Sabtu, 08 Juni 2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi  telah melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.  Teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global, dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas  (borderless), serta menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan.  Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan beragam jasa di bidang teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya, dalam hal ini internet merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi tersebut, yang memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung satu sama lain.
Bangsa Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal.  Kondisi ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi ini, termasuk kemampuan dalam menghadapi masalah hukum yang timbul akibat penyalahgunaan teknologi informasi  tersebut, yang menimbulkan terjadinya tindak pidana melalui media internet (cybercrime).   Saat ini telah ada beberapa regulasi  dalam hukum positif Indonesia di bidang teknologi informasi, diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi  Elektronik (selanjutnya disebut Undang-Undang ITE) atau Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.  Namun demikian, masih saja muncul kendala dalam penerapannya, karena terkadang antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya tidak sejalan atau saling bertentangan, sehingga banyak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda dari para penegak hukum di Indonesia.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan nasional merupakan proses berkelanjutan dan berkesinambungan di berbagai bidang, tidak terkecuali pada kegiatan perbankan nasional. Perkembangan teknologi tersebut apabila dimanfaatkan secara tepat guna diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia . 
Aplikasi teknologi informasi di bidang perbankan dapat menciptakan suatu sistem pelayanan bank yang baik, cepat, dan efisien. Pengotomatisan sistem perbankan sebagai jawaban atas perkembangan teknologi informasi dapat terlihat dari penerapan RTGS (Real Time Gross Settlement) oleh Bank Indonesia (BI).  Bank akan memberikan pelayanan yang cepat, teliti, dan aman melalui penerapan teknologi informasi yang tepat. Salah satu contoh penerapan teknologi informasi di bidang perbankan adalah layanan internet banking. Kehadiran layanan internet banking merupakan media alternatif dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi nasabah suatu bank yang ingin mengedepankan aspek kemudahan, fleksibilitas, efisiensi, dan kesederhanaan. Nasabah yang ingin melakukan transaksi tidak harus datang ke bank dan menunggu antrian yang panjang, dengan adanya pelayanan internet banking tersebut, transaksi dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Pelayanan perbankan untuk saat ini dan yang akan datang diwarnai dengan pemanfaatan teknologi elektronik dalam kegiatan kerjanya.
Kemudahan yang dilahirkan melalui penerapan teknologi informasi pada perbankan (internet banking) diikuti pula dengan risiko dalam penggunaannya. Pada praktiknya, seringkali analisis cost-risk-benefit pada penerapan internet banking tidak dipertimbangkan secara komprehensif dan baru dilakukan setelah timbulnya masalah yang menyebabkan kerugian.   Karakteristik layanan internet banking untuk memfasilitasi transaksi perbankan yang berbeda dengan layanan perbankan secara konvensional banyak menimbulkan masalah, karena dalam pemanfaatan layanan internet banking ini melibatkan berbagai pihak, baik pihak perbankan, pihak internet service provider, maupun nasabah perbankan yang bersangkutan[1].   Saat ini, pengaturan hukum di bidang perbankan tidak dapat lagi mengantisipasi dinamika bisnis sektor perbankan, termasuk fasilitas internet banking yang sering disalahgunakan oleh para nasabahnya sehingga menimbulkan terjadinya tindak pidana  seperti tindak pidana pencucian uang melalui internet (internet banking).
Munir Fuady mengemukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya tindak pidana pencucian uang (money laundering) dimulai dari negara Amerika Serikat sejak Tahun 1830.[2]  Pada waktu  itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran. Pihak-pihak yang telah terbiasa dengan masalah pencucian uang di Amerika Serikat, terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone  (Chicago). Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelompok ini menjadikan Mayer Lansky  dijuluki sebagai bapak  Money Laundering Modern.  Selanjutnya uang tersebut disimpan di lembaga keuangan seperti bank. Penyimpanan uang tersebut  bertujuan agar uang hasil kejahatan itu menjadi legal.
Kejahatan berkembang seiring perkembangan teknologi informasi, begitu pula tindak pidana pencucian uang sering dilakukan melalui internet, dalam hal ini adanya penyalahgunaan fasilitas internet banking.  Sifat money laundering menjadi universal dan bersifat transnasional yakni melintasi  batas-batas yurisdiksi negara[3]. Berarti pemahaman hukum pidana terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan asas teritorial suatu negara saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga keuangan suatu negara asal, akan tetapi juga dapat ditransfer ke negara lain dengan berbagai macam cara dan kepentingan, misalnya dengan cara pembayaran yang dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment)[4].. Kegiatan semacam ini  melibatkan   lebih dari satu hukum pidana nasional.  Bank Indonesia menyebutkan bahwa tindak pidana penyuapan, korupsi, perjudian, pemalsuan uang merupakan  pemicu money laundering. Money Laundering dapat menimbulkan ketidakpercayaan nasabah dan  masyarakat kepada sistem perbankan.
