Selasa, 04 Juni 2013

 Keterbatasan Komnas HAM

Besarnya harapan masyarakat terhadap Komnas HAM yang menganggap bahwa Komnas HAM sebagai lembaga yang super body  sehingga diartikan bahwa Komnas HAM sebagai lembaga Harapan Akhir Masyarakat, yang dianggap dapat menyelesaikan semua permasalahan masyarakat, hal ini telah menjadi beban yang sangat berat bagi Komnas HAM dalam menjalankan amanat tersebut.

Besarnya harapan masyarakat khususnya masyarakat korban tersebut ternyata tidak diimbangi dengan kewenangan yang ada atau yang diberikan kepada Komnas HAM, sehingga masyarakat kecewa dengan kinerja Komnas HAM karena ternyata Komnas HAM tidak dapat memenuhi harapan masyarakat.

Mengingat bahwa rekomendasi Komnas HAM hanyalah bersifat morally binding, sehingga tidak ada kewajiban hukum bagi para pihak yang menerima rekomendasi Komnas HAM untuk menindaklanjuti. Hal inilah yang mengakibatkan banyaknya pengaduan ke Komnas HAM tidak dapat tertangani dengan baik.

Untuk itu, Komnas HAM perlu diberikan kewenangan yang lebih melalui perubahan undang-undang yang ada, sehingga dapat menjalankan mandatnya dengan lebih baik sesuai dengan harapan masyarakat.

 A.    Fungsi Komnas HAM berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM


1.    Latar belakang kelahiran Pengadilan HAM

Selain beberapa fungsi yang disebutkan diatas, berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM mempunyai fungsi sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan extra ordinary crimes, sehingga tidak bisa diselesaikan dengan menggunakan perangkat hukum yang ada yang mengatur mengenai ordinary crimes. Dengan kata lain bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan umum. Untuk itu, guna menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan HAM tersebut, maka pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pembentukan Undang-Undang Pengadilan HAM tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum”.

Sebenarnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tersebut merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang telah dicabut oleh Dewan Perwakilan Rakyat karena peraturan tersebut dinilai tidak memadai dan masih ditemui adanya beberapa kelemahan, sehingga dicabut dan digantikan dengan Undang-undang nomor 26 Tahun 2000. [1]

Untuk menangani perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ini diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus, sehingga dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 juga mengatur tentang ketentuan hukum acara yang bersifat khusus yang berbeda dengan penanganan ordinary crimes. Adapun kekhususan tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut adalah :

a.    Penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc ( pasal 18 – 33).
b.    Adanya penegasan bahwa penyelidikan hanya dapat dilakukan oleh Komnas HAM sebagai lembaga yang independen dan tidak dilakukan oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan sebagai lembaga penyelidik untuk kejahatan ordinary crimes. (pasal 18).
c.    Tenggang waktu yang sudah ditentukan yang berbeda dengan tenggang waktu yang diatur dalam KUHAP dalam hal penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan. (pasal 22, 24, 31, 32, 33).
d.    Adanya perlindungan korban dan saksi (pasal 34), perlindungan korban dan saksi ini tidak diatur untuk ordinary crimes dan hanya untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat saja.
e.    Dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak ada kedaluarsa, sedangkan dalam ordinary crimes diatur adanya masa kedaluarsa.



2.    Bentuk Pengadilan HAM

Ada dua macam Pengadilan Hak Asasi Manusia yaitu Pengadilan HAM Permanen dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Permanen mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tanggal 12 Maret 2001, pemerintah telah membentuk Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan  dan Pengadilan Negeri Makassar. [2]

Sedangkan Pengadilan HAM ad hoc mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 (retroactive). Pada saat ini, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tanggal 23 April 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[3] Asas retroactive ini pada waktu kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor Timur menjadi perdebatan sehubungan dengan adanya pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan hasil dari amendemen kedua atas UUD 1945 yang berbunyi “…tidak dapat diadili atas dasar peraturan hukum yang berlaku surut…”. Selain itu, asas ini juga dinilai melanggar asas non retroactive yang menjadi asas hukum internasional.

3.    Yurisdiksi Pengadilan HAM

Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi :

1.    Kejahatan Genosida. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara :membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2.    Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas (widespread) atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan  tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional; penyiksaan; perkosaan, perbudakan , pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan lain yang setara; penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.

