BAB III - HUKUM NEGARA
Kalau
seorang wanita mencari penghapusan diskriminasi dan perlindungan haknya sebagaimana
disebut dalam CEDAW, sistem pemerintahan dan tata urutan peraturan perundangan
di Indonesia perlu dipahami. Dalam
rangka itu, seorang wanita tersebut boleh mencari perlindungan melalui
keberlakuan CEDAW dalam hukum negara di Indonesia, ketentuan Undang Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) beserta perundang-undangan lain tentang HAM.
Dalam
peraturan perundangan tersebut, seorang wanita tersebut perlu mencari pengakuan kaidah penghapusan
diskriminasi dan perlindungan hak wanita.
Selain itu, dia juga perlu mencari penegakan
kaidah tersebut dalam lingkungan peradilan negara maupun lembaga legislatif
atau eksekutif. Seorang wanita tersebut
dapat menyimpulkan bahwa pengakuan tersebut sudah lengkap sedang penegakannya
dapat diperbaiki. Namun demikian, ada masa
depan yang baik untuk penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan
haknya.
1. Lembaga
Pemerintahan dan Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia
1.1 Wewenang dan Susunan Lembaga Pemerintahan
Lembaga
pemerintahan di negara kita merupakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah di Daerah.[1] Pemerintah di Daerah merupakan pejabat
daerah, yaitu Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya; serta Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (DPRD I) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat II (DPRD II).[2] Wewenang dan susunan lembaga lembaga
pemerintahan tersebut diggariskan UUD
1945 sebagaimana ditambah Perubahan Pertama UUD 1945 Sidang Umum MPR Tahun 1999
beserta perundang-undangan.
MPR adalah
lembaga tertinggi negara. MPR memegang
dan melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya.[3] MPR mempunyai tugas menetapkan Garis Garis
Besar daripada Haluan Negara (GBHN), memilih Presiden serta Wakil Presiden dan
mengubah UUD 1945.[4] MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan
utusan daerah dan utusan golongan.[5] Utusan daerah dipilih DPRD I sedang utusan
golongan dipilih DPR. Utusan golongan
`tidak menjadi bagian dari suatu partai politik serta yang kurang atau tidak
terwakili secara proposional di DPR dan terdiri atas golongan ekonomi, agama
sosial, budaya, ilmuwan, dan badan badan kolektif lainnya'.[6]
Presiden
memegang kekuasaan Pemerintahan.[7] Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang
Undang (RUU) kepada DPR.[8] Setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Jika RUU
itu tidak mendapat persetujuan bersama RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu. Presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang Undang.[9]
Selanjutnya,
Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya.[10] Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
terhadap Angkatan Bersenjata dan juga berwenang terhadap keadaan bahaya secara
ditetapkan dengan UU.[11] Presiden mengangkat duta dan menerima
penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.[12] Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (beoordeling van de Volksraad) dan memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR.[13]
Presiden
dibantu oleh Wakil Presiden dan kedua-duanya memegang jabatan selama lima tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu
kali masa jabatan.[14] Jika Presidan mangkat, berhenti atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti Wakil Presiden
sampai habis waktunya. Sebagaimana
demikian, Presiden Soeharto diganti Wakil Presiden Habibie pada tanggal 21 Mei
1998.[15] Presiden juga dibantu oleh para Menteri. Presiden berwewenang mengangkat dan
memberhentikan semua Menteri tersebut.[16]
Presiden
dan Wakil Presiden baru diangkat dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Presiden ialah K.H. Abdurrahman Wahid dan
Wakil Presiden ialah Megawati Soekarnoputri.[17] Presiden ialah pemimpin Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan Wakil Presiden ialah pemimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Perjuangan. Keanggotaan para Menteri
atau Kabinet baru diumumkan oleh Presiden pada tanggal 26 Oktober tahun 1999.
Para Menteri atau Kabinet tersebut tercantum anggota anggota PKB, PDI
Perjuangan, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN) dan
Partai Pembangunan Persatuan (PPP). Para
Menteri atau Kabinet tersebut juga termasuk Anggota Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). [18]
DPR adalah
lembaga tinggi negara.[19] DPR memegang kekuasaan membentuk Undang
Undang dan akan melaksanaan kekuasaan itu dengan Presiden secara tersebut.[20] Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.[21] Selanjutnya, DPR mempunyai tugas dan wewenang
terhadap hal keuangan, hubungan internasional dan aspirasi masyarakat.[22] Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut
DPR berhak terhadap pejabat pemerintah dan lembaga pemerintahan lain.[23] Susunan DPR ditetapkan UU No.4/1999 Tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD berlandaskan Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945. DPR terdiri atas 462 anggota Partai Politik
(Parpol) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) serta 38 anggota ABRI.[24]
Sebagaimana
tersebut, lembaga lembaga pemerintah di daerah ialah Gubernur, Bupati dan Walikota
daerah serta DPRD I dan DPRD II.[25] DPRD I dan DPRD II membentuk Peraturan
Daerah dengan persetujuan masing masing pejabat pemerintah di daerah.[26] DPRD I dan DPRD II berhak mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah.[27] Selanjutnya, DPRD I dan DPRD II berkuasa
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid)[28] dan
Pemilihan Pejabat Pemerintah di Daerah serta Presiden.[29] Akhirnya, DPRD I dan DPRD II bertugas dan
berwenang terhadap hal keuangan,[30] hal
internasional bersama dengan Pemerintah Negara,[31] dan
aspirasi masyarakat.[32]
Susunan
DPRD I berdasarkan Parpol hasil Pemilu dan anggota ABRI yang diangkat.[33] Jumlah Anggota DPRD I ditetapkan
sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyak 100 orang termasuk 10% anggota
ABRI.[34] Susunan DPRD II pula berdasarkan Parpol dan
ABRI secara disebut. Jumlah Anggota DPRD
II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang
termasuk 10% anggota ABRI.[35]
Pemilihan
Umum baru dilaksanakan pada tanggal 7 Juni Tahun 1999 berlandaskan UU No.2/1999
Tentang Parpol yuncto Undang Undang No.3/1999 Tentang Pemilu. Parpol hasil Pemilu dalam DPR, DPRD I dan
DPRD II termasuk antara lain PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP dan PAN.
1.2 Parpol dan ABRI sebagai Lembaga Dasar
Pemerintahan di Indonesia
Dengan
susunan lembaga lembaga pemerintahan tersebut, Parpol dan ABRI menjadi lembaga
dasar pemerintahan di Indonesia. Anggota
Parpol hasil Pemilu dan anggota ABRI yang diangkat menjadi Anggota DPR, DPRD I
dan DPRD II. Anggota DPRD I dan DPRD II
memlihi masing masing pejabat pemerintah daerah. Anggota DPRD I dan Anggota DPRD II juga
memilihi utusan daerah yang menjadi anggota MPR. Anggota DPR menjadi anggota MPR. Anggota DPR juga memilihi utusan golongan
yang menjadi anggota MPR. MPR memilihi
Presiden.
Sebagaimana
demikian, susunan atau keanggotaan setiap lembaga pemerintahan tersebut
merupakan, berdasarkan atau dipengaruhi keanggotaan Parpol dan ABRI. Oleh sebabnya, tiap tiap ketentuan lembaga
pemerintah tersebut baik peraturan perundang-undangan atau ketentuan lain
ditetapkan anggota Parpol dan ABRI bersandar kebijakan (beleid) Parpol dan ABRI.
Maka, kebijakan Parpol dan ABRI sebagai kebijakan lembaga dasar
pemerintahan menjadi pedoman penetapan pemerintah Indonesia pada masa kini dan
masa mendatang.
