Selasa, 04 Juni 2013

 TENTANGAN TERHADAP PEMIKIRAN HAM

Tidak semua orang memiliki pandangan yang sama tentang hak-hak alam, atau hak asasi manusia.. Universalisme HAM dilawankan dengan Partikularisme. Pemikiran HAM mengenai persamaan (equality) dilawan dengan ide kasta, kelas, hirarki sosial, etnis, tradisi.
Pada tahun baru 1792 patung Thomas Paine dibakar sebagai simbol perlawanan terhadap ide2 Paine dalam Rights of Man sambil menyanyikan God Save The King, seolah menentang ide2 pembatasan kekuasaan yang dicetuskan Paine. Pemikiran Paine dianggap subversif dan dia dikejar-kejar untuk ditangkap.
Buku Paine sebenarnya adalah sanggahan langsung terhadap ide Edmund Burke yang menulis Reflection of the Revolution in France yang dipublikasi pada 1790. Menurut Burke, Revolusi Perancis menghancurkan hirarki dan dan tradisi dan tradisi yang telah lama ada, serta sejarah. Burke juga yakin, bahwa kebebasan hanya bisa ada secara bertahap (gradual) dari tatanan lama. Menurut Burke, sejarah telah banyak membuktikan bahwa manusia itu penuh ambisi, keserakahan, dendam, munafik. Jika orang diberi hak secara berlebihan, orang akan mau segalanya. Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara di Perancis dikritik oleh Burke sebagai deklarasi metafisik yang menciptakan ‘fiksi-fiksi yang mengerikan’ (monstrous fictions) tentang persamaan manusia.
Sementara itu filsuf masyhur pencetus utilitarian Jeremy Bentham (belajar membaca sendiri, dan umur 12 tahun masuk di Oxford University!) mengkhawatirkan bahwa deklarasi yang abstrak dan pernyataan-pernyataan hak-hak alami akan dengan mudah menggantikan hukum positif dan perundang-undangan. Menurut Bentham, hak asasi adalah anak dari hukum; dari hukum sejati timbul hak yang sejati; akan tetapi dari hukum khayalan, dari hukum alam akan muncul pula hak-hak khayalan….hak-hak alam tidak lebih dari omong kosong (Rights, is the child of law; from real law come real rights; but from imaginary laws, from ‘law of nature’, come imaginary rights….Natural rights is simple Nonsense).
Deklarasi hak asasi tidak saja ditentang oleh Burke dan Bentham namun juga oleh Thomas Hobbes, sang penulis Leviathan. Hobbes pada singkatnya menyatakan bahwa pada keadaan alami adanya keinginan tiada habis dan abadi akan kekuasaan. Tanpa pemerintahan yang kuat yang melindungi, demikian Hobbes, akan selalu ada perang dan pertikaian (a war of every man against every man). Kehidupan individu mereka akan menjadi terasing, buruk, kejam, dan singkat. Oleh karenanya Hobbes mendukung gagasan kekuasaan yang absolut. Orang mesti menyerahkan semua yang ia miliki pada negara. Orang tidak boleh merubah bentuk negara, tidak boleh protes atau menuduh bahwa penguasa tidak adil, menghukum para raja atau memiliki hak-hak individu. Apapun hak yang muncul hanya bisa diklaim oleh sang penguasa kerajaan/negara dan hak-hak itu tak dapat dibagi (indivisible) esesensial dan tak terpisahkan (inseparable). Hak-hak penguasa itu termasuk untuk menyatakan ajaran-ajaran sesat (false doctrines) dan kebenaran-kebenaran yang harus diajarkan pada orang. Oleh karenanya siapa yang tunduk pada penguasa harus tetap tunduk dan tunduk.
Pendapat Hobbes tentu saja mewakili mereka  penganut hak-hak dan keistimewaan raja, yang mengakui raja sebagai entitas tertinggi dan menginginkan kekuasaan yang absolut dan kekuasaan politik yang terpusat.
Tentangan terhadap ajaran hak-hak alam juga menggunakan dalil hak-hak alam, dengan menyatakan hak-hak alami kaum bangsawan/keluarga kerajaan!! Menurut mereka, Sang Raja tak perlu mempertanggungjawabkan tindakannya pada siapapun. Negara adalah miliknya; keinginan rakyat ada dalam keinginannya. Karena kesempurnaan dan kekuatan menyatu dalam diri TUHAN, maka semua kekuatan individu menyatu dalam diri sang Raja.
Kepercayaan bahwa kekuatan raja berasal turun temurun sebenarnya jauh telah ada sebelum Hobbes dan pemikir-pemikir absolutisme. Pharaoh di Mesir, para kaisar di Roma, emperor di Byzantium, para Khalifah di dunia Islam, raja-raja di Cambodia (Kamboja), para Khan di Mongol, para Sultan dan Pangeran di India, para Raja di Jawa dan Sumatera. Dalam sistem-sistem kekuasaan seperti di atas, ada garis tegas yang membedakan antara penguasa dan kawula. Mereka yang berada dalam kekuasaan selalu tunduk dan takut pada penguasa. Berbagai jenis penyiksaan dijadikan metode untuk menghukum atau memaksa pengakuan dari tersangka. Pendidikan hanya dapat dinikmati oleh mereka yang bangsawan, atau yang kaya.

