Selasa, 11 Juni 2013


Teknologi merupakan penerapan ilmu yang merupakan hasil aktivitas manusia yang mengkaji berbagai hal, baik diri manusia itu sendiri maupun realitas di luar diri. Kebudayaan merupakan keseluruhan komplek kepercayaan, seni, hukum, moral, kemauan, dan  kebiasaan lain yang dibutuhkan manusia.
Sesuai perkembangan zaman dan kemajuan ilmu, teknologi yang dihasilkan pun semakin modern dan canggih. Pada dasarnya teknologi yang dihasilkan oleh umat manusia bertujuan untuk membuat hidup manusia lebih praktis dan efisien. Namun, perkembangan teknologi yang ada pada kenyataannya telah banyak mengubah berbagai sendi kehidupan manusia.
Salah satu bidang kehidupan manusia yang telah berubah seiring perkembangan teknologi adalah kebudayaan manusia. Teknologi yang berkembang menyebabkan berubahnya pola interaksi manusia dari interaksi yang sederhana menjadi interaksi yang semakin canggih.

  1. Hubungan antara Teknologi dengan Krisis Kemanusiaan
Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar, asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi, selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial yang sering lebih penting artinya daripada teknologi itu sendiri.
Schumacher menyatakan bahwa dunia modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu dipertanyakan bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya.
Fenomena teknologi pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  • Rasionalitas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
  • Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
  • Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
  • Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
  • Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
  • Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ideology, bahkan dapat menguasai kebudayaan.
  • Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.

Teknologi yang berkembang pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul (1964) sebagai berikut :
  • Teknik meliputi bidang ekonomi.
  • Teknik meliputi bidang organisasi seperti adminstrasi, pemerintahan, manajemen, hokum, dan militer.
  • Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga, hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai selutuh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan sunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.

Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik. Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengan mekanisme teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan mekanisme teknik, menuntut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir di dalamnya. Contohnya: pada sistem industri ban, seorang buruh meskipun sakit atau lelah, ataupun ada berita duka bahwa anaknya sedang sekarat di RS, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
  2. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau mengantuk tetapi diatur oleh jam. Lingkungan manusia menjadi terbatas, manusia sekarang hanya berhubungan dengan bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi tidak sempat lagi menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
  3. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan konkrit. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk kepada waktu.
  4. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Sekarang struktur masyarakat hanya ditentukan oleh hokum ekonomi, politik, dan persaingan kelas. Proses ini telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Terjadinya neurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut beberapa ahli merupakan akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial. Kondisi sekarang ini manusia sering dipandang menjadi objek teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik yang ada.
  5. Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russet dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.

Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama tenjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari berbagai ironi dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya berbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan manusia. Ada alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagian masyarakat yang mulai mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.

  1. Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan
Meta-ethical cultural relativism merupakan cara pandang secara filosofis yang yang menyatkan bahwa tidak ada kebenaran moral yang absolut, kebenaran harus selalu disesuaikan dengan budaya dimana kita menjalankan kehidupan soSial kita karena setiap komunitas sosial mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap kebenaran etika.
Etika erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan okeh manusia sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial tersebut. Sebagai contoh orang Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid (membunuh anak) adalah tindakan yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika dan negara lainnya tindakan ini merupakan suatu tindakan amoral.
Suatu premis yang disebut dengan “Dependency Thesis” mengatakan  “All moral principles derive their validity from cultural acceptance”. Penyesuaian terhadap kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya harus dipertahankan dan dibutuhkan suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.  

