Selasa, 21 Mei 2013


BAB IX
PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)

Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the criminal) justice process) merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan & pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.
Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang  mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan.
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem tindakan (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
  1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat sanksi pidana);
  2. Beratnya sanksi itu;
  3. Lamanya sanksi itu dijalani;
  4. Cara sanksi itu dijalankan;dan
  5. Tempat sanksi itu dijalankan.

Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
I S T I L A H
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman, Punishment, dan Jinayah.
Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana / hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi:
  1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
  2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);
  3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi rumusan delik/pasal).

SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun 1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas konkordansi). Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:
1.      Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya untuk pelaku pembakar/pembunuh)
2.      Dimatikan dengan suatu keris
3.      Dicap bakar.
4.      Dipukul, dipukul dengan rantai (pidana badan/corporal punishment)
5.      Ditahan/dimasukkan dalam penjara
6.      Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.

Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta kekayaan (pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang (pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari sudut subyektif);
Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang berhak melakukan hal tersebut, mengingat;
1.      Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi tugas mempertahankan tata tertib masyarakat;
2.      Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin kepastian hukum.


Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak, Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum. Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus memenuhi 3 syarat:
a.      Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar etika)
b.      Tidak  bboleh dengan maksud prevensi (melanggar etika)
c.      Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik.
2.      Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada umumnya bersifat menakutkan, sehingga seyogyanya hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis.
Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok, tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain adalah memberikan perlindungan agar orang lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami kejahatan.
3.      Teori Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori sebelumnya.  Sehingga pidana bertujuan untuk:
·        Pembalasan, membuat pelaku menderita
·        Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana
·        Merehabilitasi Pelaku
·        Melindungi Masyarakat
Saat ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005:
Pasal 54
(1)  Pemidanaan bertujuan:
  1. mencegah dilakukanya  tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
  2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
  3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
  4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
  5. memaafkan terpidana.

(2)  Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia .
Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita.
Pasal 55;
(1)  Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a.      Kesalahan pembuat tindak pidana;
b.      Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c.      Sikap batin pembuat tindak pidana;
d.      Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e.      Cara melakukan tindak pidana;
f.       Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g.      Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana
h.      Pengaruh pidana terhadap massa depan pembuat tindak pidana;
i.        Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j.        Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan /atau;
k.      Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2)  Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana.

Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10 KUHP :
a.      Hukuman Pokok:
1.      Hukuman mati
2.      Penjara (sementara waktu atau seumur hidup)
3.      Kurungan
4.      Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)
5.      Tutupan (UU No.20/1946)
b.      Hukuman Tambahan:
1.      Pencabutan beberapa hak tertentu
2.      Perampasan barang tertentu
3.      pengumuman keputusan hakim
Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP:
Pasal 65
(1)  Pidana pokok terdiri atas:
a.      pidana penjara;
b.      pidana tutupan
c.      pidana pengawasan
d.      pidana denda; dan
e.      pidana kerja sosial.
(2)  Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1)  Pidana tambahan terdiri atas:
a.      pencabutan hak tertentu;
b.      perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c.      pengumuman putusan hakim;
d.      pembayaran ganti kerugian; dan
e.      pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut  hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2)  Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain.
(3)  Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
(4)  Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan pidananya.
Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP:
Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP)
Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati :
A.    Dalam KUHP :
·        Pembunuhan berencana
·        Kejahatan terhadap keamanan negara
·        Pencurian dengan pemberatan
·        Pemerasan dengan pemberatan
·        Pembajakan di laut dengan pemberatan.
B.     Diluar KUHP;
·        Terorisme
·        Narkoba
·        Korupsi
·        Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 : ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak dilakukan di muka umum (rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya).
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah dihukum menjadi gila dan wanita hamil.
Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh dan wanita tersebut telah melahirkan.
Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)
Pasal 12 KUHP:
Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan (LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995).
Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel, menurut Utrecht :
·        Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan peringatan: terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain
·        Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.
·        Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal dr mark system, menggunakan penilaian. Para hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya  diperingan : mulai dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of feformatory (pelepasan bersyarat), publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya.
·        Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih pada usaha-usaha untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
·        Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.
·        Sistem Osborne (NY,US). Memilih ‘BOS’ – mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi : Tamping/building tender.
Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :
  • Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1 orang/1 sel. Minimum security/maximum security/Super Maximum Security (SMS)
  • Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok pagi. Ada jadwal kegiatannya.
  • Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan maka dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.
  • Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama = kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan kolam, kerja di bengkel LP untuk buat kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb. Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah ditentukan.
  • Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB- reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.
  • Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama-sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :

©      Laki-laki dan perempuan
©      Orang dewasa dan anak di bawah umur
©      Orang yang dihukum/ditahan – orang yang dihukum karena upaya preventif
©      Orang militer dan orang sipil
Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara.
Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No. 1/1960)
Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan (UU No.20/1946)
Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan didasari oleh suatu motivasi yang patut dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan dan radio/tape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.

0 komentar:

Posting Komentar