Keterbatasan Komnas HAM
Besarnya harapan masyarakat terhadap Komnas HAM yang menganggap bahwa
Komnas HAM sebagai lembaga yang super
body sehingga diartikan bahwa Komnas
HAM sebagai lembaga Harapan Akhir
Masyarakat, yang dianggap dapat menyelesaikan semua permasalahan
masyarakat, hal ini telah menjadi beban yang sangat berat bagi Komnas HAM dalam
menjalankan amanat tersebut.
Besarnya harapan masyarakat khususnya masyarakat korban tersebut
ternyata tidak diimbangi dengan kewenangan yang ada atau yang diberikan kepada
Komnas HAM, sehingga masyarakat kecewa dengan kinerja Komnas HAM karena
ternyata Komnas HAM tidak dapat memenuhi harapan masyarakat.
Mengingat bahwa rekomendasi Komnas HAM hanyalah bersifat morally
binding, sehingga tidak ada kewajiban hukum bagi para pihak yang
menerima rekomendasi Komnas HAM untuk menindaklanjuti. Hal inilah yang
mengakibatkan banyaknya pengaduan ke Komnas HAM tidak dapat tertangani dengan
baik.
Untuk itu, Komnas HAM perlu diberikan kewenangan yang lebih melalui
perubahan undang-undang yang ada, sehingga dapat menjalankan mandatnya dengan lebih
baik sesuai dengan harapan masyarakat.
A. Fungsi Komnas HAM berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
1.
Latar belakang kelahiran Pengadilan HAM
Selain beberapa fungsi yang disebutkan diatas,
berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas
HAM mempunyai fungsi sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk
melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes, sehingga tidak
bisa diselesaikan dengan menggunakan perangkat hukum yang ada yang mengatur
mengenai ordinary crimes. Dengan kata lain bahwa pelanggaran hak asasi manusia
yang berat tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan umum. Untuk itu, guna menyelesaikan
masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat perlu dibentuk Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan HAM
tersebut, maka pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Pembentukan Undang-Undang Pengadilan HAM tersebut
merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Untuk mengadili
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia
di lingkungan Peradilan Umum”.
Sebenarnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tersebut
merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor
1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang telah dicabut oleh Dewan
Perwakilan Rakyat karena peraturan tersebut dinilai tidak memadai dan masih
ditemui adanya beberapa kelemahan, sehingga dicabut dan digantikan dengan
Undang-undang nomor 26 Tahun 2000. [1]
Untuk menangani
perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini diperlukan
langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang
bersifat khusus, sehingga dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 juga mengatur
tentang ketentuan hukum acara yang bersifat khusus yang berbeda dengan
penanganan ordinary crimes. Adapun kekhususan tersebut sebagaimana disebutkan
dalam pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut adalah :
a.
Penyelidik
dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc
( pasal 18 – 33).
b.
Adanya
penegasan bahwa penyelidikan hanya dapat dilakukan oleh Komnas HAM sebagai
lembaga yang independen dan tidak dilakukan oleh pihak kepolisian maupun
kejaksaan sebagai lembaga penyelidik untuk kejahatan ordinary crimes. (pasal
18).
c.
Tenggang
waktu yang sudah ditentukan yang berbeda dengan tenggang waktu yang diatur
dalam KUHAP dalam hal penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.
(pasal 22, 24, 31, 32, 33).
d.
Adanya
perlindungan korban dan saksi (pasal 34), perlindungan korban dan saksi ini tidak
diatur untuk ordinary crimes dan hanya untuk pelanggaran hak asasi manusia yang
berat saja.
e.
Dalam
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak ada kedaluarsa, sedangkan
dalam ordinary crimes diatur adanya masa kedaluarsa.
2.
