BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi telah
melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena
di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan
peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melawan
hukum. Teknologi informasi dan
komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara
global, dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless), serta menimbulkan
perubahan di berbagai bidang kehidupan.
Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan beragam jasa di bidang
teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya, dalam hal ini
internet merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi tersebut, yang
memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung
satu sama lain.
Bangsa Indonesia yang
sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi
informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal.
Kondisi ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber daya
manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi ini, termasuk kemampuan dalam menghadapi masalah hukum yang timbul
akibat penyalahgunaan teknologi informasi
tersebut, yang menimbulkan terjadinya tindak pidana melalui media
internet (cybercrime). Saat ini telah ada beberapa regulasi dalam hukum positif Indonesia di bidang
teknologi informasi, diantaranya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (selanjutnya
disebut Undang-Undang ITE) atau Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi. Namun demikian, masih
saja muncul kendala dalam penerapannya, karena terkadang antara peraturan yang
satu dengan peraturan lainnya tidak sejalan atau saling bertentangan, sehingga
banyak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda dari para penegak hukum di
Indonesia.
Pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi dalam pembangunan nasional merupakan proses
berkelanjutan dan berkesinambungan di berbagai bidang, tidak terkecuali pada
kegiatan perbankan nasional. Perkembangan teknologi tersebut apabila
dimanfaatkan secara tepat guna diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat Indonesia .
Aplikasi teknologi
informasi di bidang perbankan dapat menciptakan suatu sistem pelayanan bank
yang baik, cepat, dan efisien. Pengotomatisan sistem perbankan sebagai jawaban
atas perkembangan teknologi informasi dapat terlihat dari penerapan RTGS (Real Time Gross Settlement) oleh Bank
Indonesia (BI). Bank akan memberikan
pelayanan yang cepat, teliti, dan aman melalui penerapan teknologi informasi
yang tepat. Salah satu contoh penerapan teknologi informasi di bidang perbankan
adalah layanan internet banking.
Kehadiran layanan internet banking
merupakan media alternatif dalam memberikan kemudahan-kemudahan bagi nasabah
suatu bank yang ingin mengedepankan aspek kemudahan, fleksibilitas, efisiensi,
dan kesederhanaan. Nasabah yang ingin melakukan transaksi tidak harus datang ke
bank dan menunggu antrian yang panjang, dengan adanya pelayanan internet banking tersebut, transaksi
dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Pelayanan perbankan untuk saat ini
dan yang akan datang diwarnai dengan pemanfaatan teknologi elektronik dalam
kegiatan kerjanya.
Kemudahan yang dilahirkan
melalui penerapan teknologi informasi pada perbankan (internet banking)
diikuti pula dengan risiko dalam penggunaannya. Pada praktiknya, seringkali
analisis cost-risk-benefit pada penerapan internet banking tidak
dipertimbangkan secara komprehensif dan baru dilakukan setelah timbulnya
masalah yang menyebabkan kerugian.
Karakteristik layanan internet
banking untuk memfasilitasi transaksi perbankan yang berbeda dengan layanan
perbankan secara konvensional banyak menimbulkan masalah, karena dalam
pemanfaatan layanan internet banking
ini melibatkan berbagai pihak, baik pihak perbankan, pihak internet service provider, maupun nasabah perbankan yang
bersangkutan[1]. Saat ini, pengaturan hukum di bidang perbankan
tidak dapat lagi mengantisipasi dinamika bisnis sektor perbankan, termasuk
fasilitas internet banking yang sering disalahgunakan oleh para
nasabahnya sehingga menimbulkan terjadinya tindak pidana seperti tindak pidana pencucian uang melalui
internet (internet banking).
