Minggu, 02 Juni 2013

BAB IV – HUKUM ISLAM

Hukum Islam dianggap hukum Allah.  Yaitu, hukum Islam berupa aturan Allah yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah) maupun hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan antara manusia dan kegiatan manusia sehari-hari (muammalah).[1] 

Hukum Islam bersifat universal.[2]  Ketentuannya menyangkut segala bidang hukum.   Munakahat mengatur perkawinan dan perceraian.  Wirasah mengatur kewarisan.  Muamalat menetapkan tata cara perdagangan.  Jinayat menyangkut hukum pidana.  Al ahkam as sulthaniyah menyangkut ketatanegaraan dan administrasi negara.  Siyar menetapkan perdamaian dan peperangan di bidang hukum internasional.  Akhirnya, Mukhasamat mengatur kekuasaan kehakiman maupun hal  peradilan.[3]

Di Indonesia, hukum Islam dianut dalam lingkungan peradilan Agama.  Seorang wanita yang memilihi beperkara di Pengadilan Agama perlu memahami sejarah perkembangannya maupun sumber hukumnya.[4]  Dalam rangka tersebut, seorang wanita hanya boleh beperkara di bidang perkawinan dan kewarisan.  Di bidang tersebut, seorang wanita tidak menemui ketentuan hukum yang berdasarkan persamaan antara pria dan wanita.  Melainkan, dia menemui ketentuan hukum yang belum sesuai dengan CEDAW. 

Bagaimanapun, dalam masyarakat Indonesia terdapat perbedaan pendapat mengenai hubungan antara hukum Islam dan CEDAW.  Ada orang yang berpendapat hukum Islam perlu disesuaikan dengan CEDAW.  Ada orang lain yang berpendapat hukum Islam tidak perlu diubah secara tersebut. 

1.  Sumber Sumber Hukum Islam
Sumber sumber hukum Islam dapat dibagi sebagai sumber diturunkan Allah atau Rasul-Nya yang bersifat statis (syari'at) maupun sumber berdasarkan akal manusia yang bersifat dinamis (Fiq'h).  Sumber hukum Islam yang disebut sebagai sumber utama dan pertama adalah al-Quran.[5]  Kitab al-Quran diturunkan Allah kepada Nabi Muhammed s.a.w. melalui malaikat Jibral.[6]  al-Quran dihimpun oleh sahabat Nabi dan terdiri atas 30 (tiga puluh) juz (bagian).  Setiap juz terdiri atas 114 (seratus empat belas) surah (bab).  Jumlah ayat dalam surah tersebut dari surah pertama al-Fatihah sampai dengan annas sebanyak 6666 ayat.[7]

al-Quran bersifat statis.[8]  al-Quran adalah kitab suci umat Islam.  Ayat-ayatnya berupa kebenaran, dianggap wajib dilakukan dan memang tidak boleh diubah.[9]  Di bidang hukum, ayat ayat al-Quran memuat aturan ibadah, pemerintah, peradilan, dagang dan keluarga.  Aturan tersebut ditetapkan secara garis garis besar saja.  Jadi, aturan tersebut perlu diuraikan dan dikembangkan melalui akal manusia.  Maka, meskipun al-Quran bersifat statis, aturannya menjadi dinamis melalui proses akal manusia yang akan disebut.[10]

Sumber yang paling tinggi setelah al-Quran adalah Sunnah atau hadits Nabi Muhammed s.a.w.[11]  Di bidang hukum, Sunnah berupa aturan didasarkan hidup Nabi Muhammad s.a.w. yang menjadi contoh untuk kehidupan manusia sehari-hari.[12]  Ada aturan Sunnah yang berlandaskan ayat ayat al-Quran secara langsung.  Sebaliknya, ada aturan Sunnah yang tidak disebut dalam al-Quran dan berdiri sendiri.  Bagaimanapun juga, ketentuan Sunnah tidak boleh bertentangan dengan al-Quran.[13] 

Sunnah bersifat statis atau dinamis menurut tingkatnya.  Sunnah Mutawatir bersifat statis. Sunnah Mutawatir diriwayatkan dari Nabi Muhammed s.a.w. pada banyak jamaah dan tidak mungkin berdusta.  Maka, Sunnah Mutawatir bersifat yakin mengenai kebenarannya dan menjadi sunnah tertinggi yang wajib diamalkan.[14] 

Secara umum, Sunnah Masyur bersifat statis juga. Sunnah Masyur diriwayatkan dari Nabi Muhammad s.a.w. oleh banyak orang yang belum mencapai banyak sekali sebagaimana Sunnah Mutawatir.  Oleh karenanya, Sunnah Masyur hanya menimbulkan dugaan kuat terhadap kebenaran isinya.  Dengan dugaan tersebut, Sunnah Masyur masih wajib diterapkan.  Namun, ada golongan umat Islam yang tidak memberikan kedudukan itu kepada Sunnah Masyur dan menolak amalannya.[15]

Sunnah Ahad bersifat dinamis.  Sunnah Ahad hanya diriwayatkan oleh orang perseorangan Sunnah Ahad hanya menimbulkan dugaan yang biasa terhadap kebenarannya.  Secara umum, Sunnah Ahad tidak boleh diterapkan terhadap masalah yang perlu didasarkan kepastian atau keyakinan.  Melainkan, Sunnah Ahad hanya boleh dipakai di bidang fiqh. Sunnah Ahad tidak wajib dilakukan.[16]

Sumber hukum Islam tertinggi yang berupa akal manusia adalah idjma.[17]  Idjma wajib berlandaskan ayat ayat al-Quran maupun Sunnah Mutawatir atau Sunnah MasyurIdjma tidak boleh bertentangan dengan al-Quran dan tidak boleh berdiri sendiri.[18]  Idjma diundangkan melalui ketetapan para ulama Islam besar.  Ulama tersebut wajib tersusun sekurang-kurangnya tiga orang dan tidak boleh tercantum orang awam.  Ketetapannya wajib didasarkan kebulatan pendapatnya.  Dengan perkataan lain, Idjma tidak boleh dikeluarkan melalui suara terbanyak ulama tersebut.  Idjma bersifat dinamis.  Idjma yang telah dikeluarkan wajib dilaksanakan.  Namun demikian, sesuatu aturan Idjma dapat diubah melalui ketetapan ulama Islam baru.[19]

Sumber hukum Islam di bawah idjma adalah qiyas.  Qiyas adalah suatu garis hukum baru yang didasarkan suatu garis hukum lama.[20]  Jadi, qiyas dipakai dalam keadaan bahwa tidak ada ketentuan hukum Islam tertentu untuk suatu perkara antara umat Islam.[21] 

Sumber hukum Islam yang didasarkan qiyas adalah istihsan.  Istihsan mengecualikan suatu perkara dari ketentuan hukum Islam yang biasanya dianut.  Istihsan kemudian mengajukan ketentuan lain yang berupa ketentuan Qiyas atau ketentuan apapun yang sesuai dengan syariah atau fiqh.   Istihsan hanya dipakai untuk alasan yang kuat seperti ketidakadilan, kepentingan masyarakat atau keadaan darurat.[22]  Dinamisme qiyas  dan istihsan sangat jelas.     

Sumber hukum Islam yang paling lepas adalah Maslahah Mursalah.   Maslahah Mursalah berupa keputusan yang berdasarkan pertimbangan kepentingan masyarakat. Maslahah Mursalah dipakai dalam keadaan bahwa tidak ada ketentuan hukum Islam apapun untuk perkara bersangkutan.  Keputusan melalui Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang telah ada.[23]

Semua sumber hukum Islam tersebut ditambah dengan hukum Adat melalui 'Urf.  'Urf  menyatakan bahwa kebiasaan atau adat masyarakat dapat dianut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang telah ada.  Kebiasaan tersebut harus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan secara terus-menerus (yaitu tanpa pengecualian) atau berlaku secara umum atau secara terbanyak.  'Urf  bersifat dinamis karena diubah secara sesuai dengan perkembangan kebiasaan masyarakat.[24] 

2.  Sejarah Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia Pada Masa Awal Sampai 1945
Pada masa awal sejarah Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia.  Hukum Islam berlaku untuk pertama kali di Indonesia dengan kedatangan umat Islam.  Masa kedatangan tersebut tidak jelas.  Ada kemungkinan orang Islam tinggal di Indonesia sejak abad ketujuh atau kedelapan Musehi.  Ada kemungkinan lain masa kedatangan tersebut adalah abad ketigabelas Musehi. 

Bagaimanapun juga, orang Islam berdiam di pesisir Sumatra Utara.  Masyarakat Islam kemudian dibentukkan di Aceh Timur.  Kerajaan Islam dibentukkan untuk pertama kali di Aceh Utara dan diikuti dengan banyak kerajaan lain.  Hukum Islam kemudian berlaku bersama dengan Hukum Adat dan mencapai kedudukan penting tersebut.[25]

Waktu orang Belanda datang, kedudukan hukum Islam dikurangi sampai hanya berupa sistem hukum yang dianut di bidang perkawinan dan kewarisan melalui Pengadilan Agama dalam perkara antara orang Islam .

Verenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Dagang Hindia Belanda) (VOC) menerapkan hukum Belanda, membatasi bidang hukum Islam dan mencari kepastiannya.  Pada tahun 1596, VOC mulai berdagang di Indonesia.[26]  Pada tahun 1602, kedudukan VOC dikukuhkan.  Pemerintah Belanda memberikan kekuasaan kepada VOC di bidang dagang dan pemerintahan di kepulauan Indonesia.  Kekuasaan tersebut merupakan tiga hak, yakni hak mencetak dan mengedarkan mata uang, hak membentuk angkatan perang maupun hak membuat perjanjian internasional dengan negara lain.[27] 

Pada masa awal penjajahan VOC, hukum Belanda dianut.  Namun, hukum Belanda tidak diterima orang asli Indonesia.  Maka, VOC memutuskan hukum asli Indonesia boleh diterapkan di bidang tertentu.  Jadi, Statuta Batavia (Undang Undang Jakarta) tahun 1642 menetapkan hukum kewarisan Islam dianut antara umat Islam.[28] 

Selain itu, pada tanggal 24 Mei tahun 1670, VOC menerima Compendium FreijerCompendium tersebut adalah kompilasi hukum Islam di bidang kekeluargaan yang dikumpulkan oleh ahli hukum D W Freijer.  Sebagaimana demikian, VOC kemudian menerima kitab kitab lain yang berupa kompilasi hukum Islam.  Kompilasi hukum Islam tersebut digunakan oleh pengadilan VOC dalam perkara umat Islam.[29]

Dengan penggantian VOC dengan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800, usaha kepastian hukum Islam berjalan melalui penujukan penasehat hukum Islam. Pada tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendals mengeluarkan peraturan terhadap hukum Islam di daerah daerah Jawa tertentu.  Peraturan tersebut menetapkan kepala mesjid (penghulu) wajib bertindak sebagai penasehat pengadilan negeri dalam perkara antara orang Islam. 

Kedudukan penghulu dikukuhkan waktu Pemerintah Hindia Belanda diganti dengan Pemerintah Inggris pada tahun 1811.  Letnan Gubernur Indonesia Sir Thomas Stamford Raffles menetapkan peraturan Daendals dianut di seluruh Indonesia.  Selanjutnya, penghulu yang telah penasehat diangkat anggota Pengadilan Negeri.[30] 

Pemerintah Hindia Belanda kembali lagi pada tahun 1814 dan penetapan baru tentang penghulu diundangkan.[31]  Pasal 13 Regenten Instructie (Aturan Untuk Para Bupati) tahun 1820 menetapkan penghulu wajib memecahkan perkara perkawinan dan kewarisan antara umat Islam dan wajib dibayar bupati bersangkutan. 

