Kritik
Penegakan Hukum Yang Legisme (Legal Positivism)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak sedikit
dari masyarakat, baik masyarakat terdidik maupun masyarakat tidak terdidik
bahkan masyarakat yang sehari-harinya menggeluti dunia hukum khususnya di
Indonesia, mereka yang terheran-heran ketika mereka memahami hukum adalah
sebagai panglima untuk menjawab, memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu
perkara atau kasus, ternyata tidak sedikit peraturan perundangan sebagai hukum
tersebut mandul tidak melahirkan apa yang diharapkan masyarakat itu sendiri.
Mahfud MD. Dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” bahwa :
…Mereka
heran ketika melihat bahwa hukun tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin
kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak
sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong
kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan
berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk
hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang
kekuasaan dominan… [1]
Secara jujur saja kita harus katakan
bahwa sebuah hukum yang demokratis adalah selalu membesut dari bumi. Artinya,
ia merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang melembaga didalam masyarakat yang
menjadi sasarannya, kemudian untuk dengan arif menata dan menyinergikan
persilangan kepentingan yang juga harus dipelihara, senyatanya terjadi dalam
tabel hidup dimasyarakat. Lebih dari itu, terutama didunia modren, hukum bahkan
kemudian meluaskan fungsinya untuk melakukan social engineering,
rekayasa sosial, menciptakan sebuah masyarakat yang menjadi cita-cita sebuah
bangsa yang menamakan dirinya sebagai negara hukum. Hukum adalah hasil ciptaan
masyarakat, tetapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep
dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Kalau
kita menyorot konsepsi Nonet dan Selznick bahwa “Perkembangan hukum sejalan
dengan perkembangan Negara:”
Represif, adalah saat negara poverty
of power, sumber daya kekuasaanya lemah sehingga harus represif.
Otonom, adalah saat kepercayaan kepada
negara semakin meningkat, pembangkangan mengecil. Birokrasi dipersempit menjadi
rasional, hukum dibuat oleh dan secara profesional dilembaga-lembaga negara
tanpa kontaminasi dan subordinasi oleh negara.
Responsif, adalah untuk
mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya hukum terhadap perkembangan sosial.
Senantiasa dikurangi dan kewenangan membuat hukum diserahkan kepada unit-unit
kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan masyarakat. [2]
Kalau kita mau melihat bagaimana
bangunan hukum, maka bagian yang tidak terpisahkan adalah penegakan hukum (law
enforcement), bagaimana penegakan hukum kita, paling tidak ada penegakan
hukum dalam arti luas dan ada pula dalam arti sempit. Dalam arti luas adalah
melingkupi pelaksanaan dan penerapan hukum terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, kalau dalam artian sempit
adalah kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan
terhadap peraturan perundang-undangan.
Dalam hal penegakan hukum, yang paling
pokok disamping yang lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses
pembudayaan hukum sesuai dengan budaya masing-masing tempat, pemasyarakatan
sehingga sistem komunikasi dan sosialisasi menjadi yang utama, dan tidak kalah
pentingnya adalah pendidikan hukum (law socialization and law education)
sehingga dengan pendidikan hukum tersebut menjadikan proses pendewasaan dalam
berhukum termasuk pendidikan politik kaitannya dengan hukum. Philipe Nonet dan
Philip Selzbick dalam pandangannya sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu
hukum terutama dalam menganalisis institusi-institusi hukum.
