Jumat, 07 Juni 2013

Responsivitas Birokrasi Pendidikan

Era globalisasi yang dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memberikan layanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indikator dari keberhasilan institusi pendidikan sebagai sebuah organisasi birokrasi publik.
Birokrasi publik, pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya menganut prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani secara optimal. Layanan publik, merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab, kelengkapan sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan keramahan, dan kenyamanan. Tangkilisan, (2005 : 224) menyebutkan bahwa birokrasi publik tidak berorientasi langsung pada tujuan akumulasi keuantungan, namun memberikan layanan publik dan menjadi katalisator dalam penyelenggaraan pembangunan maupun penyelenggaraan tugas negara. Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik.
Responsivitas sebagai salah satu indikator pelayanan berkaitan dengan daya tanggap aparatur terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan sebagaimana diatur di dalam aturan perundangan. Sementara itu, Siagian (2000) dalam pembahasannya me-ngenai Teori Pengembangan Organisasi mengindikasikan bahwa responsivitas menyangkut kemampuan aparatur dalam menghadapi dan mengantisipasi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru. Birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, disebutkan bahwa layanan publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga kelompok layanan administratif, yaitu : Pertama, kelompok layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik; Kedua, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik; Ketiga, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Layanan publik dalam hal ini dipahami sebagai segala kegiatan yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan dalam rangka pencerdasan masyarakat sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, paling tidak terdapat tiga pelaku yaitu : pembuat kebijakan, penyedia/pelaksana layanan publik, dan penerima layanan. Dalam sistem pemerintahaan dominan, perumus dan pelaksana layanan publik dilakukan oleh pemerintah, dan masyarakat sebagai penerima layanan (Susanto : 2005). Tetapi, pelayanan publik oleh birokrasi seharusnya digerakkan oleh visi dan misi pelayanan, namun pada kenyataannya justru digerakkan oleh peraturan dan anggaran yang tidak dimengerti oleh publik karena tidak disosialisasikan secara transparan (Dwiyanto, 2002 : 84).
Pada kenyataannya, keinginan mewujudkan layanan publik secara optimal, tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan memungkinkan birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan partisipasi masyarakat karena karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula.
Pandangan yang sejalan, dikemukakan oleh Susanto (2005), dalam tulisannya tentang Manajemen Layanan Publik, bahwa layanan publik yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintah dinilai kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan khalayak, sebagai 'konsumen' mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk organisasi birokrasi, sehingga birokrasi selalu mendapat pengertian yang negatif. Selain itu, penyedia layanan masih belum patuh kepada ketentuan baku yang dibuatnya sendiri dalam menjalankan tugasnya. Penyimpangan dari ketentuan yang telah ditetapkan acapkali tanpa adanya konsekuensi pengenaan sanksi. Terjadinya berbagai penyimpangan dalam pemberian layanan publik dapat disebabkan oleh : Pertama, para birokrat yang bertanggungjawab pada penyelenggaraan layanan publik masih terpaku pada paradigma lama dengan semangat pangreh praja yang masih melekat; Kedua, peraturan atau ketentuan yang berlaku mengandung banyak lubang (loopholes) atau kelemahan yang mendorong terjadinya penyimpangan; Ketiga, pengguna jasa layanan publik juga sering memanfaatkan kelemahan peraturan dan ingin menempuh jalan pintas; Keempat, pengguna jasa masih berada pada posisi yang lemah. Kumorotomo (2005 : 7) Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama ini banyak kebijakan, program, dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan bukannya kepada kepentingan publik. Birokrat menempatkan dirinya sebagai penguasa. Budaya paternalistik seringkali juga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan publik. Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dengan yang dikehendaki oleh rakyat. Dalam pandangan lain, aspek perubahan politik ikut berpengaruh pada derajat layanan publik, sebagaimana disinggung oleh Peters, B. Guy (1984) :
At least three of the old chestnuts that have guided our thinking about the public service ini the process of governance are simply no longer as canonical as they once were. The first of these principles is the assumption of an apolitical civil service, and associated with it is the politis-administration dichotomy and the concept of “neutral competence” within the civil service. A second significant change in assumption about government relevant to this discussion is a decline in assumption of hierachical and rule-based management within the public service, and in the outhority of civil servants to implement and eforce regulations outside of public service. The third change in the assumptions about governance and the public bureaucracy concerns the permanence and stability of the organizations within government.
Dilulio, 1994 dalam Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selanjutnya, dalam studinya tentang reformasi birokrasi, Dwiyanto (2002 : 60-61), mengembangkan beberapa indikator responsivitas pelayanan publik, yaitu : keluhan pengguna jasa, sikap aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.