1.3 Tata Urutan Peraturan Perundangan di
Indonesia
Tata urutan
peraturan perundangan lembaga pemerintahan di Indonesia berdasarkan kaidah
negara hukum (Rechstaat). [36] Unsur utama kaidah tersebut adalah setiap
peraturan perundangan wajib berdasarkan dan bersumber pada peraturan
perundangan yang lebih tinggi.[37] Tata urutan peraturan perundangan diatur
dengan TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia
No.XX/MPRS/1966.[38] Bentuk
peraturan perundangan ditetapkan sebagai berikut: UUD 1945, TAP MPR, Undang
Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri,
Instruksi Menteri dan lain lainnya.[39]
UUD 1945
adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi. Oleh sebabnya, UUD 1945 menjadi dasar dan
sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara.[40] UUD 1945 dirancang waktu Indonesi diduduki
Pemerintah Militer Jepang dan dikeluarkan sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1945.[41] UUD 1945 diganti Konstitusi Republik
Indonesia Serikat[42] (RIS)
tanggal 31 Januari tahun 1950 yang kemudian diganti Undang Undang Dasar
Sementara[43] (UUDS)
Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus tahun 1950. UUD 1945 berlaku lagi dengan Dekrit Presiden
Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden itu bertentangan dengan prosedur perubahan dalam UUDS
1950,[44] meskipun
dikatakan Dekrit Presiden tersebut berlandaskan hukum darurat negara (Staatsnoodsrecht).[45]
Dalam tata
urutan peraturan perundangan di bawah UUD 1945, TAP MPR melaksanakan ketentuan
UUD 1945 bersangkutan terutama ketentuan terhadap GBHN. Undang Undang
melaksanakan ketentuan UUD 1945 atau TAP MPR tentang GBHN di bidang
legislatif. Peraturan Pemerintah
melaksanakan Undang Undang. Keputusan
Presiden melaksanakan Ketentuan UUD 1945
bersangkutan, TAP MPR tentang GBHN di bidang eksekutif dan / atau Peraturan
Pemerintah tersebut. Akhirnya, peraturan
peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan
lain lainnya bersumber pada peraturan perundangan yang lebih tinggi.[46]
2. Pengakuan
Kaidah Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Pengakuan Hak Hak Asasi
Wanita dalam Hukum Negara
2.1 Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum
Negara di Indonesia
Ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari penghapusan atau perlindungan tersebut melalui keberlakuan CEDAW secara disahkan UU No.7/1984. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional berdasarkan ajaran incorporasi maupun ajaran transformasi. Ajaran incorporasi menyatakan perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional langsung berlaku dalam hukum nasional. Dengan perkataan lain, hak, kewajiban dan ketentuan hukum internasional berlaku, mengikat dan bisa ditegakkan dalam hukum nasional. Ajaran incorporasi dilaksanakan di Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional serta kebiasaan internasional dan dilaksanakan di Inggris hanya terhadap kebiasaan internasional. [47]
Bagaimanapun, ajaran transformasi berbunyi perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional tidak berlaku dalam hukum nasional secara tersebut kecuali melalui perundang-undangan. Ajaran transformasi dilaksanakan di Inggris, Perancis dan Australia terhadap perjanjian internasional dan di Australia terhadap kebiasaan internasional.[48]
Di negara
kita, tidak jelas kalau ajaran transformasi atau ajaran incorporasi
dilaksanakan. Hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional tidak ditetapkan secara tersurat dengan UUD
1945.[49] Namun demikian, tata cara pengesahan
perjanjian internasional yang digariskan Pasal 11 UUD 1945 beserta peraturan
perundangan pelaksananya memuat kemungkinan Indonesia melaksanakan ajaran
"transformasi" dan tidak melaksanakan ajaran "incorporasi". Dengan perkataan lain, ada kemungkinan
perjanjian internasional tidak
berlaku di Indonesia.
Pasal 11
UUD 1945 berbunyi, `Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain'. Pasal itu memang tidak jelas. Pengertian `perjanjian dengan negara lain'
tidak dijelaskan. Perjanjian itu dapat
berupa konvensi, traktat atau cuma
persetejuan internasional. Bentuk
`persetujuan' DPR juga tidak dijelaskan.
Persetujuan itu dapat diucapkan dalam bentuk UU atau dengan ketetapan
yang bentuk lain. Selanjutnya, Pasal 11
UUD 1945 tidak cukup luas. Pemerintah
Indonesia hanya dapat membuat perjanjian dengan negara lain dan tidak boleh
membuat perjanjian internasional dengan organisasi internasional.[50]
Masalah
Pasal 11 tersebut diselesaikan dengan Surat Presiden No.2826/HK/60 Kepada Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Tentang Pembuatan Perjanjian Dengan Negara Lain. Surat Presiden itu berpendapat bahwa
`perjanjian' sebagaimana disebut dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti segala
jenis perjanjian internasional.
Melainkan, `perjanjian' itu hanya berupa perjanjian internasional
terpenting. Perjanjian internasional
terpenting adalah perjanjian berbentuk traktak
yang menyangkut persoalan seperti soal soal politik, perubahan wilayah negara,
ekonomi dan sebagaimana.[51]
Oleh
sebabnya, Surat Presiden No.2826/HK/60 menyatakan hanya perjanjian
internasional terpenting secara tersebut akan diajukan pada DPR untuk
persetujuannya. Perjanjian internasional
lain akan disahkan Presiden sendiri dan disampaikan pada DPR hanya untuk
diketahui.[52] Surat Presiden itu pula mengajukan pengertian
bahwa persetujuan DPR tidak perlu diucapkan dalam bentuk UU melainkan dapat
diucapkan dengan ketetapan yang bentuk lain.[53]
CEDAW disahkan
dengan UU No.7/1984 ketika Surat Presiden tersebut berlaku. Pasal 1 UU tersebut menyatakan Pengesahan
CEDAW. Selanjutnya, Lampiran UU tersebut
memuat isi CEDAW. UU No.7/1984 tidak menyatakan hak, kewajiban dan ketentuan
lain diucapkan dalam CEDAW berlaku secara langsung atau sesuai dengan ajaran
"incorporasi" tersebut.
Melainkan, secara sesuai dengan ajaran "transformasi", UU
tersebut menyiratkan ketentuan CEDAW tidak
berlaku kecuali sepanjang peraturan pelaksana UU tersebut akan melindungi
ketentuan CEDAW.[54]
Surat
Presiden tersebut baru diganti dengan UU No.4/1999 Tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pasal 36
Ayat (1) UU tersebut menetapkan, `Perjanjian perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak bangsa dan negara baik di
bidang politik, keamanan, sosial budaya, ekonomi maupun keuangan yang dilakukan
Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku'.[55] Pasal 36 Ayat (1) UU tersebut tidak
mengganggu pelaksanaan ajaran "transformasi". Bahkan, UU yang dikeluarkan di bawah Pasal
tersebut mengesahkan perjanjian internasional secara sama dengan UU No.7/1984.[56]
Bagaimanapun,
ada kemungkinan pelaksanaan ajaran "transformasi" memang diganggu di
bidang perjanjian international tentang HAM.
Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 baru ditambah dengan UU No.39/1999
Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 7 Ayat
(2) UU No.39/1999 menyatakan `Ketentuan hukum internasional yang telah diterima
negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum
nasional'. Maksudnya tidak jelas dan
tidak ditegaskan lebih lanjut dengan Penjelesan Atas UU No.39/1999..
Ada
kemungkinan maksud Pasal 7 Ayat (2) berupa ketentuan hukum internasional
tentang HAM menjadi hukum nasional hanya sepanjang ketentuan hukum tersebut
menguasakan peraturan pelaksana, secara sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945 dan
Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 tersebut.
Jika artinya itu, ajaran transformasi masih dilaksanakan terhadap
perjanjian internasional tentang HAM.
Namun demikian,
ada kemungkinan lain Pasal 7 Ayat (2) berarti bahwa ajaran incorporasi akan
dilaksanakan terhadap perjanjian internasional dan kebiasaan internasional
tentang HAM. Jika maksudnya itu, UDHR
dan Konvensi tentang HAM langsung berlaku di negara kita dan CEDAW memang dapat
ditegakkan oleh wanita bersangkutan. Ada
kesulitan dengan pengertian ini. Dalam
UU No.39/1999 maupun peraturan perundangan lain, jalan pembuatan hukum terhadap
ketentuan hukum internasional tersebut tidak terperinci. Pengadilan bersangkutan maupun Hukum Acaranya
tidak disebut. Jadi, meskipun
kemungkinan dikatakan UU No.39/1999, sulit disimpulkan bahwa CEDAW berlaku
secara langsung di Indonesia.
2.2 Undang-Undang Dasar 1945
Seorang
wanita bisa mendapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakui penghapusan
diskriminasi dan melindungi hak wanita secara dapat diperbaiki. Bab X sampai dengan Bab XIV UUD 1945
mengandung hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI).
UUD 1945
melindungi persamaan antara pria dan wanita secara sesuai dengan Pasal 2 butir
b yuncto Pasal 15 CEDAW. Pasal 27 Ayat
(1) UUD 1945 menyatakan `Segala warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya
di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan
itu, dengan tidak ada kecualinya'. Pasal
ini menjamin persamaan antara pria, wanita dan kaum lain di muka hukum dan di
dalam segala peraturan perundangan.[57] Secara tersirat, Pasal 27 Ayat (1) mengakui
kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, peraturan perundangan yang bersifat diskriminatif
bertentangan dengan Pasal tersebut.
