Responsivitas Birokrasi Pendidikan
Era
globalisasi yang dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh tantangan,
aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memberikan layanan yang sebaik-baiknya
kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas
layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indikator dari keberhasilan institusi
pendidikan sebagai sebuah organisasi birokrasi publik.
Birokrasi
publik, pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Meskipun birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi
bisnis, tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya menganut
prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani secara
optimal. Layanan publik, merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung
prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab,
kelengkapan sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan
keramahan, dan kenyamanan. Tangkilisan,
(2005 : 224) menyebutkan bahwa birokrasi
publik tidak berorientasi langsung pada tujuan akumulasi keuantungan, namun
memberikan layanan publik dan menjadi katalisator dalam penyelenggaraan
pembangunan maupun penyelenggaraan tugas negara. Orientasi pada pelayanan menunjuk
pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan
pelayanan publik.
Responsivitas
sebagai salah satu indikator pelayanan berkaitan dengan daya tanggap aparatur
terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan sebagaimana diatur di
dalam aturan perundangan. Sementara itu, Siagian
(2000) dalam pembahasannya me-ngenai Teori Pengembangan Organisasi mengindikasikan bahwa responsivitas
menyangkut kemampuan aparatur dalam menghadapi dan mengantisipasi aspirasi
baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru. Birokrasi harus
merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
Dalam Keputusan
Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Layanan Publik, disebutkan bahwa layanan publik oleh pemerintah dibedakan
menjadi tiga kelompok layanan administratif, yaitu : Pertama, kelompok layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi
yang dibutuhkan oleh publik; Kedua, kelompok
layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh
publik; Ketiga, kelompok layanan yang
menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Layanan publik dalam
hal ini dipahami sebagai segala kegiatan yang dilaksanakan oleh institusi
pendidikan dalam rangka pencerdasan masyarakat sebagai pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, paling tidak terdapat tiga pelaku
yaitu : pembuat kebijakan, penyedia/pelaksana layanan publik, dan penerima
layanan. Dalam sistem pemerintahaan dominan, perumus dan pelaksana layanan
publik dilakukan oleh pemerintah, dan masyarakat sebagai penerima layanan (Susanto : 2005). Tetapi, pelayanan publik oleh birokrasi seharusnya digerakkan oleh visi dan
misi pelayanan, namun pada kenyataannya justru digerakkan oleh peraturan dan
anggaran yang tidak dimengerti oleh publik karena tidak disosialisasikan secara
transparan (Dwiyanto, 2002 : 84).
Pada kenyataannya, keinginan mewujudkan layanan publik
secara optimal, tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup
responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik
melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan
memungkinkan birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan
bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman
yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar
daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan
partisipasi masyarakat karena karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
daerah. Perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang
berbeda dan menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula.
Pandangan yang sejalan, dikemukakan oleh Susanto (2005), dalam tulisannya
tentang Manajemen Layanan Publik, bahwa
layanan publik yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintah
dinilai kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan khalayak, sebagai
'konsumen' mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk organisasi birokrasi, sehingga
birokrasi selalu mendapat pengertian yang negatif. Selain itu, penyedia layanan
masih belum patuh kepada ketentuan baku yang dibuatnya sendiri dalam
menjalankan tugasnya. Penyimpangan dari ketentuan yang telah ditetapkan
acapkali tanpa adanya konsekuensi pengenaan sanksi. Terjadinya berbagai
penyimpangan dalam pemberian layanan publik dapat disebabkan oleh : Pertama,
para birokrat yang bertanggungjawab pada penyelenggaraan layanan publik masih
terpaku pada paradigma lama dengan semangat pangreh praja yang masih
melekat; Kedua, peraturan atau ketentuan yang berlaku mengandung banyak
lubang (loopholes) atau kelemahan yang mendorong terjadinya
penyimpangan; Ketiga, pengguna jasa layanan publik juga sering
memanfaatkan kelemahan peraturan dan ingin menempuh jalan pintas; Keempat,
pengguna jasa masih berada pada posisi yang lemah. Kumorotomo (2005 : 7) Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk
menjelaskan mengapa selama ini banyak kebijakan, program, dan pelayanan publik
kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada
kekuasaan dan bukannya kepada kepentingan publik. Birokrat menempatkan dirinya
sebagai penguasa. Budaya paternalistik seringkali juga mengakibatkan turunnya
kualitas pelayanan publik. Kedua,
terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat
kebijakan dengan yang dikehendaki oleh rakyat. Dalam pandangan lain, aspek
perubahan politik ikut berpengaruh pada derajat layanan publik, sebagaimana
disinggung oleh Peters, B. Guy (1984) :
At least three of the old chestnuts
that have guided our thinking about the public service ini the process of
governance are simply no longer as canonical as they once were. The first of these principles is the
assumption of an apolitical civil service, and associated with it is the
politis-administration dichotomy and the concept of “neutral competence” within
the civil service. A second
significant change in assumption about government relevant to this discussion
is a decline in assumption of hierachical and rule-based management within the
public service, and in the outhority of civil servants to implement and eforce
regulations outside of public service. The
third change in the assumptions about governance and the public bureaucracy
concerns the permanence and stability of the organizations within government.
