Selasa, 11 Juni 2013

CLASSICAL POSITIVISM
AND PURE THEORY OF LAW

Pendahuluan
Aliran hukum positif (positivism) berkembang pada abad pertengahan dan merupakan reaksi atas aliran hukum alam (natural law)[1]. Aliran hukum positif melakukan pendekatan sekuler dan positivis dalam menganalisis hukum.
Dari aliran ini kita mengenal istilah Prinsip Utilitas, istilah Utilitarian bagi para pengikut paham Prinsip Utilitas, teori pemisahan hukum positif dan moral, pengagungan objektivisme daripada subjektivisme.

Pembahasan
Hume berpendapat bahwa keabsahan dari hukum normative tidak dapat diperlakukan secara logis sebagai suatu fakta objektif, namun tergantung dari sudut pandang yang memberlakukan hukum normative tersebut. Pendapat Hume ini adalah cikal bakal lahirnya Prinsip Utilitas (The Principle of Utility) yang terkenal dalam aliran hukum positivisme dan kemudian dijelaskan secara rinci dan dikembangkan oleh Jeremy Bentham.
Bentham juga memperkenalkan konsep “Of Laws in General” terhadap analisis yurisprudensi. Bentham dan Austin bersama-sama memperkenalkan konsep inti dari teori hukum yang imperative yaitu sovereignity dan command.
Bentham berpikiran bahwa gejala yang dihadapi dilihat dari kegunaannya (utilitasnya). Dengan demikian, aliran yang dipelopori oleh Bentham disebut dengan utilitarianisme.


Pokok-pokok pemikiran Bentham adalah sebagai berikut:
  1. Bentham menolak hukum kodrat dan menggantinya dengan patokan-patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan manusia.
  2. Utilitarianisme mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
  3. Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
  4. Bagi Bentham, ilmu perundang-undangan (censorial jurisprudence) merupakan suatu cabang ilmu mengenai tindakan manusia yang diarahkan pada kuantitas kebahagiaan yang terbesar yang mungkin melalui aturan-aturan yang bersifat permanen.
  5. Bentham berpendapat bahwa “Command” dan “Sovereign” merupakan suatu hukum. Bentham juga berpendapat bahwa konsep penghargaan lebih efektif daripada penghukuman [2].
  6. Menurut Bentham, tidak ada hukum yang tidak bersifat imperative atau permisif. Seluruh hukum memerintahkan atau melarang atau memperbolehkan bentuk-bentuk tertentu dari perilaku.


Pokok-pokok pemikiran John Austin adalah sebagai berikut:

Austin membedakan antara hukum yang sebenarnya (laws properly so called) dan hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).

Yang termasuk dalam hukum yang sebenarnya (laws properly so called) adalah:
1.        Hukum Tuhan (Laws of God)
2.        Hukum Manusia (Human Laws) yang dibuat oleh manusia untuk manusia lain.
Hukum manusia (human laws) dibedakan lagi menjadi:
  • Hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orang-orang yang secara politis ada di bawah kekuasaannya. Hukum ini disebut hukum positif (Positive Laws), contohnya peraturan perundang-undangan.
  • Aturan-aturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik, misalnya aturan yang dibuat orangtua kepada anaknya, majikan kepada buruhnya, dan guru kepada muridnya. Aturan-aturan ini menghasilkan suatu moralitas positif (positive morality).


Yang termasuk dalam hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called) adalah:
1.        Hukum hasil analogi (laws by analogy), yang diciptakan dan diberlakukan melalui pendapat umum, misalnya model berpakaian dan hukum internasional. Aturan melalui bentukan pendapat umum ini dilakukan dengan cara menganalogikan “hukum” tersebut. Sekelompok masyarakat bersama-sama memiliki nilai-nilai yang disukai dan tidak disukai. Keberadaan sekelompok masyarakat dengan nilai-nilai ini merupakan analogi dari apa yang dilakukan oleh negara. Laws by analogy ini menghasilkan suatu moralitas positif.
2.        Hukum yang muncul melalui metafora (laws by metaphor) atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut dengan hukum alamiah (laws of nature). Contohnya, setiap orang pasti mati.