Munir Fuady mengemukakan
bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya tindak pidana pencucian uang (money laundering) dimulai dari negara
Amerika Serikat sejak Tahun 1830.[2] Pada waktu
itu banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan
seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan
hasil pelacuran. Pihak-pihak yang telah terbiasa dengan masalah pencucian uang
di Amerika Serikat, terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago). Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat
perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu
dikembangkan lagi offshore banking di
Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelompok
ini menjadikan Mayer Lansky dijuluki
sebagai bapak Money Laundering Modern. Selanjutnya
uang tersebut disimpan di lembaga keuangan seperti bank. Penyimpanan uang
tersebut bertujuan agar uang hasil
kejahatan itu menjadi legal.
Kejahatan berkembang
seiring perkembangan teknologi informasi, begitu pula tindak pidana pencucian
uang sering dilakukan melalui internet, dalam hal ini adanya penyalahgunaan
fasilitas internet banking. Sifat
money laundering menjadi universal
dan bersifat transnasional yakni melintasi
batas-batas yurisdiksi negara[3].
Berarti pemahaman hukum pidana terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan
asas teritorial suatu negara saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional
yang dilanggar. Uang hasil dari tindak pidana ini tidak saja disimpan atau
dimanfaatkan dalam suatu lembaga keuangan suatu negara asal, akan tetapi juga
dapat ditransfer ke negara lain dengan berbagai macam cara dan kepentingan,
misalnya dengan cara pembayaran yang dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment)[4]..
Kegiatan semacam ini melibatkan lebih dari satu hukum pidana nasional. Bank Indonesia menyebutkan bahwa tindak
pidana penyuapan, korupsi, perjudian, pemalsuan uang merupakan pemicu money
laundering. Money Laundering
dapat menimbulkan ketidakpercayaan nasabah dan
masyarakat kepada sistem perbankan.
Ada beberapa tindak pidana
money laundering [5]
yang terjadi seperti tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan
Presiden Phillipina Ferdinand Marcos, dalam hal ini uang hasil tindak pidana
korupsi yang dilakukannya disimpan di bank Credit Suisse, kemudian di transfer
ke rekening salah satu keluarganya.
Kasus lain adalah tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang dilakukan oleh bank seperti kasus Bank Bank of Credit & Commerce Internasional (BCCI) Tahun 1991. Tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang dilakukan
BCCI berhubungan dengan perdagangan obat
bius. BCCI bertindak sebagai penyalur uang hasil transaksi itu, yang disalurkan
melalui layanan internet banking. Namun, pada tahun 1990 Dinas Bea dan
Cukai Amerika Serikat berhasil membongkar jaringan perdagangan obat bius dan
pencucian uang (money laundering) yang melibatkan BCCI tersebut.
Berdasarkan hal tersebut
di atas terlihat bahwa uang hasil tindak pidana pencucian uang (money
laundering) itu telah melalui dua tahap kejahatan, yakni pertama, uang itu
diperoleh dari suatu tindak pidana tertentu, kedua, uang itu dibersihkan
melalui tindak pidana pencucian uang (money
laundering) dengan berbagai cara seperti melalui penyalahgunaan fasilitas internet
banking, sehingga uang itu menjadi
legal. Tindak pidana pencucian uang (money laundering) sebagai kejahatan yang
terorganisir (organized crime) juga
telah banyak terjadi di Indonesia. Secara
umum, hal tersebut terlihat dari semakin tingginya tingkat kejahatan yang
berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang ini seperti tindak pidana
korupsi yang banyak terungkap melalui fasilitas perbankan, dalam hal ini internet
banking, peredaran gelap narkoba dan sebagainya. Walaupun saat ini, telah ada ketentuan hukum
yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering) yaitu
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, namun kenyataannya, belum
dapat mengatasi kasus pencucian uang yang terjadi di Indonesia secara
keseluruhan. Kendala atas penanganan
kasus-kasus di atas antara lain dalam hal yurisdiksi penuntutan dan pembuktian,
walaupun pembuktian secara elektronik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, namun pembuktian pada
tindak pidana pencucian uang melalui internet ini tetap mengalami berbagai
kesulitan terutama untuk menemukan adanya unsur melawan hukum, karena tindak
pidana pencucian uang biasanya dilakukan oleh kalangan intelektual, sehingga
akan sulit menemukan bukti-bukti adanya unsur melawan hukum tersebut. Begitu pula mengenai yurisdiksi penuntutannya,
akan sulit ditentukan karena kejahatan pencucian uang melalui internet ini
dapat saja melibatkan lebih dari satu sistem hukum, sehingga harus diketahui
secara benar locus delictinya, korbannya,
dan sebagainya, sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam
penanganannya.
