Minggu, 02 Juni 2013

KONSEP HAK ASASI MANUSIA UNIVERSAL DAN KONSEP HAK ASASI MANUSIA PARTIKULAR

A.    Hubungan Hukum Nasional dan Hukum Internasional
“Mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional terdapat berbagai bentuk pelaksanaan sesuai dengan hukum positip  di berbagai Negara. Berdasarkan teori transformasi dari kaum positivist-dualist, hukum internasional baru menjadi bagian dari hukum nasional apabila telah diundang-undangkan dengan undang-undang nasional, sedangkan berdasarkan teori inkorporasi, hukum internasional langsung menjadi bagian dari hukum nasional tanpa harus melalui undang-undang. Di Inggris ( termasuk Negara-Negara persemakmuran) dan Amerika meski ada sedikit perbedaan, hukum kebiasaan internasional dipandang sebagai bagian dari hukum nasional ( internasional law is the law of the land).Doktrin ini dikenal dengan nama doktrin inkorporasi ( incorporation doctrine) sedangkan hukum internasional yang bersumber dari perjanjian internasional memerlukan transformasi dengan undang-undang ( persetujuan parlemen) untuk menjadi bagian dari hukum nasional.
Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur apakah menganut paham  transformasi atau inkorporasi. Mochtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa hal ini tidak berarti bahwa Indonesia tidak mengakui supremasi hukum internasional atas hukum nasional, apalagi menarik kesimpulan bahwa Indonesia menganut pendirian bahwa hukum nasional mengatasi hukum  internasional. Menurut beliau menarik kesimpulan demikian berarti menentang menentang masyarakat internasional yang didasarkan atas hukum, dan sebagai Negara yang masih muda kiranya pendirian yang demikian bukanlah pendirian yang bijaksana. Namun demikian, meskipun pada prinsipnya Indonesia mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa Indonesia dengan begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional tanpa mengkaji kaidah-kaidah hukum internasional yang tidak jelas atau mungkin sudah berubah sebagai refleksi dari masyarakat internasional yang sedang berubah dengan cepat.
Dalam masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional tersebut menurut Mochtar Kusumaatmaja apabila menghendaki adanya masyarakat internasional yang aman dan sejahtera maka mau tidak mau kita harus mengakui adanya hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional. Konsekuensinya pada analisis terakhir hukum nasional harus tunduk pada hukum internasional.”[1]

“Saefullah  Wiradipradja berpendapat bahwa dalam masalah hubungan antara perjanjian internasional/hukum internasional dengan hukum nasional, dalam praktek, Indonesia menganut paham baik inkorporasi maupun transformasi, tidak menganut salah satu diantaranya secara mutlak. Inkorporasi berlaku bagi perjanjian perjanjian internasional yang hanya mengikat Negara atau badan Negara, sedangkan transformasi berlaku bagi perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat langsung warganegara secara individual dan badan hukum/badan usaha. Sedang apakah ketentuan internasional atau nasional lebih diutamakan, berdasarkan pada praktek selama ini, kelihatannya Indonesia cenderung menganut supremasi hukum internasional, artinya Indonesia selalu menyesuaikan peraturan perundang-undangannya ( dalam hal transformasi) terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum internasional, khususnya  perjanjian internasional.[2]
Meskipun Mochtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa Indonesia tidak menganut teori transformasi, tapi langsung terikat terikat dalam kewajiban melaksanakan dan mentaati ketentuan-ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi undang-undang pelaksanaan,”[3]namun beliau pun mengakui bahwa dalam beberapa hal pengundangan dalam undang-undang nasional adalah mutlak diperlukan  yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang-undang  nasional  yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai perorangan.[4]