Bagaimanapun,
Pasal 27 Ayat (1) juga menetapkan kewajiban WNI mengenai penjunjungan hukum dan
pemerintahan di Indonesia. Keberadaan
kewajiban didasarkan kaidah kolektifisme.
Yaitu, hak hak asasi seorang ditambah dengan kewajiban terhadap
masyarakat karena kepentingan seorang dilindungi seleras dengan kepentingan
masyarakat. Kaidah kolektifisme itu
diucapkan dalam Rancangan UUD 1945 oleh Ir. Soekarno[58] dan diakui
negara berkembang secara umum.[59]
UUD 1945
pula mengakui HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Pasal 27 Ayat (2) memberikan hak pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk segala WNI secara sesuai
dengan Pasal 11 CEDAW. Pasal 28 UUD
1945 mengakui kemerdekaan sipil dan politik secara sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 28 tersebut menyatakan
`Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluaskan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang Undang'.
Bagaimanapun,
Pasal 28 dapat disempurnakan. Pertama, Pasal 28 dikukuhkan jika
kemerdekaan tersebut menjadi hak pribadi, yaitu: hak berserikat, hak berkumpul
dan hak mengeluarkan pikiran. Kedua,
Pasal 28 pula dikukuhkan jika perlindungan kemerdekaan tersebut
diluaskan. Pasal 28 menyatakan kemerdekaan
tersebut akan `ditetapkan dengan Undang Undang'. Dengan perkataan lain, kemerdekaan tersebut
dapat dilindungi atau dilanggar dengan UU.[60] Pasal 28 diperbaiki kalau kemerdekaan tidak
boleh dilanggar atau dikurangi secara tersebut.
Dahulu,
perlindungan yang lebih luas diberikan dengan Konstitusi RIS 1950 dan UUDS
1950. Pasal 19 Konstitusi RIS 1950
yuncto Pasal 19 UUDS 1950 yang hampir sama menyatakan, `Setiap orang berhak
atas kebebasan mempunyai dan menegeluarkan pendapat'. Selanjutnya, Pasal 20 Konstitusi RIS 1950
serta Pasal 20 UUDS 1950 tersebut berbunyi, `Hak penduduk atas kebebasan
berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan Undang Undang'.
Akhirnya,
Pasal 32 Konstitusi RIS 1950 sebagaimana diubah dengan Pasal 33 UUDS 1950
menetapkan, `Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebabasan yang diterangkan dalam
bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan Undang-undang
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada
terhadap hak-hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat syarat
yang adil untuk ketentraman, kesusilaan dan sejahteraan dalam suatu masyarakat
yang demokratis'.
Pasal 29
UUD 1945 melindungi kemerdekaan agama dan juga sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 29 Ayat (2) berbunyi
`Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu'. Selain itu, Pasal 31 Ayat (1)
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran secara sesuai
dengan Pasal 10 CEDAW.
Ketentuan
UUD 1945 perlu ditambah dengan hak dan kemerdekaan yang lain. Menurut Prof. Dr. Muchsan, SH, UUD 1945 dapat
tercantum perlindungan hak administratif, hak pertisi, hak perekonomian serta
hak mendirikan organisiasi amal dan sosial secara sesuai dengan ketentuan
CEDAW.[61]
2.3 Pancasila
Seorang
wanita juga bisa mendapat pengakuan penghapusan dan perlindungan tersebut dalam
Pancasila secara kolektif, tanpa rinci dan belum disesuaikan dengan Era
Reformasi. Pancasila merupakan lima
sila: pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa; kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab; ketiga, Persatuan Indonesia;
keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan dan kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
Sila yang
paling penting terhadap perlindungan wanita secara tersebut adalah sila
"Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab".
Maksudnya, setiap manusia adalah ciptaan Tuhan yang berbudi dan
mempunyai cipta, rasa dan karsa. Untuk
melakukan dengan potensi itu, segala manusia mempunyai hak dan kewajiban
asasinya. Hak dan kewajiban tersebut
berdasarkan persamaan, yaitu tidak dibedakan menurut jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.[62]
Sila
"Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab" tidak memperinci haknya dan
kewajibannya, terutama terhadap CEDAW.
Selanjutnya, hubungan antara hak dan kewajiban dalam Pancasila tidak
jelas. Prof. Darji Darmodiharjo, SH,
berpendapat bahwa kewajiban mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak
tersebut. Oleh sebabnya, kewajiban harus
dipenuhi sebelum hak dapat dinikmatkan.[63] Pendapat ini mengandung kaidah kolektifisme
tersebut dan pula menjadi perbedaan pendapat mengenai HAM antara Indonesia dan
negara barat.[64]
Bagaimanapun
juga, isi Pancasila ketika Era Reformasi memang tidak yakin. Pancasila dirumuskan pada masa penjajahan
Angkatan Perang Jepang tahun 1945.
Pancasila dicantumkan dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta Mukadimah Konstitusi RIS 1950 dan
Mukadimah UUDS RI 1950.[65] Pada masa Orde Lama, Pancasila mempunyai
kedudukan yang penting disamping ideologi dan asas lain Presiden Soekarno.[66]
Pada masa
Orde Baru, Pancasila melalui TAP MPRS No.XX/MPR/1966 menjadi `Sumber dari
segala sumber hukum'. Sebagaimana
demikian, Pancasila menjadi Dasar Negara Republik Indonesia dan meliputi
`Pandangan hidup, kesadaran dan cita cita hukum serta cita cita moral luhur
yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari Bangsa Indonesia...'.[67] Dengan TAP MPR No. II/MPR/1978 Tentang
Pedoman Penghayatan Dan Pengalaman Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) isi
Pancasila ditegaskan secara lanjut.
Namun
demikian, TAP MPR No.II/MPR/1978 baru dicabut dengan Ketetapan MPR
No.XVIII/MPR/1998.[68] Konsiderans menimbang b TAP MPR
No.XVIII/MPR/1998 menjelaskan TAP MPR No.II/MPR/1978 `tidak sesuai dengan
perkembangan kehidupan bernegara'. Pasal
1 TAP MPR No.XVIII/MPR/1998 menegaskan Pancasila masih berfungsi sebagai `dasar
negara'. Bagaimanapun, Pancasila `harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara'.
Dengan perkataan
lain, isi Pancasila perlu diperbaharui.
Namun, TAP ini tidak mengajukan pembaharuan isi Pancasila sebagai
pengganti TAP MPR No.II/MPR/1978. Oleh
sebabnya, meskipun telah jelas Pancasila masih dasar Negara Indonesia, isinya
dalam Era Reformasi belum ditetapkan.
2.4 Perundang-undangan
Seorang
wanita dapat mencari pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi dan hak wanita
yang lengkap dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU
No.39/1999.[69] TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 mengakui dan
melindungi segala HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita secara
sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. TAP MPR
tersebut merupakan Pembukaan, Batang Tubuh dan Lampiran. Lampirannya berupa "Pandangan Dan Sikap
Bangsa Indonesia Terhadap Hak Asasi Manusia" dan "Piagam Hak Asasi
Manusia".
Pasal 1
sampai dengan Pasal 6 Piagam HAM tersebut memberikan hak hak individu terhadap
hidup, keluarga dan perkembangan diri.
Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 membentuk hak keadilan di bidang hukum. Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 menggariskan
hak kemerdekaan di bidang politik dan sosial.
Pasal 20 yuncto Pasal 21 menetapkan hak atas kebebasan informasi. Pasal 22 sampai dengan Pasal 26 memberikan
hak keamanan. Pasal 33 membentuk hak
kesejahteraan.
Setiap
Pasal tersebut menyatakan hak hak asasinya diberikan pada `setiap orang'. Selanjutnya, Pasal 38 menyatakan, `Setiap
orang berhak bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif'. Akhirnya, Pasal
39 berbunyi, `Dalam pemenuhan hak asasi manusia, laki laki dan perempuan berhak
mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama'. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 2
butir b, Pasal 7, Pasal 12 dan Pasal 15 CEDAW.