Ada beberapa tindak pidana money laundering [5] yang terjadi seperti tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Presiden Phillipina Ferdinand Marcos, dalam hal ini uang hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya disimpan di bank Credit Suisse, kemudian di transfer ke rekening salah satu keluarganya.  Kasus lain adalah tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang dilakukan oleh bank seperti  kasus Bank Bank of Credit & Commerce Internasional (BCCI) Tahun 1991.  Tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang dilakukan BCCI  berhubungan dengan perdagangan obat bius. BCCI bertindak sebagai penyalur uang hasil transaksi itu, yang disalurkan melalui layanan internet banking. Namun, pada tahun 1990 Dinas Bea dan Cukai Amerika Serikat berhasil membongkar jaringan perdagangan obat bius dan pencucian uang (money laundering) yang melibatkan BCCI tersebut.     
Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat bahwa uang hasil tindak pidana pencucian uang  (money laundering) itu telah melalui dua tahap kejahatan, yakni pertama, uang itu diperoleh dari suatu tindak pidana tertentu, kedua, uang itu dibersihkan melalui tindak pidana pencucian uang (money laundering) dengan berbagai cara seperti melalui penyalahgunaan fasilitas internet banking,  sehingga uang itu menjadi legal.   Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai kejahatan yang terorganisir (organized crime) juga telah banyak terjadi di Indonesia.  Secara umum, hal tersebut terlihat dari semakin tingginya tingkat kejahatan yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang ini seperti tindak pidana korupsi yang banyak terungkap melalui fasilitas perbankan, dalam hal ini internet banking, peredaran gelap narkoba dan sebagainya.  Walaupun saat ini, telah ada ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering) yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun kenyataannya, belum dapat mengatasi kasus pencucian uang yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan.  Kendala atas penanganan kasus-kasus di atas antara lain dalam hal yurisdiksi penuntutan dan pembuktian, walaupun pembuktian secara elektronik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, namun pembuktian pada tindak pidana pencucian uang melalui internet ini tetap mengalami berbagai kesulitan terutama untuk menemukan adanya unsur melawan hukum, karena tindak pidana pencucian uang biasanya dilakukan oleh kalangan intelektual, sehingga akan sulit menemukan bukti-bukti adanya unsur melawan hukum tersebut.  Begitu pula mengenai yurisdiksi penuntutannya, akan sulit ditentukan karena kejahatan pencucian uang melalui internet ini dapat saja melibatkan lebih dari satu sistem hukum, sehingga harus diketahui secara benar locus delictinya, korbannya,  dan sebagainya, sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam penanganannya.
Sampai saat ini, belum ada pembahasan secara khusus mengenai yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional.  Oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk mencoba membahas hal tersebut, yang dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul “Yurisdiksi Tuntutan Tindak Pidana Pencucian  Uang Melalui Internet Berdasarkan Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”.
B.  Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan  di atas, terdapat beberapa masalah hukum, sebagai berikut :
1.    Bagaimana yurisdiksi tuntutan yang dapat dilakukan jaksa dalam menangani tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ?
2.    Bagaimana Pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional Berdasarkan Hukum Acara Pidana  dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Teknologi Dan Transaksi Elektronik ?
C. Tujuan Penelitian
     Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.    Untuk  mengkaji dan menganalisis yurisdiksi tuntutan yang dapat dilakukan jaksa dalam menangani tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2.    Untuk mengkaji dan menganalisis pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional Berdasarkan Hukum Acara Pidana  dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Teknologi Dan Transaksi Elektronik.
D. Kegunaan Penelitian
     Kegunaan penelitian ini adalah :       
1.    Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan  dapat digunakan bagi pengembangan ilmu hukum terutama hukum pidana yang menyangkut yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional yang mengandung unsur lintas batas negara.
2.    Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak yang berwenang dalam membuat dan atau memperbaharui peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional yang mengandung unsur lintas batas negara.
E.  Kerangka Pemikiran
Pada prinsipnya setiap peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. dalam hal ini untuk lebih mempermudah menganalisis, maka akan digunakan dua grand teori  yang berdasarkan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu alinia kedua dan alinia ke empat.
Untuk mencapai suatu sistem keadilan yang baik bagi masyarakat indonesia, dapat dilihat pada  alinia kedua Undang-Undang Dasar 1945, yang mengatakan bahwa :
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Amanat yang disampaikan dalam alinia kedua pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan kondisi dinamis kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasioanl dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun ancaman dalam negeri secara langsung maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan perekonomian bangsa dan negara Republik Indonesia.
Sistem perekonomian bangsa Indonesia mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebutkan bahwa sistem perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Secara makro, sistem perekonomian Indonesia dapat disebut sebagai sistem perekonomian kerakyatan. Tindak pidana pencucian uang melalui internet sangat mempengaruhi sistem perekonomian bangsa indonesia.

