CATATAN
KRITIS
TERHADAP
HUKUM
ACARA PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Hukum Persaingan
Usaha: Tujuan dan Posisinya
1.
Tujuan
Hukum Persaingan Usaha
Sebelum
membahas lebih jauh tentang Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, maka
penting untuk terlebih dahulu dipahami tentang apa itu hukum persaingan usaha
dan tujuannya.
Bahwa
definisi “Hukum Persaingan Usaha” sebagaimana definisi “Hukum” itu sendiri
tidak akan pernah dapat dibuatkan dalam suatu pendifinisian tunggal yang dapat
disepakati oleh seluruh kalangan baik ahli hukum maupun praktisi. Pada akhirnya
definisi hukum hanya dapat dipahami secara kasus per kasus dari tujuan produk
hukum itu sendiri. Terkait tujuan hukum persaingan usaha terdapat beberapa
paradigma yang secara dinamis berkembang yang pada akhirnya disesuaikan pada
tujuan akhir dari dibuat dan diterapkannya produk hukum persaingan usaha itu
sendiri.
Terdapat
beberapa referensi tentang tujuan hukum persaingan usaha antara lain:
a. United
Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD, 1994) menyatakan bahwa
tujuan dari suatu undang-undang persaingan usaha adalah:
“to control or eliminate restrictive agreements or
arrangement among enterprises, or acquisition and/or abuse of dominant
positions of market power, which limit access to markets or otherwise unduly
restrain competition, adversely affecting domestic or international trade or
economic development.”
Namun
begitu UNCTAD memberi peluang untuk bisa saja dicantumkan tujuan-tujuan
spesifik lainnya seperti:
”the
creation, encouragement, and protection of competition; control of the
concentration of capital and/or economic power; encouragement of innovation;
protection and promotion of social welfare and in particular the interests of
consumers, etc., and take into account the impact of restrictive business
practices on their trade and development."
b.
Roger
Alan Boner dan Reinald Krueger (1991) menyatakan bahwa:
“In practice, most forms of competition policy are designed either to
undermine the ability of suppliers to exercise market power or to inhibit the
ability of dominant enterprises to abuse their size. This is because the
exercise of market power is often incompatible with economic efficiency, and
dominance allows a supplier to erect private barriers to trade, restrict
competition, and compromise the economic freedom and visibility of other
parties.”
c.
Ernest Gellhorn (1986) menyatakan bahwa:
“The antitrust laws are designed to control exercise of private economic
power by preventing monopoly, punishing cartels, and otherwise protecting
competition; …to encrease consumer welfare by assuring that markets remain open
to entry and that output can expand-thus to maximize national wealth; …and
whether antitrust law also serves to promote equality of business opportunity,
the just distribution of goods, or other social or political goals is a matter
of intense debate.”
d. Sementara
Alison Jones and Brenda Sufrin, 2001 menyatakan bahwa:
“Competition Law exists to protect the process of competition in a free
market economy – that is, an economic system in which the allocation of
resources is determined solely by the supply and demand in free markets and is
not directed by the government regulation.”;
Dari tujuan-tujuan yang
dikemukakan di atas dapatlah dikatakan secara sederhana bahwa tujuan dari hukum
persaingan usaha terkait dengan obyek yang dilindungi adalah:
- Melindungi pelaku usaha terutama pelaku usaha yang tidak dominan;
- Melindungi konsumen dari ekonomi biaya tinggi dimana konsumen dihindari dari mengeluarkan biaya (tinggi) yang tidak sesuai dengan kualitas produk yang diterima;
- Melindungi negara dari inefisiensi kegiatan ekonomi yang dapat mengurangi kesejahteraan nasional;
- Melindungi proses persaingan usaha itu sendiri dalam arti melindungi sistem mekanisme pasar yang wajar yang didasarkan kepada berlakunya hukum alamiah penawaran dan permintaan (supply and demand) agar tidak terganggu oleh suatu tindakan pelaku usaha maupun kebijakan Pemerintah.
Namun begitu pada kasus-kasus
tertentu dapat terjadi konflik di antara kepentingan antara pelaku usaha,
konsumen dan negara, sehingga pada akhirnya musti ada keberpihakan kepada salah
satu stakeholders pesaingan usaha
tersebut. Dan seperti yang diterapkan di Amerika maka pada akhirnya konsumen
(publik) lah yang semestinya menjadi prioritas dalam perlindungan dari
penerapan hukum persaingan usaha.
Sementara tujuan pembentukan
UU No. 5 / 1999 sebagaimana Pasal 3 adalah:
a.
menjaga kepentingan
umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.
mewujudkan iklim usaha
yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin
adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku
usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.
mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.
terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Apabila
dibandingkan antara referensi yang dikemukakan di atas dengan tujuan-tujuan
yang tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 5 / 1999 tersebut maka dapat dinyatakan
bahwa:
a.
UU No. 5
tidak menyatakan secara jelas bahwa undang-undang ini ditujukan untuk mencegah
atau melarang setiap dan seluruh tindakan anti persaingan usaha secara
komprehensif karena tidak secara jelas menyatakan bahwa tujuan undang-undang
ini adalah untuk ”menghindari adanya praktek perjanjian yang membatasi
persaingan (restrictive bussines
practices) “untuk menghindari penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position)”;
b.
Tidak
memberikan ”way out” berupa prioritas
atau keberpihakan kepada salah satu stakholders (pelaku usaha, konsumen, atau
negara) bila terjadi konflik antar kepentingan;
c.
beberapa
tujuan yang tercantum sangat intepretatif dengan kata lain dapat memberikan
peluang kepada pengambil kebijakan untuk mengintepretasikannya secara subyektif
seperti klausula “kepentingan umum” dan “melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat”.