1.      Problematika Organisasi dalam merespon layanan pendidikan
Sebagai suatu organisasi publik yang sarat dengan kompleksitas fungsi dan tugas, Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua menghadapi sejumlah masalah yang tidak pernah tuntas pemecahannya. Fenomena pendidikan yang seringkali menjadi wacana publik dan diperdebatkan adalah tidak optimalnya layanan pendidikan yang harus diberikan kepada masyarakat. Padahal, kehadiran birokrasi pendidikan  dimaksudkan sebagai instumen untuk menghantar masyarakatnya ke arah yang cerdas dan unggul. Walaupun disadari bahwa kondisi umum mengenai inertia birokrasi, tetapi birokrasi pendidikan di Papua terkon-disikan dalam situasi problematik yang berbeda dan khas. Adalah wajar jika Imawan (1992) menjadi sangat dramatis mempertanyakan mengapa jaringan birokrasi yang dikenal saat ini demikian “kusut” hingga kurang responsif terhadap persoalan yang berkembang dalam masyarakat ? Padahal, ide birokrasi itu justru untuk menyederhanakan kompleksitas urusan dalam masyarakat modern. Salah satu fenomena menarik yang dikonstatir adalah bahwa kesadaran masyarakat yang mulai tumbuh dan berkembang sejalan dengan demokratisasi pemerintahan, terhambat oleh struktur birokrasi. Inertia  birokrasi pendidikan Papua yang khas itu, lebih didominasi oleh tarik-menarik kewenangan antar pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta antara pihak intansi teknis dan pihak sekolah.
Dwiyanto dan Kusumasari (2001) membuat pernyataan yang menggelitik tentang public service fermormance dalam Policy Brief CPPS Gadjah Mada University Nomor 01/PB-E/2001 : The public service were originally designed to respond to the public’s need. In reality however, the history of bad public service performance in Indonesia makes it a priority for the government to improve it’s relations with the public. If done succesfully, this would in turn widen the government’s public lagitimacy. Sementara itu dalam tulisannya pada Policy Brief CPPS Gadjah Mada University Nomor : 7/PB-E/2003, Selanjutnya, diindikasikan bahwa : One of the causes of the poor public service performance is the complexity of the structure of bureaucracy. The public service bureaucracy often does not have sufficient authority to complete the process serving the public within its own institution. Completing the process of public service often requires the involvement of other institutions.
Pasang surut kinerja birokrasi pendidikan di Papua sangat ditentukan oleh dinamika eksternal dan internalnya. Artinya, responsivitas kebijakan dan strategi pendidikan bergan-tung pada dukungan vital dari : Pertama, konsistensi dan kesamaan cara pandang antara Pemerintah daerah, unit-unit sekolah, dan masyarakat; Kedua, garansi kapasitas organisasi internal dalam konteks capacity building, mencakup : pola anutan doktrin kelembagaan, sifat kepemimpinan, supporting sumberdaya, kelayakan program, dan fleksibilitas struktur organisasi pendidikan. Secara teoritik, kelemahan-kelemahan birokrasi pendidikan di Papua dalam rangka merespon tuntutan pelayanan publik dapat dieliminir melalui pemanfaatan model pendekatan pemecahan masalah yang memiliki relevansi dan koherensi dengan ekologisnya yang khas. Agar sesuai dengan realitas sebab-akibatnya, perlu dikembangkan sejumlah variabel dan indikator lokal atas kesepakatan stakeholders-pendidikan dan didasarkan atas hasil pengkajian akademis.
Upaya-upaya remedies dari serangkaian kondisi fenomenologis birokrasi pendidikan di Papua dalam kaitannya dengan layanan publik, menuntut adanya hasil diagnostik yang akurat dan reliabel dengan instrumen pendekatan pemecahan masalah yang  berkelayakan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah-praktis. Penyertaan karakteristik ekologi lokal sebagai variabel penting dalam analis menjadi bagian penting dari internalisasi faktor-faktor lokal dalam birokrasi pendidikan di Papua. Hal tersebut didukung oleh beberapa pandangan konseptual, misalnya Kimberly dan Rottman dalam Gibson et.al. (1995), menyebutkan bahwa lingkungan, teknologi, pilihan strategi, proses, dan kultur adalah faktor-faktor yang menentukan keefektifan suatu organisasi. Hardjito dalam Tangkilisan, 2005 :150), mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh komponen-komponen organisasi yang meliputi : struktur, tujuan, manusia, hukum, prosedur pengoperasian yang berlaku, teknologi, lingkungan, kompleksitas, spesialisasi, kewenangan, dan pembagian tugas. Sunoto (1992), yang menulis tentang aspek manusia dalam analisis organisasi dalam buku suntingan Effendi, dkk (1992 : 223), menyinggung budaya sebagai metafora bagi analisis organisasi, di mana metafora kebudayaan berakar dariasumsi bahwa suatu organisasi merupakan shared meanings dan interpretive scheme yang mengandung unsur-unsur bahasa, norma-norma, nilai-nilai, ideologi, keyakinan, dongeng, yang merupakan dasar dan refleksi perilaku organisasi. Hal ini berarti, di dalam organisasi itu solusi telah diterima begitu saja (taken for granted). Apa yang awalnya dihipotesiskan oleh seorang anggota kelompok, didukung oleh nilai atau dugaan yang lama kelamaan diperlakukan sebagai kenyataan atau jalan keluar. Osborne dan Platrik (2000 : 256-257), menyarankan metode untuk mengubah budaya birokrasi yang bersifat negatif, dengan 4(empat) strategi, yaitu : memperjelaas tujuan organisasi, menciptakan konsekwensi kinerja, menciptakan pertanggung jawaban organisasi terhadap pelanggan; dan menggeser tempat dan bentuk kontrol.
Agenda reformasi birokrasi pendidikan secara menyeluruh di Papua sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi modern harus dapat diarahkan kepada perwujudan birokrasi sebagai pelayan masyarakat yang efisien,  efektif, terpadu, terjangkau, transparan dan akuntabel. Untuk itu perlu menata kembali birokrasinya yang memungkinkan terjadinya internalisasi kaitan-kaitan ekologis, sehingga dapat menampakkan suatu format birokrasi yang berwajah “kepapuaan”. Maka, dalam rangka mengatasi hambatan birokrasi, salah satu gagasan yang dikembangkan adalah menyusun organisasi secara lebih kenyal dengan model Pertama : mission-type organization yang memfokuskan perhatian pada pencapaian sasaran tertentu secara jelas dan nyata; dan Kedua, matrix organization yang mudah dibongkar pasang, terdiri dari komponen-komponen profesional yang ditata dalam berbagai kombinasi menurut keperluan.
Implikasinya bagi analisis desain model Birokrasi Pendidikan  adalah : Pertama, mempertimbangkan adanya jalur hubungan “segi-tiga” (pemerintah-sekolah-masyarakat); Kedua, memahami dan mendalami aspek-aspek tradisi-budaya, sosial, dan politik yang mewarnai hubungan-hubungan itu; Ketiga, memaknai batas-batas kewenangan masing-masing sehingga tidak terjadi overlapping atau justru memunculkan kerumitan baru; Keempat, menelusuri batas-batas kewenangan otonomi pendidikan, sehingga ditemukan model keseimbangan yang serasi; Kelima, menjustifikasi struktur organisasi yang diharapkan dapat merefleksikan responsivitas layanan publik dan keberpihakannya pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus dan Kusumasari. 2001. Public Service Performance dalam Policy Brief CPPS-Gadjah Mada University, Nomor : 01/PB-E/2001.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit PSKK-UGM.
Frederickson, George H. 2005. The State of Social Equity in American Public Administration . American Society for Public Administration-Vol.28 No.3- March 2005. http://www.aspanet.org/scriptcontent/word/Accomplishments2005.doc
Gibson, James L., dkk, 1995. Organizations Behaviour Structure and Process. Homewood, Illinois : Richard D. Irwin Inc.
IFES. 2003. Survey Opini Publik Papua. Jakarta.
Komorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa Pada Masa Transisi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Siagian, Sondang P. 2000. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Silo, Akbar. 2005. Kinerja Pemerintahan Dalam Rangka Pelayanan Publik di Kabupaten Sarmi. Laporan Penelitian kerjasama UNDP dan UNCEN.
Silo, Akbar. Dkk. 2004. Penguatan Institusi Pendidikan yang Responsif. Policy Brief No. 19/PB/2004.. PSKK-UGM. Yogyakarta.

Sunoto, 1992. Aspek Manusia dalam Organisasi : Dasar Pemikiran dan Implikasi Metode Penelitian, dalam Effendi, dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia, Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan. Jakarta :Penerbit Gadjah Mada University Press.

1 komentar: