KONSEP HAK ASASI MANUSIA
UNIVERSAL DAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA PARTIKULAR
A. Hubungan Hukum Nasional dan Hukum
Internasional
“Mengenai
hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional terdapat berbagai
bentuk pelaksanaan sesuai dengan hukum positip
di berbagai Negara. Berdasarkan teori transformasi dari kaum
positivist-dualist, hukum internasional baru menjadi bagian dari hukum nasional
apabila telah diundang-undangkan dengan undang-undang nasional, sedangkan
berdasarkan teori inkorporasi, hukum internasional langsung menjadi bagian dari
hukum nasional tanpa harus melalui undang-undang. Di Inggris ( termasuk
Negara-Negara persemakmuran) dan Amerika meski ada sedikit perbedaan, hukum
kebiasaan internasional dipandang sebagai bagian dari hukum nasional (
internasional law is the law of the land).Doktrin ini dikenal dengan nama
doktrin inkorporasi ( incorporation doctrine) sedangkan hukum internasional
yang bersumber dari perjanjian internasional memerlukan transformasi dengan
undang-undang ( persetujuan parlemen) untuk menjadi bagian dari hukum nasional.
Undang-Undang
Dasar 1945 tidak mengatur apakah menganut paham
transformasi atau inkorporasi. Mochtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa hal
ini tidak berarti bahwa Indonesia tidak mengakui supremasi hukum internasional
atas hukum nasional, apalagi menarik kesimpulan bahwa Indonesia menganut
pendirian bahwa hukum nasional mengatasi hukum
internasional. Menurut beliau menarik kesimpulan demikian berarti
menentang menentang masyarakat internasional yang didasarkan atas hukum, dan
sebagai Negara yang masih muda kiranya pendirian yang demikian bukanlah
pendirian yang bijaksana. Namun demikian, meskipun pada prinsipnya Indonesia
mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa Indonesia dengan
begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional tanpa mengkaji
kaidah-kaidah hukum internasional yang tidak jelas atau mungkin sudah berubah
sebagai refleksi dari masyarakat internasional yang sedang berubah dengan
cepat.
Dalam
masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional tersebut menurut
Mochtar Kusumaatmaja apabila menghendaki adanya masyarakat internasional yang
aman dan sejahtera maka mau tidak mau kita harus mengakui adanya hukum
internasional yang mengatur masyarakat internasional. Konsekuensinya pada
analisis terakhir hukum nasional harus tunduk pada hukum internasional.”[1]
“Saefullah Wiradipradja berpendapat bahwa dalam masalah
hubungan antara perjanjian internasional/hukum internasional dengan hukum
nasional, dalam praktek, Indonesia menganut paham baik inkorporasi maupun
transformasi, tidak menganut salah satu diantaranya secara mutlak. Inkorporasi
berlaku bagi perjanjian perjanjian internasional yang hanya mengikat Negara
atau badan Negara, sedangkan transformasi berlaku bagi perjanjian-perjanjian
internasional yang mengikat langsung warganegara secara individual dan badan
hukum/badan usaha. Sedang apakah ketentuan internasional atau nasional lebih
diutamakan, berdasarkan pada praktek selama ini, kelihatannya Indonesia
cenderung menganut supremasi hukum internasional, artinya Indonesia selalu
menyesuaikan peraturan perundang-undangannya ( dalam hal transformasi) terhadap
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum internasional, khususnya perjanjian internasional.[2]
Meskipun
Mochtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa Indonesia tidak menganut teori
transformasi, tapi langsung terikat terikat dalam kewajiban melaksanakan dan
mentaati ketentuan-ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa
perlu mengadakan lagi undang-undang pelaksanaan,”[3]namun
beliau pun mengakui bahwa dalam beberapa hal pengundangan dalam undang-undang
nasional adalah mutlak diperlukan yakni
antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang-undang nasional
yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai perorangan.[4]
Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian
internasional dalam Undang-Undang Dasar
1945 amandemen yaitu :
Pasal 5
(1) Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya,
Pasal 11
(1) Presiden
dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyetakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2) Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perewakilan Rakyat.
(3) Ketentuan
lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Pasal 20
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membuat undang-undang.
(2) Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika
rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.
