penelitian ini adalah Socio Legal , karena hukum dipahami dan ditafsirkan sebagai makna secara subyektif. Dimana setiap subyek hukum berbeda-beda pemahaman dan penafsirannya. Penelitian ini adalah menggam-barkan bagaimana pemahaman dan penafsiran dari pelaku ekonomi terhadap pelanggaran Merek, yang merupakan realitas  dan fenomena sosial yang menjadi pokok persoalan tanpa melakukan hipotesa dan perhitungan statistik. fakta, realitas sosial yang ada, pemahaman dan penafsiran secara subyektif  dari pelaku ekonomi terhadap pelanggaran Hak Atas Merek.
A. 5. 4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dipilih secara purposive, yaitu dilaksanakan di Kota Semarang. Kota Semarang sebagai kota pemilihan wilayah penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa Kota Semarang adalah Ibukota Propinsi Jawa Tengah dan Pusat Kegiatan perdagangan yang potensial bagi perusahaan dalam negeri maupun perusahaan luar negeri.
A. 5. 5.   Informan
Dalam menentukan informan menggunakan puprposive dengan mengikuti ‘Snow Ball[7], hingga mencapai titik-titik kejenuhan dalam arti kelengkapan dan validasi cukup untuk kepentingan analisis.
Peneliti menentukan informan kunci  terlebih dahulu  sebagai pembuka jalan untuk menunjuk orang lain yang dapat memeberikan informasi yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penulisan. Pemilihan informan sesuai kebutuhan.
Informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.   Produsen dan Konsumen Sepeda Motor Merek Honda dan Tossa
b.   Pakar Merek dari Universitas Diponegaoro Semarang
c.   Hakim Pengadilan Niaga Semarang
A.  5. 6.  Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah  :
a.  Instrumen utama adalah peneliti sendiri
b.  Instrumen pembantu adalah buku catatan, alat perekam
A. 5. 7.  Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber perta-ma, dan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kepustakaan [8].
A. 5. 8.  Teknik Pengumpulan data
Untuk memperoleh data digunakan teknik wawancara terarah dan mendalam, studi dokumentasi,  dan observasi. Penggunaan teknik pengumpulan data tersebut dilakukan secara bersama-sama dalam rangka memperoleh data yang lengkap. Apabila ada kesulitan dilakukan dengan teknik wawancara  bisa dilakukan dengan observasi terlibat. Sebaliknya hal-hal yang tidak diperoleh dengan observasi digunakan wawancara atau dengan studi dokumentasi. Dan apabila tidak dapat diperoleh dengan studi dokumentasi maka bisa diperoleh dengan wawancara atau observasi. 
A. 5.  9. Analisis Data dan Validitas data
Data dianalisis dengan menggunakan Triangulasi data, yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan data yang lain yang sesuai di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh. Menurut Sudarwan Danim [9] adalah ‘melakukan pengumpulan data untuk membuka peluang untuk menguji bagaimana peristiwa dialami oleh kelompok yang berbeda dari orang-orang yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula’.
Tujuan triangulasi ialah mengecek kebenaran data tertentu dengan memban-dingkan dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan, dan dengan menggunakan metode yang berlainan. Triangulasi tidak sekedar menilai kebenaran data, tetapi juga menyelidiki validitas data itu, oleh karena itu triangulasi bersifat reflektif.
Dengan prinsip Snow balling, maka pilihan sumber informasi dalam perolehan data berakhir apabila tidak ada lagi indikasi muncul informasi baru.[10].
Validitas data. Data yang terkumpul dilakukan pengecekan dengan Triangulasi, yaitu pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding[11]. Teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, Patton dalam Qualitative Data Analysis : A Sourcebook of New Methods, sebagaimana yang dikutip oleh Lexi Moleong [12] yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan :
  • membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara
  • membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
  • membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan orang sepanjang waktu
  • membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah, tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
  • membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
    Dengan penggunaan triangulasi sumber, diharapkan informasi yang diperoleh dapat dicross cek, hingga akurasinya dapat diuji.