  1. Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan
Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika / moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K. Bertenes, etika adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam mengatur tingkah lakunya. Etika berkaitan erat dengan berbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan tentang masalah-masalah predikat nilai ”susila” dan ”tidak susila”, ”baik” dan ”buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia (Katsoff, 1986).
Etika dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan etika sosial yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini, etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, idiologi-idiologi maupun tanggungjawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar akan tanggungjawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Di dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial sangatlah rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di kalangan para penguasa politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the World's Religion II, tahun 1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan deklarasi yang disebut dengan etika global (global ethic) sebagai penjabaran praktis berupa paradigma etika dan moral untuk diejawantahkan dalam kehidupan empiris. Lahirnya Deklarasi Etika Global tersebut merupakan realisasi antisipasif dan solutif atas sebuah kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang dewasa ini tidak hanya memasuki wilayah kehidupan material seperti ekonomi, budaya, dan politik pada banyak negara di seluruh belahan dunia, tetapi kekuatan tersebut juga merambah wilayah nonmeterial, yaitu etika. Globalisasi sendiri telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga dampak negatif, yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu krisis multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis ekologi global, dan krisis politik global. Berbagai terpaan krisis tersebut lalu bermuara pada krisis kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kezaliman, kekerasan, penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain.
Jika ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada berpangkal mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika, terutama di kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya perusakan  yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Dari perspektif etika global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di dunia belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar apresiasi terhadap etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat, terutama pada aspek material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan kepercayaan atas diri manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan manusia sebagai "pencipta yang memiliki kuasa besar" terhadap hidup dan kehidupannya. Kehidupan manusia kemudian berorientasi pada paradigma "antropo-centris", yaitu berpusat pada diri manusia itu sendiri, sehingga manusia diliputi paham "egoisme kemanusiaan". Egosime kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik yang bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja rasisme, nasionalisme, sekterianisme, atas seksisme (feminisme dan maskulinisme). Semua bentuk egoisme manusia tersebut menghalangi manusia untuk menjadi manusia sejati, manusia berkemanusiaan.
Sebuah paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of the World's Religions yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai berikut, "Dalam tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah: kalian tidak boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara jujur dan adil! Makna dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak dengan cara apa pun merampas atau merebut hak orang lain atau hak kesejahteraan bersama. Begitu juga tidak seorang pun berhak menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli akan kebutuhan masyarakat dan  bumi. Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak mungkin ada suatu tatanan dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global, mengacu pada suatu permufakatan mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuran-ukuran pasti, dan sikap-sikap pribadi yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya manusia beragama.
Pemecahan problematika sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup mungkin dilakukan dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat perencanaan ekonomi dan politik serta pembelakuan hukum dan undang-undang. Namun, semua itu belum cukup tanpa perubahan "orientasi batin" (inner orientation) dan sikap mental yang berkualitas dari masyarakat. Masyarakat membutuhkan reformasi sosial dan ekologis, tapi dalam waktu bersamaan mereka juga membutuhkan pembaruan spiritual. Untuk benar-benar berperilaku manusiawi berarti :
  • Kita harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi yang kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang menderita, khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat miskin, penderita cacat, dan mereka yang berada dalam kesepian.
  • Kita harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai keseimbangan kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa batas dan persaingan yang tidak terhindarkan.
  • Kita harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam keserakahan, manusia kehilangan "rohnya", kebebasannya, ketenangan, dan kedamaian diri serta dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya manusiawi".
  1. Hubungan antara Kebudayaan dengan Krisis Kemanusiaan
Mendiskusikan perihal entitas kebudayaan bangsa kita saat ini sangat dalam kaitannya dengan kebudayaan global, yakni budaya asing (Barat) yang selama ini dirasakan timpang. Dalam arti, ketika arus utama (mainstream) dari pilihan arah orientasi pengembangan budaya nasional, akhirnya jatuh pada komitmen membuka diri dengan mengadakan sharing seluas-luasnya dengan pluralitas budaya global .
Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia ternyata mempengaruhi kebudayaan universal, namun tidak dapat termanifestasikan secara komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah adanya paradigma ketidakadilan besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita dan juga bangsa-bangsa Timur lainnya.
 Apabila kita cermati, sebenarnya kebudayaan kita tengah bahkan terus akan berproses dalam format fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai “gegar budaya”. Banyak indikator yang tersaji di keseharian masyarakat kita yang secara empiris terlihat munculnya keprihatinan dimana-mana pada hampir semua aspek kehidupan manusia, yang kemudian dapat dirangkum dalam satu ungkapan krisis multidimensional. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam proses kebudayaan bangsa kita selama ini, sehingga berimplikasi pada carutmarut persoalan bangsa yang tidak kunjung selesai. 
“Kekosongan” kebudayaan yang bangsa kita saat ini rasakan dapat berdampak negatif terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri dan nilai kemanusiaan.  Peralihan kebudayaan Timur menjadi kebarat-baratan seperti lazimnya, pergaulan bebas,diperbolehkannya hubungan sesama jenis, dll membuat kita bertanya, kemanakah nilai kemanusiaan dan agama yang selama ini menjadi ciri khas dari bangsa Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak citra bangsa dan cepat mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan dunia baru. Selain itu, efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis kemanusiaan. Krisis kemanusiaan ini dapat berakibat timbulnya pembunuhan, hamil di luar nikah, timbulnya penyakit menular, dan meningkatkan angka kriminalitas.