Adapun  pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian internasional dalam  Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yaitu  :
Pasal 5
(1)  Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2)  Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya,
Pasal 11
(1)  Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyetakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.
(2)  Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perewakilan Rakyat.
(3)  Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Pasal 20
(1)  Dewan  Perwakilan Rakyat memegang  kekuasaan membuat undang-undang.
(2)  Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3)  Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4)  Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang
(5)  Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut ttidak disahkan oleh Presiden dalam waktu  tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Dengan melihat  apa yang disampaikan di atas maka keberadaannya Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang  Perjanjian Internasional memberikan  dasar-dasar yang kuat  dalam membuat dan  mengesahkan perjanjian internasional, dan menempatkan dalam posisi bagaimana hubungan antara Indonesia dengan hukum internasional dalam hal Indonesia meratifikasi atau tidak meratifikasi suatu perjanjian internasional, seperti bagaimana hubungan antara Indonesia dengan International Covenant and Civil and Political Rights dikarenakan Indonesia  sebagai pihak yang telah meratifikasi International Covenant and Civil and Political Rights. Demikian juga bagaimana melihat hubungan antara Indonesia dengan Statuta Roma dikarenakan Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, dalam hal ini pentingnya pemahaman hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dikenal Teori Monisme, yaitu  teori yang menyatakan bahwa  hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek  dari satu sistem hukum.[5]
Dalam hal ini berarti bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum dimana hukum yang satu mendasari hukum yang lain, dalam hal penelitian mengenai Konsep Hak  Asasi Manusia dan Implementasinya dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia dimana substansi hak  asasi manusia yang menjadi kerangka ilmunya, peneliti menggunakan Teori Monisme dengan Primat Hukum Internasional dan Monisme dengan Primat Hukum Nasional  yang berarti dalam kajian hak  asasi manusia apabila menggunakan teori monisme dengan primat hukum nasional maka  hukum nasional yang mendasari hukum internasional dalam hak asasi manusia, dan apabila menggunakan monisme dengan primat hukum internasional maka  hukum internasional yang mendasari pengaturan hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Dengan demikian terdapat keterkaitan  antara hukum nasional dan hukum internasional dalam hak asasi manusia.
“Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum intenasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan  yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur  kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang bebeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa  dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini  yang utama  ialah hukum nasional.
Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional.Paham yang lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional yang utama ialah   hukum internasional.Pandangan ini disebut paham monisme dengan primat  hukum  internasional. Menurut teori monisme kedua-duanya mungkin.
Dalam pandangan monisme dengan primat hukum nasional, hukum intenasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka, atau tidak lain dari hukum internasional untuk urusan luar negeri. Pandangan yang melihat kesatuan antara  hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional  ini pada hakekatnya menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah : (1) bahwa tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini;(2) dasar hukum internasional yang mengatur hubungan intenasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian intenasional, jadi wewenang konstitusional.”[6]
Aliran dualisme  bersumber pada teori  bahwa daya ikat  hukum internasional  bersumber pada kemauan negara , maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem  atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Alasan yang diajukan oleh penganut  aliran dualisme  bagi pandangan tersebut  diatas  didasarkan pada alasan formal maupun alasan yang berdasarkan  kenyataan. Diantara alasan-alasan yang terpenting dikemukakan  hal sebagai berikut : (1) kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum intenasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara; (2) kedua perangkat hukum itu berlainan subyek hukumnya. Subyek hukum dari hukum nasional ialah orang perorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subyek hukum dari hukum internasional adalah negara ; (3) sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional  menampakan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan  untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk  yang sempurna dalam lingkungan hukum  nasional. Alasan lain  yang dikemukakan  sebagai argumentasi yang  didasarkan atas kenyataan bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum  nasional tidak  terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum  nasional itu bertentangan dengan  hukum internasional. Dengan perkataan lain  dalam kenyataan  ketentuan hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional.[7]

Apabila konstitusi mengatur konsep hak asasi manusia dalam konstitusinya dengan demikian konsep  hak asasi manusia tersebut harus diikuti oleh peraturan yang ada  dibawahnya. Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam hubungan antara hak asasi manusia dengan hukum internasional dan hukum nasional berpendapat sebagai berikut:[8]
 “Kalau kita cermati, pertimbangan butir b dari dua kovenan yang baru saja diratifikasi, di sana ditemukan suatu pernyataan bahwa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan piagam PBB serta deklarasi universal HAM. Perlu digarisbawahi pertimbangan butir b ini, karena menegaskan bahwa dengan diratifikasikannya kovenan internasional yang penting itu, maka, Indonesia masuk dalam bagian dari sistem hukum internasional HAM.
Selanjutnya, Pasal 2 dari kedua UU itu menyatakan, UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Oleh karena itu, dengan disahkannya kedua konvensi internasional menjadi UU, maka dengan ini di Indonesia berlaku selain UU no. 39/1999 tentang HAM, juga KIHESB (Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dan KIHSP (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik), yang sama-sama merupakan UU yang bersifat induk atau lintas sektoral.

Jadi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merupakan Internasional Bill of Rights yang bersifat induk atau lintas sektoral. Selain itu, kovenan itu juga dipayungi oleh pasal-pasal HAM yang termuat di dalam UUD 1945.

Lalu bagaimana hubungan di antara kovenan itu dengan konstitusi?
Dalam teori hukum internasional, kita mengenal beberapa teori; pertama, teori tentang dualisme. Teori tentang dualisme menegaskan bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum nasional berlaku dalam satu negara dan mengatur hubungan antar warga negara dan warga negara dengan pemerintah.

Kedua, teori monisme. Teori ini berasal dari pemikiran Hans Kelsen yang menegaskan supremasi hukum internasional atas hukum nasional. Hukum internasional itu dilihat sebagai the best of available moderator of human affairs dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negara-negara, dan karenanya, dia menjadi lebih utama dari hukum nasional.”[9]
Dengan kata lain, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila bertentangan dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan dengan sistem hukum internasional. Walaupun teori ini sebenarnya dibangun dari suatu konstruksi spekulasi intelektual, tetapi teori itu exist di dalam literatur-literatur hukum internasional.
Ketiga, teori koordinasi, yang menyatakan bahwa dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu tidak berada dalam situasi konflik, karena dua sistem itu bekerja dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya sendiri, tetapi memang dapat terjadi conflict of obligation (konflik kewajiban).