TAP
tersebut menetapkan hak asasinya akan dilindungi dan dilaksanakan lembaga
pemerintahan Indonesia. Pasal 1 Batang
Tubuh TAP tersebut `menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat'. Dengan tujuan ini, Presiden dan DPR akan
mengesahkan konvensi internasional terhadap HAM.[70] Selanjutnya, HAM akan ditetapkan dengan
Perundang-undangan.[71] Akhirnya, pertanggung-jawaban Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Kom Nas HAM) yang pada masa itu ditetapkan dengan Kep Pres
No.50/1993 akan ditambah dengan Undang Undang.
TAP
tersebut juga menyelenggarakan ruang lingkup pembatasan terhadap HAM. Pasal 36 Piagam HAM TAP itu berbunyi, `setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memnuhi tuntuan yang adil sesuai dengan
pertimbaganan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis'. Namun demikian, Pasal 44 menetapkan ada
beberapa HAM yang bersifat tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).
TAP
No.XVII/MPR/1998 mengakui kewajiban dasar manusia. Pasal 3 menegaskan HAM akan dilaksanakan,
`melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara'. Selanjutnya, hak hak asasi tersebut ditambah
dengan kewajiban. Pasal 35 yang
berlandaskan Pasal 30 UUD 1945 menetapkan `setiap orang wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara'. Kewajiban tersebut didasarkan kaidah
"kolektifisme" sebagaimana UUD 1945 beserta Pancasila.
TAP MPR
Nomor XVII/MPR/1998 baru dilaksanakan dengan UU No.39/1999. UU tersebut memperinci ketentuan TAP itu di
bidang Hak untuk Hidup,[72] Hak
Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan,[73] Hak
Mengembangkan Diri,[74] Hak Atas
Kebebasan Pribadi,[75] Hak Atas
Rasa Aman[76] dan Hak
Atas Kesejahteraan.[77]
Selanjutnya,
UU No.39/1999 mengandung hak hak asasi manusia berdasarkan ketentuan UDHR dan
ICCPR[78] di bidang
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan,[79] Hak
Memperoleh Keadilan,[80] Hak Atas
Kebebasan Pribadi,[81] Hak Atas
Rasa Aman,[82] Hak atas
Kesejahteraan[83] dan Hak
Turut Serta dalam Pemerintahan.[84]
UU
No.39/1999 juga memuat hak anak dan hak wanita berdasarkan Konvensi Tentang Hak
Hak Asasi Anak (Convention on the Rights
of the Child) beserta CEDAW.[85] Bagian Kesembilan UU tersebut menyangkut Hak
Wanita. Pasal 45 menetapakan hak wanita
mempunyai kedudukan sebagai hak asasi manusia secara sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 46 UU No.39/1999 berbunyi,
`Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan
sistem pengankatan di bidan geksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan
wanita sesuai persyaratan yang ditentukan'.
Pasal 46 tersebut sesuai dengan Pasal 7 yo. Pasal 8 CEDAW.
Pasal 47 UU
No.39/1999 melindungi hak wanita terhadap kewarganegaraan dan menyatakan
kewarganegaraan wanita tidak akan ditetapkan secara otomatis menurut
kewarganegaraan suaminya. Pasal 47 tersebut
berdasarkan Pasal 9 CEDAW. Pasal 48 UU
No.39/1999 menentukan wanita berhak pendidikan dan pengajaran di semua jenis,
jenjang dan jalur pendidikan juga sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan. Pasal 48 bersandarkan Pasal
10 CEDAW.
Pasal 49
menyatakan hak wanita di bidang pekerjaan secara sesuai dengan Pasal 11
CEDAW. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi
`wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pejerjaan, jabatan dan
profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan'. Pasal 49 Ayat (2) dan Ayat (3) mengandung
ketentuan terhadap fungsi reproduksi serta pekerjaan.
Pasal 50
yuncto Pasal 51 mengandung hak wanita dalam perkawinan berdasarkan Pasal 16
CEDAW. Pasal 50 menetapakan, `Wanita
yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum
sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya'. Pasal 51 Ayat (1) menentukan, `Seorang istri
selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya,
hubungan dengan anak-anaknya serta pengelolaan harta bersama'.
Selanjutnya,
Pasal 51 Ayat (2) menyatakan, `Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua
hal yang berkenaan dengan anak-anakynya, dengan memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak'.
Akhirnya,
Pasal 51 Ayat (3) menetapkan, `Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
UU
No.39/1999 melaksanakan ketentuan TAP No.XVII/MPR/1998 terhadap Kewajiban Dasar
Manusia.[86] Selain itu, UU No.39/1999 menetapkan hubungan
antara hak asasi dan kewajiban dasar manusia tersebut. Pasal 1 butir 2 UU No.39/1999 menyatakan,
`Kewajiban dasar manusia adalah separangkat kewajiban yang apabila tidak
dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia'.
UU
No.39/1999 melaksanakan ketentuan TAP tersebut tentang Kewajiban dan Tanggung
Jawab Pemerintah.[87] UU
tersebut pula mengandung aturan khusus tentang pembatasan dan larangan
HAM. Pasal 73 UU No.39/1999 menggariskan
pembatasan sebagaimana disebut dalam Pasal 36 TAP tersebut. Namun demikian, Pasal 73 diikuti Pasal 74 UU
yang menyatakan, `Tidak satu ketentuanpun dalam Undang Undang ini boleh
diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi,
merusak atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur
dalam Undang Undang ini'.
3. Penegakan
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Perlindungan Hak Hak Asasi Wanita
3.1 Penegakan di Lingkungan Peradilan Umum
Seorang
wanita bisa mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui hak
menguji (toetsingsrecht atau judicial review) yang dapat
diperbaiki. Di Indonesia, hak tersebut
merupakan wewenang menguji peraturan perundangan yang lebih rendah dari Undang
Undang terhadap peraturan perundangan yang berfungsi sebagai sumbernya. Hak menguji dilakukan oleh Mahkamah Agung
maupun Pengadilan Umum.
Hak menguji
tersebut tidak diberikan dengan UUD 1945.
Bab IX UUD 1945 menyangkut kekuasaan kehakiman. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
`Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan
Kehakiman menurut Undang Undang'. Pasal
24 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, `Susunan dan kekuasaan Badan Badan kehakiman itu
diatur dengan Undang Undang'.[88]
Melainkan,
hak menguji diberikan kepada Mahkamah Agung dengan UU No.14/1970 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.[89] Pasal 26 Ayat (1) UU tersebut menetapkan,
`Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan
perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang Undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi'.
Ruang
lingkup hak menguji secara ditetapkan dengan Pasal 26 Ayat (1) tersebut dapat
dipahami dengan Penjelesan UU
No.14/1970 maupun Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia. Menurut Penjelesan tersebut, Pasal 26 (1) berarti bawah Mahkamah Agung
tidak boleh antara lain menguji Undang Undang dan peraturan pelaksananya
terhadap UUD 1945. Penjelesan UU No.14/1970
menegaskan hak menguji sampai tingkat tersebut hanya dapat diberikan oleh MPR
sebagai Perubahan UUD 1945.
Selanjutnya,
Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia tersebut menyatakan bahwa setiap
peraturan perundangan berdasarkan dan bersumber pada peraturan perundangan yang
`lebih tinggi’.[90] Dalam rangka itu, Pasal 26 Ayat (1) tidak
berarti bahwa Mahkamah Agung boleh menguji sesuatu peraturan perundangan yang
lebih rendah dari Undang Undang terhadap segala peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Melainkan, Pasal 26
Ayat (1) berarti bahwa Mahkamah Agung hanya boleh menguji sesuatu peraturan
perundangan tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan berfungsi sebagai sumbernya. [91]
Jadi, hak
menguji dapat dilakukan sebagai berikut.
Pertama, Undang Undang dan
peraturan pelaksananya tidak boleh diuji terhadap UUD 1945 atau TAP MPR. Kedua,
Peraturan Pemerintah dapat diuji terhadap Undang Undang yang berfungsi sebagai
sumbernya. Namun demikian, Peraturan
Pemerintah tersebut tidak boleh diuji terhadap peraturan perundangan lain.
Ketiga, Keputusan Presiden dapat diuji
terhadap Ketentuan UUD 1945, TAP MPR tentang GBHN di bidang Eksekutif dan
Peraturan Pemerintah yang berfungsi sebagai sumbernya. Bagaimanapun, Keputusan Presiden tidak boleh
diuji terhadap peraturan perundangan lain.
Keempat, peraturan pelaksana lain seperti
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dapat diuji terhadap peraturan
perundang-undangan yang dilaksanakan atau yang berfungsi sebagai
sumbernya. Sebagimana tersebut,
peraturan Pelaksana tersebut tidak boleh diuji terhadap peraturan perundangan
lain.
Pasal 26
Ayat (1) Undang Undang No. 14 Th.1970 diikuti dengan Pasal 26 Ayat (2) yang
berbunyi, `Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan
tersebut dapat diambil berhubung pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangan yang
dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan'.
Prof. Dr.
Soehino berpendapat bahwa pencabutan itu
harus dilaksanakan oleh instansi tersebut, berdasarkan perkataan Penjelesan
UU No.14/1970.[92] Namun demikian, Samsul Wahidin, SH
berpendapat bahwa pencabutan itu tidak
harus dilaksanakan. Menurut dia,
instansi bersangkutan dapat melanggar
Putusan Mahkamah Agung terhadap peraturan perundangannya. Oleh sebabnya, Pasal 26 Ayat (2) UU
No.14/1970 perlu diubah agar pencabutan tersebut menjadi kewajiban instansi bersangkutan.[93]
Pasal 26 UU
No.14/1970 ditambah dengan Pasal 11 Ayat (4) TAP MPR Nomor III/MPR/1978 Tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan / Atau Antar
Lembaga Lembaga Tinggi Negara yang telah dilaksanakan dengan Pasal 31 UU No.14/1985 Tentang Mahkamah
Agung. TAP MPR dan UU No.14/1985
tersebut merumuskan hak menguji secara tepat sama ketentuan UU No.14/1970.
UU
No.14/1970 beserta TAP MPR Nomor III/MPR/1978 dan UU No.14/1985 ditambah lagi
dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1/1993. PERMA No.1/1993 bersumber pada Pasal 79 UU
No.14/1985 yang menyatakan Mahkamah Agung berhak mengatur hukum acara terhadap
kekuasaan kehakiman yang diberikan dengan Undang Undang itu.[94] Sesuai dengan Pasal 79 UU No.14/1985, PERMA
tersebut menetapkan hukum acara terhadap hak menguji Mahkamah Agung.
Bagaimanapun,
PERMA No.1/1993 juga mengubah hak menguji dalam lingkungan peradilan umum. Pasal 26 Ayat (2) UU No.14/1970 beserta Pasal
31 Ayat (3) UU No.14/1985 tersebut menetapkan hak menguji Mahkamah Agung hanya
dapat dilakukan pada tingkat kasasi.
Bagaimanapun, Pasal 1 Ayat (1) yuncto Pasal 2 Ayat (1) PERMA No.1/1993 menentukan
gugatan mengenai hak menguji juga dapat diajukan langsung kepada Mahkamah Agung.
Selanjutnya,
PERMA No.1/1993 menetapkan hak menguji dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri
Tingkat Pertama dalam perkara perdata dan pidana atau perkara Tata Usaha Negara
(TUN).[95] Namun demikian, Pengadilan Negeri tersebut
tidak boleh menyatakan perundang-undangan tidak sah sebagaimana Mahkamah
Agung. Melainkan, Pasal 3 Ayat (1) PERMA
No.1/1993 menetapkan Pengadilan Negeri hanya dapat menyatakan
perundang-undangan yang digugat `tidak mempunyai hukum dan tidak mengingat
pihak pihak yang berpekara'. Dengan
perubahan hak menguji tersebut, PERMA Nomor 1 Tahun 1993 mungkin bertentangan
dengan sumbernya, yakni Pasal 79 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985.[96]
Dalam
rangka hak menguji ditegaskan, penegakan perundang-undangan terhadap HAM dapat
dikukuhkan. Pada masa kini, seorang
wanita tidak boleh mencari pengujian Undang Undang dan peraturan pelaksananya
terhadap Ketentuan UUD 1945 tentang HAM atau TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
Selanjutnya,
seorang wanita hanya bisa mencari pengujian sesuatu peraturan perundangan yang
lebih rendah dari Undang Undang terhadap Ketentuan UUD 1945 tentang HAM, TAP
MPR No.XVII/MPR/1998, UU No.39/1999 kalau peraturan perundangan tersebut
bersumber pada Ketentuan UUD 1945 tentang HAM, TAP MPR No.XVII/MPR/1998, UU
No.39/1999. Seorang wanita tersebut
tidak boleh mencari pengujian peraturan perundangan lain yang tidak bersumber
pada UUD 1945, TAP MPR No.XVII/MPR/1998, UU No.39/1999 (yaitu mayoritas peraturan
perundangan di Indonesia) baik bila diskriminasi dilakukan dan haknya dilanggar
atau tidak. Oleh sebabnya, penegakan
perundang-undangan tentang HAM maupun penghapusan diskriminasi dan perlindungan
hak wanita perlu dikukuhkan dengan hak menguji
yang lebih luas.[97]
3.2 Penegakan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara
Seorang
wanita bisa mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui hak
menguji di lingkungan TUN yang juga dapat dikukuhkan. Hak menguji Pengadilan TUN (Verwaltungs Gericht) ditetapkan dengan
UU No.5/1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta peraturan pelaksananya.[98]
Urusan
dasar hak menguji Pengadilan TUN adalah Keputusan TUN (Beschikking). Pengertian
Keputusan TUN diajukan dengan Pasal 1 yuncto Pasal 2 UU No.5/1986. Pasal 1 menetapkan `Putusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi sesorang atau badan hukum perkata'.
Sekalipun,
Pasal 2 serta Penjelesan Atas UU No.5/1986 menentukan Keputusan TUN yang dapat
diuji menurut Undang Undang itu tidak
termasuk yang berikut: a. Keputusan TUN yang `merupakan perbuatan hukum
perdata', umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual beli dilakukan
antara instansi pemerintah dan perseorangan;
b.
Keputusan TUN yang `merupakan pengaturan yang bersifat umum', yaitu ketentuan
badan atau pejabat TUN yang berlaku pada setiap orang;
c.
Keputusan TUN yang `masih memerlukan persetujuan', yaitu keputusan yang untuk
dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi pemerintah lain;
d.
Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut hukum pidana;
e.
Keputusan TUN yang `dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan';
f.
Keputusan TUN mengenai tata usaha ABRI;
Ruang
lingkup hak menguji Pengadilan TUN ditetapkan dengan Pasal 53 Ayat (1) UU
No.5/1986. Pasal 53 Ayat (1) tersebut
menyatakan `Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan / batal atau tidak sah
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau direhabilitasi.'
Pasal 53
Ayat (2) UU No.5/1986 mengandung alasan alasan yang dapat digunakan dalam
gugatan tersebut. Pasal 53 Ayat (2)
huruf a menetapkan alasan alasan tersebut tercantum Keputusan TUN digugat
karena `bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku'.
Penjelesan
Atas UU No.5/ 1986 menegaskan Pasal 53 Ayat (2) huruf a berupa tiga bentuk
pelanggaran peraturan perundang-undangan.
Pertama, pelanggaran yang
bersifat prosedural / formal, umpamanya jika Keputusan TUN dikeluarkan tanpa
pelaksanaan kewajiban membela pihak bersangkutan. Kedua, pelanggaran
bersifat materiil / substansial. Ketiga, pelanggaran peraturan dasar
Keputusan TUN atau, dengan perkataan lain, Keputusan TUN dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN yang tidak berkuasa.
Secara
tersurat, Pasal 53 UU No.5/1986 membedakan hak menguji Keputusan TUN terhadap
perundang-undangan secara umum dan
hak menguji Keputusan TUN terhadap perundang-undangan yang berfungsi sebagai
sumber Keputusan TUN tersebut. Maka,
dapat disimpulkan bahwa Pengadilan TUN berhak menguji Keputusan TUN terhadap segala peraturan perundang-undangan baik
yang berfungsi sebagai sumber Keputusan TUN itu atau tidak.[100]
Namun
demikian, beberapa pertimbangan Pengadilan TUN berpendapat lain. Pertimbangan tersebut menetapkan bahwa hak
menguji Keputusan TUN hanya dapat dilaksanakan terhadap peraturan
perundang-undangan yang `lebih tinggi sebagai sumber hukum untuk mengeluarkan
keputusan'.[101]
Dalam
keadaan pelanggaran tersebut, Pengadilan TUN berhak memerintah pencabutan
Keputusan TUN.[102] Selain itu, Pengadilan TUN dapat memerintah
Pejabat atau Badan TUN bersangukutan melaksanakan ganti rugi atau rehabilitasi
sebagaiamana diatur dengan Pasal 120 yuncto Pasal 121 UU No.5/1986.
Di bidang
perundang-undangan tentang HAM yang mengakui kaidah penghapusan diskriminasi
terhadap wanita dan hak wanita, hak menguji Pengadilan TUN dapat dijelaskan
atau diperbaiki. Pada masa kini, ada
kemungkinan seorang wanita dapat mencari pengujian sesuatu Keputusan TUN
terhadap segala peraturan perundangan, tercantum Ketentuan UUD 1945 tentang
HAM, TAP MPR No. XVII/MPR/1998 beserta UU No.39/1999. Jika hak menguji Pengadilan TUN mencapai
tingkat itu, seseorang wanita tersebut memang dilindungi dari Keputusan TUN
yang melakukan diskriminasi atau melanggar haknya.
Namun
demikian, ada kemungkinan lain seorang wanita tersebut hanya boleh mencari
pengujian Keputusan TUN terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sebagai sumbernya. Jadi, seorang wanita
hanya dilindungi dari diskriminasi dan pelanggaran haknya sepanjang telah
diberikan melalui Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri dan secara dapat
dikukuhkan.
3.3 Penegakan Lembaga Legislatif
Seorang
wanita dapat mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui wewenang
pengawasan DPR. Wewenang tersebut
diberikan dengan TAP MPR No. III/MPR/1978 Tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata
Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi
Negara.
Pasal 7
Ayat (1) TAP MPR tersebut menyatakan DPR `berkewajiban senantiasa mengawasi
tindakan tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara'.[103] Sesuai dengan kewajiban itu, Pasal 7 Ayat (2)
menetapkan apabila DPR menganggap Presiden sungguh sungguh melanggar Haluan
Negara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden.
Selanjutnya,
Pasal 7 Ayat (3) menentukan apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak
memperhatikan memorandum DPR tersebut pada Ayat (2), maka DPR menyampaikan
memorandum yang kedua.
Akhirnya,
Pasal 7 Ayat (4) berbunyi apabila dalam waktu satu bulan Presiden tidak
memperhatikan memorandum yang kedua, maka DPR dapat meminta MPR mengadakan
Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungan jawab Presiden. MPR dapat menghentikan masa jabatan Presiden
jika beliau sungguh sungguh melanggar Haluan Negara.[104]
Di bidang
penegakan perundang-undangan tentang HAM, apabila Presiden melanggar TAP MPR
No.XVII/MPR/1998 tentang HAM, DPR dapat mengawasi tindakan beliau secara
tersebut.[105] Tentu saja dengan wewenangnya DPR tidak boleh
memerintah Presiden untuk menghormati HAM.
Tetapi pada hakikatnya, Memorandum DPR akan mempengaruhi Presiden. Karena apabila Presiden menolak Memorandum
tersebut, DPR dapat mohon Sidang Istimewa MPR.
MPR kemudian dapat menghentikan masa jabatan Presiden bersandarkan
pelanggaran HAM tersebut. Oleh sebabnya,
Presiden akan memperhatikan Memorandum DPR.
Bagaimanapun,
wewenang pengawasan DPR memuat masalah untuk seorang wanita yang mencari
penegakan TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
Memorandum yang disampaikan kepada Presiden maupun Permintaan Sidang
Istimewa MPR dikeluarkan dengan suara DPR yang terbanyak. Dapat disimpulkan bahwa suara DPR tersebut
hanya ditimbulkan pelanggaran HAM yang bersifat berat, luas dan secara
terus-menerus. Jadi, wewenang pengawasan
DPR tidak baik untuk pelanggaran menyangkut seorang wanita saja.
3.4 Penegakan Lembaga Eksekutif
Seorang
wanita dapat mencari penegakan perundang-undangan tentang HAM melalui lembaga
eksekutif. Lembaga tersebut adalah
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti
Kekarasan Terhadap Perempuan (KNKP).
Wewenang kedua-duanya dapat dikukuhkan.
Komnas HAM
dibentuk dengan Keputusan Presiden (KepPres) No.15/1993 yang telah diganti
dengan UU No.39/1999.[106] Komnas HAM bertujuan mengembangkan kondisi
yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Hukum Internasional.[107] Komnas HAM pula dimaksud meningkatkan
perlindungan dan penegakan HAM.[108]
Seorang
wanita yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat
mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.[109] Selain itu, seorang wanita berhak
menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM.[110] Akhirnya, seorang wanita berhak mengajukan
usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia
kepada Komnas HAM.[111]
Tetapi ada
apa yang Komnas HAM dapat melakukan terhadap pengajuan dan penyampaian
tersebut? Fungsi Komnas HAM merupakan
`fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang hak
asasi manusia'.[112] Kalau pengajuan atau penyampaian seorang
wanita menyangkut Konvensi atau peraturan perundangan, Komnas HAM dapat
mengkaji dan meneliti berbagai instrumen internasional HAM `dengan tujuan
memberikan saran saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi'.[113]
Komnas HAM
pula dapat mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan untuk `memberikan
rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan dan pencabutan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan [HAM]'.[114]
Sebagaimana
tersebut, hasil tugas Komnas HAM tersebut cuma berupa saran serta rekomendasi. Pembatasan ini didasarkan keadaan bahwa UUD
1945 menetapkan pengesahan perjanjian internasional maupun pembentukan
perundang-undangan adalah wewenang lembaga pemerintahan lain dari Komnas HAM. Bagaimanapun juga, Komnas HAM memang
dihormati dan rekomendasinya sering dilaksanakan olen lembaga pemerintahan
bersangkutan.[115]
Kalau
pengajuan seorang wanita menyangkut pelanggaran HAM yang terjadi dalam
masyarakat, Komnas HAM dapat melaksankan dengan fungsi pemantauan. Fungsi pemantauan berupa penyelidikan dan
pemeriksaan maupun buat laporan terhadap pelanggaran HAM dalam masyarakat.[116]
Dalam
penyelidikan dan pemeriksaan tersebut, Komnas HAM dapat melakukan, `pemanggilan
kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukuan untuk dimintai dan
didengar keterangannya'[117] serta
`pemanggilan saksi untuk diminta dan didengan kesaksiannya dan kepada saksi
pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan'.[118] Pemanggilan tersebut wajib dipenuhi oleh
pihak atau saksi bersangkutan.[119]
Komnas HAM
juga dapat menyelidiki dan memeriksa melalui `peninjauan di tempat kejadian dan
tempat lainnya'.[120] Dalam keadaan tertentu, Komnas HAM wajib
mendapat persetujuan dan bantuan Ketua Pengadilan Umum untuk penyelidikan dan
pemeriksaan tersebut.[121]
Setelah
penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan, Komnas HAM buat laporan.[122] Dalam laporan tersebut, pendapat Komnas HAM
tentang pelanggaran HAM dalam masyarakat juga bersifat saran atau
rekomendasi. Jadi, pendapat Komnas HAM
tidak wajib dipenuhi oleh pihak bersangkutan.
Dengan perkataan lain, pelanggaran HAM dapat berjalan secara tidak
sesuai dengan pendapat Komnas HAM.[123] Perlindungan seorang wanita memang dikukuhkan
jika pendapat HAM menjadi wajib dipenuhi.
Kalau
pengajuan seorang wanita menyangkut pelanggaran HAM yang terjadi dalam lingkungan
peradilan, Komnas HAM melalui fungsi pemantauan tersebut dapat memberikan
pendapatnya. Pasal 89 Ayat (3) butir h
UU No.39/1999 menetapkan pendapat Komnas HAM hanya boleh diucapkan `bilamana
dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah
publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan'.
Penjelesan Atas UU No.39/1999 mengajukan contoh masalah publik tersebut,
yakni `pertamajam, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup'.[124] Selain itu, pendapat Komnas HAM hanya dapat
dijatuhkan dengan persetujuan Ketua Pengadilan bersangkutan.[125] Pendapat Komnas HAM wajib diberitahukan
oleh hakim kepada para pihak bersengketa.[126]
Kalau pengajuan seorang wanita berupa sengketa
dengan sepihak lain, Komnas HAM dapat melaksanakan fungsi mediasi. Untuk fungsi itu, Komnas HAM dapat melakukan
perdamaian kedua belah pihak dan penyelesaian perkara melalui cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi dan peniliaian ahli.[127] Perdamaian atau penyelesaian sesuatu perkara
secara tersebut menjadi kesepakatan antara pihak bersangkutan yang wajib
dipenuhi dan dapat ditegakkan oleh Pengadilan Negeri.[128] Kalau dianggap perlu, Komnas HAM dapat
memberikan saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan.[129]
Komnas HAM
juga dapat menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada
Pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti.[130] Fungsi mediasi jauh lebih lanjut dari fungsi
Komnas HAM lain karena ketentuannya berupa paksaan dan wajib dipenuhi oleh
pihak bersangkutan.