Sampai saat ini, belum ada
pembahasan secara khusus mengenai yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana
pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional. Oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk
mencoba membahas hal tersebut, yang dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul “Yurisdiksi
Tuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
Melalui Internet Berdasarkan Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan di atas, terdapat
beberapa masalah hukum, sebagai berikut :
1.
Bagaimana
yurisdiksi tuntutan yang dapat dilakukan jaksa dalam menangani tindak pidana
pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional berdasarkan
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang ?
2.
Bagaimana
Pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai
kejahatan transnasional Berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Teknologi Dan Transaksi Elektronik ?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengkaji dan menganalisis yurisdiksi tuntutan
yang dapat dilakukan jaksa dalam menangani tindak pidana pencucian uang melalui
internet sebagai kejahatan transnasional berdasarkan Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2.
Untuk
mengkaji dan menganalisis pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang melalui
internet sebagai kejahatan transnasional Berdasarkan Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Teknologi Dan Transaksi Elektronik.
D.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1.
Secara
teoritis, hasil penelitian diharapkan
dapat digunakan bagi pengembangan ilmu hukum terutama hukum pidana yang
menyangkut yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang melalui
internet sebagai kejahatan transnasional yang mengandung unsur lintas batas
negara.
2.
Secara
praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak yang
berwenang dalam membuat dan atau memperbaharui peraturan perundang-undangan
mengenai tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan
transnasional yang mengandung unsur lintas batas negara.
E. Kerangka Pemikiran
Pada prinsipnya setiap
peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945. dalam hal ini untuk lebih mempermudah menganalisis, maka akan
digunakan dua grand teori yang berdasarkan kepada Undang-Undang Dasar
1945 yaitu alinia kedua dan alinia ke empat.
Untuk mencapai suatu
sistem keadilan yang baik bagi masyarakat indonesia, dapat dilihat pada alinia kedua Undang-Undang Dasar 1945, yang
mengatakan bahwa :
“Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat
sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Amanat yang disampaikan
dalam alinia kedua pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan
kondisi dinamis kehidupan
perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasioanl
dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan yang datang dari luar maupun ancaman dalam negeri secara langsung
maupun tidak langsung untuk menjamin kelangsungan perekonomian bangsa dan
negara Republik Indonesia.
Sistem
perekonomian bangsa Indonesia mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyebutkan bahwa sistem perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan. Secara makro, sistem perekonomian Indonesia
dapat disebut sebagai sistem perekonomian kerakyatan. Tindak pidana pencucian
uang melalui internet sangat mempengaruhi sistem perekonomian bangsa indonesia.
Kemudian dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, …”.
Amanat
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut merupakan
konsekuensi hukum yang mengharuskan pemerintah tidak hanya melaksanakan tugas
pemerintahan saja, melainkan juga kesejahteraan sosial melalui pembangunan
nasional. Selain itu, kata “melindungi” mengandung asas perlindungan hukum bagi
segenap bangsa Indonesia untuk mencapai keadilan.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, maka semua
peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia harus dapat diatur oleh peraturan
perundang-undangan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terciptanya
kepastian hukum. Begitu pula dengan
tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai
bagian dari kejahatan transnasional harus dapat diatasi dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Saat
ini, di Indonesia telah ada Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, namun demikian harus diperhatikan pula sumber
hukum lain karena pada kenyataannya tindak pidana pencucian uang ini banyak
yang mengandung unsur asing yang akan berpengaruh pada proses penuntutan dan
peradilannya, sementara tindak pidana pencucian uang melalui internet ini
melibatkan hukum nasional lebih dari satu negara, terlebih lagi apabila tindak
pidana pencucian uang ini dilakukan melalui internet.