Bangkitnya ilmu sosial berkontribusi
dalam ranah ilmu hukum terutama ilmu politik sangat signifikan terhadap
perubahan dan perkembangan didunia hukum. Nonet dan Selznick menyatakan:
Politik
pada saat itu menempatkan keadilan pada urutan teratas dalam agenda kepentingan
publik. Hak-hak sipil, kemiskinan, kejahatan, protes massal, kerusuhan kaum
urban, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan kekuasaan, semua itu, tidak
seperti masa-masa sebelumnya, dipandang sebagai masalah sosial yang sangat
urgen untuk dipecahkan…..
perubahan
hukum akan datang melalui proses politik, bukan dari pelaksanaan kebebasan atau
keleluasaan yang ada pada agen-agen hukum yag merespons tuntutan-tuntutan yang
bersifat partisan.[3]
Untuk menuntut bagaimana
tahapan-tahapan evolusi bangsa Indonesia dalam berhukum terutama kaitannya
dengan ketertiban sosial politik hukum sejak zaman kolonial sampai kemerdekaan
telah melalui beberapa tahapan, namun kita harus mengakui bahwa pada zaman
kolonial dengan tidak mengabaikan kejahatan dari arti penjajahan itu sendiri,
sesungguhnya dalam hal penegakan hukum adalah sangat baik karena cara
berhukumnya pada saat itu mengikuti karakteristik perkembangan masyarakatnya,
yaitu bagi golongan Eropa dihormati berlakunya hukum Eropa dan bagi bangsa Indonesia
(pribumi) dihormati diberlakukannya juga hukum sebagaimana karakteristik
budaya, adat setempat, dan sangat memelihara (walau tidak sama dengan
menghargai) nilai-nilai agama sehingga kebijakan dualisme tersebut membuat
tegaknya bangunan hukum relatif mampu mengelola bukan saja berbagai kepentingan
tetapi juga berabad-abad lamanya mampu mencengkramkan jajahannya di Indonesia
Raya ini. Dalam hal ini secara tegas Prof. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan
dalam bukunya “Hukum dalam masyarakat bahwa:
Hukum
Eropa dinyatakan berlaku untuk penduduk golongan Eropa, sedangkan untuk
golongan pribumi tetap diakui berlakunya kebiasaan, adat istiadat dan pranata
agama mereka, dengan catatan selama tidak bertentangan dengan apa yang disebut
“asas kepatutan dan adab yang baik”. Semua itu tersebut dalam pasal 75 Reglemen
Tata Pemerintahan Hindia Belanda (Indische Regeringsreglement) dari
tahun 1854.[4]
Ada polemik atau ketidakwajaran yang
kita rasakan, hal itu sangat berdasar dan beralasan. Hal ini sejalan dengan
tesisnya Nonet dan Selznick yang secara tegas mengatakan bahwa:
“Perkembangan”
(development) merupakan salah satu dari gagasan-gagasan yang paling
membingungkan dalam ilmu-ilmu sosial. Perkembangan telah menjadi obyek kritikan
yang berkepanjangan bahkan sejak masa kejayaan evolusionisme pada abad ke 19.
Namun, upaya untuk merasionalkan sejarah kelembagaan tampaknya memerlukan pemahaman
mengenai kepastian arah, pertumbuhan atau kehancuran. Dalam ilmu hukum terdapat
pula pemahaman intuitif bahwa beberapa bidang hukum lebih “berkembang” dibanding
bidang hukum lainnya, bahwa perubahan hukum sering menggambarkan pola-pola
pertumbuhan atau kehancuran. Rosco Pound merupakan salah seorang diantara
mereka yang berpendapat, adalah “hal yang tepat untuk memikirkan….tahap-tahap
perkembangan hukum dalam sistem-sistem yang telah mencapai tahap kematangan”.[5]
Pemikiran Philipe
Nonet dan Philip Selznick dalam konsep berhukum, membedakan tiga jenis hukum
yaitu: hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif. Dari bingkai pemikiran
hukum yang lebih responsive untuk keadilan sosial yang membumi digagas oleh
Nonit san Selznick tersebut diatas, kaitan dengan penegakan pembangunan hukum
di Indonesia, dengan problematika dan solusi yang ada.