Dengan melakukan analisis budaya, model dalam metode analisis data dalam penelitian ini merupakan model interaktif yang meliputi empat tahap pengumpulan data, tahab reduksi data, tahab pengujian data dam verifikasi atau penarikan kesimpulan. Proses tersebut dapat digambarkan sbb:

B.  Merek Kajian Hermeneutik
B. 1.  Merek adalah kata yang ada di depan dan merek  dapat digunakan siapa saja
Hermeneutik yang dimaksud di sini adalah heremeneutik hukum yaitu pemahaman dan penafsiran terhadap hukum atau Undang-Undang Merek. Menurut Pasal 1 UU UU No.15 Th. 2001 huruf a) Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam dunia perdagangan barang atau jasa. Pengertian tersebut dapat  dijelaskan bahwa merek adalah suatu tanda pengenal suatu barang, yang dapat digunakan untuk membedakan suatu produk dengan produk lain yang sejenis. Dengan demikian konsumen dapat  membedakan merek yang satu dengan yang lain terhadap suatu produk  barang atau jasa. Dengan merek masyarakat bisa memilih, mana barang atau jasa yang diinginkan.
Merek dalam kajian hermeneutik dalam penelitian ini adalah merek menurut pemahaman dan penafsiran pelaku ekonomi. Menurut produsen merek adalah tanda pengenal yang berupa kata yang terdapat di depan., sedang kata yang pelengkap yang ada di belakang bukanlah merek. Pandangan ini dikemukakan oleh produsen yaitu PT Tossa Sakti Motor yang disebut merek adalah Honda karena di deapan sedang kata Supra X dan Krisma, bukanlah merek karena ada dibelakang. Atas dasar pemahaman tersebut maka PT Tossa Sakti Motor memproduksi sepeda motor Tossa Supra X dan Tossa Krisma yang menurutnya bukan pelanggaran merek. Hal inilah yang menjadi sumber masalahnya, disamping ada etiket yang tidak baik yaitu untuk memperoleh keuntungan yang besar.
Penafsiran dan pemahaman yang keliru dan adanya kepentingan yaitu memperoleh keuntungan yang besar serta budaya hukum masyarakat, terutama kesadaran hukumnya yang kurang baik maka pelanggaran merek dapat terjadi. Sebagai contoh adalah PT Tossa Sakti Motor yang kesadaran hukumnya kurang. Karena dengan sengaja memproduksi sepeda motor yang mirip dengan merek sepeda motor lainnya yang mempunyai Hak Merek, yaitu Honda.  PT. Tossa Sakti sebagai Perusahaan harusnya mematuhi perturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Merek. Memproduksi barang yang sama secara keseluruhan atau sebagin adalah suatu palanggaran merek. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukumnya adalah kurang bahkan tidak baik, karena dilakukan secara sengaja, walaupun menggunakan dalih bahwa merek adalah kata yang di depan.. Padahal merek merupakan reputasi dan hak atas merek dalam memperolehnya perlu didaftarkan di Kantor Depertemen Hukum dan Ham melalui Dirjen HAKI.
Permasalahan pelanggaran dan perlindungan hukum terhadap merek bukanlah masalah baru. Konvensi Paris, melalui amandemennya dalam konferensi Den Haag tahun 1925 telah memasukkan 6 bis yang ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum merek terkenal. Di Indonesia merek mendapat perlindungan secara preventif dan represif yang diatur dalam undang-undang Merek, namun dalam praktik pelanggaran merek tetap saja berlangsung. seperti pelanggaran merek sepeda motor oleh PT. Tossa Motor terhadap PT. Astra Honda Motor. yaitu merek Supra X dan Krisma