Mendeskripsikan pencucian
uang sebagai kejahatan transnasional dapat dilihat dari segi kriminalisasi dan
pelaku. Kriminalisasi suatu tindak
pidana merupakan bagian dari proses penegakan hukum pidana, yang dapat
dilakukan melalui tiga tahap[6]
diantaranya tahap formulasi. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan
legislatif[7]. Pada tahap inilah terjadi proses kriminalisasi. Pada proses
kriminalisasi tidak hanya merumuskan tindak pidana beserta sanksinya, tetapi
juga menentukan atau memberikan sifat apakah tindak pidana ini tindak pidana
konvensional atau transnasional. Apabila tindak pidana itu bersifat
transnasional, hal ini menunjukkan indikasi bahwa tindak pidana itu melampaui
batas negara dan tidak terikat dengan yurisdiksi hukum satu negara saja, begitu
pula dengan kegiatan dan pelakunya,
dalam hal ini pelaku tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Kejahatan transnasional
mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing,
maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara
lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata
lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat
internasional. Melihat sifat kejahatan
transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang (money laundering)
sebagai kejahatan transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang
termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional.
Pertumbuhan hukum pidana
internasional sebagai disiplin ilmu
hukum berasal dari dua sumber, yaitu dari perkembangan kebiasaan yang terjadi
dalam praktik hukum internasional (custom) dan juga berasal dari
perjanjian-perjanjian internasional (treaties)[8]. Hukum pidana internasional sebagai
disiplin hukum memiliki dan telah
memenuhi empat unsur sebagai berikut [9]:
- Asas hukum pidana internasional, yang dapat dibedakan antara asas-asas hukum hukum yang bersumber pada hukum internasional dan asas-asas hukum yang bersumber pada hukum pidana nasional. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum internasional terdiri dari asas-asas yang bersifat umum seperti pacta sunt servanda dan bersifat khusus seperti yang diungkapkan oleh Hugo Grotius yaitu asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara locus delicti dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional sebagaimana dinyatakan oleh Bassioni. Perbedaan kedua asas di atas terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan Negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. Sementara itu, asas-asas hukum pidana internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas, asas teritorial, asas nasionalitas aktif dan pasif, asas universalitas, asas non retroaktif, asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut.
- Kaidah-kaidah hukum pidana internasional, meliputi semua ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional atau kejahatan transnasional, perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional serta ketentuan lain mengenai tindak pidana internasional.
- Proses dan penegakan hukum pidana internasional meliputi ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional, dalam hal ini terdapat tiga wilayah yurisdiksi yang terdiri dari yurisdiksi kriminal pertama meliputi kejahatan genocide, yurisdiksi kriminal kedua meliputi kejahatan pencucian uang (money laundering) serta yurisdiksi kriminal ketiga seperti terhadap kejahatan agresi.
- Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.
Pada perkembangannya, Edward M. Wise, menyatakan bahwa pengertian hukum pidana internasional bukan merupakan pengertian yang kaku dan pasti karena dalam pengertian luas meliputi tiga topik sebagai berikut [10]:
- Topik pertama mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap kasus-kasus yang mengandung unsur asing, termasuk diantaranya masalah ekstradisi.
- Topik kedua mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan yang bersumber dari konvensi dan perjanjian internasional yang menyangkut masalah tindak pidana pencucian uang.
- Topik ketiga mengenai keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk instrument-instrumen yang mendukung penegakan hukum pidana internasional tersebut.
Ada beberapa dimensi yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan kejahatan transnasional, yakni[11] :
1. Tempat
terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi
menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara
atau lebih yang terkait dengan kejahatan
itu.
2. Korban
suatu kejahatan nasional tidak
semata-mata dalam wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah
negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.
3. Kejahatan
yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah negara yang
bukan warganegaranya.
Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan
transnasional, yaitu[12] :
1. Tempat
terjadinya kejahatan
2. Kewarganegaraan pelaku dan atau korbannya
3. Korban
yang berupa harta benda bergerak dan atau benda tidak bergerak milik pihak
asing.
4. Perpaduan
antara butir 1,2 dan 3
5. Tersentuhnya
nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat
manusia
Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi
kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di
negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional
dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang
lainnya, antara lain [13]:
- Asas legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana nasional beberapa negara, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana nasional.
- Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain undang-undang tidak berlaku surut.
- Asas culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya telah dapat dibuktikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu.
- Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), menegaskan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti.
- Asas ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.
- Asas-asas yang diuraikan di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional. Pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan
hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9
KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang
menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum
internasional.
Saat ini sistem pembuktian hukum di
Indonesia, khusunya dalam Pasal 184 KUHAP belum mengenal istilah bukti
elektronik/digital evidence sebagai bukti yang sah menurut
undang-undang. Masih banyak perdebatan khususnya antara akademisi dan praktisi
mengenai hal ini. Untuk aspek pidana, asas legalitas menetapkan bahwa tidak ada
suatu perbuatan dapat dipidana jika tidak ada aturan hukum yang mengaturnya (nullum delictum nulla poena sine
previa lege poenali). Untuk itulah dibutuhkan adanya dalil yang
cukup kuat sehingga perdebatan akademisi dan praktisi mengenai hal ini tidak
perlu terjadi lagi. Begitu pula pada
kasus pencucian uang (money
laundering) melalui internet, terdapat alat bukti elektronik, walaupun
dalam Pasal 184 KUHAP tidak diatur, namun berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
mengatur bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik adalah alat bukti yang sah
dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara yang
berlaku di Indonesia.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa hal
yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering
sebagai berikut :
1. Kriminalisasi pencucian uang
Pada tingkat internasional, ada
suatu konvensi yaitu the United Nation
Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic
Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga
UN Drug Convention 1988.
Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap
tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering. Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia
telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi
ratifikasi ini dilakukan melalui pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan suatu tindak pidana.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003. Konsideran Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan
kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus
diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau
internasional melalui forum bilateral atau multilateral. Sementara itu, Konsideran Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dapat berjalan
efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian
uang dan standar internasional.
Kriminalisasi tindak pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti), proportion
(terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah).
Kriminalisasi pencucian uang terdapat
dalam Pasal 1 angka (1) juncto Pasal 3
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UUTPPU), yang
menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah
olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Pada dasarnya rumusan tindak pidana pencucian uang dalam UUTPPU dapat
dibedakan atas 2 (dua) kriteria yaitu tindak pidana pencucian uang itu sendiri
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUTPPU, dan tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 8
dan Pasal 9 UUTPPU. Mengenai sanksi
pidana kejahatan pencucian uang diatur dalam Pasal 13 UUTPPU. Sementara itu, UUTPPU juga mengatur tentang
pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
2. Kegiatan dan pelaku tindak pidana pencucian uang
Pencucian uang sebagai
tindak pidana yang terorganisir dan kejahatan transnasional melibatkan beberapa
pihak yang terlibat dan mempunyai tugas masing-masing. Biasanya organisasi
seperti ini disebut dengan sindikat atau jaringan. Agar organisasi ini berjalan dengan sempurna
sesuai dengan rencana perlu adanya kerangka tertentu sebagai sarana. Beberapa
literatur yang membahas pencucian uang mengemukakan bahwa kegiatan pencucian
uang mempunyai kerangka, model, modus
operandi, instrumen, metode, tahapan serta
pelaku tertentu dalam kegiatan
kejahatan merupakan satu paket..
Sarana-sarana ini menjadi pedoman melakukan pencucian uang sehingga untuk
melakukan pencucian uang dapat dipilih dari beberapa alternatif.
3. Model pencucian uang
Schaap, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady
mengemukakan bahwa terdapat beberapa
model untuk melakukan tindak pidana
pencucian uang, yaitu [14]:
- Model dengan operasi Chase. Model ini menyimpan uang di bank di bawah ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven.