KNKP baru dibentuk
dengan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan belum mulai fungsinya.[131] Di bidang hak wanita, KNKP bertujuan
`pengingkatan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi manusia perempuan' secara
diasaskan Pancasila.[132]
Seorang
wanita tidak berhak mengajukan atau menyampaikan laporan atau usulan
sebagaimana Komnas HAM. Bagaimanapun,
KNKP dapat melakukan antara lain kegiatan pengkajian dan penelitian terhadap
konvensi internasional tentang hak wanita serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku dengan tujuan `menyampaikan berbagai saran dan pertimbangan kepada
pemerintah, lembaga legislatif dan masyarakat dalam rangka penyusunan dan
penetapan peraturan dan kebijakan berkenaan dengan upaya....perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia bagi perempuan'.[133] Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, KNKP
bersifat mandiri atau independen.[134]
Secara
tersurat, kegiatan KNKP dipusatkan pada kekerasaan terhadap wanita dan hanya di
bawah itu perlindungan hak wanita. Di
bidang hak wanita, fungsi KNKP berupa pengkajian dan penelitian. Dalam fungsi
pengkajian dan penelitian tersebut, saran dan pertimbangan KNKP tidak bersifat
paksa atau tidak wajib dipenuhi. Selain
itu, KNKP masih belum mempunyai fungsi pemantauan dan mediasi sebagiamana telah
diberikan kepada Komnas HAM.. Maka,
perlindungan wanita melalui KNKP memang diperbaiki jika wewenangnya dikukuhkan
dan diluaskan sebagaimana dijelaskan terhadap Komnas HAM.
4. Masa Depan
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Perlindungan Hak Hak Asasi Wanita
dalam Hukum Negara
4.1 Rencana Aksi Nasional Hak Hak Asasi Manusia
Rencana Aksi Nasional Hak Hak Asasi Manusia (RANHAM)
menggariskan masa depan yang baik untuk penghapusan diskriminasi terhadap wanita
maupun perlindungan haknya. RANHAM
ditetapkan dengan KepPres No.129/1998 dan termaktub dalam Lampiran KepPres
tersebut.[135]
Bab I
Lampiran KepPres tersebut menyatakan wawasan HAM di Indonesia yang bersifat
kolektif. Wawasannya berupa tiga
prinsip. Sehubungan dengan kaidah
tersebut, prinsip keseimbangan berarti bahwa hak asasi manusia seorang atau
segolongan perlu diseimbangkan dengan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan
bangsa.[136] Prinsip itu selaras dengan ketentuan UUD 1945
dan Pancasila tersebut.
Bab II
yuncto Bab III Lampiran KepPres itu menetapkan metode pelaksanaan HAM di
Indonesia. Secara umum, Indonesia
berpendapat bahwa pemajuan dan perlindungan HAM merupakan proses yang panjang. Proses itu akan dilakukan secara terus
menerus dan menjadi pertanggung jawaban `pemerintah, organisasi organisasi
sosial politik dan kemasyarakatan maupun berbagai lembaga lembaga swadaya
kemasyarakatan serta semua kalangan dan lapisan masyarakat dan warga negara'.[137] Selanjutnya, dalam pelaksanaan HAM terdapat
berbagai prioritas. Prioritas tercantum jenis HAM yang bersifat
tidak bisa dikurangi (non-derogable
rights) maupun perlindungan kaum rentan, yakni wanita anak dan buruh.[138
Bab IV
Lampiran KepPres tersebut menetapakan Program atau Jadwal Kegiatan RANHAM secara
baik untuk masa depan kaum wanita di Indonesia.
Kegiatan tersebut merupakan
pengesahan atau pelaksanaan berbagai Konvensi Internasional tentang HAM maupun
penyebarluasan dan pendidikan terhadap HAM.
Di bidang
hak wanita, Optional Protocol CEDAW akan disahkan.[139] Tata cara
penyampaian laporan pada Komite CEDAW akan diperbaiki.[140]
Harmonisasi peraturan perundangan yang berlaku dengan CEDAW akan dilakukan.[141] Peraturan perundangan akan dirancang secara
sesuai dengan CEDAW.[142]
Pelaksanaan CEDAW dalam langkah-langkah administratif akan dijamin.[143] Akhirnya,
advokasi dan mobilasisi sosial akan dilakukan.[144]
RANHAM akan
sangat memperbaiki perlindungan HAM secara umum maupun perlindungan hak wanita
di Indonesia. Pelaksanaan RANHAM dijamin
dengan pembentukan Panitia Nasional Hak Asasi Manusia. Keanggotaannya merupakan para Menteri
Republik Indonesia yang bersangkutan.
Panitia tersebut bertanggunng-jawab mengawasi pelaksanaan RANHAM.[145] Ketentuan RANHAM di bidang Pengesahan
Konvensi Internasional tentang HAM sedang dilaksanakan.[146] Mudah-mudahan ketentuan lain akan
dilaksanakan secepat-cepatnya.
4.2 Pengadilan HAM
Penegakan
kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita
akan diperbaiki dengan Pengadilan HAM.
UU No.39/1999 mengandung Rencana Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pasal 104
Ayat (1) UU No.39/1999 berbunyi, `Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan
Umum'. Pasal 104 Ayat (2) UU No.39/1999
menetapkan Pengadilan itu akan dibentuk dengan Undang Undang dalam jangka waktu
paling lama empat tahun. Pasal 104 Ayat
(3) menentukan pada masa kini kasus kasus pelanggaran HAM akan diselesaikan
dalam lingkungan peradilan umum yang telah ada.
Dari
pengkajian penegakkan perundang-undangan tentang HAM tersebut, dapat
disimpulkan bahwa wewenang Pengadilan HAM perla merupakan urusan sebagai
berikut. Pertama, Pengadilan HAM berhak menguji peraturan perundangan dari
tingkat Undang Undang sampai ke bawah terhadap segala perundang-undangan lain
baik yang berfungsi sebagai sumbernya atau tidak. Kedua, Pengadilan HAM dapat memecahkan
sengketa yang menyangkut HAM antara orang dan / atau badan hukum perdata secara
paksaan atau dengan ketentuan yang wajib dipenuhi.
4.3 Kebijakan Parpol dan ABRI Sebagai Lembaga
Dasar Pemerintahan di Indonesia Tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Wanita dan Perlindungan Hak Wanita
Ada
perbedaan antara kebijakan berbagai Parpol tentang soal soal di bidang
penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan haknya. Semua Parpol berpendapat bahwa Konvensi HAM
perlu disahkan maupun dilaksanakan.
Bagaimanapun, ada perbedaan hemat Parpol terhadap keperluan mengubah UUD
1945 dan UU No.39/1999. Selain itu, ada
perbedaan pemahaman Parpol tentang kebutuhan melindungi hak wanita secara
terpisah dari hak asasi manusia.
Akhirnya, ada perbedaan kebijakan Parpol tentang ruang lingkup wewenang
menguji Mahkamah Agung dan / atau Pengadilan HAM.
Partai
PDI-P mempunyai kebijakan yang menyambut soal soal tersebut. Drs. Ellya Totok Sujiyanto ialah Anggota
Fraksi PDI-P dan Wakil Ketua Panitia Urusan Ruman Tangga (PURT) DPRD Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Menurut Pak Sujiyanto, PDI-P sangat baik sama Konvensi tentang HAM.
PDI-P mau
semua Konvensi tentang HAM disahkan dan dilaksanakan secara lengkap. Namun demikian, PDI-P tidak mau mengubah UUD
1945. Melainkan, Pembukaan UUD 1945 dan
ketentuannya hanya perlu dilaksanakan.
Dalam rangka perundang-undangan tersebut, diskriminasi terhadap wanita
perlu dihapuskan dan haknya perlu dilindungi secara lengkap.