Kemudian dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,  menyatakan bahwa :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, …”.
Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan juga kesejahteraan sosial melalui pembangunan nasional. Selain itu, kata “melindungi” mengandung asas perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan.     
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, maka semua peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia harus dapat diatur oleh peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terciptanya kepastian hukum.  Begitu pula dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai bagian dari kejahatan transnasional harus dapat diatasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Saat ini, di Indonesia telah ada  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun demikian harus diperhatikan pula sumber hukum lain karena pada kenyataannya tindak pidana pencucian uang ini banyak yang mengandung unsur asing yang akan berpengaruh pada proses penuntutan dan peradilannya, sementara tindak pidana pencucian uang melalui internet ini melibatkan hukum nasional lebih dari satu negara, terlebih lagi apabila tindak pidana pencucian uang ini dilakukan melalui internet.
Mendeskripsikan pencucian uang sebagai kejahatan transnasional dapat dilihat dari segi kriminalisasi dan pelaku.  Kriminalisasi suatu tindak pidana merupakan bagian dari proses penegakan hukum pidana, yang dapat dilakukan melalui tiga tahap[6] diantaranya tahap formulasi. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif[7].  Pada tahap inilah  terjadi proses kriminalisasi. Pada proses kriminalisasi tidak hanya merumuskan tindak pidana beserta sanksinya, tetapi juga menentukan atau memberikan sifat apakah tindak pidana ini tindak pidana konvensional atau transnasional. Apabila tindak pidana itu bersifat transnasional, hal ini menunjukkan indikasi bahwa tindak pidana itu melampaui batas negara dan tidak terikat dengan yurisdiksi hukum satu negara saja, begitu pula dengan kegiatan dan  pelakunya, dalam hal ini pelaku tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kejahatan transnasional mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing, maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat internasional.  Melihat sifat kejahatan transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai kejahatan transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional.