Apabila diperhatikan mengenai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana tersebut diatas adalah sama seperti halnya kejahatan pelanggaran hak asasi manusia yang diatur di dalam Statuta Roma. Dengan adanya persamaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang nomor 26 tahun 2000 tersebut telah mengadopsi beberapa ketentuan yang ada di dalam Statuta Roma. Yang menjadi perbedaan bahwa di dalam statuta roma mempunyai jurisdiksi bukan terbatas pada kejahatan genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan saja, akan tetapi termasuk juga kejahatan perang dan agresi. [4]

3.    Pertanggungjawaban Pidana

Yang menjadi subyek hukum dari Pengadilan HAM ini adalah setiap orang baik sipil, polisi maupun militer yang bertanggung jawab secara individual. Prinsip pertanggung jawaban secara individu ini bukan hanya diakui di dalam International Tribunal saja, akan tetapi diakui juga di dalam semua system hukum kriminal yang ada di dunia ini. Jadi bentuk pertanggung jawaban kriminal secara individu ini sudah merupakan prinsip umum di dalam hukum baik itu hukum national maupun hukum internasional. [5] Pengalaman hukum international yang menuntut pertanggungjawaban individu antara lain diterapkan di dalam Nuremberg Tribunal, Tokyo Tribunal, ICTY maupun ICTR.

Dalam melakukan penuntutan pidana secara individual ini, hendaknya tidak dilakukan secara diskriminasi yaitu hanya terhadap para pelaku yang berpangkat rendah saja, akan tetapi hendaknya dilakukan juga bagi siapa saja baik yang berpangkat rendah maupun berkedudukan tinggi yang dengan jelas telah terlibat dalam tindak pelanggaran hak asasi manusia. Setidaknya ada dua cara yang dikenal dalam International rules on non-discrimination yang berkenaan dengan penuntutan pertanggungjawaban secara individual dalam hukum internasional untuk kejahatan serius dalam pelanggaran hak asasi manusia, yaitu pertama, prinsip non-discrimination ini merupakan forms parts of the prespective content dalam beberapa norma hukum hak asasi manusia internasional dan kedua, non-discrimination figures sebagai cardinal principle of international law yang menjelaskan bagaimana norma-norma hak asasi manusia secara umum harus diterapkan. [6]

Oleh karena itu, undang-undang ini bukan hanya mengatur mengenai pertanggungjawaban secara individual saja yaitu para pelaku langsung di lapangan, akan tetapi juga mengatur mengenai pertanggungjawaban komando, dimana seseorang komandan dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya secara efektif. Pertanggungjawaban komando ini bukan hanya berlaku terhadap militer saja, akan tetapi diberlakukan juga terhadap polisi maupun sipil (pasal 42).

4.    Kewenangan Penyelidikan

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komnas HAM. Dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri dari anggota Komnas HAM dan unsur masyarakat. Dalam melaksanakan penyelidikan, Komnas HAM berwenang :

  1. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
  2. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti.
  3. Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya.
  4. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya.
  5. Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
  6. Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya.
  7. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :
)1    pemeriksaan surat
)2    penggeledahan dan penyitaan
)3    pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu
)4    mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan.

Langkah selanjutnya setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan adalah menyerahkan hasil penyelidikan tersebut ke Jaksa Agung guna ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan.

5.    Hak Korban

Mengingat bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah merupakan extra ordinary crimes, maka perlindungan terhadap para korban maupun saksi sangat dibutuhkan. Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 13 Maret 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. [7] Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 ini juga mengatur adanya hak korban untuk mendapatkan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tanggal 13 Maret 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. [8]

6.    Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana sebagaimana diatur di dalam Bab VII dari Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara selama 25 tahun, pidana penjara selama 20 tahun, pidana penjara selama 15 tahun, pidana penjara selama 10 tahun dan paling ringan adalah pidana penjara selama 5 tahun. Pemberian hukuman mati adalah pelanggaran terhadap hak yang paling mendasar yaitu hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan bagaimanapun (non derogable rights). Hukuman mati tersebut bertentangan dengan hukum internasional sebagaimana diatur di dalam pasal 3 UDHR, pasal 6 ICCPR maupun peraturan hukum internasional lainnya. Berkaitan dengan diaturnya hukuman mati ini, Amnesty Internasional sebagai salah satu organisasi yang begitu giat memperjuangkan penghapusan hukuman mati di dunia telah memberikan kritikan  terhadap pemberian hukuman mati dalam UU No. 26 Tahun 2000. [9]

7.    Kendala Penanganan Pelanggaran HAM Yang Berat.


Keefektifan dan kelancaran proses penyelidikan pelanggaran HAM yang berat sering mengalami kendala karena permasalahan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000. Kendala-kendala atau permasalahan yang menghambat kelancaran proses penyelidikan tersebut, antara lain :