Pelanggaran merek juga disebabkan oleh penafsiran konsumen yang  golongan ekonomi dan tingkat pendidikannya rendah. Pendidikan akan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Dengan  pendidikan yang tinggi maka akan semakin tinggi daya pikirnya. Pelanggaran yang dilakukan konsumen karena konsumen berprndidikan rendah. Konsumen tidak memahami bahwa merek merupakan Hak Milik Intelektual yang dilindungi hukum. Konsumen tidak menyadari bahwa apabila menggunakan merek adalah suatu pelanggaran, yang dapat dikenai sanksi hukum yang berupa pidana ataupun denda. Karena tidak paham maka tingkat kesadaran hukumnya rendah.
 Perlindungan hukum yang diberikan oleh UU Merek selain pasal tersebut di atas (Pasal 5 dan 6 UU Merek) adalah  pasal Ketentuan Pidana dalam, Pasal 90, 91, 92, 93 UU No. 15 Tahun 2001. Apabila ada orang atau badan hukum melakukan pelanggaran merek akan dikenai pidana penjara dan / atau denda. Contoh apabila melanggar Pasal 91 UU Merek. Barang siapa  dengan sengaja dan tanpa hak  menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk  barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah)
B.  2.   Pelanggaran Hak Atas Merek
Pelanggaran merek yang dilakukan oleh pelaku ekonomi disebabkan oleh penafsiran yang bervariasi. Seperti telah dijelaskan di aatas bahwa merek adalah sebuah kata yang setiap orang bisa menggunakannya. Produsen sebagai pelaku ekonomi melakukan pelanggaran karena ada kepentingan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Pelanggaran yang dilakukan adalah menggunakan merek sebagian dari merek pihak lain tanpa hak. Dengan harapan produknya laku sehingga keuntungan yang dapat diperoleh. Hal tersebut bertentangan dengan hukum Merek, seperti ketentuan dalam pasal. Pasal 91 UU Merek “Barang siapa  dengan sengaja dan tanpa hak  menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk  barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah). Pelanggaran merek ini terjadai karena produsen ingin memperoleh keuntungan tetapi cara yang dilakukan adalah merugikan pihak lain. Pelanggaran merek yang dilakukan oleh PT. Tossa Sakti Motor juiga disebabkan oleh penafsiran yang yang keliru bahwa merek adalah kata yang ada di ‘depan dan kata dibelakangnya bukanlah merek, seperti Honda Supra X mereknya adalah Honda. Kata Supra X bukanlah merek, sehingga digunakan dalam memperoduksi sepeda motor dengan merek Tossa Supra X.
Konsumen sangat mempengaruhi produsen yang mempunyai etiket tidak baik. Produsen akan memproduksi barang yang dengan harga murah untuk memenuhi kebutuhan  masyarakat yang  kekuatan ekonominya lemah. Terjadinya pelanggaran merek bisa disebabkan oleh perilaku konsumen. Masayarakat yang tingkat pendidikan rendah daya pikirnya rendah dan kurang memahami tentang merek. Hal ini memicu terjadinya pelanggaran merek. Pemahaman tentang merek adalah sebuah kata  yang mana siapa saja dapat menggunakannya. Konsumen bisa merubah warna, tulisan, atau simbol suatu merek sesuai keinginnnya. Motor Tossa bisa dirubah dengan stiker milik Honda agar kelihatan seperti Honda. Apa yang dilakukan adalah sebuah pelanggaran merek, yang menurut ketentuan UU No. 15 Tahun 2001 Undang-undang tentang Merek adalah pelanggaran merek. Bagi yang melakukan pelanggaran merek dapat dikenakan sanksi pidana denda dan penjara seperti diatur dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 UU No. 15 Tahun 2001.
Kasus yang terjadi yaitu pelanggaran merek sepeda motor merek  Supra X dan Krisma adalah  menggunakan merek yang sama pada pokoknya. Karena sepeda motor tersebut hampir sama pada pokoknya dengan merek  Honda Supra X dan Honda Karisma.

>>>>>>>>>selanjutnya klik di bawah<<<<<<<<<<

3 Makna Hukum Merek Bagi Pelaku Ekonomi

0 komentar:

Posting Komentar