Praktik-praktik euthanasia di dunia
Praktik-praktik eutanasia yang
pernah dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
a)
Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke
dalam sungai Gangga.
b)
Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
c)
Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang yang telah
berlaku sejak tahun 1933.
d)
Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
e)
Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, eutanasia dikategorikan sebagai kejahatan.
Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika
Serikat.
f)
Satu-satunya negara
yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta
tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang
menjadi anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya tidak pernah dilakukan
eutanasia aktif, namun mungkin ada praktik-praktik medis yang dapat digolongkan
eutanasia pasif.
4. Eutanasia
diberbagai negara menurut hukum yang berlaku
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia danSwiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark
1. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini
dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 , yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi
praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak
tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu
ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan
bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The
Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human
Life International Special Report Nomor
67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua
kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan
menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh
undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak
akan dihukum.
2.
Australia
Negara bagian Australia, Northern
Territory, menjadi tempat pertama di dunia
dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi
ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right
of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusanSenat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
3.
Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa tindakan eutanasia setiap
tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara
ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini
sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi
kematian".
Belgia menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan
salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang
pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan
kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya
4.
Amerika
Eutanasia agresif
dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika.
Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada
tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan
dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan
euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh
diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan
ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan
sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam
mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa
keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh
terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi
kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti
nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999
Sebuah lembaga jajak
pendapat terkenal yaitu Poling
Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika
mendukung dilakukannya euthanasia
5.
Indonesia
Berdasarkan hokum
yang berlaku di Indonesia, eutanasia
adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada
peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang
menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan
359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan
eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita
memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
6.
Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara
umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada
tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh
diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata
untuk kepentingan diri sendiri."
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan
pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri
kehidupan seseorang.
7. Inggris
Pada tanggal 5
November 2006, Kolese Kebidanan
dan Kandungan Britania Raya (Britain's
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah
proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si
bayi" sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan
hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan
resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia
dalam bentuk apapun juga
8. Jepang
Jepang tidak memiliki dan tidak pernah
mengatur suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula
Pengadilan Tertinggi Jepang. Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di
Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan
sebagai eutanasia pasif. Kasus yang lain terjadi
setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai eutanasia aktif.
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka
hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian
eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap
dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap
bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan
pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan
tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi,
namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara
guna melaksanakan euthanasia.
9.
Republik Ceko
Di Republik
Ceko eutanisia dinyatakan
sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai
eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana
Menteri Jiri PospÃÅ¡il bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP
tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara,
namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut
merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan
tersebut.
10. India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan
eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300
dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan
euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian
dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304
IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan
kematian dimana si dokter hanyalah membantu
pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain)
ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan
pasal 92 IPC.
11.
China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui
terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter
untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun
kemudian Pengadilan tertinggi rakyat menyatakan mereka tidak bersalah. Pada
tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada
kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia
atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia
meninggal dunia dalam kesakitan
12.
Afrika Selatan
Di Afrika
Selatan belum ada suatu
aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga sangat
memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang
ada.
13. Korea
Belum ada suatu
aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah
ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa
mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita
sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan
keluarganya.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis termasuk tindakan eutanasia pasif, dapat
diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis
terhadap dirinya
5. Euthanasia
menurut pandangan agama
1.
Dalam ajaran gereja Katolik
Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan
terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran
moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus
Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program
egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga
menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang
pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada
tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan
Dekalarasi tentang eutanasia yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut,
khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang
hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri
hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan
semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium
Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala
yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan
lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus
Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia
merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu:
"Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan
sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat
kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
2. Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan
maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran
kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari karma yang buruk
adalah menjadi penghalang moksa yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang
menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di
dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi
suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan
"karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan
yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan
kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri,
maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada
didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa
waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan
3. Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup merupakan salah satu
moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan hal tersebut, maka nampak jelas bahwa eutanasia
adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha.
Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada belas kasih.
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat
menjadi karma negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan
guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
4.
Dalam ajaran Islam
Seperti agama-agama, Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan
anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan
kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Terdapat sebuah ayat yang
menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau
membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh
dirinya sendiri.
Eutanasia dalam
ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara
positif maupun negatif.
Pada konferensi
pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada
suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy
killing) dalam alasan apapun juga
5. Dalam ajaran gereja
Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga
sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa,
upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan
hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk
sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja
Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran
eutanasia.
6. Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam
pembunuhan. Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang
memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun
tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan),
adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan
Tuhan.
Dasar dari larangan
ini dapat ditemukan pada Kitab
Kejadian dalam alkitab Perjanjian
Lama Kej 1:9 yang
berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan
menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap
manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah
merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
7.
Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap
eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan
dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
§ Gereja Methodis (United Methodist church)
dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran
untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang
dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong
kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan
kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
§ Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan
merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara
tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian
terjadi.
Seorang kristiani
percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan
pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi,
pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan
mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan
dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan,
memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awal, cara
pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh
diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut
"kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan
maksud dan tujuan pemberian tersebut.
6. Euthanasia dipandang dari
aspek hukum di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan
yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan
yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359. Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan
euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP.
1.
Pasal 344 KUHP
Barang siapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa
pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter.
2.
Pasal 338 KUHP
Barang siapa
dngan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
3.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa
yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau pejara
selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.
4.
Pasal 359
Barang siapa
karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.Selanjutnya juga dikemukakan
sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati
menghadapi kasus euthanasia.
5.
Pasal 345
Barang siapa
dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.Berdasarkan penjelasan pandangan hukum
terhadap tidakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang
memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan
pasal 345 KUHP dengan acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
0 komentar:
Posting Komentar