Bentuk Pengadilan HAM
Ada dua macam Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu
Pengadilan HAM Permanen dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Permanen
mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang terjadi
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tanggal 12 Maret 2001, pemerintah telah membentuk
Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri
Surabaya, Pengadilan Negeri Medan dan
Pengadilan Negeri Makassar. [2]
Sedangkan Pengadilan
HAM ad hoc mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 (retroactive). Pada saat ini, pemerintah telah mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tanggal 23 April 2001 tentang
Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[3]
Asas retroactive ini pada waktu kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur
menjadi perdebatan sehubungan dengan adanya pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945
yang merupakan hasil dari amendemen kedua atas UUD 1945 yang berbunyi “…tidak
dapat diadili atas dasar peraturan hukum yang berlaku surut…”. Selain itu,
asas ini juga dinilai melanggar asas non retroactive yang menjadi asas hukum
internasional.
3. Yurisdiksi Pengadilan HAM
Pengadilan
HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat meliputi :
1.
Kejahatan Genosida. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara
:membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.
2.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas (widespread) atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil berupa : pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan
pokok hukum internasional; penyiksaan; perkosaan, perbudakan , pelacuran
secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa
atau bentuk-bentuk kekerasan lain yang setara; penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.
Apabila diperhatikan
mengenai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana tersebut
diatas adalah sama seperti halnya kejahatan pelanggaran hak asasi manusia yang
diatur di dalam Statuta Roma. Dengan adanya persamaan tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa undang-undang nomor 26 tahun 2000 tersebut telah mengadopsi
beberapa ketentuan yang ada di dalam Statuta Roma. Yang menjadi perbedaan bahwa
di dalam statuta roma mempunyai jurisdiksi bukan terbatas pada kejahatan
genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja, akan tetapi termasuk juga
kejahatan perang dan agresi. [4]
3. Pertanggungjawaban Pidana
Yang menjadi subyek
hukum dari Pengadilan HAM ini adalah setiap orang baik sipil, polisi maupun
militer yang bertanggung jawab secara individual. Prinsip pertanggung jawaban
secara individu ini bukan hanya diakui di dalam International Tribunal saja,
akan tetapi diakui juga di dalam semua system hukum kriminal yang ada di dunia
ini. Jadi bentuk pertanggung jawaban kriminal secara individu ini sudah
merupakan prinsip umum di dalam hukum baik itu hukum national maupun hukum
internasional. [5]
Pengalaman hukum international yang menuntut pertanggungjawaban individu antara
lain diterapkan di dalam Nuremberg
Tribunal, Tokyo Tribunal, ICTY maupun ICTR.
Dalam melakukan
penuntutan pidana secara individual ini, hendaknya tidak dilakukan secara
diskriminasi yaitu hanya terhadap para pelaku yang berpangkat rendah saja, akan
tetapi hendaknya dilakukan juga bagi siapa saja baik yang berpangkat rendah
maupun berkedudukan tinggi yang dengan jelas telah terlibat dalam tindak
pelanggaran hak asasi manusia. Setidaknya ada dua cara yang dikenal dalam International rules on non-discrimination
yang berkenaan dengan penuntutan pertanggungjawaban secara individual dalam
hukum internasional untuk kejahatan serius dalam pelanggaran hak asasi manusia,
yaitu pertama, prinsip non-discrimination
ini merupakan forms parts of the
prespective content dalam beberapa norma hukum hak asasi manusia
internasional dan kedua, non-discrimination
figures sebagai cardinal principle of
international law yang menjelaskan bagaimana norma-norma hak asasi manusia
secara umum harus diterapkan. [6]
Oleh karena itu,
undang-undang ini bukan hanya mengatur mengenai pertanggungjawaban secara
individual saja yaitu para pelaku langsung di lapangan, akan tetapi juga
mengatur mengenai pertanggungjawaban komando, dimana seseorang komandan dapat
dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan yang
berada dibawah komando dan pengendaliannya secara efektif. Pertanggungjawaban
komando ini bukan hanya berlaku terhadap militer saja, akan tetapi diberlakukan
juga terhadap polisi maupun sipil (pasal 42).
4. Kewenangan Penyelidikan
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia
yang berat dilakukan oleh Komnas HAM. Dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM
dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri dari anggota Komnas HAM dan unsur
masyarakat. Dalam melaksanakan penyelidikan, Komnas HAM berwenang :
- Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
- Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti.
- Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya.
- Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya.
- Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
- Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
- Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
)1
pemeriksaan
surat
)2
penggeledahan
dan penyitaan
)3
pemeriksaan
setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang
diduduki atau dimiliki pihak tertentu
)4
mendatangkan
ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.
Langkah selanjutnya
setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan adalah menyerahkan hasil penyelidikan
tersebut ke Jaksa Agung guna ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan.
5. Hak Korban
Mengingat bahwa
pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah merupakan extra ordinary
crimes, maka perlindungan terhadap para korban maupun saksi sangat dibutuhkan.
Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2002 tanggal 13 Maret 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan
Saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. [7]
Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 ini juga mengatur adanya hak korban untuk
mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Untuk itu, pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tanggal 13 Maret 2002
tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat. [8]
6. Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana
sebagaimana diatur di dalam Bab VII dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara selama 25 tahun,
pidana penjara selama 20 tahun, pidana penjara selama 15 tahun, pidana penjara
selama 10 tahun dan paling ringan adalah pidana penjara selama 5 tahun.
Pemberian hukuman mati adalah pelanggaran terhadap hak yang paling mendasar
yaitu hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan bagaimanapun (non derogable rights). Hukuman mati tersebut bertentangan
dengan hukum internasional sebagaimana diatur di dalam pasal 3 UDHR, pasal 6
ICCPR maupun peraturan hukum internasional lainnya. Berkaitan dengan diaturnya
hukuman mati ini, Amnesty Internasional sebagai salah satu organisasi yang
begitu giat memperjuangkan penghapusan hukuman mati di dunia telah memberikan
kritikan terhadap pemberian hukuman mati
dalam UU No. 26 Tahun 2000. [9]
7. Kendala Penanganan Pelanggaran HAM Yang Berat.
Keefektifan dan kelancaran proses penyelidikan pelanggaran
HAM yang berat sering mengalami kendala karena permasalahan yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000. Kendala-kendala atau permasalahan yang
menghambat kelancaran proses penyelidikan tersebut, antara lain :
1. Ketiadaan Hukum
Acara Khusus.
Penjelasan
Umum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 antara lain menyatakan bahwa pelanggaran
HAM yang berat merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), bukan
merupakan tindak pidana yang diatur di dalam KUHP, sehingga diperlukan
langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang
bersifat khusus. Meskipun demikian, tidak dibuat hukum acara khusus bagi
pelaksanaan UU 26/2000. Undang-undang ini hanya memuat 24 pasal hukum acara
(Pasal 10 – Pasal 33), yang diawali oleh pasal yang merupakan ketentuan umum
yang menetapkan bahwa “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini,
hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan
berdasarkan ketentuan hukum acara pidana (Pasal 10). KUHAP (UU No. 8/1981)
didesain sebagai hukum acara bagi tindak pidana biasa (ordinary crime). Hukum
acara demikian tidaklah memadai untuk diberlakukan bagi penanganan pelanggaran
HAM yang berat yang merupakan kejahatan luar biasa yang berdampak luas baik
pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana
yang diatur dalam KUHP. Sebagai salah satu contoh dapat disebut prinsip unus testis nullus testis yang dianut oleh KUHAP dalam pembuktian
(Pasal 185 ayat (2)), sehingga sulit diterapkan seperti dalam kasus perkosaan.
Sebagai peraturan perundang-undangan yang mengatur kejahatan luar biasa (extra
ordinary crimes), UU 26/2000 seharusnya mempunyai hukum acaranya sendiri,
sebagaimana halnya Statuta Pengadilan Internasional bagi bekas Yugoslavia (Statute of the International Tribunal for
Former Yugoslavia), Statuta Pengadilan Internasional untuk Rwanda (Statute of the International Tribunal for
Rwanda), dan Statuta Pengadilan Pidana Internasional (Statute of the International Criminal Court). Dengan adanya hukum
acara yang khusus berlaku bagi UU 26/2000, maka akan memudahkan bagi penyelidik,
penyidik, penuntut, dan pemeriksa di pengadilan karena hanya harus merujuk pada
satu hukum acara yang terpadu isinya. Adanya hukum acara yang khusus tersebut
juga akan menghindarkan penafsiran yang berbeda antara penyelidik dan penyidik
mengenai ketentuan tertentu dalam proses penyelidikan, seperti masalah
pengambilan sumpah, dan lain-lain.