Regenten Instructie tersebut diganti Staatsblad 1835/No.56 yang membatasi wewenang penghulu.  Meskipun penghulu masih berhak memecahkan secara tersebut, sengketa tentang hal uang atau pembayaran wajib diajukan kepada Pengadilan Negeri.  Staatsblad tersebut disahkan dengan berbagai dekrit Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1845 dan 1851.[32]

Pemerintah Hindia Belanda mengurangi kedudukan hukum Islam melalui para hakim Belanda.  Pasal 75 Ayat (1) Regeering Reglemen 1855[33] (Undang Undang Dasar Hindia Belanda) menetapkan hukum Islam dianut antara umat Islam cuma sepanjang hukum Islam tersebut tidak bertentangan dengan asas asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum.  `Diakui umum' berarti diakui oleh hakim hakim Belanda pada masa itu.  Pasal 75 Ayat (2) menetapkan orang Islam wajib melaksanakan putusan hakim agama atau kepala masyarakat terhadap perkara bersangkutan.[34]

Pemerintah Hindia Belanda membatasi wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura.  Pada tahun 1830, ditetapkan putusan Priesteraad (Pengadilan Agama pada tingkat pertama) di Jawa dan Madura wajib disahkan dan dilaksanakan oleh Landraad (Pengadilan Negeri).[35] 

Pengadilan Agama Jawa dan Madura diatur lebih lanjut dengan Staatsblad 1882/No.152.  Anehnya, Staatsblad tersebut tidak memuat ketentuan terhadap wewenang Pengadilan Agama mungkin karena secara praktek wewenang tersebut sudah cukup jelas, yaitu hal kekeluargaan.[36]  Selain itu, Staatsblad tersebut memakai istilah agama yang salah dan menimbulkan keberatan dan ketidakpahaman orang Islam bersangkutan.[37]

Kedudukan hukum Islam kemudian dirugikan melalui hukum Adat.  Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 (Undang Undang Dasar Hindia Belanda) menetapkan bahwa hukum Islam akan dianut hanya sepanjang telah diakui dalam hukum Adat dan tidak bertentangan dengan hukum Belanda.  Pasal 134 Ayat (2) tersebut berdasarkan teori receptio in complex yang menyatakan hukum Islam tidak boleh berdiri sendiri kecuali sepanjang telah menjadi kebiasaan hukum Adat.[38]

Dalam rangka Indische Staatsregeling, Pemerintah Hindia Belanda melakukan banyak perubahan terhadap Pengadilan Agama dengan akibat wewenangnya dibatasi.  Staatsblad 1931/No.53 memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama.  Namun demikian, Staatsblad tersebut tidak pernah dilaksanakan.[39] 

Staatsblad 1931/No.53 diganti Staatsblad 1937/No.116 tentang Pengadilan Agama pada tingkat pertama.   Pasal 2 Ayat (1) Staatsblad 1937/No.116 mencabut wewenang Pengadilan Agama terhadap perkara kewarisan.  Meskipun, secara praktek, Pengadilan Agama masih berjalan dengan wewenang kewarisan tersebut. Staatsblad 1937/No.116 ditambah dengan Staatsblad 1937/No.610 tentang Hof voor Islamietische Zaken (Pengadilan Agama pada tingkat banding). 

Kedua Staatsblad tahun 1937 tersebut ditambah dengan Staatsblad 1937/No.638 yo. 639 tentang Kerapatan Qadi (Pengadilan Agama pada tingkat pertama) dan Kerapatan Qadi  Besar (Pengadilan Agama pada tingkat banding) di  Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.[40]  Staatsblad 1937/No.638 yo. 639 memberikan wewenang di bidang kewarisan kepada Pengadilan Agama di Kalimantan.[41]

Pada tahun 1942, kebijakan Pemerintah Hindia Beland berhenti dengan kedatangan Pemerintah Angkatan Perang Jepang.  Pemerintah Jepang tersebut mencoba perubahan luas terhadap hukum Indonesia tetapi, secara praktek, perubahannya tidak dilaksanakan.[42]

3.  Sejarah Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia Pada Masa Kemerdekaan
Dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal 17 dan 18 August 1945, kedudukan hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang Islam di bidang tertentu.  Kedudukan tersebut diwujudkan ketentuan bahwa Republik Indonesia adalah negara berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.  Sila tersebut dinyatakan dengan Pembukaan dan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 secara sesuai dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.  Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 diikuti dengan Ayat (2) yang berbunyi, `Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu'.

Dalam rangka ketentuan UUD 1945 tersebut, Indonesia tidak menjadi negara sekular seperti Negara Barat dan Negara Komunisme.  Indonesia pula tidak menjadi negara agama tertentu atau negara Islam seperti Negara Timur Tengah.  Melainkan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menimbulkan negara agama terbuka atau negara dengan kebebasan beragama.  Dalam negara itu, hukum Islam tidak boleh menjadi sistem hukum untuk segala lembaga pemerintahan atau seluruh Indonesia.  Melainkan, hukum Islam hanya mempunyai kedudukan sebagaimana ditetapkan pada masa Belanda. 

Kedudukan hukum Islam tersebut dikukuhkan melalui keberlakuan peraturan perundangan Belanda.   Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menetapkan `Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini'. 

Dengan ketentuan tersebut, Staatsblad 1882/No.152 yo. Staatsblad 1937/No.116, 610, 638 dan 639 diterapkan.[43]  Namun demikian, ada orang yang berpendapat UUD 1945 mengandung ketentuan baru yang mencabut teori receptio in complex sampai Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 tidak berlaku melalui Aturan Peralihan UUD 1945 ini.[44]

Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1945 dimaksud mencapai kepastian hukum Islam.  Namun demikian, Pemerintah Republik Indonesia tidak memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama.  Melainkan, Pemerintah Republik Indonesia ingin mencabut dan membatasi wewenangnya. 

Usaha mencapai kepastian hukum Islam mulai dengan UU No.22/1946.  UU tersebut mengatur pencatatan nikah, talak dan rujuk untuk orang Islam dan mencabut peraturan perundangan Belanda yang tidak jelas.[45]  Selain itu, UU No.22/1946 mengandung jadwal penyusunan kompilasi hukum Islam. 

Kekuasaan Pengadilan Agama ditolak pada masa awal kemerdekaan.  Dengan PP No.5/SD/1946 pertanggung-jawaban terhadap Pengadilan Agama diserahkan dari Menteri Kehakiman kepada Menteri Agama.[46]  Dengan UU No.19/1948 Tentang Susunan Dan Kekuasaan Badan Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, Pemerintah Republik Indonesia mencabut wewenang Pengadilan Agama.  Pasal 6 UU No.19/1948 hanya mengakui kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.  Pengadilan dalam lingkungan tersebut bersifat mandiri.[47]

Selanjutnya, Pasal 35 Ayat (2) UU No.19/1948 menyatakan, `Perkara perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri atas seorang Hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman'.[48] 

Bagaimanapun, UU No.19/1948 tidak pernah dilaksanakan karena Angkatan Militer Belanda kembali ke Indonesia pada tahun 1948 dan Republik Indonesia Serikat kemudian dibentukkan.[49]

Wewenang Pengadilan Agama kemudian diakui secara terbatas.  PP No.29/1957 menyangkut Pengadilan Agama di Aceh.  PP No.29/1957 diganti dengan PP No.45/1957.  Pasal 4 Ayat (1) PP No.45/1957 menetapkan wewenang Pengadilan Agama di luar Jawa dan Maudura.  Wewenangnya tercantum perkara kewarisan.  Maka, wewenangnya lebih luas daripada Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura yang masih didasarkan Staatsblad 1937/No.116 yo. 610.[50] 