(4) Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang
(5) Dalam
hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut ttidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga
puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dengan melihat apa yang disampaikan di atas maka
keberadaannya Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional memberikan dasar-dasar yang kuat dalam membuat dan mengesahkan perjanjian internasional, dan
menempatkan dalam posisi bagaimana hubungan antara Indonesia dengan hukum
internasional dalam hal Indonesia meratifikasi atau tidak meratifikasi suatu
perjanjian internasional, seperti bagaimana hubungan antara Indonesia dengan
International Covenant and Civil and Political Rights dikarenakan Indonesia sebagai pihak yang telah meratifikasi
International Covenant and Civil and Political Rights. Demikian juga bagaimana
melihat hubungan antara Indonesia dengan Statuta Roma dikarenakan Indonesia
tidak meratifikasi Statuta Roma, dalam hal ini pentingnya pemahaman hubungan
antara hukum nasional dan hukum internasional.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional dikenal Teori Monisme, yaitu teori yang menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan
dua aspek dari satu sistem hukum.[5]
Dalam hal ini berarti bahwa hukum internasional dan hukum
nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum dimana hukum yang satu mendasari
hukum yang lain, dalam hal penelitian mengenai Konsep Hak Asasi Manusia dan Implementasinya dalam Sistem
Hukum Nasional Indonesia dimana substansi hak
asasi manusia yang menjadi kerangka ilmunya, peneliti menggunakan Teori
Monisme dengan Primat Hukum Internasional dan Monisme dengan Primat Hukum
Nasional yang berarti dalam kajian
hak asasi manusia apabila menggunakan
teori monisme dengan primat hukum nasional maka
hukum nasional yang mendasari hukum internasional dalam hak asasi
manusia, dan apabila menggunakan monisme dengan primat hukum internasional maka hukum internasional yang mendasari pengaturan
hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Dengan demikian terdapat
keterkaitan antara hukum nasional dan
hukum internasional dalam hak asasi manusia.
“Paham
monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur
hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum intenasional dan hukum nasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan
yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme
ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan
hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional inilah
yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang bebeda dalam aliran monisme
mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional
dan hukum internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan
hukum internasional ini yang utama ialah hukum nasional.
Paham
ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional.Paham yang lain
berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional yang utama ialah hukum
internasional.Pandangan ini disebut paham monisme dengan primat hukum internasional. Menurut teori monisme
kedua-duanya mungkin.
Dalam
pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum intenasional itu tidak
lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari hukum
internasional untuk urusan luar negeri. Pandangan yang melihat kesatuan
antara hukum nasional dan hukum
internasional dengan primat hukum nasional ini pada hakekatnya menganggap bahwa hukum
internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini
ialah : (1) bahwa tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara di dunia ini;(2) dasar hukum internasional yang
mengatur hubungan intenasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan
perjanjian intenasional, jadi wewenang konstitusional.”[6]
Aliran
dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara , maka hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari
yang lainnya.
Alasan
yang diajukan oleh penganut aliran
dualisme bagi pandangan tersebut diatas
didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Diantara alasan-alasan yang
terpenting dikemukakan hal sebagai
berikut : (1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum
intenasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan
negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat
negara; (2) kedua perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum
dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum
perdata maupun hukum publik, sedangkan subyek hukum dari hukum internasional
adalah negara ; (3) sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum
internasional menampakan pula perbedaan
dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan
untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti mahkamah dan organ
eksekutif hanya ada dalam bentuk yang
sempurna dalam lingkungan hukum
nasional. Alasan lain yang
dikemukakan sebagai argumentasi
yang didasarkan atas kenyataan bahwa
daya laku atau keabsahan kaidah hukum
nasional tidak terpengaruh oleh
kenyataan bahwa kaidah hukum nasional
itu bertentangan dengan hukum
internasional. Dengan perkataan lain
dalam kenyataan ketentuan hukum
nasional tetap berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan ketentuan
hukum internasional.[7]
Apabila konstitusi mengatur konsep hak asasi manusia
dalam konstitusinya dengan demikian konsep
hak asasi manusia tersebut harus diikuti oleh peraturan yang ada dibawahnya. Abdul Hakim Garuda Nusantara
dalam hubungan antara hak asasi manusia dengan hukum internasional dan hukum
nasional berpendapat sebagai berikut:[8]
“Kalau kita
cermati, pertimbangan butir b dari dua kovenan yang baru saja diratifikasi, di
sana ditemukan suatu pernyataan bahwa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan
piagam PBB serta deklarasi universal HAM. Perlu digarisbawahi pertimbangan
butir b ini, karena menegaskan bahwa dengan diratifikasikannya kovenan
internasional yang penting itu, maka, Indonesia masuk dalam bagian dari sistem
hukum internasional HAM.
Selanjutnya, Pasal 2 dari kedua UU itu menyatakan, UU ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Oleh karena itu, dengan disahkannya
kedua konvensi internasional menjadi UU, maka dengan ini di Indonesia berlaku
selain UU no. 39/1999 tentang HAM, juga KIHESB (Kovenan Internasional Hak-hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan KIHSP (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik), yang sama-sama merupakan UU yang bersifat induk atau lintas sektoral.
Jadi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merupakan Internasional Bill of Rights yang bersifat induk atau lintas sektoral. Selain itu, kovenan itu juga dipayungi oleh pasal-pasal HAM yang termuat di dalam UUD 1945.
Lalu bagaimana hubungan di antara kovenan itu dengan konstitusi?
Dalam teori hukum internasional, kita mengenal beberapa teori; pertama, teori tentang dualisme. Teori tentang dualisme menegaskan bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum nasional berlaku dalam satu negara dan mengatur hubungan antar warga negara dan warga negara dengan pemerintah.
Kedua, teori monisme. Teori ini berasal dari pemikiran Hans Kelsen yang menegaskan supremasi hukum internasional atas hukum nasional. Hukum internasional itu dilihat sebagai the best of available moderator of human affairs dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negara-negara, dan karenanya, dia menjadi lebih utama dari hukum nasional.”[9]
Dengan kata lain, hukum nasional itu bisa dikesampingkan
bila bertentangan dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan
dengan sistem hukum internasional. Walaupun teori ini sebenarnya dibangun dari
suatu konstruksi spekulasi intelektual, tetapi teori itu exist di dalam
literatur-literatur hukum internasional.