2. Ketiadaan
Ketentuan yang Mengatur Prosedur Penyelesaian Perbedaan Pendapat antara
Penyelidik dan Penyidik.
Kewajiban Komnas HAM selanjutnya setelah melakukan penyelidikan
menurut Pasal 1 angka 5, Pasal 18, dan Pasal 19, ditetapkan dalam Pasal 20,
khususnya dalam hal Komnas HAM, dari hasil penyelidikannya itu, menemukan
adanya peristiwa yang oleh Komnas HAM dianggap merupakan pelanggaran HAM yang
berat. Pasal 20 tersebut menetapkan tiga bentuk tindak yang harus dilakukan
oleh Komnas HAM sebagai penyelidik, yakni :
a.
Menyampaikan kesimpulan hasil
penyelidikan kepada penyidik (ayat 1);
b.
Menyerahkan seluruh hasil penyelidikan
kepada penyidik dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja setelah kesimpulan
hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik (ayat 2); dan
c.
Dalam waktu tiga puluh hari melengkapi
kekurangan hasil penyelidikannya apabila penyidik berpendapat ada kekurangan
lengkap (ayat 3).
Setelah melalui proses sebagaimana diatur dalam Pasal 20
tersebut penyidik mungkin berbeda pendapat dengan penyelidik dan menyimpulkan
bahwa dalam peristiwa yang diselidiki oleh penyelidik tidak terdapat
pelanggaran HAM yang berat. Dalam hal demikian, Jaksa Agung akan mengeluarkan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 22
ayat (4)). Apabila hal ini terjadi, Komnas HAM, sebagai penyelidik, tidak akan
bisa menerima begitu saja kesimpulan Jaksa Agung. Namun, sangat disesalkan
bahwa UU 26/2000 tidak memuat ketentuan yang menetapkan mekanisme dan lembaga
yang dapat menyelesaikan kemungkinan perbedaan pendapat atas simpulan hasil
penyelidikan. Selain kemungkinan permasalahan tersebut, perbedaan pendapat yang
sudah terjadi antara penyelidik dan penyidik adalah mengenai pengambilan sumpah
bagi penyelidik yang sampai dengan sekarang belum ada kesamaan pendapat.
3. Ketiadaan
Ketentuan tentang Prosedur Pengusulan Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pasal
43 ayat (1) UU Nomor 26/2000 menetapkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU 26/2000 diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan HAM ad hoc. Menurut pasal tersebut, Pengadilan HAM ad hoc
dibentuk atas usul DPR kepada Presiden berdasarkan peristiwa tertentu. Penjelasan
Pasal 43 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya
Pengadilan HAM ad hoc, mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM
yang berat dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu. Hal yang tidak
diatur oleh UU 26/2000 adalah tentang prosedur yang harus ditempuh yang
berujung pada tindakan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
Karena penjelasan Pasal 43 ayat (2) jelas-jelas menyatakan bahwa pengusulan
tersebut harus didasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang
berat hanya dapat disimpulkan setelah penyelidikan dan karena penyelidikan
pelanggaran HAM yang berat hanya dilakukan oleh Komnas HAM, maka berdasarkan
hal tersebut DPR seharusnya mendasarkan tindakannya untuk mengusulkan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc itu pada hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyimpulkan
terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa yang diselidikinya.
Dengan demikian, Komnas HAM yang seharusnya diberikan kewenangan untuk meminta
DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tersebut agar hasil
penyelidikan Komnas HAM dapat ditindaklanjuti sampai pemeriksaan di pengadilan.
Namun DPR ternyata tidak mengikuti alur berpikir demikian sebagaimana dilakukan
pada 2001. Meskipun DPR bukan lembaga penyelidik pelanggaran HAM yang berat,
pada 2001 DPR telah memutuskan bahwa dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan
Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat, sehingga DPR merasa
tidak punya alasan untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.