1.    Ketiadaan Hukum Acara Khusus.
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 antara lain menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam KUHP, sehingga diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Meskipun demikian, tidak dibuat hukum acara khusus bagi pelaksanaan UU 26/2000. Undang-undang ini hanya memuat 24 pasal hukum acara (Pasal 10 – Pasal 33), yang diawali oleh pasal yang merupakan ketentuan umum yang menetapkan bahwa “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana (Pasal 10). KUHAP (UU No. 8/1981) didesain sebagai hukum acara bagi tindak pidana biasa (ordinary crime). Hukum acara demikian tidaklah memadai untuk diberlakukan bagi penanganan pelanggaran HAM yang berat yang merupakan kejahatan luar biasa yang berdampak luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Sebagai salah satu contoh  dapat disebut prinsip unus testis nullus testis yang dianut oleh KUHAP dalam pembuktian (Pasal 185 ayat (2)), sehingga sulit diterapkan seperti dalam kasus perkosaan. Sebagai peraturan perundang-undangan yang mengatur kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), UU 26/2000 seharusnya mempunyai hukum acaranya sendiri, sebagaimana halnya Statuta Pengadilan Internasional bagi bekas Yugoslavia (Statute of the International Tribunal for Former Yugoslavia), Statuta Pengadilan Internasional untuk Rwanda (Statute of the International Tribunal for Rwanda), dan Statuta Pengadilan Pidana Internasional (Statute of the International Criminal Court). Dengan adanya hukum acara yang khusus berlaku bagi UU 26/2000, maka akan memudahkan bagi penyelidik, penyidik, penuntut, dan pemeriksa di pengadilan karena hanya harus merujuk pada satu hukum acara yang terpadu isinya. Adanya hukum acara yang khusus tersebut juga akan menghindarkan penafsiran yang berbeda antara penyelidik dan penyidik mengenai ketentuan tertentu dalam proses penyelidikan, seperti masalah pengambilan sumpah, dan lain-lain.
2.    Ketiadaan Ketentuan yang Mengatur Prosedur Penyelesaian Perbedaan Pendapat antara Penyelidik dan Penyidik.
Kewajiban Komnas HAM selanjutnya setelah melakukan penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5, Pasal 18, dan Pasal 19, ditetapkan dalam Pasal 20, khususnya dalam hal Komnas HAM, dari hasil penyelidikannya itu, menemukan adanya peristiwa yang oleh Komnas HAM dianggap merupakan pelanggaran HAM yang berat. Pasal 20 tersebut menetapkan tiga bentuk tindak yang harus dilakukan oleh Komnas HAM sebagai penyelidik, yakni :
a.    Menyampaikan kesimpulan hasil penyelidikan kepada penyidik (ayat 1);
b.    Menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik (ayat 2); dan
c.    Dalam waktu tiga puluh hari melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya apabila penyidik berpendapat ada kekurangan lengkap (ayat 3).
Setelah melalui proses sebagaimana diatur dalam Pasal 20 tersebut penyidik mungkin berbeda pendapat dengan penyelidik dan menyimpulkan bahwa dalam peristiwa yang diselidiki oleh penyelidik tidak terdapat pelanggaran HAM yang berat. Dalam hal demikian, Jaksa Agung akan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 22 ayat (4)). Apabila hal ini terjadi, Komnas HAM, sebagai penyelidik, tidak akan bisa menerima begitu saja kesimpulan Jaksa Agung. Namun, sangat disesalkan bahwa UU 26/2000 tidak memuat ketentuan yang menetapkan mekanisme dan lembaga yang dapat menyelesaikan kemungkinan perbedaan pendapat atas simpulan hasil penyelidikan. Selain kemungkinan permasalahan tersebut, perbedaan pendapat yang sudah terjadi antara penyelidik dan penyidik adalah mengenai pengambilan sumpah bagi penyelidik yang sampai dengan sekarang belum ada kesamaan pendapat.