  1. Hubungan antara Ilmu, Teknologi, Etika, Kebudayaan, dan Krisis Kemanusiaan
Ilmu pengetahuan dapat memberi dampak positif dan negatif. Ketika ilmu pengetahuan dimanfaatkan untuk tujuan praktis, manusia hanya memfungsikan sisi hawa nafsunya saja, sehingga sangat mungkin ilmu pengetahuan diarahkan untuk hal-hal destruktif. Di sinilah pentingnya nilai dan norma (etika) untuk mengendalikan hawa nafsu manusia. Etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi dukungan yang baik bagi pemanfaatan iptek untuk meningkatkan derajat hidup, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia.
Pada zaman sekarang, aliran humanisme-antroposentris berkembang pesat. Aliran ini memiliki pikiran kebudayaan materi yang menafikan kehadiran agama, individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan (Irfan, 2009). Perubahan kebudayaan berakibat pada perubahan etika, sebab etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut dan mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku di mana kita tinggal dan kehidupan sosial apa yang kita jalani.
Apabila etika (yang juga dapat diartikan sebagai cara berpikir) mengalami perubahan, maka perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan juga mungkin terjadi, dan selanjutnya akan menimbulkan kecenderungan adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan (teknologi) yang dapat semakin memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang semakin maju tersebut selain akan mendorong ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan berikutnya, juga akan meningkatkan keinginan manusia yang sampai bersifat memaksa, merajalela, bahkan membabi buta. Pada akhirnya hal ini berakibat pada tidak manusiawinya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika ditelusuri, krisis kemanusiaan yang ada berpangkal dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika mendorong merajalelanya perusakan yang kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Berawal dari penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi, politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagai konsekuensi logisnya (Irfan, 2009).
Menurut para sosiolog, kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat (krisis kemanusiaan) terjadi pada tiga tingkat, yaitu:
1.            Pada tingkat pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran.
2.            Pada tingkat yang berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku à disebut kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes)
3.            Pada tingkat kebudayaan, yakni berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat à disebut gejala kesenjangan kebudayaan (cultural lag) à nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan (Nashir, 1997)
Banyak pihak yang menganggap bahwa krisis kemanusiaan merupakan ‘anak kandung’ dari modernisme. Masyarakat modern mampu menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mengatasi berbagai masalah, tapi tidak mampu menumbuhkan akhlak yang mulia sehingga terjadilah krisis kemanusiaan.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Ma’arif (1997) dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.

KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan mendorong kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat berakibat positif maupun negatif. Supaya ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak positif bagi manusia perlu dikendalikan oleh etika. Etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Perubahan kebudayaan dapat terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi. Perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan terjadinya krisis etika sehingga dapat terjadi krisis kemusiaan.


DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo. 1983. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta. Kanisius
Bakhtiar A. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Mangunwijaya YB. 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein; Eseiesei Tentang
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21.  Yogyakarta. Kanisius
http://forumteologi.com/blog/2007/04/30/sefnat/ 14 nov/ 21.13
http://sites.google.com/site/filsafatindonesia/Home/b/budaya/ 14 nov/ 21.36
http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/66/ 16 nov/ 15.41
http://www.scribd.com/doc/20719218/Krisis-Kemanusiaan-di-Bangsa-Beradab-Indonesia/16 nov/ 15.24
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung. Bakti Mandiri
http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/agama-krisis.pdf
http://meetabied.wordpress.com/2009/11/01/kedudukan-filsafat-ilmu-dalam-islamisasi-ilmu-pengetahuan-dan-kontribusinya-dalam-krisis-masyarakat-modern/
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/teori-ilmu
http://miftahul_ulum.dikti.net/index.php?option=com_content&view=article&id=6:we-are-volunteers&catid=1:latest-news&Itemid=50
http://elhasyimieahmad.multiply.com/reviews/item/29
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Teori%96teori+Kebenaran+Dalam+Ilmu+Pengetahuan&dn=20080702084806
Anonim. Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan. http://elearning.gunadarma.ac.id. 20/11/2009.
Ellul J. 1964. The Technological Society. New York. Alfred Knapf
Sastrapratedja. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta. Kanisius
Anonim. Cultural Relativism. http://www.collegetermpapers.com/TermPapers/Philosophy/Cultural_Relativism.shtml
Anonim, Ethical (Moral, Cultural) Relativism. http://www.owlnet.rice.edu/~spac205/February_11-2.pdf
Presiden Foundation for a Global Ethic (Stiftung Weltethos), Guru Besar Emeritus Teologi Ekumenis pada

0 komentar:

Posting Komentar