2.
Posisi
Hukum Persaingan Usaha dalam Pembidangan Hukum Konvensional
Kekhasan yang sangat menonjol
dari hukum persaingan usaha dalam kerangka hukum ekonomi adalah kondisi
karakteristik substansialnya yang melingkupi seluruh aspek dari bidang-bidang
hukum yang selama ini dikenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem
hukum nasional. Untuk itu layak dicermati pendapat pakar hukum di bawah ini.
Sri
Redjeki Hartono[1]
berpendapat bahwa luasnya bidang kajian hukum ekonomi membuatnya mampu
mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus sebagai suatu kajian yang komprehensif.
Dua aspek hukum itu meliputi aspek hukum publik maupun aspek hukum perdata.
Oleh karenanya hukum ekonomi dapat mengandung berbagai aspek hukum yang
bersumber dari kedua aspek hokum.
Oleh karenanya, dapat
disimpulkan bahwa memang hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum
ekonomi memiliki dimensi baik hukum publik dan hukum perdata (privat). Atas
dasar itu, maka hukum persaingan usaha dalam konteks pembidangan hukum konvensional
dapat dilihat sebagaimana Skema Lingkaran Hukum Persaingan Usaha[2] di bawah
ini.
Bahwa benar di banyak kasus
persaingan usaha terdapat unsur peristiwa hukum perdata di dalamnya seperti
adanya perjanjian atau kesepakatan di antara para pelaku usaha yang bersaing,
namun sebenarnya jika dipahami maka hubungan perdata tersebut adalah bagian
dari suatu persekongkolan jahat (seperti kartel) yang merugikan publik
(konsumen dalam jumlah besar) atau pelaku usaha lain sehingga sebenarnya
peristiwa perdata tersebut telah masuk ke ranah hukum pidana atau setidaknya
suatu tindakan perdata yang merugikan pihak perdata lainnya. Sementara jika
terdapat suatu kasus yang seolah-olah perselisihan perdata di antara dua pelaku
usaha, maka sebenarnya peristiwa perselisihan tersebut bukan didasarkan adanya
hubungan keperdataan (dalam arti perjanjian atau kesepakatan) namun lebih
kepada hubungan persaingan usaha yang jika pun tidak masuk ke dalam ranah hukum
pidana maka masuk wilayah perbuatan melawan hukum (PMH). Bahkan untuk beberapa
tindakan persaingan tidak sehat seperti kartel (perjanjian atau kesepakatan di
antara seluruh pesaing di pasar bersangkutan tertentu) yang dikarenakan unsur
kejahatan (kerugian)-nya pada publik (konsumen dalam jumlah besar) sangat kuat,
maka kartel di beberapa negara dinyatakan sebagai tindak pidana.
Berangkat dari beberapa
konsepsi di atas, ternyata lebih dari 10 (sepuluh) tahun ini terdapat kesalahan
persepsi posisi hukum persaingan usaha di dalam sistem hukum nasional yang
berdampak pada aplikasinya di dalam hukum acaranya. Dimana masih banyak
kalangan ahli hukum (jurist) termasuk
di kalangan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Mahkamah Agung) yang menganggap
bahwa atau setidaknya memasukan bidang hukum persaingan usaha sebagai bagian
dari hukum perdata sehingga acara hukum persaingan usaha juga pada akhirnya
menginduk kepada hukum acara perdata nasional.
Oleh karena itu, keberlakuan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya
Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU (“Perma
No. 3/2005”) yang mencabut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2003
tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU sebagai
implementasi UU No. 5/1999 dalam hukum acaranya yang menetapkan bahwa upaya
hukum Keberatan atas putusan KPPU dikualifikasikan dalam hukum acara perdata
menjadi kurang tepat.
Idealnya, segera dilakukan
revisi terhadap UU No. 5 tahun 1999 untuk memberikan ketegasan tentang
independensi karena kekhasannya dari bidang hukum persaingan usaha termasuk
hukum acara yang mengaturnya. Namun jika pun secara politik hukum tidak
dikehendaki adanya revisi terhadap UU No. 5 tahun 1999 maka setidaknya dibuat
peraturan pelaksanaan baik berbentuk Peraturan Pemerintah atau setidaknya
Peraturan Mahkamah Agung yang setidaknya mengatur bahwa:
- untuk kasus tindakan anti-persaingan sehat yang berdimensi kejahatan yang merugikan negara atau publik seperti tindakan anti persaingan dalam kerangka kartel, seyogyanya digunakan hukum acara pidana atau hukum acara publik khusus dimana KPPU sebagai lembaga penyidik dan penuntut;
- sementara, untuk kasus tindakan anti-persaingan yang berdimensi perselisihan antar pelaku usaha atau yang berdimensi consumer class action maka KPPU berfungsi sebagai quasi peradilan tingkat pertama, dimana Komisioner menjadi “hakim”-nya atau bisa juga dimungkinkan untuk dilakukan dalam forum peradilan perdata (civil action) di Pengadilan Negeri tanpa melalui KPPU.
[1] Sri Redjeki Hartono, Kapita
Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 2000. Hal. 39.
[2] Diadopsi dan disempurnakan dari
skema yang dibuat oleh Agus Brotosusilo (Agus Brotosusilo, Pengantar Hukum
Ekonomi, Kertas Kerja, Disajikan pada diskusi antar bagian di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 25 Oktober 1994).
>>>>>>>>>>>>>>selanjutnya klik di bawah<<<<<<<<<<
0 komentar:
Posting Komentar