Sabtu, 08 Juni 2013

BAB IV
ANALISIS HUKUM TENTANG YURISDIKSI TUNTUTAN JAKSA ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA, UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

A. Yurisdiksi Tuntutan Atas Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Internet Berdasarkan Hukum Acara Pidana
Tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional dalam penuntutannya dapat menggunakan beberapa asas seperti asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional. Perbedaan kedua asas di atas terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. 

Pada Bab XV KUHAP mengenai penuntutan, Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili, termasuk pada kasus pencucian uang. Penuntut umum menentukan kelengkapan suatu perkara hasil penyidikan untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP. Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penelitian berkas perkara difokuskan terhadap kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, yaitu :
  1. Kelengkapan formil, yakni kelengkapan administrasi teknis justisial yang terdapat pada setiap berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus dipenuhi oleh ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75 KUHAP, termasuk semua ketentuan kebijaksanaan yang telah disepakati oleh instansi penegak hukum dan yang telah melembaga dalam praktek penegakan hukum;
  2. Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kelengkapan materiil ialah perbuatan materiil yang dilakukan tersangka antara lain:
  • Fakta-fakta yang dilakukan tersangka, dalam hal ini terjadinya suatu tindak pidana lain yang menghasilkan sejumlah uang.
  • Unsur tindak pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan.
  • Cara tindak pidana dilakukan, baik pada tindak pidana sebelumnya maupun pencucian uangnya, misalnya melalui transfer ke suatu bank baik di dalam maupun di luar negeri.
  • Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.(Tempus Delictie dan Locus Delictie)
Selanjutnya menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum maka penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan melalui surat ketetapan yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) a KUHAP.

Pada penuntutan, dikenal 2 asas yaitu :

  1. Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas equality before the Law.
  2. Asas Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana denga jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya untuk kepentingan umum.

B. Tindakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Melalui Internet Sebagai Kejahatan Transnasional Dihubungkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang dan atas hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Tindak pidana pencucian uang merupakan suatu perbuatan pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, dalam hal ini pencucian uang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Agar suatu perbuatan yang dianggap pencucian uang dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, baik unsur subjektif maupun unsur objektifnya. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sementara itu, unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan. 
Berdasarkan Pasal 1 angka (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UUTPPU), menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah. Melihat rumusan di atas, unsur subjektif tindak pidana pencucian uang adalah “patut menduga” serta adanya “maksud” menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah, sedangkan unsur objeketifnya adalah menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan tersebut.
Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada tingkat internasional, ada suatu konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga UN Drug Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang (money laundering). Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini dilakukan melalui pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan suatu tindak pidana. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.

Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang ini diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial Inteligent Unit/FIU). PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian khusus dalam memberantas tindak pidana pencucian uang. Kewenangan PPATK, antara lain meminta dan menerima laporan dari penyedia jasa keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan atas tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. 

Dalam rangka mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, PPATK berwenang menerima laporan, berupa:

  1. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (Pasal 1 angka 6 dan 7 serta Pasal 13 UU TPPU);
  2. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (Pasal 1 angka 8 dan Pasal 13UU TPPU);
  3. Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (Pasal 16 UU TPPU).
Proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama serta membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya. Berdasarkan Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga dapat menerima informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang, atau informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.

Pasal 8 UU TPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU TPPU, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). 

Selain itu dalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan; penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

Proses penanganan tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional tidak terlepas dari peranan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan Masyarakat antara lain memberikan informasi awal. Laporan dan informasi tersebut adalah :

1. Laporan dari PJK sesuai Pasal 13 UU TPPU, tentang kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK berupa Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) dan Laporan Tranksaksi Keuangan Tunai (LTKT) atau Cash Transaction Report (CTR) kepada PPATK. Laporan-laporan tersebut diterima oleh Direktorat Kepatuhan, untuk selanjutnya diteruskan ke Direktorat Analisis setelah melalui pengecekan kelengkapan laporan tersebut. Sesuai Pasal 1 angka 7 UU TPPU, LTKM adalah transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Apabila PJK mengetahui salah satu dari 3 (tiga) unsur transaksi keuangan mencurigakan, telah cukup bagi PJK untuk menyampaikannya kepada PPATK sebagai LTKM. LTKM ini sifatnya lebih pada informasi transaksi keuangan dan belum memiliki kualitas sebagai indikasi terjadainya tindak pidana. PJK tidak memiliki kapasitas untuk menilai suatu transaksi memiliki indikasi pidana. Oleh karena itu PPATK berkewajiban untuk melakukan analisis LTKM ini untuk mengidentifikasi ada tidaknya indikasi pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Untuk melakukan analisis ini, salah satu data pendukungnya adalah LTKT dari PJK. Pada penanganan perkara tindak pidana pencucian uang melalui internet, peran PJK sangat membantu, baik di dalam memberikan keterangan mengenai nasabah maupun simpanannya, dan membantu PPATK serta instansi penegak hukum untuk mentrasfer aliran dana dari pihak yang dimintakan oleh PPATK dan instansi penegak hukum. Laporan dari masyarakat mengenai adanya indikasi tindak pidana yang diterima PPATK dapat dilakukan melalui surat secara tertulis dan melalui media internet (www.ppatk.go.id , icon : contuct-us@ppatk.go.id).

2. Informasi dari aparat penegak hukum dalam penanganan suatu perkara pencucian uang oleh penyidik, seringkali harta kekayaan hasil tindak pidana terindikasi oleh pelakunya disembunyikan atau disamarkan melalui berbagai perbuatan khususnya melalui institusi keuangan seperti : penempatan pada bank dalam bentuk deposito, giro atau tabungan serta pentransferan ke bank lainnya; pembelian polis asuransi; pembelian surat berharga pasar uang dan pasar modal; atau perbuatan lain seperti membelanjakan, menukarkan atau dibawa ke luar negeri. 

3. Menurut Pasal 26 UU TPPU, tugas PPATK antara lain: mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi laporan dan informasi-informasi di atas. Di samping itu, PPATK dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada Kepolisian untuk kepentingan penyidikan dan Kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai kegiatan analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Dalam melakukan analisis, PPATK mengumpulkan informasi dari berbagai pihak baik dari FIU negara lain maupun dari instansi dalam negeri yang telah atau belum menandatangani MoU dengan PPATK agar hasil analisis tersebut memeiliki nilai tambah untuk kemudahan proses penegakan hukum. Pasal 27 UUTPPU memberikan kewenangan kepada PPATK antara lain: meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. 

Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya, antara lain :
  1. Asas legalitas, 
  2. Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, 
  3. Asas culpabilitas, 
  4. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), 
  5. Asas ne/no bis in idem, 
Asas-asas yang diuraikan di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional. Pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang asas legalitas di atas, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum internasional. 

Berbicara mengenai kejahatan transnasional, tentu berkaitan pula dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Pada kasus pencucian uang sebagai kejahatan transnasional diperlukan adanya kerja sama antarnegara untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang timbul baik di Negara Peminta maupun Negara Diminta. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat mengenai kerja sama antarnegara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana diperlukan perangkat hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian dan melaksanakan permintaan bantuan kerja sama dari negara asing. Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang yang mengatur beberapa asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan bantuan, serta proses hukum acaranya. Asas atau prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam Undang-Undang di atas didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antar negara yang dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada perjanjian, maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Undang-Undang ini tidak memberikan wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang, pengalihan narapidana, atau pengalihan perkara.

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 termaksud mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan, bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.

0 komentar:

Posting Komentar