Pertumbuhan hukum pidana internasional  sebagai disiplin ilmu hukum berasal dari dua sumber, yaitu dari perkembangan kebiasaan yang terjadi dalam praktik hukum internasional (custom) dan juga berasal dari perjanjian-perjanjian internasional (treaties)[8].  Hukum pidana internasional sebagai disiplin  hukum memiliki dan telah memenuhi empat unsur sebagai berikut [9]:

  1. Asas hukum pidana internasional, yang dapat dibedakan antara asas-asas hukum hukum yang bersumber pada hukum internasional dan asas-asas hukum yang bersumber pada hukum pidana nasional. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum internasional terdiri dari asas-asas yang bersifat umum seperti pacta sunt servanda dan bersifat khusus seperti yang diungkapkan oleh Hugo Grotius yaitu asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional sebagaimana dinyatakan oleh Bassioni. Perbedaan kedua asas di atas terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan Negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. Sementara itu, asas-asas hukum pidana internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas, asas teritorial, asas nasionalitas aktif dan pasif, asas universalitas, asas non retroaktif, asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut.
  2. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional, meliputi semua ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional atau kejahatan transnasional, perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional serta ketentuan lain mengenai tindak pidana internasional.
  3. Proses dan penegakan hukum pidana internasional meliputi ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional, dalam hal ini terdapat tiga wilayah yurisdiksi yang terdiri dari yurisdiksi kriminal pertama meliputi kejahatan genocide, yurisdiksi kriminal kedua meliputi kejahatan pencucian uang (money laundering) serta yurisdiksi kriminal ketiga seperti terhadap kejahatan agresi. 
  4. Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.
    Pada perkembangannya, Edward M. Wise, menyatakan bahwa pengertian hukum pidana internasional bukan merupakan pengertian yang kaku dan pasti karena dalam pengertian luas meliputi tiga topik sebagai berikut
    [10]:
  • Topik pertama mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap kasus-kasus yang mengandung unsur asing, termasuk diantaranya masalah ekstradisi.
  • Topik kedua mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan yang bersumber dari konvensi dan perjanjian internasional yang menyangkut masalah tindak pidana pencucian uang.
  • Topik ketiga mengenai keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk instrument-instrumen yang mendukung penegakan hukum pidana internasional tersebut.

    Ada beberapa dimensi yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan kejahatan transnasional, yakni[11] :

1.    Tempat terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara atau lebih  yang terkait dengan kejahatan itu.
2.    Korban suatu kejahatan nasional  tidak semata-mata dalam wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.
3.    Kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah negara yang bukan warganegaranya.

Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan transnasional,  yaitu[12] :
1.    Tempat terjadinya kejahatan
2.    Kewarganegaraan  pelaku dan atau korbannya
3.    Korban yang berupa harta benda bergerak dan atau benda tidak bergerak milik pihak asing.
4.    Perpaduan antara butir 1,2 dan 3
5.    Tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat manusia

Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya, antara lain [13]:
  1. Asas legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana nasional beberapa negara, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana nasional.
  2. Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain undang-undang tidak berlaku surut.
  3. Asas culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya telah dapat dibuktikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu.
  4. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), menegaskan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti.
  5. Asas ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.
  6. Asas-asas yang diuraikan di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional. Pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (KUHP) yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum internasional. 
Saat ini sistem pembuktian hukum di Indonesia, khusunya dalam Pasal 184 KUHAP belum mengenal istilah bukti elektronik/digital evidence sebagai bukti yang sah menurut undang-undang. Masih banyak perdebatan khususnya antara akademisi dan praktisi mengenai hal ini. Untuk aspek pidana, asas legalitas menetapkan bahwa tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana jika tidak ada aturan hukum yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine previa lege poenali). Untuk itulah dibutuhkan adanya dalil yang cukup kuat sehingga perdebatan akademisi dan praktisi mengenai hal ini tidak perlu terjadi lagi.  Begitu pula pada kasus  pencucian uang (money laundering) melalui internet, terdapat alat bukti elektronik, walaupun dalam Pasal 184 KUHAP tidak diatur, namun berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik adalah alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia.
      Di bawah ini akan diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering sebagai berikut :
1.     Kriminalisasi pencucian uang   
               Pada tingkat internasional, ada suatu konvensi yaitu the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga  UN Drug Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini dilakukan melalui pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan suatu tindak pidana. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.  Konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral.  Sementara itu, Konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang  dapat berjalan efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan  perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.  Kriminalisasi tindak pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti), proportion (terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah). Kriminalisasi  pencucian uang terdapat dalam  Pasal 1 angka (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UUTPPU), yang menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.  Pada dasarnya rumusan tindak pidana pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan atas 2 (dua) kriteria yaitu tindak pidana pencucian uang itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUTPPU, dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUTPPU.  Mengenai sanksi pidana kejahatan pencucian uang diatur dalam Pasal 13 UUTPPU.  Sementara itu, UUTPPU juga mengatur tentang pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
2.     Kegiatan dan pelaku tindak pidana pencucian uang
Pencucian uang sebagai tindak pidana yang terorganisir dan kejahatan transnasional melibatkan beberapa pihak yang terlibat dan mempunyai tugas masing-masing. Biasanya organisasi seperti ini disebut dengan sindikat atau jaringan.  Agar organisasi ini berjalan dengan sempurna sesuai dengan rencana perlu adanya kerangka tertentu sebagai sarana. Beberapa literatur yang membahas pencucian uang mengemukakan bahwa kegiatan pencucian uang mempunyai kerangka, model, modus operandi, instrumen, metode, tahapan serta  pelaku tertentu  dalam kegiatan kejahatan merupakan satu paket.. Sarana-sarana ini menjadi pedoman melakukan pencucian uang sehingga untuk melakukan pencucian uang dapat dipilih dari beberapa alternatif.
3.     Model pencucian uang
  Schaap, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan  bahwa terdapat beberapa model untuk melakukan   tindak pidana pencucian uang, yaitu  [14]:
  1. Model dengan operasi Chase. Model ini menyimpan uang di bank di bawah ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven. 
  2. Model pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif. 
  3.  Model La Mina. Model ini memanfaatkan pedagang grosir emas dan permata dalam negeri dan luar negeri.
  4. Model dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mempergunakan konspirasi bisnis semu dengan sistem bank paralel.
  5. Model dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek.Model ini melakukan kerja sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek.
Ada beberapa modus operandi pencucian uang antara lain : kerjasama penanaman modal, transfer  ke luar negeri, kredit bank Swiss, usaha tersamar di dalam negeri, perjudian, penyamaran dokumen, atau rekayasa pinjaman luar negeri.   Sementara itu, Siahaan mengemukakan 3 (tiga) metode yang digunakan dalam melakukan pencucian uang     yaitu [15]:
1.    Buy and Sell Conversions, Metode ini dilakukan melalui transaksi barang dan jasa. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci melalui transaksi bisnis. Barang atau jasa dapat diubah  menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank.
2.    Offshore Conversions,         dalam hal ini uang hasil kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laundering centers) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut.
3.    Legitimate Business Conversions. Metode ini dilakukan melalui  kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan hasil kejahatan.  Uang  tersebut kemudian dikonversi melalui transfer, cek atau alat pembayaran  lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya melalui fasilitas internet banking. Biasanya pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uanghasil kejahatan.     
      Di samping itu, terdapat  8 (delapan) Instrumen yang dipergunakan dalam tindak pidana pencucian uang. yaitu :
1.    Bank dan Lembaga Keuangan lainnya
2.    Perusahaan Swasta
3.    Real estate
4.    Deposit Taking Institution dan Money Changer
5.    Institusi Penanaman Uang Asing
6.    Pasar Modal dan Pasar uang.  Pasar uang tidak mempunyai tempat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan surat berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan wesel. Lembaga- lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur uang, dan  bank sentral.
7.    Emas dan Barang Antik
8.    Kantor konsultan keuangan
Tindak pidana pencucian uang dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut ; Placement, yaitu menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito,) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan; selanjutnya proses Layering, yaitu tindakan mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement ) ke penyedia jasa keuangan yang lain, biasanya dilakukan melalui proses transfer dengan menggunakan fasilitas internet banking.  melalui layering, sulit diketahui asal-usul harta kekayaan tersebut; kemudian dilakukan proses Integration, yaitu penggunaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan  melalui penempatan atau transfer, sehingga seolah-olah menjadi harta  kekayaan halal (clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan.     
Pencucian uang sebagai kejahatan terorganisir dilakukan oleh orang yang menguasai dunia penyedia jasa keuangan baik bank maupun non bank. Pencucian uang merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime).  Kejahatan kerah putih tidak ada rumusan yang jelas baik dari sisi kriminologi maupun dalam perundang-undangan. Pergerakan kejahatan kerah putih sangat luas yang dapat meliputi perekonomian, keuangan dan biasanya dilakukan secara terorganisir (organized crime)[16].
     
