BAB VII
KEALPAAN (CULPA)
(CULPA dalam arti sempit), SCHULD,
NALATIGHEID, RECKLESSNESS,NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT, SEMBRONO, TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa kesengajaan
ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa
delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat
kurang hati-hati atau kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal
yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa (culpose delicten).
Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :
Pasal 188
|
:
|
Karena kealpaannya menimbulkan
peletusan, kebakaran dst
|
Pasal 231 (4)
|
:
|
Karena kealpaannya sipenyimpan
menyebabkan hilangnya dan sebagainnya barang yang disita
|
Pasal 359
|
:
|
Karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang
|
Pasal 360
|
:
|
Karena kealpaannya menyebabkan orang
luka berat dsb.
|
Pasal 409
|
:
|
Karena kealpaannya menyebabkan
alat-alat perlengkapan (jalan api dsb) hancur dsb.
|
Perkataan culpa dalam arti luas berarti
kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang
berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang
atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian
besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak
terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), pendek kata “
schuld” (kealpaan yang menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de
algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in gevaar brengen of zo groot
en onherstelbaar nadeel bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de
onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld,
waar het feit prong heeft, moet tekeer gaan”)
1.
Pengertian kealpaan atau culpa
(dalam arti sempit)
Menurut M.v.T kealpaan
disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan
hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang
lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang
ringan.
Beberapa penulis menyebut beberapa
syarat untuk adanya kealpaan:
a.
Hazenwinkel – Suringa
Ilmu
pengetahuan hukum dan jurispruden mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:
1.
|
kekurangan penduga – duga atau
|
2.
|
kekurangan penghati-hati.
|
b.
Van hamel
Kealpaan
mengandung dua syarat:
1.
|
tidak
mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
|
2.
|
tidak
mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
|
c.
Simons:
Pada
umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1.
Tidak adanya penghati-hati, di samping
2.
dapat diduganya akibat
d.
Pompe.
Ada
3 macam yang masuk kealpaan (anachtzaamheid):
1. Dapat
mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya akibat
2. Mengetahui
adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid)
3. Dapat
mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid)
Tetapi
nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut
juga kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya (=untuk tidak melakukan
perbuatan).
Kealpaan
orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau
psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang
sesungguh-sungguhnya maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia
berbuat dengan mengambil ukuran sikap
batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku
itu.
a.
“Orang pada umunya” ini berarti bahwa
tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan
sebagainya.
b.
Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus
dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus memegang ukuran normatif dari
kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan seseorang untuk melakukan
sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan
lalu-lintas ada ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya
bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri harus didahulukan”.
Apabila
seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain ini berbuat lain daripada apa
yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu mengakibatkan tabrakan. Sehingga
orang lain luka berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaannya mengakibatkan
orang lain (Pasal. 360 (1) K.U.H.P)
Dalam
hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan
hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sendiri.
Ia menyatakan antara lain “Memang culpa tidak mesti
meliputi dapat dicelanya si-pelaku, namun culpa menunjukkan kepada tidak
patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum,
maka tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang abnormal, jadi tidak mungkin
ada culpa.
Dalam delik culpoos tidak mungkin diajukan
alasan pembenar (rechtvaar digingsgrond).
c.
Untuk adanya pemidanaan perlu adanya
kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus culpa lata dan bukanya culpa
levis (kealpaan yang sangat ringan).
2.
Bentuk
kealpaan
Pada
dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran
si- pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi
dalam 2 (dua bentuk) yaitu
a.
Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini
sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan
tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
b.
Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
schuld).
Dalam
hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan
timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya
lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena
tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang
sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah
suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada
pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut
tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu
pengertian yang menyatakan keadan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan
seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu,
bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
3. Delik
“pro parte dolus pro parte culpa”
Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal
359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang
sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya memuat
unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama.
Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya
diculpakan.
Misalnya:
Pasal 480 (penadahan)
Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut
pencetak dan penerbit).
Pasal 287, 288, 292 (delik-delik
kesusilaan).
Rumusan yang dipakai dalam delik-delik
tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan “sepatutnya
harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini
kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada salah satu
unsur dari delik itu.
- Pada
delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh
dari kejahatan”.
- Pada
delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal 288) ditujukan kepada “umur-wanita
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu
dikawin”.
- Pada
delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama
kelamin itu”.
- Pada
delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang
menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar
Indonesia.
Dalam surat dakwaan:
a. Cukup
dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam
undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda), yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”.
b. Ada
dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan
ditetapkan oleh Hakim.
c. Pembuktiannya
cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.
Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat
kasasi) yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang membebaskan
terdakwa yang dituduh melakukan “schuldheling” (pasal 480), Hooggerechtshof
(H.G.H) menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan pada terdakwa
sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama
sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-betul mempunyai dugaan
atau tidak.
Kelapaan orang lain tidak dapat
meniadakan kealpaan dari terdakwa.
Contoh :
a.
terdakwa sebagai pengendara mobil tetap
dipidana karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang tidak memakai lampu.
Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa.
b.
Seorang pengemudi mobil pada pagi hari
jam 03.00 melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di tengah jalan raya.
Dalam kasus inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap
harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia
kurang hati-hati dan kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan mobilnya ? kalau
lampunya kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila
lampunya normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang yang tidur di jalan
itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan.
0 komentar:
Posting Komentar