”Ketiga, teori koordinasi, yang menyatakan bahwa
dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional
itu tidak berada dalam situasi konflik, karena dua sistem itu bekerja dalam
lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya
sendiri, tetapi memang dapat terjadi conflict of obligation (konflik
kewajiban).
Argumen dalam perspektif teori ini, bahwa ketidakmampuan negara untuk
bertindak sesuai dengan kewajiban internasionalnya, karena dengan kita
meratifikasi melalui UU dua kovenan internasional itu negara mempunyai
kewajiban internasional tidak mengakibatkan tidak sahnya hukum internal/hukum
nasional”[10].
Jadi, kalau suatu negara gagal memenuhi kewajiban internasionalnya, menurut
teori ini tidak berarti hukum internalnya itu gugur. Suatu doktrin dan
pendirian yang bersifat universal, bahwa negara tidak bisa membela diri, ketika
negara dituduh melanggar kewajiban internalnya. Negara tidak bisa membela diri
karena hukum internalnya itu menghalangi kemampuannya untuk menjalankan
kewajiban internasionalnya. Pembelaan seperti itu menurut pandangan yang
berlaku universal tidak dibenarkan.
Dalam hubungannya dengan hubungan hak asasi manusia dalam hukum nasional
dan hukum internasional dalam hukum nasional Indonesia terdapat beberapa
ketentuan yang dapat menunjukan keterkaitan
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, khususnya yang
berkaitan dengan penghormatan terhadap
hak asasi manusia universal yang terdapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Secara tersurat pengakuan terhadap konsepsi hak asasi manusia yang universal
dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi
Nasional Hak asasi manusia, dalam bagian
menimbang butir b dikatakan:
“Bahwa bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa, menghormati Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi
Universal Hak asasi manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa.”[11]
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia semakin menegaskan bahwa dalam hak asasi manusia terdapat hubungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional khususnya dalam kaitannya
dengan pengakuaan dan penghormatan terhadap universalitas hak asasi manusia sebagaimana yang diatur
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dimana dalam bagian konsiderans
butir C dengan jelas menunjukkan
pengakuan bangsa Indonesia terhadap
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
adanya butir C, yang berbunyi sebagai berikut :
“bahwa bangsa
Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak -hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi
Universal Hak -hak asasi manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen internasional lainnya
mengenai hak -hak asasi manusia.”[12]
Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR
pada butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan
bangsa Indonesia terhadap
universalitas HAM yang didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights:
“Bangsa Indonesia
sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk
menghormati Deklarasi Universal Hak
asasi manusia (Universal
Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional
lainnya mengenai hak asasi manusia.”[13]
Pada Piagam Hak
asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari TAP MPR NO XVII pada Pembukaan alinea keempat dikatakan :
“Bahwa Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah
mengeluarkan Deklarasi Universal Hak
asasi manusia (Universal
Declaration of Human Rights). Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati
ketentuan dalam deklarasi tersebut.”[14]
Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia, pada bagian menimbang pada
butir d dikatakan:
“bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban
tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak asasi manusia yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument internasional lain yang
telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”[15]
Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26
Tahun 2000 mengenai Pengadilan hak
asasi manusia pada Bagian
I Umum
alinea 4 dikatakan :
“Untuk melaksanakan
amanat ketetapan MPR RI No
XVII/MPR/ 1998 tentang Hak asasi manusia
tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia. Pembentukan Undang-Undang
tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan undang-undang tentang Hak asasi manusia juga mengandung suatu misi
mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal Hak asasi manusia yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat
dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur hak asasi manusia yang telah disahkan dan atau
diterima oleh negara Republik Indonesia”[16]
Apa yang dikemukakan di atas mengenai bagaimana sistem
hukum Indonesia mengakui Universal
Declaration of Human Rights menunjukkan pengakuan negara Republik Indonesia
terhadap Hak asasi manusia yang
Universal, terlebih lagi dengan pengaturan Hak
asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang juga menunjukkan
pengakuan Hak asasi manusia yang
universal.
Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa,
telah membatasi kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan
bahasa yang indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai
yang berlaku pada bangsa tersebut.[17]
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul
akibat dari adanya pelanggaran terhadap
hukum internasional, walaupun hukum nasional mengganggap suatu perbuatan bukan
merupakan pelanggaran hukum, namun apabila hukum internasional menentukan
sebaliknya maka negara harus tetap bertanggungjawab.[18]
Dalam hal tanggungjawab
terhadap norma hukum hak asasi manusia Internasional negara pelaku tidak dapat lagi berlindung di balik kedaulatannya untuk
menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana dikatakan
Hector Gros Espiel, “The question of
Human Rights is no longer the preserve of the domestic jurisdiction of states, but is now recognized as being
governed by internal law and by
international law, against which special
internal law cannot be invoked.”
0 komentar:
Posting Komentar