PDI-P
memang ingin memberikan hak menguji yang lengkap kepada Mahkamah Agung serta
Pengadilan HAM. Hak menguji tersebut
perlu merupakan wewenang memeriksa peraturan perundangan pada semua tingkat dan
hak mencabut peraturan perundangan yang bertentangan dengan HAM. PDI-P tidak mempunyai keberatan bahwa
kekuasaan kehakiman sampai tingkat tersebut tidak sesuai dengan demokrasi. Melainkan, PDI-P merasa demokrasi berarti
bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak boleh dilaksanakan secara tidak
sesuai dengan HAM dan Mahkamah Agung dianggap perlu menjaga ciri demokrasi
tersebut.[147]
Partai
Golkar juga mempunyai kebijakan yang menyambut soal soal tersebut. Drs. John S. Keban ialah Ketua Komisi
Pemilihan Umum (Pemilu) Partai Golkar, DIY.
Menurut Pak John, Golkar merasa semua Konvensi tentang HAM perlu
disahkan dan dilaksanakan. Kalau
terdapat Konvensi yang tidak sesuai dengan kesadaran masyarakat Indonesia,
kesadaran tersebut perlu diubah. Pak
John menganggap itu aspek kemanusiaan abad ke-21.
Selain itu,
Partai Golkar menyadari UUD 1945 sedang direvisi dan dianggap perlu
diubah. Pusat perhatian revisi tersebut
adalah ketentuan UUD 1945 tentang HAM.
Golkar menyambut revisi tersebut.
Namun demikian, Golkar merasa perubahan UUD 1945 perlu ditambah dengan
pelaksanaannya. Dengan perkataan lain,
mungkin realisasi UUD 1945 perlu menjadi pusat perhatian orang
bersangkutan.
Dalam
rangka perundang-undangan tersebut, Partai Golkar menganggap hak wanita perlu
dilindungi. Pak John mengatakan bahwa
perlindungan tersebut melanggar budaya tradisional. Budaya tradisional perlu disesuaikan dengan
persamaan antara pria dan wanita. Namun,
perubahaan budaya tradisional berupa proses yang panjang.
Sebagaimana
kebijakan PDI-P tersebut, Partai Golkar mau memberikan hak menguji yang luas
kepada Mahakamah Agung dan Pengadilan HAM.
Pak John merasa badan peradilan tersebut harus berhati-hati dengan
wewenangnya dan tidak boleh bertentangan kekuasaan legislatif atau eksekutif.[148]
Kebijakan
PPP tidak lain dari Kebijakan PDI-P dan Golkar tersebut. Ketua Fraksi Persatiuan DPRD Propinsi DIY
ialah H. Abdurrachman, SH. Pak
Abdurrachan juga Ketua H. Abdurrachman, SH dan Rekan, Advokat / Penasehat
Hukum Sebagai wakil PPP, Pak
Abdurrachman berpendapat bahwa semua Konvensi yang berhubungan dengan HAM
seharusnya disahkan menjadi suatu Undang Undang.
Bagaimanapun,
UUD 1945 tidak perlu diubah. Melainkan,
UUD 1945 dan UU No.39/1999 `sudah memadai terutama UUD 1945 sehingga perubahan
tentang perlindungan HAM pada UU No.39/1999’.[149] Dalam rangka perundang-undangan tersebut, hak
wanita `masih jauh dari yang diinginkan oleh hukum sehingga perlindungan hak
hak wanita tersebut menjadi prioritas untuk dibuat dan diperbaiki’.[150]
PPP mau
memberikan hak menguji kepada Mahkamah Agung dan / atau Pengadilan HAM yang
berupa wewenang menguji segala peraturan perundangan terhadap dan hak
memberikan rekomendasi hasil pengujiannya, `sehingga dapat dicabut serta
diperbaiki dengan aturan yang lebih baik’.[151]
Kebijakan
PKB memuat perbedaan dari kebijakan Parpol lain. Para Anggota Fraksi PKB DPRD Propinsi DIY
menyambut baik atas terbitnya Konvensi HAM.
PKB menganggap Konvensi HAM perlu dikonseptualisasikan dan
diaktualisasikan sebaiknya.
Terhadap
UUD 1945, PKB secara jujur mengakui UUD 1945 belum sepenuhnya tentang HAM dan
ketentuannya `perlu secara spesifik digambarkan lebih lanjut’.[152] Perubahan tersebut perlu termasuk,
`konkritisasi atas pemberlakuan hukuman bagi pelanggaran yang terjadi dengan
masa hukuman yang sepadan dengan perbutannya dan dikenakan bagi siapapun
pelanggarnya’.[153] Bagaimanapun, dalam rangka perubahan
tersebut, PKB menegaskan perlu diingat bahwa UUD 1945 telah mengakui HAM
terutama hak setiap bangsa untuk terlepas dari penjajahan dan mencapai
kemerdekaan.
Selanjutnya,
PKB menegaskan bahwa UUD 1945 pada hakekatnya tidak perlu diubah. Melainkan, UUD 1945 merupakan, `aturan aturan
prinsipil moralitas secara global dan makro sehingga dikatakan sebagai landasan
dari segala peraturan hukum’.[154] Aturan tersebut sudah memuat prinsi prinsip
keadilan dan memang perlu tidak bertele-tele.
Akhirnya,
PKB mengakui kebutuhan bahwa UUD 1945 disesuaikan dengan aspirasi
masyarakat. PKB ingin mengatasi
kemungkinan bahwa ketentuan UUD 1945 akan tercipta perbedaan pandangan dan
jarak yang sangat jauh antara pemerintah dan rakyat.
PKB
menyambut ketentuan UU No.39/1999. Namun
demikian, PKB mempunyai keberatan UU No.39/1999 hanya didasarkan kalangan
pemerintah dan dilakukan tanpa dialog dan diskusi interaktif dengan
masyarakat. Jadi, dalam UU No.39/1999
terdapat `beberapa pasal [yang] perlu ada perbaikan dan lebih menampung
aspirasi dan relevan terhadap perkembangan kebutuhan terkini yang pada tingkat
implementasinya tidak berkesan hanya akan menjadi pemuas tangan besi
pemerintah’.[155]
Dalam
rangka perundang-undangan tersebut, PKB merasa `perlindungan hak terhadap
perempuan pada prinsipnya sama dengan perlindungan terhadap setiap manusia jadi
tidak perlu ada perbeaan antara laki dan perempuan’. Bahkan, PKB `sangat tidak sepaham apabila ada
pembedaan tersebut apalagi dalam pemberlakuan hukum positif yang merupakan hak
bagi stiap manusia’.Namun demikian, PKB ada pemahaman bahwa
pemberlakuan hukum antara laki dan perempuan berbeda apalagi pada tingkat
pembelaan dari diskriminasi dan penyelesaiannya.
PKB
berpendapat bahwa hak menguji tidak perlu diberikan kepada Mahkamah Agung atau
Pengadilan HAM. Kalau peraturan
perundangan didasarkan kesepahaman bersama antara penguasa dan rakyat memang tidak
perlu diuji. Kesepahaman tersebut
dijamin jika setiap rencana pembuatan aturan, `seharusnya pada tataran
konseptual sudah mengalami tahap penyarinan terhadap kebutuhan, kemauan atau
aspiratif dari keinganan masyarakat (rakyat) dan sesuai dengan tuntutan zaman
serta asas kepatutan dan keadilan’.[159]
Kebijakan
ABRI hampir sama kebijakan PKB tersebut.
Drs. H. M. Fakkih ialah Wakil Ketua Fraksi TNI / POLRI di DPRD Propinsi
DI. Sebagai Wakil ABRI, Drs. Fakkih
mengatakan ABRI mau Konvensi HAM yang telah disahkan Indonesia `dilaksanakan sebagai bagian hukum
positif’.[160] ABRI juga mau Konvensi lain diupayakan
disahkan juga di Indonesia `sepanjang bersifat universal’.[161]
Menurut
hemat ABRI, UUD 1945 beserta UU No.39/1999 sudah cukup memuat aturan tentang
HAM. Jadi, UUD 1945 tidak perlu dirubah
dalam rangka meningkatkan perlindungan HAM.
Melainkan, `yang diperlukan adalah aturan pelaksanaan dan UU yang lebih
merinci tentang perlindungan HAM’.[162]
DAFTAR PUSTAKA
H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Amrullah Ahmad (ed.), Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.
Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Gratindo Persada, Jakarta, 1998.
J N D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994.
Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa Bangsa, Djambatan, Jakarta, 1989.
Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Drs. Saafroedin Bahar, Hak Asasi Manusia: Analisis Komnas HAM Dan Jajaran HANKAM / ABRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
H. Ahmad Azhar Basyir MA, Hukum Waris Islam, Bagian Penerbitan Fakulas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998.
Drs. Cik Hasran Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998.
Drs. Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997.
A. Rachmad Budiono, SH, MH, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
0 komentar:
Posting Komentar