PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA
YANG DI PHK KARENA MELAKUKAN KESALAHAN BERAT
I Pendahuluan
Setiap
manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk
mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara
mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat
dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut sebagai
pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai buruh atau
pekerja.
Pengertian
pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 tahun 2003 adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain..
Iman Soepomo menyebutkan bahwa pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja
kepada orang lain dengan mendapatkan upah (Iman Soepomo, 1974, hal. 6).
Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13
tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Jumlah
tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan
kerja yang tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah
lapangan pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga
kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan
sama sekali. Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar
mereka adalah rendah.
Dalam
rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui industrialisaasi,
membawa akibat meletakkan posisi pemilik modal sebagai pelopor dan basis
pendukung bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebaliknya menempatkan
pekerja pada posisi pemancing sektor penarik investasi sehingga nilai pekerja
Indonesia lebih rendah daripada nilai pekerja luar negeri (M Zaidun, 1997 :
23). Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang
memperhatikan nasib pekerja. Hal ini ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas
yang semakin memperlemah posisi tawar buruh ( Mansour Fakih, 1997 : 46)
Keadaan
ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang
kepada pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap
sebagai faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau
pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan
faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur
konstitutip yang menjadikan perusahaan (HP Rajagukguk, 2000, hal 3).
Majikan
dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara
maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat
menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa
melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang
lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa
kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau
menaikkan upah pekerja meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih
bahwa takut diprotes oleh perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
Secara
sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain.
Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. (HP.
Rajagukguk, 2000, hal.6). Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah
daripada majikan maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan
perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu
berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian
yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan
kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang
diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan
kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi
silemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi
pekerja terhadap pengusaha. ( Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)
Perlindungan
hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah.
Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan
hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan
dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti
dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara
sosiologis dan filosofis . (Zainal Asikin, 1993, hal.5)
Bruggink
membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan
normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan
faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah
diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normatif yaitu kaidah
cocok dalam sistim hukum herarkis, keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris
kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan
karena isinya.( JJ.H. Bruggink, 1996, hal.157).
Dari
uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk
perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh majikan
karena melakukan kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh pekerja apabila pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
II
Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan
Pemerintah
telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan
dalam UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun
2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu
pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil
maupun spiritual.
Selanjutnya,
berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan ketenagkerjaan
diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam
penjelasannnya, yaitu :
Asas
pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan
nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan
berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh. Oleh
sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk
kerja sama yang saling mendukung.
Tujuan
pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003
adalah :
- memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
- Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
- memberikan perlindungan kepada tenaga kerja
dalam mewujudkan kesejahteraan dan;
- meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya
Pemberdayaan
dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk
dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia.
Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia
dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan
tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Pemerataan
kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang
sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor
dan daerah.
Penekanan
pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja adalah pelaku
pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan teletak pada kemampuan, dan kualitas
pekerja. Apabila kemampuan pekerja (tenaga kerja) tinggi maka produktifitas
akan tinggi pula, yang dapat mengakibatkan kesejahteraan meningkat.
Tenaga kerja menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan produktifitas
nasional dan kesejahteraan masyarakat, (Machsoen Ali, 1999 :162 ).
- Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang
di PHK
Sebelum
membahas tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan
kerjanya, perlu dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1
angka 15 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian hubungan kerja yaitu
”Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja,
yang mempunyai unsur pekerjaan,upah dan perintah”.
Hubungan
kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu
suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja
dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk
mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung
arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan
pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
Hubungan
kerja dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam hubungan
kerja ini adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja/buruh berdasarkan
pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu ”Setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 membedakan pengertian antara pengusaha, pemberi
kerja dan perusahaan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian
pemberi kerja yaitu ”Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Pengertian
pengusaha menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah:
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian perusahaan
adalah:
- Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
- Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan
kerja diharapkan harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas dan
kesejahteraan pekerja. Untuk itu, para pengusaha dalam menghadapi
para pekerja hendaknya :
- Menganggap para pekerja sebagai partner yang
akan membantunya untuk menyukseskan tujuan usaha;
- Memberikan imbalan yang layak terhadap
jasa-jasa yang telah dikerahkan oleh partnernya itu, berupa
penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial tertentu, agar dengan
demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif (berdaya guna);
dan
- Menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya. (Sunindhia, 1998, hal. 129).