3.    Ketiadaan Ketentuan tentang Prosedur Pengusulan Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 26/2000 menetapkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU 26/2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Menurut pasal tersebut, Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR kepada Presiden berdasarkan peristiwa tertentu. Penjelasan Pasal 43 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu. Hal yang tidak diatur oleh UU 26/2000 adalah tentang prosedur yang harus ditempuh yang berujung pada tindakan DPR untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Karena penjelasan Pasal 43 ayat (2) jelas-jelas menyatakan bahwa pengusulan tersebut harus didasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat hanya dapat disimpulkan setelah penyelidikan dan karena penyelidikan pelanggaran HAM yang berat hanya dilakukan oleh Komnas HAM, maka berdasarkan hal tersebut DPR seharusnya mendasarkan tindakannya untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc itu pada hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa yang diselidikinya. Dengan demikian, Komnas HAM yang seharusnya diberikan kewenangan untuk meminta DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tersebut agar hasil penyelidikan Komnas HAM dapat ditindaklanjuti sampai pemeriksaan di pengadilan. Namun DPR ternyata tidak mengikuti alur berpikir demikian sebagaimana dilakukan pada 2001. Meskipun DPR bukan lembaga penyelidik pelanggaran HAM yang berat, pada 2001 DPR telah memutuskan bahwa dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat, sehingga DPR merasa tidak punya alasan untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. 
4.    Ketiadaan Kewenangan Penyelidik untuk Melakukan Pemanggilan Paksa (Sub poena).
Pasal 89 ayat (3) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan, bahwa dalam pelaksanaan fungsi pemantauan, Komnas HAM berwenang antara lain melakukan pemanggilan kepada pengadu, korban, saksi atau pihak terkait lainnya. Dalam hubungan ini, Pasal 95 menetapkan bahwa “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangan, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Apabila dalam pelaksanaan fungsi pemantauan pelanggaran HAM “biasa” menurut UU 39/1999 Komnas HAM diberikan kewenangan melakukan pemanggilan paksa (sub poena), UU 26/2000 yang memberi mandat kepada Komnas HAM sebagai satu-satunya penyelidik pro justitia pelanggaran HAM yang berat justru tidak memuat ketentuan yang memberikan kewenangan demikian kepada Komnas HAM. Akibatnya, ketika Komnas HAM melakukan penyelidikan peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II serta peristiwa Kerusuhan Mei 1998, sejumlah orang yang diperlukan keterangan atau kesaksiannya tidak mau memenuhi panggilan Komnas HAM. Walaupun Komnas HAM sudah berupaya untuk meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pemanggilan paksa, akan tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Ketua Pengadilan dengan alasan bahwa kewenangan pemanggilan paksa diberikan oleh UU 39/1999 dan bukan oleh UU 26/2000.

5.    Tidak Memadainya Perlindungan Korban dan Saksi.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 memang memberikan jaminan hak korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak mana pun (Pasal 34 ayat (1)). Pasal 34 ayat (2)) selanjutnya menyebutkan bahwa perlindungan tersebut wajib dilaksanakan oleh “aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma, sedangkan Pasal 34 ayat (3) menetapkan bahwa tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Menindaklanjuti perintah undang-undang tersebut, memang sudah diterbitkan PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya PP tersebut tidak memadai antara lain korban dan saksi merasa khawatir karena yang memberikan perlindungan adalah aparat keamanan (POLRI) yang kadang menjadi pihak yang terlibat dalam pelanggaran.


C. Penutup

Dengan segala keterbatasan yang ada, Komnas HAM telah berusaha semaksimal mungkin melaksanakan fungsi dan tugasnya yang diamanatkan di dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Komnas HAM menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masih jauh dari harapan masyarakat, khususnya para korban pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, saran dan kritikan serta masukan bagi peningkatan kualitas dan kuantitas kinerja Komnas HAM sangatlah diharapkan bagi pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, karena pada dasarnya hak asasi manusia adalah untuk semua.       
Mengakhiri tulisan saya, perlu saya kemukakan dan garisbawahi pesan dari Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan pada International Criminal Tribunal for Rwanda, yaitu : “no peace without justice and no justice without respect for human rights and rule of law.” 

 Daftar Pustaka

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Ketetapan MPR RI Nomor : XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
  3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  4. Undang-undang Nomor 26 Tahun of 2000 tentang Pengadilan HAM
  5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang berat.
  8. Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Negeri Makassar.
  9. Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
  10. Statuta Roma
  11. Prinsip-prinsip Paris
  12. Bassiouni, M. Cherif (ed) “International Criminal Law (second
  13. Edition)”, (New York : Transnational Publisher, Inc, 1999).
  14. Sunga, Lyal S, “Individual Responsibility in International Law for Serious Human Rights Violations”, (Boston : Martinus Nijhoff Publisher, 1992).
  15. Buku Laporan Tahunan Komnas HAM 2005
  16. Naskah Laporan Tahunan Komnas HAM 2006.
  17.  Peraturan Tata Tertib Komnas HAM. 

0 komentar:

Posting Komentar