Alih-alih mendukung persamaan antar manusia, ada juga yang meyakini pentingnya tetap ada perbedaan antara manusia. Perbedaan antar manusia didasarkan pada usia, pada pendidikan, bahasa. Ada juga yang mempertahankan perbedaan menurut kasta, kepemilikan harta, atau tingkatan/kelas dalam masyarakat. Sistem Varnashramadarma  di India adalah contoh ekstrim yang menegaskan bahwa ada perbedaan-perbedaan mendasar antar jenis-jenis manusia yang tak bisa diubah. Sementara itu dalam hubungan-hubungan antar bangsa prinsip-prinsip dasar HAM mendapat tentangan  ajaran2 tentang ras superior, yang menyatakan bahwa ras Eropa/Kulit Putih adalah lebih unggul dari ras manapun di dunia. Ajaran-ajaran seperti ini bahkan diyakini oleh Aristotle, Herodotus.Pada abad XVI sejarawan seperti Andre Thevet dalam bukunya Cosmographie universelle bahkan menyatakan bahwa orang-orang Afrika itu tolol, buas, dan dibutakan oleh kebodohan (stupid, bestial, and blinded by folly), sementara misionaris Jesuit seperti Alexandre Valignamo menyatakan bahwa ras-ras dengan kulit yang berwarna di luar Eropa adalah sangat bodoh dan kejam. Bahkan ilmuwan Anthropology seperti Friedrich Blumenbach menyatakan bahwa dari perbandingan ras antar bangsa nyatalah bahwa kulit putih menempati urutan pertama (the white color holds the first place). Semua argumen di atas yang menunjukkan superioritas ras tertentu di dunia ini menjadi dasar adanya perbudakan, kolonisasi, penjajahan, perdagangan manusia dalam perdagangan budak internasional.
Elemen lain yang digunakan untuk menentang hak asasi internasional adalah doktrin kedaulatan nasional (national sovereignty). Doktrin atau ajaran kedaulatan nasional ini menyatakan bahwa negara mempunyai kekuasaan yang mutlak dan abadi, tertinggi dan tidak tunduk pada hukum apapun (termasuk hukum alam!). Bahkan menurut Jean Bodin, penganjur ajaran kedaulatan negara ini, justeru kedaulatan negara itulah ciri-ciri suatu negara. Negaralah yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan tingkah laku seperti apa yang akan dilakukan. Jika negara ingin menyejahterakan rakyat, maka negara dapat melakukannya. Jika negara ingin mengeksploitasi rakyat, memaksa rakyat dan menindas, negara boleh melakukannya. Tidak ada entitas lain di luar negara yang bisa campur tangan, karena semuanya adalah sepenuhnya jurisdiksi domestik suatu negara.
Doktrin Kedaulatan Negara ini ditegaskan dalam The Treaty of Westphalia (1648) yang memberi pengakuan de facto maupun de jure akan kekuasaan suatu negara yang merdeka sebagai satu-satunya aktor yang sah dalam sistem internasional yang terdesentralisasi (decentralized international system). Tidak lagi diakui kekuasaan Paus atau Emperor dari atas, atau tidak diakui kekuasaan para bangsawan dari bawah. Negaralah yang paling utama. Hobbes yang menulis Leviathan tiga tahun kemudian menyatakan bahwa kekuasaan negara yang absolut adalah yang paling tinggi (supreme). Sejak pertama kali ditulis, ajaran Hobbes tentang kedaulatan negara ini merupakan doktrin/ajaran yang paling keras terutama ketika berhadapan dengan hak asasi manusia internasional.


HAM: ANTARA PANDANGAN (VISION) DAN KENYATAAN (REALITIES)

Patut diingat meskipun berbagai Revolusi dan Deklarasi serta Konstitusi dihasilkan dari gerakan-gerakan HAM pada abad 18 dan 19, kesemuanya tidak serta merta merubah keadaan. Para filsuf pencetus HAM masa Pencerahan pun dalam perilakunya tidak serta merta mencerminkan penghormatan HAM seperti yang dikenal dewasa ini. Rousseau misalnya menyuarakan keadilan dan kebebasan, namun pada saat yang sama menolak kesetaraan gender.
Montesquieu, pencetus Trias Politica juga menyatakan bahwa orang kulit hitam Afrika adalah buas dan tak beradab (savage and barbarian). Tak kurang John Locke sekalipun yang menyuarakan kebebasan manusia mempunyai saham di Royal African Company, suatu perusaahaan perdagangan budak dari Afrika. Voltaire juga memiliki saham di Compagnies de Indes dimana keuntungan didapatkan dari perdagangan budak, dan ia mengatakan bahwa orang kulit hitam hanya sedikit lebih pintar dari binatang. Masih kata Voltaire, sebagai hasil dari hirarki antar bangsa, orang-orang negro adalah budak di antara manusia.
Sementara itu David Hume juga menyatakan hal sama bahwa orang-orang negro secara alamiah lebih rendah daripada kulit putih. Revolusi Amerika dan Perancis diharapkan menjadi tonggak sejarah konstitusionalisme, pembatasan kekuasaan penguasa terhadap rakyat. Kedua revolusi itu juga merupakan tonggak demokrasi ketika rakyat merebut kembali kedaulatannya. Namun demikian, kedua revolusi itu tidak serta merta mengubah segalanya.

Walaupun Konstitusi Amerika berisi ketentuan-ketentuan yang luarbiasa, namun praktik-praktik pengingkaran HAM pada masa itu masih berlanjut setidaknya terhadap empat kategori: budak, kaum perempuan, mereka yang tak berharta, dan kaum pribumi (suku Indian). Konstitusi melarang kongres untuk melarang perdagangan budak dalam jangka waktu 20 tahun. George Washington dan Thomas Jefferson keduanya memiliki budak. 

0 komentar:

Posting Komentar