Agar kedua belah pihak dapat
melaksanakan hubungan kerja dengan baik, tanpa adanya tindakan sewenang-wenang
dari salah satu pihak maka diperlukan adanya campur tangan dari pemerintah
dalam bentuk peraturan-perundang-undangan.
Adanya peraturan perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik
pemberi pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus terkendali
atau masing-masing harus menundukkan diri pada segala ketentuan dan peraturan
yang berlaku, harus bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing
sesuai dengan tugas dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan
selalu terwujud. (Kertasapoetra, 1998, hal. 13).
Selama
pelaksanaan hubungan kerja, tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan
hubungan kerja. Baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas
inisiatif pekerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13
Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan kerja yaitu ”Pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Berdasarkan ketentuan pasal 150 UU No. 13
Tahun 2003,
Pemutusan
hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha
yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan
hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis, ekonomis-finansiil bagi si
pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. PHK
harus diupayakan untuk dicegah.
Pengusaha
dilarang melakukan PHK apabila didasarkan pada alasan-alasan berdasarkan pasal
153 ayat(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
- Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena
sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12(dua
belas) bulan secara terus-menerus;
- Pekerja/buruh berhalangan menjalankan
pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
- Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
- Pekerja/buruh menikah;
- Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan,
gugur kandungan atau menyusui bayinya;
- Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah
dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota
dan atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan
kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam
jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;
- Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha
kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak
pidana kejahatan;
- Karena perbedaan paham, agama, aliran
politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,kondisi fisik, atau
status perkawinan;
- Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap,
sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum
dipastikan.
Apabila
PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan
sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang
pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu
dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan pendapatan.
Pelaksanaan
pemutusan hubungan kerja berhubungan dengan jaminan pendapatan (income
security) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan. Kiranya perlu diciptakan
peraturan yang memuaskan mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan
memperhatikan kepentingan pihak pengusaha dan pihak buruh serta mengadakan
penyelesaian yang layak dan patut serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur
Pancasila. (Djumialdi, 1987, hal. 88)
Berdasarkan
ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja
karena alasan-alasan sebagai berikut :
- Pekerja melakukan kesalahan ringan;
- Pekerja melakukan kesalahan berat;
- Perusahaan tutup karena pailit;
- Force majeur;
- Adanya efisiensi;
- Perubahan status, milik, lokasi dan pekerja
menolak;
- Perubahan status, milik, lokasi dan majikan
menolak;
- Pekerja sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. (Asri Wijayanti, 2003, hal. 63).
Alasan dapat dibenarkan adanya PHK menurut Ridwan Halim dan Sunindhia yaitu :
- Menurutnya hasil produksi yang dapat pula
disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :
- Merosotnya kapasitas produksi perusahaan
yang bersangkutan.
- Menurunnya permintaan masyarakat atas hasil
produksi perusahaan yang bersangkutan.
- Menurunnya persediaan bahan dasar.
- Tidak lakunya hasil produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran dan sebagainya, yang semua ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian.
- Merosotnya penghasilan perusahaan, yang
secara langsung mengakibatkan kerugian pula.
- Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut
membayar upah atau gaji atau imbalan kerja lain dalam keadaan yang sama
dengan sebelumnya.
- Dilaksanakan rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan karyawan dalam jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim, 1987, hal. 15)
Alasan
lain yang bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :
- Karena keadaan perang yang tidak
memungkinkan diteruskannya hubungan kerja;
- Karena bencana alam yang menghancurkan
tempat kerja dan sebagainya;
- Karena perusahaan lain yang menjadi
penyelenggara pekerjaan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi
meneruskan pengadaan lapangan pekerjaan selama ini ada. Sedangkan
perusahaan atau majikan yang secara langsung mempekerjakan para
karyawan selama ini hanyalah merupakan kuasa yang bertindak untuk dan
atas nama perusahaan yang lain yang menjadi penyelenggara atau pengada
lapangan pekerjaan tersebut;
- Karena meninggalnya majikan dan tidak ada ahli waris yang mampu melanjutkan hubungan kerja denga karyawan yang bersangkutan. (Sunindhia, 1998, hal. 23)
Alasan PHK itu di dalam prakteknya
ada yang mengandung cacat yuridis, dalam arti ada hal-hal yang tidak benar di
dalam dasar surat
keputusan PHK oleh majikan. (Asri
Wijayanti, 2002, hal.8) Pemutusan hubungan kerja yang tidak layak, antara lain
:
a…
Jika antara lain tidak menyebutkan alasannya atau.
