Kamis, 23 Mei 2013

Permasalahan Eksekusi
Putusan Hukum Persaingan Usaha 


1. Ketidakharmonisan Perkom No. 1/2010 dengan UU No. 5/1999 

Permasalahan terakhir yang tidak kalah penting adalah mengenai eksekusi putusan dalam hukum persaingan usaha. Pasal 46 UU No. 5/1999[1] mengatur jika upaya hukum Keberatan atas putusan KPPU tidak dilakukan, maka putusan KPPU telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan itu dimintakan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri. Pengaturan tersebut kemudian diperjelas oleh Pasal 68 ayat (1) Perkom No. 1/2010[2] yang menentukan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak hanya putusan KPPU yang tidak diajukan upaya hukum Keberatan; namun juga mencakup putusan pengadilan negeri atau Mahkamah Agung. 



Terhadap putusan KPPU, Pasal 44 ayat (1) UU No. 5/1999[3] mengatur bahwa Terlapor memiliki kewajiban untuk melaksanakan dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak menerima pemberitahuan putusan. Penjelasan pasal tersebut menerangkan 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan KPPU oleh Terlapor atau kuasa hukumnya. Ketentuan tersebut berbeda dengan yang terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) Perkom No. 1/2010[4] yang menyatakan “Terlapor wajib melaksanakan Putusan Komisi dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan”. Hal ini menyimpulkan adanya ketidakharmonisan pengaturan antara Perkom No. 1/2010 dengan UU No. 5/1999 yang sangat mungkin akan menimbulkan permasalahan dalam kepastian hukum. 



Ketidakharmonisan lain adalah menyangkut penyerahan putusan KPPU kepada penyidik dalam hal Terlapor tidak melaksanakan dan menyampaikan laporan pelaksanaan putusan sementara juga tidak mengajukan upaya hukum Keberatan. Pasal 67 Perkom No. 1/2010[5] menyaratkan paling sedikit 2 (dua) perkara yang tidak dilaksanakan oleh Terlapor agar dapat menyerahkan perkara kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk diproses secara pidana. Ketentuan tersebut berbeda dengan Pasal 44 ayat (4) UU No. 5/1999[6] yang hanya mengatakan “apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik”. Sehingga dapat disimpulkan secara jelas bahwa ketika pelaku usaha tidak menjalankan putusan, saat itu pula KPPU dapat menyerahkan perkara kepada penyidik atau tidak ada keharusan bagi KPPU menunggu pelaku usaha untuk tidak menjalankan 2 (dua) putusan. 



2. Ketidakpastian Eksekusi Putusan Hukum Persaingan Usaha 

Dalam praktek, pelaksanaan Putusan KPPU acap kali mengalamai hambatan terutama dalam bentuk ketidakpastian eksekusi. KPPU cenderung mengharapkan pelaksanaan putusan oleh pelaku usaha Terlapor secara sukarela. Pandangan tersebut tidak lepas dari Pasal 68 ayat (2) Perkom No. 1/2010[7] yang menentukan KPPU dapat melakukan tindakan selain mengajukan permintaan penetapan eksekusi, salah satunya pendekatan persuasif melalui komunikasi dengan pelaku usaha. Meskipun jika dicermati, Pasal 46 UU No. 5/1999 tidak memberikan kewenangan bagi KPPU selain meminta penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri. 

Salah satu contoh adalah eksekusi putusan KPPU terkait industri musik. (Kasus EMI) Mahkamah Agung telah menguatkan putusan KPPU dengan menolak permohonan peninjauan kembali pelaku usaha Terlapor sejak tanggal 4 November 2010 namun hingga saat ini putusan tersebut masih belum dieksekusi. Kondisi demikian sebetulnya merupakan suatu kerugian bagi KPPU dalam bentuk tertundanya pembayaran denda yang seharusnya disetorkan ke kas negara. Selain itu, juga telah merugikan hak pelaku usaha lain yang diberikan hak oleh putusan itu untuk memperoleh ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha Terlapor. Terlebih, berdasarkan 46 ayat (2) UU No. 5/1999 hanya KPPU yang memiliki kewajiban meminta penetapan eksekusi. 



Berdasarkan pemaparan di atas, penulis berpendapat untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan amandemen atau perubahan terhadap ketentuan dalam UU No. 5/1999 atau setidak-tidaknya perlu adanya penafsiran dari Mahkamah Agung mengenai eksekusi putusan dalam bentuk penerbitan perma mengenai tata cara eksekusi putusan KPPU. Hal ini semata untuk memberikan kepastian hukum dalam hal eksekusi putusan KPPU sehingga dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak-pihak terkait. 



B. Kesimpulan 

Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa amandemen terhadap UU No. 5/1999 merupakan suatu yang sangat perlu dilakukan guna perbaikan hukum persaingan usaha di Indonesia. Terkait hukum acara persaingan usaha, hal yang paling mendasar untuk segera dibenahi adalah mengenai kualifikasi kelembagaan dan kewenangan KPPU. Sudah saatnya kelembagaan dan kewenangan KPPU diperjelas dan dipertegas, apakah sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut umum ataukah merupakah suatu kuasi peradilan dengan segala kewenangan yang melekat kepada institusi tersebut. Dengan adanya kejelasan dan ketegasan itu, diharapkan dapat tercapai penanganan perkara di KPPU maupun penanganan perkara yang merupakan upaya hukum terhadap Putusan KPPU yang sesuai dengan asas-asas due process of law. 




[1] Pasal 46 UU No. 5/1999 berbunyi “(1) Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (2) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri”. 


[2] Pasal 68 ayat (1) Perkom No. 1/2010 berbunyi “Dalam hal Terlapor tidak melaksanakan Putusan Komisi atau Putusan Pengadilan Negeri atau Putusan Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka Komisi menyerahkan Putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri untuk dimintakan Penetapan Eksekusi”. 


[3] Pasal Pasal 44 ayat (1) UU No. 5/1999 berbunyi “Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi”. 


[4] Pasal 66 ayat (1) Perkom No. 1/2010 berbunyi “Dalam hal Terlapor tidak mengajukan keberatan terhadap Putusan Komisi sampai dengan lewat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 665, maka Terlapor wajib melaksanakan Putusan Komisi dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65”. 


[5] Pasal 67 Perkom No. 1/2010 berbunyi “Dalam hal Komisi menilai bahwa Terlapor tidak melaksanakan Putusan Komisi paling sedikitnya 2 (dua) perkara, Komisi dapat menyerahkan perkara kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk diproses secara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang”. 


[6] Pasal 44 ayat (4) UU No. 5/1999 berbunyi “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 


[7] Pasal 68 ayat (2) Perkom No. 1/2010 berbunyi “Dalam rangka efektifitas Putusan, Komisi dapat mengambil langkah-langkah lain diluar upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

0 komentar:

Posting Komentar