Menelisik tiga jenis
hukum (Hukum Represif, Hukum Otonom, dan Hukum responsive) sebagai optik
melihat wajah penegakan hukum di Indonesia, yang dikonsep oleh Nonet dan
Selznick, maka secara umum penegakkan hukum di Indonesia setelah penulis
membuka kembali pengamatan di lapangan, sebenarnya yang paling cocok untuk
menghadapi globalisasi hukum, seharusnya kedepan posisi Indonesia tidak pada
karakteristik tunggal, yaitu ketiga jenis hukum tersebut ada pada posisi
Indonesia. Namun bagian-bagian tertentu sangat dominan ketimbang jenis hukum
represiflah yang sangat dominant kemudian terdapat juga jenis hukum otonom dan
sebagian kecil jenis hukum responsif.
Penegakan Hukum dengan
produk hukum, walaupun saling keterkaitan bahkan saling menentukan dalam cara
berhukumnya, namun produk hukum dan penegakan hukum mempunyai masalahnya
masing-masing. Dalam hal penegakan hukum adalah mencakup setidaknya ada
persoalan, yaitu peraturan perundang-undangannya, aparat penegak hukum dan
budaya masyarakatnya itu sendiri.
B. Masalah Pokok
- Bagaimana melakukan pembaharuan penegakan hukum melalui peraturan perundang-undangan?
- Bagaimana melakukan pembaharuan penegakan hukum melalui aparat penegak hukum?
- Bagaimana melakukan pembaharuan penegakan hukum melalui budaya hukum masyarakat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pembaharuan Penegakan Hukum
Melalui Peraturan Perundang-Undangan.
Sebagaimana
dijelaskan diatas, pada dasarnya materi peraturan perundang-undangan yang kita
gunakan selama ini, terutama yang banyak difungsikan untuk kepentingan atau
hajat hidup orang banyak seperti BW, WVS dan lain sebagainya, dalam proses
pembuatannya sangat jauh dari partisipasi masyarakat (nir-sosiologis) tidak
memerhatikan simbol-simbol kritik yang tampak di masyarakat, walaupun materinya
relative terstruktur dengan baik, namun hanyalah berlaku secara rinci dan
sistemik bagi masyarakat biasa, dan sangat lemah bagi pembuat hukumnya itu
sendiri (apalagi bagi pihak-pihak tertentu memengaruhi atas kepentingannya
dengan berbagai macam kompensasi).
Tujuan
pembuatan peraturan perundangan adalah untuk ketertiban dan legitimasi yang
juga mempertimbangkan kompetensi. Secara legitimasi, kita harus akui disamping
sebagai ketahanan sosial sebagai tujuan negara (daerah-daerah tertentu), tetapi
juga sudah mencapai legitimasi prosedural, walaupun belum kepada substantif.
Dalam
pembuatan peraturan perundangan hendaknya harus melahirkan alternatif-alternatif
yang mampu bertahan secara memadai, seperti dicontohkan Nonet dan Selznick
(dari Gemeinschaft ke Geselschaft). Untuk di Indonesia, sebagai
contoh kecil tentang pasal-pasal pencurian dalam WVS masih sangat kental
sanksi-sanksi yang seharusnya tidak lagi memberikan sanksi bagi pencuri-pencuri
kelas kecil, namun harus diberikan pembinaan sehingga memenuhi rasa keadilan
sebagaimana konsepsi yang diabstraksikan dengan baik oleh Nonet dan Selznick
yaitu dari kekerasan ke keadilan. Hal ini sangat penting, karena
dinegara-negara maju seperti Jepang tidak mengangap pencuri kelas-kelas kecil
itu sebagai penjahat, tetapi dibina sebagaimana penulis paparkan di muka.
B. Pembaharuan
Penegakan Hukum Melalui Aparat Penegak Hukum.