- Jika alasannya PHK itu dicari-cari
atau alasannya palsu.
- Jika akibat pemberhentian itu
adalah lebih berat dari pada keuntungan pemberhentian itu bagi
majikan,atau.
- Jika buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang atau kebiasaan mengenai susunan staf dan tidak alasan penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu. (Sunindhia, 1998, hal. 29).
Apabila
alasan PHK tidak dapat dibenarkan maka akan berakibat PHK itu dapat dibatalkan.
Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan kerja yang tidak beralasan yaitu :
- Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja
yang bersangkutan harus ditempatkan kembali pada kedudukan semula.
- Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi. (Kertosaputro, 1992, hal. 287)
Pada
garis besarnya pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam empat golongan yaitu
:
- Pemutusan hubungan kerja karena hukum
Jika hubungan kerja yang
diadakan untuk waktu tertentu, dan waktunya tersebut telah habis atau berakhir,
maka pemutusan hubungan kerja dalam hal ini tidak diperlukan ijin. Hal demikian
berarti putus dengan sendirinya, karena hukum.
- Pemutusan hubungan kerja karena keputusan
pengadilan
Pemutusan
hubungan kerja oleh Pengadilan ialah pemutusan dengan melalui yang berwenang di
Pengadilan atas permintaan yang bersangkutan, yang berdasarkan alasan-alasan
penting.
- Pemutusan hubungan kerja karena kehendak
pekerja
Meliputi
karena alas an mengundurkan diri atau alas an mendesak. Hal ini sesuai dengan
pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut:
- menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam
pekerja/buruh;
- membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh
untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundangan-undangan;
- tidak membayar upah tepat pada waktu yang
telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih
- tidak melakukan kewajiban yang telah
dijanjikan kepada pekerja/buruh;
- memerintahkan pekerja/buruh untuk
melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
- memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
- Pemutusan hubungan kerja karena kehendak
majikan
- Pemutusan hubungan atas kehendak majikan
adalah harus disertai ijin dari P4Daerah atau P4 Pusat selama lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum terbentuk. Kriteria
kesalahan berat yang dapat dijadikan dasar oleh majikan dalam memutus
hubungan kerjanya dengan pekerja diatur dalam pasal 158 ayat (1)
Undang-Undang No.13 Tahun 2003
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asri Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan Swasta”, Prespektif Hukum, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, vol.2 no. 2.
-------, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Bruggink, JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Djumadi, 1995, Perjanjian Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Perkasa, Banjarmasin.
Djumialdji, FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Halim, A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, Jakarta.
Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta.
Iman Soepomo, 1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta.
-------,1994, Hukum Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta.
Kartasapoetra, G, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafindo, Jakarta.
-------, 1983, Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Armico, Bandung.
Kartasapoetra, G, dan Widianingsih, G, Rience, 1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung.
Philipus M Hadjon, 1994, “ Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, makalah disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum dalam rangka Dies Natalis XV/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994
Rajagukguk, HP., 2000, “Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination), makalah disampaikan pada orasi dan panel diskusi tanggal 20 September 2000, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Sandjun H. Manullang, 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
Sukarno, 1982, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bandung.
Sunindhia, YW, dan Widayanti, Ninik, 1988, Masalah PHK dan Pemogokan, PT. Bina Aksara, Jakarta .
Toha, Halili, dan Pramono, Hari, 1987, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Undang-Undang, No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN, No. 4279).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6, TLN No. 4356).
Burgerlijk Wetboek..
Adikusuma, S. 1992, Kamus lengkap populer, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
0 komentar:
Posting Komentar