4. Ketiadaan
Kewenangan Penyelidik untuk Melakukan Pemanggilan Paksa (Sub poena).
Pasal
89 ayat (3) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan, bahwa dalam
pelaksanaan fungsi pemantauan, Komnas HAM berwenang antara lain melakukan
pemanggilan kepada pengadu, korban, saksi atau pihak terkait lainnya. Dalam
hubungan ini, Pasal 95 menetapkan bahwa “Apabila seseorang yang dipanggil tidak
datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, Komnas HAM dapat meminta
bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”. Apabila dalam pelaksanaan fungsi
pemantauan pelanggaran HAM “biasa” menurut UU 39/1999 Komnas HAM diberikan
kewenangan melakukan pemanggilan paksa (sub poena), UU 26/2000 yang memberi
mandat kepada Komnas HAM sebagai satu-satunya penyelidik pro justitia
pelanggaran HAM yang berat justru tidak memuat ketentuan yang memberikan
kewenangan demikian kepada Komnas HAM. Akibatnya, ketika Komnas HAM melakukan
penyelidikan peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II serta peristiwa
Kerusuhan Mei 1998, sejumlah orang yang diperlukan keterangan atau kesaksiannya
tidak mau memenuhi panggilan Komnas HAM. Walaupun Komnas HAM sudah berupaya
untuk meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk
pemanggilan paksa, akan tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Ketua
Pengadilan dengan alasan bahwa kewenangan pemanggilan paksa diberikan oleh UU
39/1999 dan bukan oleh UU 26/2000.
5. Tidak Memadainya
Perlindungan Korban dan Saksi.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 memang memberikan jaminan
hak korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat atas perlindungan fisik
dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak mana pun
(Pasal 34 ayat (1)). Pasal 34 ayat (2)) selanjutnya menyebutkan bahwa
perlindungan tersebut wajib dilaksanakan oleh “aparat penegak hukum dan aparat
keamanan secara cuma-cuma, sedangkan Pasal 34 ayat (3) menetapkan bahwa tata
cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Menindaklanjuti perintah
undang-undang tersebut, memang sudah diterbitkan PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya PP tersebut tidak memadai
antara lain korban dan saksi merasa khawatir karena yang memberikan
perlindungan adalah aparat keamanan (POLRI) yang kadang menjadi pihak yang
terlibat dalam pelanggaran.
C. Penutup
Dengan segala keterbatasan yang ada, Komnas HAM
telah berusaha semaksimal mungkin melaksanakan fungsi dan tugasnya yang
diamanatkan di dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia maupun Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Komnas HAM menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi
dan tugasnya masih jauh dari harapan masyarakat, khususnya para korban
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, saran dan kritikan serta
masukan bagi peningkatan kualitas dan kuantitas kinerja Komnas HAM sangatlah
diharapkan bagi pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia, karena pada dasarnya hak asasi manusia adalah untuk semua.
Mengakhiri
tulisan saya, perlu saya kemukakan dan garisbawahi pesan dari Sekretaris
Jenderal PBB, Kofi Annan pada International Criminal Tribunal for Rwanda, yaitu
: “no peace without justice and no justice without respect for human
rights and rule of law.”
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan MPR RI Nomor : XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
- Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Undang-undang Nomor 26 Tahun of 2000 tentang Pengadilan HAM
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
- Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
- Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang berat.
- Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Negeri Makassar.
- Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
- Statuta Roma
- Prinsip-prinsip Paris
- Bassiouni, M. Cherif (ed) “International Criminal Law (second
- Edition)”, (New York : Transnational Publisher, Inc, 1999).
- Sunga, Lyal S, “Individual Responsibility in International Law for Serious Human Rights Violations”, (Boston : Martinus Nijhoff Publisher, 1992).
- Buku Laporan Tahunan Komnas HAM 2005
- Naskah Laporan Tahunan Komnas HAM 2006.
- Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
0 komentar:
Posting Komentar