Berbicara
aparat penegak hukum di Indonesia sangat memprihatikan sebagaimana disebutkan
di muka, betapa tidak, kita sudah mafhum kalau mafia peradilan kita sudah
sebegitu buruknya dan para aparat penegak hukum itulah yang berperan utama atas
kerusakan hukum di Indonesia. Sebagus apapun materi peraturan
perundang-undangan, kalau aparatnya rusak, maka hukum pun juga bagaikan
menegakkan benang basah, dengan tidak mengabaikan ada juga beberapa
keberhasilannya, tetapi hanya mampu memproses penjahat kelas-kelas kecil,
seperti; orang-orang miskin dan bodoh yang tak punya akses pembelaan di
pengadilan dan mereka ini (ribuan orang) yang memenuhi rumah tahanan dan
lembaga permasyarakatan diseluruh penjuru tanah air. Secara tegas Nonet dan
Selznick menyatakan:
Produk
hukum yang dihasilkan menjadi represif karena:
- Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa dengan, misalnya, memaksakan tanggung jawab, namun mengabaikan kalim-klaim dari, para pegawai, pengutang, dan penyewa. Penghilangan hak-hak istimewa tidak harus bergantung pada dihilangkannya hak suara dari kelas bawah.
- Hukum melembagakan ketergantungan. Kaum miskin dipandang sebagai “tanggungan negara”, bergantung kepada lembaga-lembaga khusus (kesejahteraan, perumahan umum), kehilangan harga diri karena pengawasan oleh birokrasi, dan terstigma oleh klarifikasi resmi (misalnya kriteria yang memisahkan kelompok “kaya” dari kelompok miskin). Dengan demikian, maksud baik untuk menolong, apabila didukung dengan penuh keengganan dan ditujukan kepada penerima yang tidak berdaya, akan menciptakan pola baru subordinasi.
- Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial melawan “kelas yang berbahaya”, misalnya dengan menganggap kondisi kemiskinan sebagai kejahatan di dalam hukum pergelandangan.
Dengan optic Nonet dan Selzenick yang
menggagas hukum secara komprehensif sehingga dijangkaunya modelitas dasar untuk
berhukum yang lebih responsive, yaitu; dengan hukum represif adalah hukum
sebagai abdi kekuasaan, hukum otonom adalah sebagai institusi yang mampu
mengolah represif dan melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsive
adalah hukum sebagai fasilitator dari sejumlah respons terhadap aspirasi
kebutuhan sosial hukum yang berakar-pinak di masyarakat. [6]
Ditegaskan Nonet dan Selzenick bahwa
seorang penguasa (otoritas penegak hukum) yang dapat mengeluarkan atau membuat
aturan-aturan sebagai sarana kekuasaannya, tetapi perlu diingat bahwa kenyataan
empirik tidak bisa dipaksa untuk sesuai dengan si pembuat hukumnya. Dia akan
menambah kredibilitas dan aturan-aturan tersebut mendapat legitimasi serta
menarik kemauan secara sukarela, apabila senyatanya aturan tersebut adil,
merasa terikat oleh aturan tersebut, dan yang sangat penting penyelenggaraan
peradilan tidak berpihak termasuk kepada aparat penegak hukum dengan berbagai
kepentingannya, kecuali menerapkan aturan dan berpihak kepada keadilan sosial.
Pada umumnya, seharusnya penegakan hukum
di Indonesia, menurut abstraksi teori-teori Nonet dan Selzenick ini sebagaimana
disampaikan dimuka sangat tidak tepat berkarakter tunggal, tetapi campuran,
yaitu mencakup ketiga model hukum tersebut, hanya saja model hukum represif
lebih dominan dari model otonom dan terlebih model responsive sebagian kecil
dan sejalan evolusinya juga mengarah kepada hukum responsive.
Dalam hal aparat penegak hukumnya,
dapatlah kita katakan bahwa di Indonesia hubungan antara negara dan badan-badan
penegak hukum terjadi monopoli atas kekerasan yang memang dibenarkan oleh
negara. Memang pada umumnya aparat penegak hukum dengan segala institusinya
adalah menjaga ketertiban dan kedaulatan negara Indonesia.[7]
Persenyawaan
ini semakin menggelindan, ketika negara sangat tergantung kepada keahlian dan
ketaatan mereka para penegak hukum terhadap tugas yang diembannya. Dan
kenyataan yang demikianlah, maka kontrol masyarakat tidak berdaya. Secara
sederhana bisa kita polakan ke dalam tiga bagian yang mewarnai sistem kekerasan
yang terjadi atas nama penegakan hukum, yaitu; pertama, kekerasan yang
dilakukan aparat semurninya untuk menjaga keteraturan atau ketertiban dan
menegakkan kedaulatan negara, kedua, kekerasan yang dilakukan aparat
atas kepentingan aparat pemaksa yang sesungguhnya adalah individu-individu yang
sarat kepentingan pribadi tetapi mengatasnamakan kepentingan negara. Hal itu
dilakukannya karena kepentingan-kepentingan mereka atau organisasi-organisasi
mereka sangat dominan ketimbang mereka sebagai abdi negara atau abdi
masyarakat, ketiga, adalah masyarakat yang sering dikatakan aparat
penegak hukum sebagai object problem
terutama bagi masyarakat kelas bawah yang miskin dan bodoh (sudah
menjadi pemandangan diseluruh penjuru negeri ini, para aparat menggusur
orang-orang miskin dan gepeng, namun tak mau berpikir mencari maknanya untuk
menggusur kemiskinan, apalgi melakukannya).
Sehingga dengan demikian konsepsi atau
model hukum yang diabtraksikannya menjadi sebuah teori hukum responsive oleh
Nonet dan Selzenick tersebut patut disonsong dengan upaya pembenahan aparatur
penegak hukum di Indonesia yang lebih konprehensif berlandaskan komitmen dan
moralitas yang tinggi. Hal itu dilakukan juga untuk keseimbangan antara prodik
hukum dan pelaksanaan hukum dengan menghargai budaya hukum sesuai cita diri
bangsa Indonesia.
C. Pembaharuan Penegakan Hukum Melalui Budaya
Masyarakat.
Sebagaimana beberapa pokok pikiran
Nonet dan selzenick antara lain disebutkan bahwa sumber hukum represif yang
abadi adalah tuntutan konformitas budaya. Dalam hal mana masyarakat modren,
seperti juga halnya pada masyarakat kuno yang mana kebersamaan atas aturan
moral sangat mendukung kebersamaan sosial dan merupakan sumber dan kekuatan
dalam memelihara ketertiban. Kemudian Nonet dan Selzenick lebih lanjut menyatakan bahwa:
Mungkin
lahan yang paling subur bagi moralitas hukum adalah moralitas komunal, yakni
moralitas yang ditanamkan untuk mempertahankan “komunitas patuh” (community
of observance). Moralisme hukum paling baik dipahami sebagai patologin
alami dari institusionalisasi, yakni upaya untuk membuat nilai-nilai menjadi
efektif guna memberikan panduan bagi tingkah laku manusia. [8]
Sementara itu Esmi
Warassih (2005), mengatakan bahwa peranan kultur hukum dalam penegakan hukum
sangatlah penting dan acap kali berhubungan dengan faktor-faktor non-hukum,
sebagaimana dijelaskannya berikut:
Oleh karena itu, penegakan hukum
hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, melainkan selalu berada diantara berbagai faktor (interchange).
Dalam konteks yang demikian itu, titik tolak pemahaman terhadap hukum tidak
sekedar sebagai suatu “rumusan hitam putih” (blue print) yang ditetapkan
dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat
sebagai suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat, antara lain
melalui tingkah laku warga masyarakatnya.