Kejahatan kerah putih dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mulai dari manual hingga extra sophisticated atau super canggih yang memasuki dunia maya (cyberspace) sehingga kejahatan kerah putih dalam bidang pencucian uang disebut dengan cyber laundering[17] merupakan bagian dari cyber crime yang didukung oleh pengetahuan tentang bank, bisnis, electronic banking yang cukup.

Walaupun realisme hukum adalah suatu kepastian, namun realitas hukum saat ini justru adalah ketidakpastian dalam penegakan hukum.  Hal ini terlihat pada beragam tafsir hukum yang mengatur kasus tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet ini. Pencegahan atau upaya preventif dan upaya represif terhadap kejahatan merupakan bagian dari politik kriminal, sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum[18], termasuk tindak pidana pencucian uang.           
F.  Metode Penelitian
Pada penelitian ini, Peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut :
1.  Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan secara sistematis fakta-fakta  dan permasalahan hukum yang diteliti sekaligus menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, dihubungkan dengan teori hukum dan praktis pelaksanaannya, berupa data sekunder bahan hukum primer antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum.
2.   Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan mengkaji  data sekunder yang berkaitan dengan yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional, pada tahap ini dilakukan pula penafsiran hukum secara gramatikal yaitu menafsirkan kata atau kalimat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai yurisdiksi tuntutan jaksa dan tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional, penafsiran hukum  secara sistematis dengan memperhatikan keterkaitan antara ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya, baik dalam satu peraturan atau peraturan lainnya, penafsiran hukum secara otentik yang dapat dilihat langsung pada penjelasan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, serta penafsiran hukum secara ekstensif dengan cara memperluas arti kata dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu.
3.   Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan data  dengan beberapa cara yaitu :
a.    Penelitian Kepustakaan (library research), dalam hal ini Peneliti melakukan penelitian terhadap data sekunder bahan hukum primer seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian data sekunder bahan hukum sekunder  yaitu pendapat para ahli yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum.
b.    Penelitian Lapangan (field research), untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan, maka Peneliti melakukan penelitian lapangan, antara lain melakukan wawancara terstruktur dengan pihak kepolisian, kejaksaan, pihak perbankan serta browsing melalui internet.
4.  Metode Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara yuridis kualitatif, maksudnya bahwa analisis dilakukan dengan memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan  agar peraturan yang satu tidak bertentangan dengan peraturan lainnya, serta tercapainya kepastian hukum.
      5.   Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat seperti : Perpustakaan Fakultas Hukum UNIKOM, Perpustakaan Hukum UNPAD, Kepolisian, Kejaksaan Negeri, Pihak perbankan serta beberapa website dalam internet.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disajikan secara sistematis, sebagai berikut :
BAB I       : PENDAHULUAN
                     Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, perangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II      :  TINJAUAN TEORITIS TENTANG  YURISDIKSI  TUNTUTAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET
                     Pada bab ini diuraikan mengenai aspek-aspek hukum yurisdiksi tuntutan jaksa dan teori-teori tindak pidana pencucian uang melalui internet
BAB III : YURISDIKSI  TUNTUTAN  ATAS   TINDAK   PIDANA PENCUCIAN  UANG   MELALUI  INTERNET 
                     Pada bab ini diuraikan mengenai proses pencucian uang melalui internet di beberapa negara, dan proses penuntutan atas tindak pidana pencucian uang melalui internet
BAB IV : ANALISIS HUKUM TENTANG  YURISDIKSI TUNTUTAN JAKSA ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN  UANG   MELALUI  INTERNET  BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA, UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
                     Pada bab ini, dianalisis mengenai  yurisdiksi tuntutan atas tindak pidana pencucian uang melalui internet serta  tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional
BAB V     : SIMPULAN DAN SARAN
                     Pada bab ini diuraikan mengenai simpulan dan saran
<<<<<Selanjutnya klik di bawah<<<<<

0 komentar:

Posting Komentar