Dilulio, 1994 dalam
Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa
responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut
merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program
pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selanjutnya,
dalam studinya tentang reformasi birokrasi, Dwiyanto (2002 : 60-61), mengembangkan beberapa indikator
responsivitas pelayanan publik, yaitu : keluhan pengguna jasa, sikap aparat
birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan pengguna
jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat
birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat
birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.
1.
Problematika Organisasi dalam
merespon layanan pendidikan
Sebagai
suatu organisasi publik yang sarat dengan kompleksitas fungsi dan tugas, Dinas
Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua menghadapi sejumlah masalah yang tidak
pernah tuntas pemecahannya. Fenomena pendidikan yang seringkali menjadi wacana
publik dan diperdebatkan adalah tidak optimalnya layanan pendidikan yang harus
diberikan kepada masyarakat. Padahal, kehadiran birokrasi pendidikan dimaksudkan
sebagai instumen untuk menghantar masyarakatnya ke arah yang cerdas dan unggul.
Walaupun disadari bahwa kondisi umum mengenai inertia birokrasi, tetapi birokrasi pendidikan di Papua terkon-disikan
dalam situasi problematik yang berbeda dan khas. Adalah wajar jika Imawan (1992) menjadi sangat dramatis
mempertanyakan mengapa jaringan birokrasi yang dikenal saat ini demikian
“kusut” hingga kurang responsif terhadap persoalan yang berkembang dalam
masyarakat ? Padahal, ide birokrasi itu justru untuk menyederhanakan
kompleksitas urusan dalam masyarakat modern. Salah satu fenomena menarik yang
dikonstatir adalah bahwa kesadaran masyarakat yang mulai tumbuh dan berkembang sejalan
dengan demokratisasi pemerintahan, terhambat oleh struktur birokrasi. Inertia birokrasi pendidikan Papua yang khas itu, lebih didominasi oleh tarik-menarik
kewenangan antar pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta
antara pihak intansi teknis dan pihak sekolah.
Dwiyanto dan Kusumasari (2001) membuat pernyataan yang menggelitik
tentang public service fermormance
dalam Policy Brief CPPS Gadjah Mada
University Nomor 01/PB-E/2001 : The
public service were originally designed to respond to the public’s need. In
reality however, the history of bad public service performance in Indonesia
makes it a priority for the government to improve it’s relations with the
public. If done succesfully, this would in turn widen the government’s public
lagitimacy. Sementara itu dalam tulisannya pada Policy Brief CPPS Gadjah Mada University Nomor : 7/PB-E/2003, Selanjutnya,
diindikasikan bahwa : One of the causes
of the poor public service performance is the complexity of the structure of
bureaucracy. The public service bureaucracy often does not have sufficient
authority to complete the process serving the public within its own
institution. Completing the process of public service often requires the
involvement of other institutions.
Pasang surut kinerja birokrasi pendidikan di Papua sangat ditentukan oleh
dinamika eksternal dan internalnya. Artinya, responsivitas kebijakan dan
strategi pendidikan bergan-tung pada dukungan vital dari : Pertama, konsistensi dan
kesamaan cara pandang antara Pemerintah daerah, unit-unit sekolah, dan
masyarakat; Kedua, garansi kapasitas organisasi
internal dalam konteks capacity building,
mencakup : pola anutan doktrin kelembagaan, sifat kepemimpinan, supporting sumberdaya, kelayakan
program, dan fleksibilitas struktur organisasi pendidikan. Secara teoritik,
kelemahan-kelemahan birokrasi pendidikan di Papua dalam rangka merespon
tuntutan pelayanan publik dapat dieliminir melalui pemanfaatan model pendekatan
pemecahan masalah yang memiliki relevansi dan koherensi dengan ekologisnya yang
khas. Agar sesuai dengan realitas sebab-akibatnya, perlu dikembangkan sejumlah
variabel dan indikator lokal atas kesepakatan stakeholders-pendidikan dan didasarkan atas hasil pengkajian akademis.
Upaya-upaya
remedies dari serangkaian kondisi
fenomenologis birokrasi pendidikan di Papua dalam kaitannya dengan layanan
publik, menuntut adanya hasil diagnostik yang
akurat dan reliabel dengan instrumen pendekatan pemecahan masalah yang berkelayakan dan dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah-praktis. Penyertaan karakteristik ekologi lokal sebagai variabel
penting dalam analis menjadi bagian penting dari internalisasi faktor-faktor
lokal dalam birokrasi pendidikan di Papua.
