CLASSICAL
POSITIVISM
AND
PURE THEORY OF LAW
Pendahuluan
Aliran hukum positif (positivism) berkembang pada abad
pertengahan dan merupakan reaksi atas aliran hukum alam (natural law)[1].
Aliran hukum positif melakukan pendekatan sekuler dan positivis dalam
menganalisis hukum.
Dari aliran ini kita
mengenal istilah Prinsip Utilitas, istilah Utilitarian bagi para pengikut paham
Prinsip Utilitas, teori pemisahan hukum positif dan moral, pengagungan
objektivisme daripada subjektivisme.
Pembahasan
Hume berpendapat bahwa
keabsahan dari hukum normative tidak dapat diperlakukan secara logis sebagai
suatu fakta objektif, namun tergantung dari sudut pandang yang memberlakukan
hukum normative tersebut. Pendapat Hume ini adalah cikal bakal lahirnya Prinsip
Utilitas (The Principle of Utility)
yang terkenal dalam aliran hukum positivisme dan kemudian dijelaskan secara
rinci dan dikembangkan oleh Jeremy Bentham.
Bentham juga
memperkenalkan konsep “Of Laws in General” terhadap analisis yurisprudensi.
Bentham dan Austin bersama-sama memperkenalkan konsep inti dari teori hukum
yang imperative yaitu sovereignity dan
command.
Bentham
berpikiran bahwa gejala yang dihadapi dilihat dari kegunaannya (utilitasnya).
Dengan demikian, aliran yang dipelopori oleh Bentham disebut dengan
utilitarianisme.
Pokok-pokok
pemikiran Bentham adalah sebagai berikut:
- Bentham menolak hukum kodrat dan menggantinya dengan patokan-patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan manusia.
- Utilitarianisme mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
- Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
- Bagi Bentham, ilmu perundang-undangan (censorial jurisprudence) merupakan suatu cabang ilmu mengenai tindakan manusia yang diarahkan pada kuantitas kebahagiaan yang terbesar yang mungkin melalui aturan-aturan yang bersifat permanen.
- Bentham berpendapat bahwa “Command” dan “Sovereign” merupakan suatu hukum. Bentham juga berpendapat bahwa konsep penghargaan lebih efektif daripada penghukuman [2].
- Menurut Bentham, tidak ada hukum yang tidak bersifat imperative atau permisif. Seluruh hukum memerintahkan atau melarang atau memperbolehkan bentuk-bentuk tertentu dari perilaku.
Pokok-pokok
pemikiran John Austin adalah sebagai berikut:
Austin
membedakan antara hukum yang sebenarnya (laws
properly so called) dan hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).
Yang termasuk dalam hukum yang
sebenarnya (laws properly so called)
adalah:
1.
Hukum Tuhan (Laws of God)
2.
Hukum Manusia (Human Laws) yang dibuat oleh manusia untuk manusia lain.
Hukum manusia (human laws) dibedakan lagi menjadi:
- Hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orang-orang yang secara politis ada di bawah kekuasaannya. Hukum ini disebut hukum positif (Positive Laws), contohnya peraturan perundang-undangan.
- Aturan-aturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik, misalnya aturan yang dibuat orangtua kepada anaknya, majikan kepada buruhnya, dan guru kepada muridnya. Aturan-aturan ini menghasilkan suatu moralitas positif (positive morality).
Yang termasuk
dalam hukum yang tidak sebenarnya (laws
improperly so called) adalah:
1.
Hukum hasil analogi (laws by analogy), yang diciptakan dan
diberlakukan melalui pendapat umum, misalnya model berpakaian dan hukum
internasional. Aturan melalui bentukan pendapat umum ini dilakukan dengan cara
menganalogikan “hukum” tersebut. Sekelompok masyarakat bersama-sama memiliki
nilai-nilai yang disukai dan tidak disukai. Keberadaan sekelompok masyarakat
dengan nilai-nilai ini merupakan analogi dari apa yang dilakukan oleh negara. Laws by analogy ini menghasilkan suatu
moralitas positif.
2.
Hukum yang muncul melalui metafora (laws by metaphor) atau yang dalam bahasa
sehari-hari disebut dengan hukum alamiah (laws
of nature). Contohnya, setiap orang pasti mati.
Austin
berpendapat bahwa karakteristik hukum yang terpenting terletak pada karakter
imperatifnya dimana hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa.
Definisi Austin tentang hukum berbunyi sebagai berikut:
“Every positive law, or every law simply and
strictly so called, is set, directly or circuitously, by a sovereign person or
body, to a member or members of the independent political society wherein that
person or body is sovereign or supreme”.[3]
Maka untuk dapat disebut hukum
menurut Austin diperlukan unsur-unsur sebagai berikut: command (perintah), sovereignty
(penguasa), duty (kewajiban), dan sanction (sanksi).
Jadi menurut Austin, hukum positif
merupakan kehendak (perintah) dari penguasa yang wajib untuk dilaksanakan. Apabila
tidak dilaksanakan maka akan ada sanksi yang dijatuhkan. Kehendak yang memuat
sanksi tersebut harus diungkapkan dengan jelas sehingga menjamin adanya
persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang.
Tiap hukum positif dibuat oleh
seseorang yang berdaulat atau oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa orang
yang berdaulat, untuk keperluan anggota-anggota dari masyarakat politik yang
merdeka, dimana penguasa atau badan tersebut mempunyai kedaulatan yang penuh
memegang kekuasaan tertinggi.
Austin merumuskan “sovereign” sebagai berikut:
“If a determinate human superior not in a
habit of obedience to a like superior, receive habitual obedience from the bulk
of a given society, that determinate superior is sovereign in that society, and
the society (including the superior) is a society political and independent.”[4]
Pokok-pokok
Pemikiran W.J. Rees
W.J. Rees mengenalkan
Teori Rekapitulasi Kedaulatan yang merupakan definisi kedaulatan, yaitu:[5]
1. Kedaulatan
sebagai makna hukum.
2. Kedaulatan
sebagai makna moral.
3. Kedaulatan
sebagai makna badan yang mempunyai kekuatan memaksa.
4. Kedaulatan
sebagai makna yang mempunyai kekuatan memaksa secara sosial.
5. Kedaulatan
sebagai makna yang mempunyai pengaruh.
6. Kedaulatan
sebagai makna yang permanen.
Pokok-Pokok
Pemikiran Hans Kelsen:
1.
The
Pure Theory of Law
Kelsen menolak pendapat aliran
Natural Law yang menggabungkan antara hukum dengan moralitas.[6]
Sebagai seorang positivis, Kelsen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan
dengan hukum itu sendiri. Hukum terdiri dari berbagai macam aturan, dan
disinilah teori hukum berfungsi, yaitu untuk mengorganisirkan ke dalam suatu
perintah. Teori hukum itu seharusnya seragam dan dapat dilaksanakan di setiap
waktu dan tempat. Teori hukum harus bebas dari bidang-bidang lainnya di luar hukum.
Aturan hukum adalah merupakan suatu
sistem norma. Norma bukanlah suatu pernyataan mengenai realita sehingga dengan
demikian tidak dapat dikatakan “benar” atau “salah” dengan ukuran realitas.
Suatu norma dikatakan valid bukanlah dilihat dari sisi apa yang terjadi
melainkan apa yang seharusnya terjadi.[7]
Keberadaan norma hanya dapat berarti keabsahannya dan hal ini mengacu pada
kaitannya dengan suatu sistem norma-norma yang dari sistem itu norma tersebut
merupakan bagiannya.
2.
Hirarki Norma[8]
Suatu sistem norma dapat bersifat
statis atau dinamis. Suatu norma adalah norma tipe statis karena ditentukan
oleh norma dasar, baik validitasnya maupun materinya. Validitas dan kualitas
norma ini dideduksikan secara logis langsung dari norma dasar tertentu. Bentuk
umum dari norma yang valid berdasarkan nilai substansinya adalah norma moral.
Norma dasar dari moralitas memiliki karakter substansi yang statis. Sedangkan
norma dinamis adalah suatu sistem norma dimana validitas suatu norma tidak
dapat digantungkan pada isi dari norma itu sendiri, tetapi valid karena dibuat
dengan cara tertentu. Karakter dinamis ini menjadi karakter dari norma hukum
dimana norma dasar dari suatu sistem hukum adalah aturan dasar yang mengatur
pembuatan norma-norma dalam sistem tersebut
Bagi Kelsen, hukum terdiri dari
norma-norma dimana norma-norma tersebut bersumber dari norma lainnya.[9]
Kelsen berpendapat bahwa suatu norma selalu diukur dari norma lain yang menjadi
dasar keberlakuannya. Hal ini membentuk suatu hirarki norma yang berujung pada
suatu norma yang paling tinggi (stufentheorie). Suatu norma yang validitasnya
tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini membentuk
suatu ikatan antara norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.
Kelsen juga berpendapat bahwa suatu
hukum milik suatu sistem jika hokum tersebut ditetapkan dengan penggunaan
kekuasaan yang diatur dalam norma dasar.
3.
Sanksi
Setiap
sistem norma mempunyai sanksi masing-masing. Sanksi merupakan suatu karakteristik
esensial dari hukum.[10]
Setiap norma untuk dapat menjadi “legal” harus dilengkapi dengan sanksi.
Terkait dengan hal ini, Kelsen menyebut setiap pelanggaran norma hukum sebagai
“delict”. Tidak ada satu perilakupun
dapat dikatakan sebagai delict
kecuali diatur sanksinya.[11]
Perbedaan
Teori Kelsen dan Austin:
1.
“Norm”
dan “Command”
Austin berpendapat bahwa perintah (command) adalah bentuk ekspresi dari
suatu kehendak. Sementara menurut Kelsen, “the
act of will whose meaning the norm is; the norm is an ought, but the act of
will is an is”.[12]
2.
Sanksi
Kelsen menyetujui pendapat Austin
bahwa sanksi adalah unsure esensial dari hukum, tetapi Kelsen menolak pemikiran
Austin bahwa ketaatan pada hukum termotivasi oleh rasa takut. Menurut Kelsen,
sanksi adalah bagian dari suatu aturan yang membentuk suatu sistem hukum.
Kelsen berpendapat: “The application of
the penalty represents the final individualization of a set of legal norms.”[13]
Tanggapan
dan Kritikan:
- H. L. A. Hart : H.L.A Hart mengkritisi pendapat Austin tentang model hukum yang sifatnya memaksa (yang berakar dari hukum pidana) karena model ini tidak bisa diterapkan ke bagian bidang ilmu hukum lainnya seperti wasiat, kontrak, perkawinan, yurisdiksi pengadilan atau kekuasaan badan legislative.[14]
- Pemisahan moral dan hukum menyulitkan para penegak hukum dalam menerapkan hukum dan keadilan di masyarakat.
- Kelsen menyebutkan bahwa setiap aturan hukum harus ada sanksinya. Namun demikian, walaupun ketiadaan sanksi menyebabkan hukum tidak efektif, tetapi tidak berarti hukum tersebut invalid.[15]
- J.Raz mengemukakan kritik terhadap teori Kelsen. Menurut Kelsen, suatu sistem hukum eksis jika sistem tersebut mencapai tingkat keberlakuan minimum tertentu. Keberlakuan suatu sistem adalah fungsi keberlakuan dari hukumnya. Namun Kelsen tidak menjelaskan apapun tentang bagaimana hubungannya dan bagaimana tingkat keberlakuan tersebut ditentukan. Menurut Raz, keberlakuan suatu norma dapat terwujud melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan kepatuhan kepada siapa suatu kewajiban dibebankan oleh norma itu dan dengan pelaksanaan sanksi yang diperbolehkan oleh norma tersebut.[16]
Penutup
Aliran
hukum positif yang pada awalnya kaku karena memisahkan moral dan hukum,
akhirnya menerima bahwa moral dan hukum adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan, dan memang tidak mungkin dipisahkan karena akan menyulitkan para
penegak hukum dan masyarakat dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun,
beberapa nilai dari aliran hukum positif masih tetap hidup dalam sistem hukum
dunia seperti pengakuan hak-hak individu sebagai anggota masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar