TENTANGAN
TERHADAP PEMIKIRAN HAM
Tidak semua
orang memiliki pandangan yang sama tentang hak-hak alam, atau hak asasi manusia..
Universalisme HAM dilawankan dengan Partikularisme. Pemikiran HAM mengenai
persamaan (equality) dilawan dengan ide kasta, kelas, hirarki sosial, etnis,
tradisi.
Pada tahun baru
1792 patung Thomas Paine dibakar sebagai simbol perlawanan terhadap ide2 Paine
dalam Rights of Man sambil
menyanyikan God Save The King, seolah menentang ide2 pembatasan kekuasaan yang
dicetuskan Paine. Pemikiran
Paine dianggap subversif dan dia
dikejar-kejar untuk ditangkap.
Sementara itu
filsuf masyhur pencetus utilitarian Jeremy Bentham
(belajar membaca sendiri, dan umur 12 tahun masuk di Oxford University !)
mengkhawatirkan bahwa deklarasi yang abstrak dan pernyataan-pernyataan hak-hak
alami akan dengan mudah menggantikan hukum positif dan perundang-undangan.
Menurut Bentham, hak asasi adalah anak dari hukum; dari hukum sejati timbul hak
yang sejati; akan tetapi dari hukum khayalan, dari hukum alam akan muncul pula
hak-hak khayalan….hak-hak alam tidak lebih dari omong kosong (Rights, is the
child of law; from real law come real rights; but from imaginary laws, from
‘law of nature’, come imaginary rights….Natural rights is simple Nonsense).
Deklarasi hak
asasi tidak saja ditentang oleh Burke
dan Bentham namun juga oleh Thomas Hobbes ,
sang penulis Leviathan. Hobbes pada singkatnya menyatakan bahwa pada keadaan alami adanya
keinginan tiada habis dan abadi akan kekuasaan. Tanpa pemerintahan yang kuat
yang melindungi, demikian Hobbes , akan selalu ada
perang dan pertikaian (a war of every man against every man). Kehidupan
individu mereka akan menjadi terasing, buruk, kejam, dan singkat. Oleh
karenanya Hobbes mendukung gagasan kekuasaan yang
absolut. Orang mesti menyerahkan semua yang ia miliki pada negara. Orang tidak
boleh merubah bentuk negara, tidak boleh protes atau menuduh bahwa penguasa
tidak adil, menghukum para raja atau memiliki hak-hak individu. Apapun hak yang
muncul hanya bisa diklaim oleh sang penguasa kerajaan/negara dan hak-hak itu
tak dapat dibagi (indivisible) esesensial dan tak terpisahkan (inseparable).
Hak-hak penguasa itu termasuk untuk menyatakan ajaran-ajaran sesat (false
doctrines) dan kebenaran-kebenaran yang harus diajarkan pada orang. Oleh
karenanya siapa yang tunduk pada penguasa harus tetap tunduk dan tunduk.
Tentangan
terhadap ajaran hak-hak alam juga menggunakan dalil hak-hak alam, dengan
menyatakan hak-hak alami kaum bangsawan/keluarga kerajaan!! Menurut mereka,
Sang Raja tak perlu mempertanggungjawabkan tindakannya pada siapapun. Negara
adalah miliknya; keinginan rakyat ada dalam keinginannya. Karena kesempurnaan
dan kekuatan menyatu dalam diri TUHAN, maka semua kekuatan individu menyatu dalam
diri sang Raja.
Kepercayaan
bahwa kekuatan raja berasal turun temurun sebenarnya jauh telah ada sebelum Hobbes dan pemikir-pemikir absolutisme. Pharaoh di Mesir,
para kaisar di Roma, emperor di Byzantium, para Khalifah di dunia Islam,
raja-raja di Cambodia (Kamboja), para Khan di Mongol, para Sultan dan Pangeran
di India, para Raja di Jawa dan Sumatera. Dalam sistem-sistem kekuasaan seperti
di atas, ada garis tegas yang membedakan antara penguasa dan kawula. Mereka
yang berada dalam kekuasaan selalu tunduk dan takut pada penguasa. Berbagai
jenis penyiksaan dijadikan metode untuk menghukum atau memaksa pengakuan dari
tersangka. Pendidikan hanya dapat dinikmati oleh mereka yang bangsawan, atau
yang kaya.
Alih-alih
mendukung persamaan antar manusia, ada juga yang meyakini pentingnya tetap ada
perbedaan antara manusia. Perbedaan antar manusia didasarkan pada usia, pada
pendidikan, bahasa. Ada
juga yang mempertahankan perbedaan menurut kasta, kepemilikan harta, atau
tingkatan/kelas dalam masyarakat. Sistem Varnashramadarma
di India adalah contoh ekstrim yang
menegaskan bahwa ada perbedaan-perbedaan mendasar antar jenis-jenis manusia
yang tak bisa diubah. Sementara itu dalam hubungan-hubungan antar bangsa
prinsip-prinsip dasar HAM mendapat tentangan ajaran2 tentang ras superior, yang menyatakan
bahwa ras Eropa/Kulit Putih adalah lebih unggul dari ras manapun di dunia.
Ajaran-ajaran seperti ini bahkan diyakini oleh Aristotle, Herodotus.Pada abad
XVI sejarawan seperti Andre Thevet dalam bukunya Cosmographie universelle bahkan menyatakan bahwa orang-orang Afrika
itu tolol, buas, dan dibutakan oleh kebodohan (stupid, bestial, and blinded by
folly), sementara misionaris Jesuit seperti Alexandre Valignamo menyatakan
bahwa ras-ras dengan kulit yang berwarna di luar Eropa adalah sangat bodoh dan
kejam. Bahkan ilmuwan Anthropology seperti Friedrich Blumenbach
menyatakan bahwa dari perbandingan ras antar bangsa nyatalah bahwa kulit putih
menempati urutan pertama (the white color holds the first place). Semua argumen
di atas yang menunjukkan superioritas ras tertentu di dunia ini menjadi dasar
adanya perbudakan, kolonisasi, penjajahan, perdagangan manusia dalam
perdagangan budak internasional.
Elemen lain yang
digunakan untuk menentang hak asasi internasional adalah doktrin kedaulatan
nasional (national sovereignty). Doktrin atau ajaran kedaulatan nasional ini
menyatakan bahwa negara mempunyai kekuasaan yang mutlak dan abadi, tertinggi
dan tidak tunduk pada hukum apapun (termasuk hukum alam!). Bahkan menurut Jean Bodin ,
penganjur ajaran kedaulatan negara ini, justeru kedaulatan negara itulah
ciri-ciri suatu negara. Negaralah yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan
tingkah laku seperti apa yang akan dilakukan. Jika negara ingin menyejahterakan
rakyat, maka negara dapat melakukannya. Jika negara ingin mengeksploitasi
rakyat, memaksa rakyat dan menindas, negara boleh melakukannya. Tidak ada
entitas lain di luar negara yang bisa campur tangan, karena semuanya adalah
sepenuhnya jurisdiksi domestik suatu negara.
Doktrin
Kedaulatan Negara ini ditegaskan dalam The
Treaty of Westphalia (1648) yang memberi pengakuan de facto maupun de jure
akan kekuasaan suatu negara yang merdeka sebagai satu-satunya aktor yang sah
dalam sistem internasional yang terdesentralisasi (decentralized international
system). Tidak lagi diakui kekuasaan Paus atau Emperor dari atas, atau tidak
diakui kekuasaan para bangsawan dari bawah. Negaralah yang paling utama. Hobbes yang menulis Leviathan
tiga tahun kemudian menyatakan bahwa kekuasaan negara yang absolut adalah yang
paling tinggi (supreme). Sejak pertama kali ditulis, ajaran Hobbes
tentang kedaulatan negara ini merupakan doktrin/ajaran yang paling keras
terutama ketika berhadapan dengan hak asasi manusia internasional.
HAM:
ANTARA PANDANGAN (VISION) DAN KENYATAAN (REALITIES)
Patut diingat
meskipun berbagai Revolusi dan Deklarasi serta Konstitusi dihasilkan dari
gerakan-gerakan HAM pada abad 18 dan 19, kesemuanya tidak serta merta merubah
keadaan. Para filsuf pencetus HAM masa
Pencerahan pun dalam perilakunya tidak serta merta mencerminkan penghormatan
HAM seperti yang dikenal dewasa ini. Rousseau
misalnya menyuarakan keadilan dan kebebasan, namun pada saat yang sama menolak
kesetaraan gender.
Sementara itu David Hume
juga menyatakan hal sama bahwa orang-orang negro secara alamiah lebih rendah
daripada kulit putih. Revolusi
Amerika dan Perancis diharapkan
menjadi tonggak sejarah konstitusionalisme, pembatasan kekuasaan penguasa
terhadap rakyat. Kedua revolusi itu juga merupakan tonggak demokrasi ketika
rakyat merebut kembali kedaulatannya. Namun demikian, kedua revolusi itu tidak
serta merta mengubah segalanya.
0 komentar:
Posting Komentar