Namun demikian, Pasal 4 Ayat (2) PP No.45/1957 membatasi wewenang Pengadilan Agama di luar Jawa dan Maudura dengan ketentuan bahwa, `Pengadilan Agama tidak berhak memeriksa perkara perkara tersebut dalam ayat (1) jika untuk perkara itu berlaku lain daripada hukum Islam'.[51]  Selanjutnya, ketentuan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1830 tentang pengesahan dan pelaksanaan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri masih berlaku.[52]

Usaha mencapai kepastian hukum Islam berjalan dengan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No.B.1.735/1958.  Surat Edaran tersebut bersumber pada PP No.45/1957.  Huruf b Surat Edaran tersebut mengandung daftar kitab kitab hukum Islam.  Daftar tersebut dimaksud dipergunakan oleh Pengadilan Agama dan menimbulkan kesatuan hukum Islam.[53] 

Sejak tahun 1957, wewenang Pengadilan Agama diakui sebagai urusan kekuasaan kehakiman secara terus-menerus.  UU No.19/1964 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman mengganti UU No.19/1948.  Pasal 7 UU No.19/1964 mengakui kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan militer, peradilan administrasi dan peradilaan Agama.  Bagaimanapun, pengadilan dalam lingkungan tersebut tidak bersifat mandiri.  Melainkan, Pasal 19 UU No.19/1964 memperbolehkan Presiden Republik Indonesia turut campur tangan dalam soal soal Pengadilan.[54] 

Oleh sebabnya, UU No.19/1964 dicabut dan diganti dengan UU No.14/1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman.[55]  Pasal 10 Ayat (1) UU No.14/1970 juga mengakui lingkungan peradilan agama.  Pengadilan dalam lingkungan tersebut bersifat mandiri.[56]  Namun demikian, Pasal 12 UU tersebut berbunyi, `Susunan, kekuasaan serta acara dan badan badan Peradilan seperti tersebut dalam Pasal 10 Ayat (1) diatur dalam Undang Undang tersendiri'.  Pada tahun 1974, Undang Undang tentang Peradilan Agama belum dikeluarkan.

Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengurangi kedudukan Hukum Islam dan Pengadilan Agama dengan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan.  UU No.1/1974 berlaku bagi semua warga negara Indonesia.  UU No.1/1974 beserta peraturan pelaksananya, PP No.9/1975, mengakui hukum Islam di bidang perkawinan, menerima wewenang Pengadilan Agama di bidang tersebut dan memuat ketentuan yang menjamin keberlakuan hukum Islam.[57] 

Namun demikian, Penjelesan Umum UU No.1/1974 masih melakukan teori receptio in complex di bidang perkawinan.[58]  Teori tersebut dicabut untuk hukum Islam di bidang kewarisan dengan Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 13 Pebruari Tahun 1975 No.172/K/Sip./1974.[59]  Selain itu, Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974 sebagaimana peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda tersebut menyatakan, `Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum'.[60]

Sejak 1974, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan berbagai aturan terhadap kepastian hukum Islam maupun hukum Acara yang berlaku untuk Pengadilan Agama.  Peraturan Menteri Agama No.3/1975 mengatur hukum Acara untuk peradilan Agama di bidang perkawinan dan kewarisan.  Peraturan Mahkamah Agung No.14/1977 menetapkan tata cara permohonan kasasi atas keputusan Pengadilan Agama.[61]  PP No.28/1977 mengatur kompilasi hukum Islam di bidang perwakfan tanah milik.[62]  Pada tahun 1982, Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Departmen Agama menetapkan manajamen dan susunan Pengadilan Agama.[63]  Bagaimanapun, masih belum ada Undang Undang tentang Peradilan Agama yang disebut dalam UU No.14/1970.

