BAB IX
PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)
Sebelum membahas materi ini terlebih
dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan. Pidana
merupakan nestapa/derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui
pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah
melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan
pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the criminal) justice process)
merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah
lembaga (kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga pemasyarakatan) yang
berkenaan dengan penanganan & pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.
Pemidanaan merupakan penjatuhan
pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk
mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan
pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak
pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara
mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang
yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi sebagai pranata
sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi
pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur masyarakat
yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani
bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya
berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan.
Ilmu yang mempelajari pidana dan
pemidanaan dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah
segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan sistem
tindakan (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan
sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
- Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat sanksi pidana);
- Beratnya sanksi itu;
- Lamanya sanksi itu dijalani;
- Cara sanksi itu dijalankan;dan
- Tempat sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun tindakan
inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
I S T I L A H
Ada beberapa istilah yang digunakan
untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman, Punishment,
dan Jinayah.
Menurut beberapa ahli hukum pidana lain,
hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk menerjemahkan
straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan
pidana / hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh
Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief,
unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi:
- Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
- Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);
- Dikenakan pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi rumusan delik/pasal).
SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI
INDONESIA
Pidana dan pemidanaan di Indonesia
dimulai sejak Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun 1915 dan
berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 1/1946 tentang KUHP (berdasarkan atas
konkordansi). Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan berdasarkan
plakat tgl. 22 April 1808, al:
1.
Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang
(hanya untuk pelaku pembakar/pembunuh)
2.
Dimatikan dengan suatu keris
3.
Dicap bakar.
4.
Dipukul, dipukul dengan rantai (pidana
badan/corporal punishment)
5.
Ditahan/dimasukkan dalam penjara
6.
Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan
umum.
Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum
pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa: terkadang dikatakan
melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta kekayaan (pidana
denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang (pidana
kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Di samping itu
hukum pidana merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan
terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
Selanjutnya kita akan membahas siapakah
pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku untuk menjalankan
pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah
yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata tertib negara
(dilihat dari sudut obyektif), dalam hal ini KUHP merupakan peraturan yang
dibentuk oleh negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang dapat
dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari sudut subyektif);
Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah
yang berhak melakukan hal tersebut, mengingat;
1.
Negara sebagai organisasi sosial
tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi tugas mempertahankan
tata tertib masyarakat;
2.
Negara sebagai satu-satunya alat yang
dapat menjamin kepastian hukum.
Teori-Teori yang berkaitan dengan
Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex
talionis), para penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak, Mereka
berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi
dilakukannya kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum. Menurut
Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus memenuhi 3 syarat:
a.
Perbuatan tersebut dapat dicela
(melanggar etika)
b.
Tidak
bboleh dengan maksud prevensi (melanggar etika)
c.
Beratnya hukuman seimbang dengan
beratnya delik.
2.
Teori relatif / tujuan (utilitarian),
menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu, bukan
hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada umumnya bersifat menakutkan,
sehingga seyogyanya hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku
kejahatan adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus diobati. Jadi
hukumanya lebih ditekankan pada treatment dan pembinaan yang disebut juga
dengan model medis.
Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya
prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan yakni ditujukan pada
masyarakat luas sebagai contoh pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau
kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan ditujukan kepada si pelaku
sendiri, supaya jera/kapok, tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau
kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain adalah memberikan
perlindungan agar orang lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak
disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami kejahatan.
3.
Teori Gabungan, merupakan gabungan dari
teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana
bertujuan untuk:
·
Pembalasan, membuat pelaku menderita
·
Upaya prevensi, mencegah terjadinya
tindak pidana
·
Merehabilitasi Pelaku
·
Melindungi Masyarakat
Saat
ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai
koreksi atas Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang
merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan
kepada kondisi semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang
seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman
ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
Tujuan
Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005:
Pasal 54
(1) Pemidanaan
bertujuan:
- mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
- memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
- menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
- membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
- memaafkan terpidana.
(2) Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia .
Dalam
pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU
kita.
Pasal 55;
(1) Dalam
pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a.
Kesalahan pembuat tindak pidana;
b.
Motif dan tujuan melakukan tindak
pidana;
c.
Sikap batin pembuat tindak pidana;
d.
Apakah tindak pidana dilakukan dengan
berencana;
e.
Cara melakukan tindak pidana;
f.
Sikap dan tindakan pembuat sesudah
melakukan tindak pidana;
g.
Riwayat hidup dan keadaan sosial dan
ekonomi pembuat tindak pidana
h.
Pengaruh pidana terhadap massa depan
pembuat tindak pidana;
i.
Pengaruh tindak pidana terhadap korban
atau keluarga korban;
j.
Pemaafan dari korban dan/atau
keluarganya dan /atau;
k.
Pandangan masyarakat terhadap tindak
pidana yang dilakukan.
(2) Rintangan
perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan
atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa
dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan
pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan pemidanaan mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada
masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari tujuan
pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan
pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam damai
dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan
terpidana.
Jenis-jenis
Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10 KUHP :
a.
Hukuman Pokok:
1.
Hukuman mati
2.
Penjara (sementara waktu atau seumur
hidup)
3.
Kurungan
4.
Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali
15)
5.
Tutupan (UU No.20/1946)
b.
Hukuman Tambahan:
1.
Pencabutan beberapa hak tertentu
2.
Perampasan barang tertentu
3.
pengumuman keputusan hakim
Jenis-jenis Hukuman /
Pidana Menurut R-KUHP:
Pasal 65
(1) Pidana
pokok terdiri atas:
a.
pidana penjara;
b.
pidana tutupan
c.
pidana pengawasan
d.
pidana denda; dan
e.
pidana kerja sosial.
(2) Urutan
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana
Pasal
66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang
bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1) Pidana
tambahan terdiri atas:
a.
pencabutan hak tertentu;
b.
perampasan barang tertentu dan/atau
tagihan;
c.
pengumuman putusan hakim;
d.
pembayaran ganti kerugian; dan
e.
pemenuhan kewajiban adat setempat
dan/atau kewajiban menurut hukum yang
hidup dalam masyarakat.
(2) Pidana
tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain.
(3) Pidana
tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan
tindak pidana.
(4) Pidana
tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan
untuk pidan pidananya.
Uraian tentang jenis-jenis hukuman
menurut KUHP:
Hukuman/pidana Mati (diatur
dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP)
Tindak Pidana yang diancam dengan
hukuman mati :
A.
Dalam KUHP :
·
Pembunuhan berencana
·
Kejahatan terhadap keamanan negara
·
Pencurian dengan pemberatan
·
Pemerasan dengan pemberatan
·
Pembajakan di laut dengan pemberatan.
B.
Diluar KUHP;
·
Terorisme
·
Narkoba
·
Korupsi
·
Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di
tiang gantungan (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 : ditembak
dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak dilakukan di muka umum (rahasia,
baik waktu dan tempat eksekusinya).
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada
anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah dihukum menjadi
gila dan wanita hamil.
Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang
gila itu sembuh dan wanita tersebut telah melahirkan.
Hukuman/Pidana Penjara (Menurut
pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)
Pasal 12 KUHP:
Hukuman penjara lamanya seumur hidup
atau sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu (min 1
hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak
boleh lebih dari 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di
indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan (LP/lapas). Untuk pemulihan
kembali hubungan antara narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut
narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan Pemasyarakatan (berdasarkan UU
No.12/1995).
Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel,
menurut Utrecht :
·
Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman
terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel. Terhukum hanya
melakukan kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan peringatan:
terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat
menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain
·
Sistem Auburn, New York, AS, disebut
juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada siang hari disuruh
bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.
·
Sistem Irlandia (Irish System) yang
berasal dr mark system, menggunakan penilaian. Para hukuman mula-mula
ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan hukum
yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali perbuatannya dan
diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain
dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka
hukumannya diperingan : mulai
dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of feformatory (pelepasan
bersyarat), publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan
kerja sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu
sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari ¾
hukumannya.
·
Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan
bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai penjara
reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat yang
berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih pada usaha-usaha
untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan
dan pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
·
Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam
penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri Kehakiman (Minister of justice).
Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang dari 19
th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.
·
Sistem Osborne (NY,US). Memilih ‘BOS’ –
mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi : Tamping/building tender.
Di Indonesia diterapkan
ke 5 nya :
- Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1 orang/1 sel. Minimum security/maximum security/Super Maximum Security (SMS)
- Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok pagi. Ada jadwal kegiatannya.
- Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan maka dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.
- Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama = kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan kolam, kerja di bengkel LP untuk buat kerajinan/furniture, menjahit, menyulam, merangkai bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radio/nonton TV olah raga dsb. Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah ditentukan.
- Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB- reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr hukumannya (pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.
- Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama-sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :
© Laki-laki
dan perempuan
© Orang
dewasa dan anak di bawah umur
© Orang
yang dihukum/ditahan – orang yang dihukum karena upaya preventif
© Orang
militer dan orang sipil
Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih
bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari
terpidana penjara.
Pidana Denda (Pasal
30 ayat (1) KUHP dan UU No. 1/1960)
Dengan adanya pidana denda seringkali
penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda dianggap bukan pidana
karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan
(UU No.20/1946)
Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan
mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan didasari oleh suatu motivasi
yang patut dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun diberikan fasilitas
yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan dan
radio/tape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.
0 komentar:
Posting Komentar