Argumen dalam perspektif teori ini, bahwa ketidakmampuan negara untuk bertindak sesuai dengan kewajiban internasionalnya, karena dengan kita meratifikasi melalui UU dua kovenan internasional itu negara mempunyai kewajiban internasional tidak mengakibatkan tidak sahnya hukum internal/hukum nasional”[10].
Jadi, kalau suatu negara gagal memenuhi kewajiban internasionalnya, menurut teori ini tidak berarti hukum internalnya itu gugur. Suatu doktrin dan pendirian yang bersifat universal, bahwa negara tidak bisa membela diri, ketika negara dituduh melanggar kewajiban internalnya. Negara tidak bisa membela diri karena hukum internalnya itu menghalangi kemampuannya untuk menjalankan kewajiban internasionalnya. Pembelaan seperti itu menurut pandangan yang berlaku universal tidak dibenarkan.
Dalam hubungannya dengan hubungan hak asasi manusia dalam hukum nasional dan hukum internasional dalam hukum nasional Indonesia terdapat beberapa ketentuan yang dapat menunjukan keterkaitan  hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, khususnya yang berkaitan dengan penghormatan terhadap  hak asasi manusia universal yang terdapat dalam  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Secara tersurat pengakuan terhadap  konsepsi hak asasi manusia yang universal dalam sistem hukum Indonesia terdapat dalam Keputusan Presiden  Republik Indonesia No 50 /1993 tentang Komisi Nasional Hak  asasi manusia, dalam bagian menimbang butir  b dikatakan:
“Bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa, menghormati Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi  Universal Hak  asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.”[11]

 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia semakin menegaskan bahwa dalam hak asasi manusia terdapat  hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional khususnya dalam  kaitannya dengan pengakuaan dan penghormatan terhadap universalitas  hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dimana dalam bagian konsiderans  butir  C dengan jelas menunjukkan pengakuan bangsa Indonesia terhadap  Deklarasi Universal Hak-hak  Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan  adanya butir C, yang berbunyi sebagai berikut :
“bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak -hak  asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak -hak  asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak -hak  asasi manusia.”[12]

Pada Bagian B mengenai Landasan dalam TAP MPR No XVII/MPR pada butir 2 dengan tegas dituangkan pengakuan  bangsa Indonesia terhadap  universalitas HAM yang didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights:
“Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak  asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya  mengenai hak  asasi manusia.”[13]

Pada Piagam Hak  asasi manusia Indonesia yang merupakan Bagian dari TAP MPR NO XVII  pada Pembukaan alinea keempat dikatakan :
“Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa  pada tahun 1948 telah mengeluarkan Deklarasi Universal Hak  asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights). Oleh Karena itu bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan dalam deklarasi tersebut.”[14]

Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai hak  asasi manusia, pada bagian menimbang pada butir d dikatakan:
“bahwa bangsa  Indonesia sebagai  anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggungjawab moral dan hukum untuk menjungjung tinggi dan melaksanakan  Deklarasi Universal tentang Hak  asasi manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrument internasional lain yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.”[15]

Hal senada juga terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang No 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan hak asasi manusia pada Bagian I  Umum  alinea 4  dikatakan :
“Untuk  melaksanakan  amanat ketetapan  MPR RI No XVII/MPR/ 1998 tentang Hak  asasi manusia tersebut telah dibentuk Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak  asasi manusia. Pembentukan Undang-Undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di samping hal tersebut, pembentukan  undang-undang tentang Hak  asasi manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi  Universal Hak  asasi manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat  dalam berbagai instrument hukum lainnya yang mengatur hak  asasi manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh  negara Republik Indonesia”[16]

Apa yang dikemukakan di atas mengenai bagaimana sistem hukum Indonesia mengakui Universal Declaration of Human Rights menunjukkan pengakuan negara Republik Indonesia terhadap Hak  asasi manusia yang Universal, terlebih lagi dengan pengaturan Hak  asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang juga menunjukkan pengakuan Hak  asasi manusia yang universal.
Konstitusi yang merupakan perwujudan ideologi bangsa, telah membatasi kekuasaan pemerintah dan tidak sekadar memuat pelbagai rumusan bahasa yang indah-indah, yang perumusannya sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang berlaku pada bangsa tersebut.[17]
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional timbul akibat dari adanya pelanggaran  terhadap hukum internasional, walaupun hukum nasional mengganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap bertanggungjawab.[18]
Dalam hal tanggungjawab terhadap norma hukum hak asasi manusia Internasional  negara pelaku tidak dapat  lagi berlindung di balik kedaulatannya untuk menghindari tanggungjawab kepada masyarakat internasional sebagaimana dikatakan Hector Gros Espiel, “The question of Human Rights is no longer the preserve of the domestic jurisdiction  of states, but is now recognized as being governed by  internal law and by international law, against which special  internal law cannot be invoked.”

0 komentar:

Posting Komentar