- Model pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif.
- Model La Mina. Model ini memanfaatkan pedagang grosir emas dan permata dalam negeri dan luar negeri.
- Model dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mempergunakan konspirasi bisnis semu dengan sistem bank paralel.
- Model dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek.Model ini melakukan kerja sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek.
Ada beberapa modus
operandi pencucian uang antara lain : kerjasama penanaman modal, transfer ke luar negeri, kredit bank Swiss, usaha
tersamar di dalam negeri, perjudian, penyamaran dokumen, atau rekayasa pinjaman
luar negeri. Sementara itu, Siahaan
mengemukakan 3 (tiga) metode yang digunakan dalam melakukan pencucian uang yaitu [15]:
1.
Buy and Sell Conversions, Metode ini dilakukan melalui transaksi
barang dan jasa. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci melalui transaksi
bisnis. Barang atau jasa dapat diubah
menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang
ada di suatu bank.
2.
Offshore Conversions, dalam
hal ini uang hasil kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat
yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laundering centers) untuk kemudian didepositokan
di bank yang berada di wilayah tersebut.
3.
Legitimate Business Conversions. Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara
pengalihan atau pemanfaatan hasil kejahatan.
Uang tersebut kemudian dikonversi
melalui transfer, cek atau alat pembayaran
lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke
rekening bank lainnya melalui fasilitas internet banking. Biasanya
pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uanghasil
kejahatan.
Di
samping itu,
terdapat 8 (delapan) Instrumen yang
dipergunakan dalam tindak pidana pencucian uang. yaitu :
1.
Bank
dan Lembaga Keuangan lainnya
2.
Perusahaan
Swasta
3.
Real
estate
4.
Deposit
Taking Institution dan Money Changer
5.
Institusi
Penanaman Uang Asing
6.
Pasar
Modal dan Pasar uang. Pasar uang tidak
mempunyai tempat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan surat
berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan
wesel. Lembaga- lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur
uang, dan bank sentral.
7.
Emas
dan Barang Antik
8.
Kantor
konsultan keuangan
Tindak pidana pencucian
uang dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut ; Placement, yaitu
menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan
(financial system) atau upaya
menempatkan uang giral (cheque, weselbank, sertifikat deposito,) kembali ke
dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan; selanjutnya proses Layering,
yaitu tindakan mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil
ditempatkan pada penyedia jasa keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya
penempatan (placement ) ke penyedia
jasa keuangan yang lain, biasanya dilakukan melalui proses transfer dengan
menggunakan fasilitas internet banking.
melalui layering, sulit diketahui asal-usul harta kekayaan tersebut;
kemudian dilakukan proses Integration, yaitu penggunaan harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem
keuangan melalui penempatan atau
transfer, sehingga seolah-olah menjadi harta
kekayaan halal (clean money)
untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan
kejahatan.
Pencucian uang sebagai
kejahatan terorganisir dilakukan oleh orang yang menguasai dunia penyedia jasa
keuangan baik bank maupun non bank. Pencucian uang merupakan kejahatan kerah
putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih tidak ada rumusan yang
jelas baik dari sisi kriminologi maupun dalam perundang-undangan. Pergerakan
kejahatan kerah putih sangat luas yang dapat meliputi perekonomian, keuangan
dan biasanya dilakukan secara terorganisir (organized
crime)[16].
Kejahatan kerah putih
dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mulai dari manual hingga extra sophisticated atau super canggih
yang memasuki dunia maya (cyberspace)
sehingga kejahatan kerah putih dalam bidang pencucian uang disebut dengan cyber laundering[17]
merupakan bagian dari cyber crime
yang didukung oleh pengetahuan tentang bank, bisnis, electronic banking yang cukup.
Walaupun realisme hukum
adalah suatu kepastian, namun realitas hukum saat ini justru adalah
ketidakpastian dalam penegakan hukum.
Hal ini terlihat pada beragam tafsir hukum yang mengatur kasus tindak
pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet ini.
Pencegahan atau upaya preventif dan upaya represif terhadap kejahatan merupakan
bagian dari politik kriminal, sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum[18],
termasuk tindak pidana pencucian uang.
F. Metode Penelitian
Pada penelitian ini,
Peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut :
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan
bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan secara sistematis
fakta-fakta dan permasalahan hukum yang
diteliti sekaligus menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dihubungkan dengan teori hukum dan praktis pelaksanaannya, berupa data sekunder
bahan hukum primer antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003
Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para
ahli hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana
pencucian uang (money laundering) melalui internet sebagai kejahatan
transnasional serta data sekunder bahan hukum tertier seperti kamus hukum.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang
digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, dalam hal ini menguji dan
mengkaji data sekunder yang berkaitan
dengan yurisdiksi tuntutan jaksa atas tindak pidana pencucian uang (money
laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional, pada tahap
ini dilakukan pula penafsiran hukum secara gramatikal yaitu menafsirkan kata
atau kalimat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
yurisdiksi tuntutan jaksa dan tindak pidana pencucian uang (money
laundering) melalui internet sebagai kejahatan transnasional, penafsiran
hukum secara sistematis dengan
memperhatikan keterkaitan antara ketentuan yang satu dengan ketentuan lainnya,
baik dalam satu peraturan atau peraturan lainnya, penafsiran hukum secara
otentik yang dapat dilihat langsung pada penjelasan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, serta penafsiran hukum secara ekstensif
dengan cara memperluas arti kata dalam suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan tertentu.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini dilakukan teknik pengumpulan
data dengan beberapa cara yaitu :
a.
Penelitian
Kepustakaan (library research), dalam
hal ini Peneliti melakukan penelitian terhadap data sekunder bahan hukum primer
seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, kemudian data sekunder bahan hukum sekunder yaitu pendapat para ahli yang berkaitan
dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) melalui internet
sebagai kejahatan transnasional serta data sekunder bahan hukum tertier seperti
kamus hukum.
b.
Penelitian
Lapangan (field research), untuk
menunjang dan melengkapi studi kepustakaan, maka Peneliti melakukan penelitian
lapangan, antara lain melakukan wawancara terstruktur dengan pihak kepolisian,
kejaksaan, pihak perbankan serta browsing melalui internet.
4.
Metode Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara
yuridis kualitatif, maksudnya bahwa analisis dilakukan dengan memperhatikan
hierarki peraturan perundang-undangan
agar peraturan yang satu tidak bertentangan dengan peraturan lainnya,
serta tercapainya kepastian hukum.
5. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat seperti
: Perpustakaan Fakultas Hukum UNIKOM, Perpustakaan Hukum UNPAD, Kepolisian,
Kejaksaan Negeri, Pihak perbankan serta beberapa website dalam internet.
G.
Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan
disajikan secara sistematis, sebagai berikut :
BAB
I : PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan mengenai latar
belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
perangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN
TEORITIS TENTANG YURISDIKSI TUNTUTAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MELALUI INTERNET
Pada bab ini diuraikan mengenai
aspek-aspek hukum yurisdiksi tuntutan jaksa dan teori-teori tindak pidana
pencucian uang melalui internet
BAB III : YURISDIKSI TUNTUTAN
ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MELALUI INTERNET
Pada bab ini diuraikan mengenai proses
pencucian uang melalui internet di beberapa negara, dan proses penuntutan atas
tindak pidana pencucian uang melalui internet
BAB IV : ANALISIS HUKUM TENTANG YURISDIKSI
TUNTUTAN JAKSA ATAS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MELALUI INTERNET BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA, UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008
Pada bab ini, dianalisis mengenai yurisdiksi tuntutan atas tindak pidana
pencucian uang melalui internet serta
tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana
pencucian uang melalui internet sebagai kejahatan transnasional
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini diuraikan mengenai
simpulan dan saran
<<<<<Selanjutnya
klik di bawah<<<<<
0 komentar:
Posting Komentar