Itu artinya, titik perhatian harus
ditujukan kepada hubungan antara hukum dengan faktor-faktor non-hukum lainnya,
terutama faktor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang selanjutnya
disebut dengan kultur hukum.[9]
Berangkat dari
pemikiran diatas, kaitan dengan penegakan hukum di Indonesia khususnya pada
bahasan pilar kultur masyarakatnya, maka budaya hukum masyarakat Indonesia
sebagaimana disebutkan dimuka, sangat lah majemuk (plural society)
paling tidak, ada 19 persekutuan atau keluarga hukum yang berkelindan pada
masing-asing territorial adatnya. Dari sosial budaya yang bermacam-macam
termasuk perbedaan antara kota dan desa (ada masyarakat organic dan ada
masyarakat mekanik), maka tesis Nonet danSelznick tersebut secara relatif
sangat berjalan dengan fakta empirik budaya hukum bangsa Indonesia, namun untuk
secara totalitas mengondisikan kepada model penegakan hukum yang otonom
kemudian kepada responsive tampaknya perlu proses yang lebih baik lagi. Hal ini
sangat beralasan, karena disinyalir dalam tesisnya Nonet dan Selzenick bahwa
“tak ada rezim (rezim dengan model hukum) yang dapat bertahan tanpa landasan
berupa persetujuan dari warga negara yang diberikan secara sukarela”.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori-teori
hukum aliran positivisme adalah paradigma saintifik yang merambah pada tataran
pemikiran ketertiban masyarakat bersejalan dengan tertib hukum sejak abad 19.
kaitannya dengan penegakan hukum di Indonesia, paradigma tunggal legal
positivism bukanlah berarti tidak baik, namun secara fungsionalnya dalam
memahami, manganalis dan lebih dalam untuk mengontrol karakteristik kehidupan
yang pluralistik berformat regional, nasional maupun global adalah sudah tidak
memadai dan perlunya pemikiran alernatif. Banyak aliran hukum yang digagas para
ahli, misalnya meramu; aliran legal positivism, aliran Freie
Rechtsbewegung, aliran Rechtsvinding, atau aliran-aliran dalam
format lain yang sejatinya sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia
seutuhnya.
Penegakan supremasi hukum adalah
sebuah upaya manusia untuk menggapai keteraturan atau ketertiban yang
dibutuhkannya. Dalam hal mana penegakan tersebut, yang pokok adalah
menyinergikan ketiga pilarnya; peraturan-perundangan, aparat penegak hukum dan
budaya hukum masyarakatnya.
Optik Nonet dan Selzenick terhadap
penegakan hukum di Indonesia yang legisme (legal positivism), mereka
menggagas modelisasi hukum kedalam teori besarnya “hukum responsif”. Model yang
ditawarkan tersebut sangat cocok dengan pluralisme dan realisme bangsa
Indonesia berhukum dan potensi untuk penegakan hukum sesuai modelisasi serta
tahapnya kepada hukum responsif secara totalitas sangat memungkinkan sepanjang
aparat pembuat dan penegak hukum
mempunyai komitmen dan moralitas yang tinggi.
Dalam
kekerasan aparat penegak hukum di Indonesia, tesis Nonet dan Selznick dapat
distrukturkan menjadi tiga: pertama, kekerasan murni atas kepentingan
negara, Kedua, kekerasan sebenarnya untuk kepentingan individu,
organisasi atau golongan, tetapi mengatasnamakan rakyat atau negara, ketiga,
kekerasan sebagai cara-cara lain tidak ada yang bisa dilakukan (biasanya
dilakukan oleh masyarakat kelas bawah yang tidak ada akses untuk
mengadvokasikan hak-haknya sebagai warga negara).
DAFTAR PUSKATA
A.A.G. Peters
dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks
Sosiologi Hukum (Buku III), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan (1990)
Esmi Warrasih
Pujirahayu, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru
Utama, Semarang, 2005
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES,
2001
Moh. Mahfud MD,
Sari Kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum Pada Program Doktor Ilmu Hukum PPs.
FH. UII, Yogyakarta: PPs UII (2008)
Sabian Usman,
Dasar-Dasar Sosiologi Hukum; Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2009
Sutandyo Wigno
soebroto, Hukum Dalam Masyarakat (Perkembangan dan Masalah. Sebuah Pengantar
ke Arah Kajian Sosiologi Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga, Surabaya, 2007
Philipe Nonet
dan Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward respons Law,
Haper 7 Row, 1978 (Terjemahan Raisul Muttaqien) diterbitkan oleh Penerbit Nusa
Media, 2008
0 komentar:
Posting Komentar