Selasa, 21 Mei 2013


BAB VII
KEALPAAN (CULPA)

(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID, RECKLESSNESS,NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT, SEMBRONO, TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa (culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :
Pasal 188
:
Karena kealpaannya menimbulkan peletusan, kebakaran dst
Pasal 231 (4)
:
Karena kealpaannya sipenyimpan menyebabkan hilangnya dan sebagainnya barang yang disita
Pasal 359
:
Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
Pasal 360
:
Karena kealpaannya menyebabkan orang luka berat dsb.
Pasal 409
:
Karena kealpaannya menyebabkan alat-alat perlengkapan (jalan api dsb) hancur dsb.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), pendek kata “ schuld” (kealpaan yang menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer gaan”)
1.      Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)
Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan.
Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk adanya kealpaan:
a.          Hazenwinkel – Suringa
Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:
1.   
kekurangan penduga – duga atau
2.   
kekurangan penghati-hati.
   
b.          Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat:
1.   
tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2.   
tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

c.          Simons:
Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1.      Tidak adanya penghati-hati, di samping
2.      dapat diduganya akibat
d.          Pompe.
Ada 3 macam yang masuk kealpaan (anachtzaamheid):
1.  Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya akibat
2.  Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid)
3.  Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid)

Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya (=untuk tidak melakukan perbuatan).
Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat  dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
a.      “Orang pada umunya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya.
b.      Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri harus didahulukan”.
Apabila seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain luka berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaannya mengakibatkan orang lain (Pasal. 360 (1) K.U.H.P)
Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sendiri.
Ia menyatakan antara lain “Memang culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku, namun culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.
     Dalam delik culpoos tidak mungkin diajukan alasan pembenar (rechtvaar digingsgrond).
c.      Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus culpa lata dan bukanya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).

2.      Bentuk kealpaan
Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu
a.      Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
b.      Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
     Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
3.      Delik “pro parte dolus pro parte culpa”
Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama. Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya diculpakan.
Misalnya:
Pasal 480 (penadahan)
Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan penerbit).
Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan “sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada salah satu unsur dari delik itu.
-      Pada delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari kejahatan”.
-      Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal 288) ditujukan kepada “umur-wanita belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”.
-      Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama kelamin itu”.
-      Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar Indonesia.
Dalam surat dakwaan:
a.  Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda), yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”.
b.  Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan ditetapkan oleh Hakim.
c.  Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.
Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan “schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof (H.G.H) menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-betul mempunyai dugaan atau tidak.
Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa.   Contoh :
a.          terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
b.          Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila lampunya normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan. 

0 komentar:

Posting Komentar