Hal tersebut didukung oleh beberapa pandangan konseptual, misalnya Kimberly dan Rottman dalam Gibson et.al. (1995), menyebutkan bahwa
lingkungan, teknologi, pilihan strategi, proses, dan kultur adalah
faktor-faktor yang menentukan keefektifan suatu organisasi. Hardjito dalam Tangkilisan, 2005 :150), mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi
dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh komponen-komponen organisasi yang
meliputi : struktur, tujuan, manusia, hukum, prosedur pengoperasian yang
berlaku, teknologi, lingkungan, kompleksitas, spesialisasi, kewenangan, dan
pembagian tugas. Sunoto (1992), yang
menulis tentang aspek manusia dalam analisis organisasi dalam buku suntingan Effendi, dkk (1992 : 223), menyinggung
budaya sebagai metafora bagi analisis organisasi, di mana metafora kebudayaan
berakar dariasumsi bahwa suatu organisasi merupakan shared meanings dan interpretive
scheme yang mengandung unsur-unsur bahasa, norma-norma, nilai-nilai,
ideologi, keyakinan, dongeng, yang merupakan dasar dan refleksi perilaku
organisasi. Hal ini berarti, di dalam organisasi itu solusi telah diterima
begitu saja (taken for granted). Apa
yang awalnya dihipotesiskan oleh seorang anggota kelompok, didukung oleh nilai
atau dugaan yang lama kelamaan diperlakukan sebagai kenyataan atau jalan
keluar. Osborne dan Platrik (2000 :
256-257), menyarankan metode untuk mengubah budaya birokrasi yang bersifat
negatif, dengan 4(empat) strategi, yaitu : memperjelaas tujuan organisasi,
menciptakan konsekwensi kinerja, menciptakan pertanggung jawaban organisasi
terhadap pelanggan; dan menggeser tempat dan bentuk kontrol.
Agenda reformasi birokrasi pendidikan secara
menyeluruh di Papua sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi modern harus dapat
diarahkan kepada perwujudan birokrasi sebagai pelayan masyarakat yang efisien, efektif,
terpadu, terjangkau, transparan dan akuntabel. Untuk itu perlu menata kembali
birokrasinya yang memungkinkan terjadinya internalisasi kaitan-kaitan ekologis,
sehingga dapat menampakkan suatu format birokrasi yang berwajah “kepapuaan”.
Maka, dalam rangka mengatasi hambatan birokrasi, salah satu gagasan yang
dikembangkan adalah menyusun organisasi secara lebih kenyal dengan model Pertama : mission-type organization yang
memfokuskan perhatian pada pencapaian sasaran tertentu secara jelas dan nyata;
dan Kedua, matrix organization yang mudah dibongkar pasang, terdiri dari
komponen-komponen profesional yang ditata dalam berbagai kombinasi menurut
keperluan.
Implikasinya
bagi analisis desain model Birokrasi
Pendidikan adalah : Pertama, mempertimbangkan adanya jalur
hubungan “segi-tiga” (pemerintah-sekolah-masyarakat); Kedua, memahami dan mendalami aspek-aspek tradisi-budaya, sosial,
dan politik yang mewarnai hubungan-hubungan itu; Ketiga, memaknai batas-batas kewenangan masing-masing sehingga
tidak terjadi overlapping atau justru
memunculkan kerumitan baru; Keempat, menelusuri
batas-batas kewenangan otonomi pendidikan, sehingga ditemukan model
keseimbangan yang serasi; Kelima, menjustifikasi struktur organisasi yang
diharapkan dapat merefleksikan responsivitas layanan publik dan keberpihakannya
pada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus dan
Kusumasari. 2001. Public Service
Performance dalam Policy Brief CPPS-Gadjah
Mada University, Nomor : 01/PB-E/2001.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi
Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit PSKK-UGM.
Frederickson,
George H. 2005. The State of Social
Equity in American Public Administration . American Society for Public
Administration-Vol.28 No.3- March 2005. http://www.aspanet.org/scriptcontent/word/Accomplishments2005.doc
Gibson, James L., dkk, 1995. Organizations
Behaviour Structure and Process. Homewood, Illinois : Richard D. Irwin Inc.
IFES. 2003. Survey Opini Publik Papua. Jakarta.
Komorotomo,
Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi
Publik Sketsa Pada Masa Transisi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Siagian,
Sondang P. 2000. Teori Pengembangan
Organisasi. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Silo,
Akbar. 2005. Kinerja Pemerintahan Dalam
Rangka Pelayanan Publik di Kabupaten Sarmi. Laporan Penelitian kerjasama
UNDP dan UNCEN.
Silo, Akbar. Dkk. 2004. Penguatan Institusi Pendidikan yang
Responsif. Policy Brief No. 19/PB/2004.. PSKK-UGM. Yogyakarta.
Sunoto, 1992. Aspek Manusia dalam Organisasi : Dasar
Pemikiran dan Implikasi Metode Penelitian, dalam Effendi, dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia, Peranan
Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan. Jakarta :Penerbit Gadjah Mada
University Press.
terima kasih informasinya.
BalasHapuswww.kiostiket.com