Austin berpendapat bahwa karakteristik hukum yang terpenting terletak pada karakter imperatifnya dimana hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Definisi Austin tentang hukum berbunyi sebagai berikut:

Every positive law, or every law simply and strictly so called, is set, directly or circuitously, by a sovereign person or body, to a member or members of the independent political society wherein that person or body is sovereign or supreme”.[3]

            Maka untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan unsur-unsur sebagai berikut: command (perintah), sovereignty (penguasa), duty (kewajiban), dan sanction (sanksi).
            Jadi menurut Austin, hukum positif merupakan kehendak (perintah) dari penguasa yang wajib untuk dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan maka akan ada sanksi yang dijatuhkan. Kehendak yang memuat sanksi tersebut harus diungkapkan dengan jelas sehingga menjamin adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang.
            Tiap hukum positif dibuat oleh seseorang yang berdaulat atau oleh suatu badan yang terdiri dari beberapa orang yang berdaulat, untuk keperluan anggota-anggota dari masyarakat politik yang merdeka, dimana penguasa atau badan tersebut mempunyai kedaulatan yang penuh memegang kekuasaan tertinggi.

Austin merumuskan “sovereign” sebagai berikut:

If a determinate human superior not in a habit of obedience to a like superior, receive habitual obedience from the bulk of a given society, that determinate superior is sovereign in that society, and the society (including the superior) is a society political and independent.”[4]

Pokok-pokok Pemikiran W.J. Rees
W.J. Rees mengenalkan Teori Rekapitulasi Kedaulatan yang merupakan definisi kedaulatan, yaitu:[5]
1.      Kedaulatan sebagai makna hukum.
2.      Kedaulatan sebagai makna moral.
3.      Kedaulatan sebagai makna badan yang mempunyai kekuatan memaksa.
4.      Kedaulatan sebagai makna yang mempunyai kekuatan memaksa secara sosial.
5.      Kedaulatan sebagai makna yang mempunyai pengaruh.
6.      Kedaulatan sebagai makna yang permanen.

Pokok-Pokok Pemikiran Hans Kelsen:
1.        The Pure Theory of Law
Kelsen menolak pendapat aliran Natural Law yang menggabungkan antara hukum dengan moralitas.[6] Sebagai seorang positivis, Kelsen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dengan hukum itu sendiri. Hukum terdiri dari berbagai macam aturan, dan disinilah teori hukum berfungsi, yaitu untuk mengorganisirkan ke dalam suatu perintah. Teori hukum itu seharusnya seragam dan dapat dilaksanakan di setiap waktu dan tempat. Teori hukum harus bebas dari bidang-bidang lainnya di luar hukum.
Aturan hukum adalah merupakan suatu sistem norma. Norma bukanlah suatu pernyataan mengenai realita sehingga dengan demikian tidak dapat dikatakan “benar” atau “salah” dengan ukuran realitas. Suatu norma dikatakan valid bukanlah dilihat dari sisi apa yang terjadi melainkan apa yang seharusnya terjadi.[7] Keberadaan norma hanya dapat berarti keabsahannya dan hal ini mengacu pada kaitannya dengan suatu sistem norma-norma yang dari sistem itu norma tersebut merupakan bagiannya.
2.         Hirarki Norma[8]
Suatu sistem norma dapat bersifat statis atau dinamis. Suatu norma adalah norma tipe statis karena ditentukan oleh norma dasar, baik validitasnya maupun materinya. Validitas dan kualitas norma ini dideduksikan secara logis langsung dari norma dasar tertentu. Bentuk umum dari norma yang valid berdasarkan nilai substansinya adalah norma moral. Norma dasar dari moralitas memiliki karakter substansi yang statis. Sedangkan norma dinamis adalah suatu sistem norma dimana validitas suatu norma tidak dapat digantungkan pada isi dari norma itu sendiri, tetapi valid karena dibuat dengan cara tertentu. Karakter dinamis ini menjadi karakter dari norma hukum dimana norma dasar dari suatu sistem hukum adalah aturan dasar yang mengatur pembuatan norma-norma dalam sistem tersebut
Bagi Kelsen, hukum terdiri dari norma-norma dimana norma-norma tersebut bersumber dari norma lainnya.[9] Kelsen berpendapat bahwa suatu norma selalu diukur dari norma lain yang menjadi dasar keberlakuannya. Hal ini membentuk suatu hirarki norma yang berujung pada suatu norma yang paling tinggi (stufentheorie). Suatu norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut norma dasar (grundnorm). Norma dasar ini membentuk suatu ikatan antara norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan.
Kelsen juga berpendapat bahwa suatu hukum milik suatu sistem jika hokum tersebut ditetapkan dengan penggunaan kekuasaan yang diatur dalam norma dasar.
3.        Sanksi
Setiap sistem norma mempunyai sanksi masing-masing. Sanksi merupakan suatu karakteristik esensial dari hukum.[10] Setiap norma untuk dapat menjadi “legal” harus dilengkapi dengan sanksi. Terkait dengan hal ini, Kelsen menyebut setiap pelanggaran norma hukum sebagai “delict”. Tidak ada satu perilakupun dapat dikatakan sebagai delict kecuali diatur sanksinya.[11]



Perbedaan Teori Kelsen dan Austin:
1.        Norm” dan “Command
Austin berpendapat bahwa perintah (command) adalah bentuk ekspresi dari suatu kehendak. Sementara menurut Kelsen, “the act of will whose meaning the norm is; the norm is an ought, but the act of will is an is”.[12]
2.        Sanksi
Kelsen menyetujui pendapat Austin bahwa sanksi adalah unsure esensial dari hukum, tetapi Kelsen menolak pemikiran Austin bahwa ketaatan pada hukum termotivasi oleh rasa takut. Menurut Kelsen, sanksi adalah bagian dari suatu aturan yang membentuk suatu sistem hukum. Kelsen berpendapat: “The application of the penalty represents the final individualization of a set of legal norms.”[13]

Tanggapan dan Kritikan:
  1. H. L. A. Hart : H.L.A Hart mengkritisi pendapat Austin tentang model hukum yang sifatnya memaksa (yang berakar dari hukum pidana) karena model ini tidak bisa diterapkan ke bagian bidang ilmu hukum lainnya seperti wasiat, kontrak, perkawinan, yurisdiksi pengadilan atau kekuasaan badan legislative.[14]
  2. Pemisahan moral dan hukum menyulitkan para penegak hukum dalam menerapkan hukum dan keadilan di masyarakat.
  3. Kelsen menyebutkan bahwa setiap aturan hukum harus ada sanksinya. Namun demikian, walaupun ketiadaan sanksi menyebabkan hukum tidak efektif, tetapi tidak berarti hukum tersebut invalid.[15]
  4. J.Raz mengemukakan kritik terhadap teori Kelsen. Menurut Kelsen, suatu sistem hukum eksis jika sistem tersebut mencapai tingkat keberlakuan minimum tertentu. Keberlakuan suatu sistem adalah fungsi keberlakuan dari hukumnya. Namun Kelsen tidak menjelaskan apapun tentang bagaimana hubungannya dan bagaimana tingkat keberlakuan tersebut ditentukan. Menurut Raz, keberlakuan suatu norma dapat terwujud melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan kepatuhan kepada siapa suatu kewajiban dibebankan oleh norma itu dan dengan pelaksanaan sanksi yang diperbolehkan oleh norma tersebut.[16]


Penutup
            Aliran hukum positif yang pada awalnya kaku karena memisahkan moral dan hukum, akhirnya menerima bahwa moral dan hukum adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan memang tidak mungkin dipisahkan karena akan menyulitkan para penegak hukum dan masyarakat dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun, beberapa nilai dari aliran hukum positif masih tetap hidup dalam sistem hukum dunia seperti pengakuan hak-hak individu sebagai anggota masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar