Kamis, 23 Mei 2013


CATATAN KRITIS
TERHADAP
HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA


A.     Hukum Persaingan Usaha: Tujuan dan Posisinya

     1.       Tujuan Hukum Persaingan Usaha
Sebelum membahas lebih jauh tentang Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, maka penting untuk terlebih dahulu dipahami tentang apa itu hukum persaingan usaha dan tujuannya.

Bahwa definisi “Hukum Persaingan Usaha” sebagaimana definisi “Hukum” itu sendiri tidak akan pernah dapat dibuatkan dalam suatu pendifinisian tunggal yang dapat disepakati oleh seluruh kalangan baik ahli hukum maupun praktisi. Pada akhirnya definisi hukum hanya dapat dipahami secara kasus per kasus dari tujuan produk hukum itu sendiri. Terkait tujuan hukum persaingan usaha terdapat beberapa paradigma yang secara dinamis berkembang yang pada akhirnya disesuaikan pada tujuan akhir dari dibuat dan diterapkannya produk hukum persaingan usaha itu sendiri.
Terdapat beberapa referensi tentang tujuan hukum persaingan usaha antara lain:

a.       United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD, 1994) menyatakan bahwa tujuan dari suatu undang-undang persaingan usaha adalah:
“to control or eliminate restrictive agreements or arrangement among enterprises, or acquisition and/or abuse of dominant positions of market power, which limit access to markets or otherwise unduly restrain competition, adversely affecting domestic or international trade or economic development.”

Namun begitu UNCTAD memberi peluang untuk bisa saja dicantumkan tujuan-tujuan spesifik lainnya seperti:
 ”the creation, encouragement, and protection of competition; control of the concentration of capital and/or economic power; encouragement of innovation; protection and promotion of social welfare and in particular the interests of consumers, etc., and take into account the impact of restrictive business practices on their trade and development."

b.      Roger Alan Boner dan Reinald Krueger (1991) menyatakan bahwa:
In practice, most forms of competition policy are designed either to undermine the ability of suppliers to exercise market power or to inhibit the ability of dominant enterprises to abuse their size. This is because the exercise of market power is often incompatible with economic efficiency, and dominance allows a supplier to erect private barriers to trade, restrict competition, and compromise the economic freedom and visibility of other parties.

c.       Ernest Gellhorn (1986) menyatakan bahwa:
The antitrust laws are designed to control exercise of private economic power by preventing monopoly, punishing cartels, and otherwise protecting competition; …to encrease consumer welfare by assuring that markets remain open to entry and that output can expand-thus to maximize national wealth; …and whether antitrust law also serves to promote equality of business opportunity, the just distribution of goods, or other social or political goals is a matter of intense debate.


d.      Sementara Alison Jones and Brenda Sufrin, 2001 menyatakan bahwa:
Competition Law exists to protect the process of competition in a free market economy – that is, an economic system in which the allocation of resources is determined solely by the supply and demand in free markets and is not directed by the government regulation.”;

Dari tujuan-tujuan yang dikemukakan di atas dapatlah dikatakan secara sederhana bahwa tujuan dari hukum persaingan usaha terkait dengan obyek yang dilindungi adalah:
  • Melindungi pelaku usaha terutama pelaku usaha yang tidak dominan;
  • Melindungi konsumen dari ekonomi biaya tinggi dimana konsumen dihindari dari mengeluarkan biaya (tinggi) yang tidak sesuai dengan kualitas produk yang diterima;
  • Melindungi negara dari inefisiensi kegiatan ekonomi yang dapat mengurangi kesejahteraan nasional;
  • Melindungi proses persaingan usaha itu sendiri dalam arti melindungi sistem mekanisme pasar yang wajar yang didasarkan kepada berlakunya hukum alamiah penawaran dan permintaan (supply and demand) agar tidak terganggu oleh suatu tindakan pelaku usaha maupun kebijakan Pemerintah.


Namun begitu pada kasus-kasus tertentu dapat terjadi konflik di antara kepentingan antara pelaku usaha, konsumen dan negara, sehingga pada akhirnya musti ada keberpihakan kepada salah satu stakeholders pesaingan usaha tersebut. Dan seperti yang diterapkan di Amerika maka pada akhirnya konsumen (publik) lah yang semestinya menjadi prioritas dalam perlindungan dari penerapan hukum persaingan usaha.

Sementara tujuan pembentukan UU No. 5 / 1999 sebagaimana Pasal 3 adalah:
a.       menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.       mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
c.        mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d.       terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Apabila dibandingkan antara referensi yang dikemukakan di atas dengan tujuan-tujuan yang tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 5 / 1999 tersebut maka dapat dinyatakan bahwa:
a.       UU No. 5 tidak menyatakan secara jelas bahwa undang-undang ini ditujukan untuk mencegah atau melarang setiap dan seluruh tindakan anti persaingan usaha secara komprehensif karena tidak secara jelas menyatakan bahwa tujuan undang-undang ini adalah untuk ”menghindari adanya praktek perjanjian yang membatasi persaingan (restrictive bussines practices) “untuk menghindari penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position)”;
b.      Tidak memberikan ”way out” berupa prioritas atau keberpihakan kepada salah satu stakholders (pelaku usaha, konsumen, atau negara) bila terjadi konflik antar kepentingan;
c.       beberapa tujuan yang tercantum sangat intepretatif dengan kata lain dapat memberikan peluang kepada pengambil kebijakan untuk mengintepretasikannya secara subyektif seperti klausula “kepentingan umum” dan “melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat”.

      2.            Posisi Hukum Persaingan Usaha dalam Pembidangan Hukum Konvensional
Kekhasan yang sangat menonjol dari hukum persaingan usaha dalam kerangka hukum ekonomi adalah kondisi karakteristik substansialnya yang melingkupi seluruh aspek dari bidang-bidang hukum yang selama ini dikenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem hukum nasional. Untuk itu layak dicermati pendapat pakar hukum di bawah ini.

Sri Redjeki Hartono[1] berpendapat bahwa luasnya bidang kajian hukum ekonomi membuatnya mampu mengakomodasi dua aspek hukum sekaligus sebagai suatu kajian yang komprehensif. Dua aspek hukum itu meliputi aspek hukum publik maupun aspek hukum perdata. Oleh karenanya hukum ekonomi dapat mengandung berbagai aspek hukum yang bersumber dari kedua aspek hokum.
Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa memang hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum ekonomi memiliki dimensi baik hukum publik dan hukum perdata (privat). Atas dasar itu, maka hukum persaingan usaha dalam konteks pembidangan hukum konvensional dapat dilihat sebagaimana Skema Lingkaran Hukum Persaingan Usaha[2] di bawah ini.

Bahwa benar di banyak kasus persaingan usaha terdapat unsur peristiwa hukum perdata di dalamnya seperti adanya perjanjian atau kesepakatan di antara para pelaku usaha yang bersaing, namun sebenarnya jika dipahami maka hubungan perdata tersebut adalah bagian dari suatu persekongkolan jahat (seperti kartel) yang merugikan publik (konsumen dalam jumlah besar) atau pelaku usaha lain sehingga sebenarnya peristiwa perdata tersebut telah masuk ke ranah hukum pidana atau setidaknya suatu tindakan perdata yang merugikan pihak perdata lainnya. Sementara jika terdapat suatu kasus yang seolah-olah perselisihan perdata di antara dua pelaku usaha, maka sebenarnya peristiwa perselisihan tersebut bukan didasarkan adanya hubungan keperdataan (dalam arti perjanjian atau kesepakatan) namun lebih kepada hubungan persaingan usaha yang jika pun tidak masuk ke dalam ranah hukum pidana maka masuk wilayah perbuatan melawan hukum (PMH). Bahkan untuk beberapa tindakan persaingan tidak sehat seperti kartel (perjanjian atau kesepakatan di antara seluruh pesaing di pasar bersangkutan tertentu) yang dikarenakan unsur kejahatan (kerugian)-nya pada publik (konsumen dalam jumlah besar) sangat kuat, maka kartel di beberapa negara dinyatakan sebagai tindak pidana.

Berangkat dari beberapa konsepsi di atas, ternyata lebih dari 10 (sepuluh) tahun ini terdapat kesalahan persepsi posisi hukum persaingan usaha di dalam sistem hukum nasional yang berdampak pada aplikasinya di dalam hukum acaranya. Dimana masih banyak kalangan ahli hukum (jurist) termasuk di kalangan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Mahkamah Agung) yang menganggap bahwa atau setidaknya memasukan bidang hukum persaingan usaha sebagai bagian dari hukum perdata sehingga acara hukum persaingan usaha juga pada akhirnya menginduk kepada hukum acara perdata nasional.

Oleh karena itu, keberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU (“Perma No. 3/2005”) yang mencabut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU sebagai implementasi UU No. 5/1999 dalam hukum acaranya yang menetapkan bahwa upaya hukum Keberatan atas putusan KPPU dikualifikasikan dalam hukum acara perdata menjadi kurang tepat.

Idealnya, segera dilakukan revisi terhadap UU No. 5 tahun 1999 untuk memberikan ketegasan tentang independensi karena kekhasannya dari bidang hukum persaingan usaha termasuk hukum acara yang mengaturnya. Namun jika pun secara politik hukum tidak dikehendaki adanya revisi terhadap UU No. 5 tahun 1999 maka setidaknya dibuat peraturan pelaksanaan baik berbentuk Peraturan Pemerintah atau setidaknya Peraturan Mahkamah Agung yang setidaknya mengatur bahwa:
  • untuk kasus tindakan anti-persaingan sehat yang berdimensi kejahatan yang merugikan negara atau publik seperti tindakan anti persaingan dalam kerangka kartel, seyogyanya digunakan hukum acara pidana atau hukum acara publik khusus dimana KPPU sebagai lembaga penyidik dan penuntut;
  • sementara, untuk kasus tindakan anti-persaingan yang berdimensi perselisihan antar pelaku usaha atau yang berdimensi consumer class action maka KPPU berfungsi sebagai quasi peradilan tingkat pertama, dimana Komisioner menjadi “hakim”-nya atau bisa juga dimungkinkan untuk dilakukan dalam forum peradilan perdata (civil action) di Pengadilan Negeri tanpa melalui KPPU.



[1] Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Penerbit CV Mandar Maju, 2000. Hal. 39.
[2] Diadopsi dan disempurnakan dari skema yang dibuat oleh Agus Brotosusilo (Agus Brotosusilo, Pengantar Hukum Ekonomi, Kertas Kerja, Disajikan pada diskusi antar bagian di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 25 Oktober 1994).

>>>>>>>>>>>>>>selanjutnya klik di bawah<<<<<<<<<<







0 komentar:

Posting Komentar