4.  Peraturan Perundangan Tentang Hukum Islam Pada Masa Kini
Dengan peraturan perundangan tentang hukum Islam pada masa kini, wewenang yang luas diberikan kepada Pengadilan Agama dan kepastian hukum Islam dijamin. 

4.1  UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama
UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama mengatur lingkungan tersebut secara lengkap.  UU No.7/1989 menetapkan kekuasaan kehakiman dalam lingkungannya berupa Pengadilan Agama pada tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding.[64]  Pasal 4 UU No.7/1989 mengatur tempat kedudukan Pengadilan tersebut.[65] 

Bab II UU No.7/1989 menyangkut Susunan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.  Pasal 9 sampai dengan Pasal 48 menetapkan syarat dan tata cara pengangkatan, pelaksanaan maupun pemberhentian tugas para pejabat Pengadilan di lingkungan peradilan Agama, yaitu Hakim, Panitera, Juru Sita, dan Sekretaris.  Kemandirian para hakim tersebut dilindungi.[66]

Bab III UU No.7/1989 menetapkan ruang lingkup kekuasaan Pengadilan Agama.  Pasal 49 Ayat (1) berbunyi wewenang Pengadilan Agama adalah memecahkan perkara perkara antara orang Islam di bidang a. perkawinan,[67] b. kewarisan,[68] wasiat dan hibah maupun c. wakaf dan shadaqh yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.[69]  Sebagaimana demikian, UU No.7/1989 mencabut semua peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda beserta PP No.45/1957.  UU No.7/1989 pula mencabut Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974.[70]  Dengan ketentuan ketentuan tersebut, wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi luas dan sama. 

Bab IV UU No.7/1989 menentukan Hukum Acara Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.  Pasal 54 menyatakan Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang telah berlaku pada Pengadilan Umum kecuali ditetapkan lain dengan UU No.7/1989.[71] 

Pasal 58 Ayat (1) mensyaratkan Pengadilan tersebut mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan orang.  Pasal 61 yo. Pasal 63 menetapkan hak meminta banding dan kasasi kepada putusan Pengadilan Agama.  Pasal 62 menetapkan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilam Tinggi Agama `harus memuat alasan alasan [dan] dasar-dasarnya dan juga harus memuat pasal pasal tertentu dari peraturan peraturan yang bersangkutan atau sumber tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili'.[72]

4.2  Kompilasi Hukum Islam
Dalam rangka putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjamin kepastian hukum Islam di Indonesia.  KHI berupa ucapan tertulis ketentuan hukum Islam melalui 229 pasal pasal terhadap bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. 

KHI berlandaskan Instruksi Presiden (InPres) No.1/1991.  InPres No.1/1991 menguasakan KHI.  Konsiderans menimbang a InPres tersebut menyatakan bahwa, `Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Pekawinan, Buku II tentang Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan' (kursif penulis).  Loka Karya Ulama Indonesia tersebut berupa hasil kerjasama Mahkamah Agung dan Kementerian Agama.[73] 

Selanjutnya, Diktum pertama InPres No.1/1991 memerintah Menteri Agama  `menyerbarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, b.  Buku II tentang Hukum Kewarisan; c. Buku III tentang Perwakafan'.  Maka, dengan Diktum pertama InPres tersebut rancangan buku KHI dikeluarkan sebagai dan menjadi buku KHI.

InPres No.1/1991 pula menggariskan kedudukan KHI sebagai pedoman hukum Islam untuk lembaga pemerintahan dan masyarakat bersangkutan.  Konsiderans menimbang b InPres No.1/1991 menegaskan KHI `dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah masalah' di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.  Selanjuynta, Diktum pertama InPres No.1/1991 menjelaskan KHI dimaksud, `untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya'.

InPres No.1/1991 dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama No.154/1991.  Keputusan Menteri tersebut menetapkan kedudukan KHI secara lebih lanjut sebagai pedoman hukum Islam yang perlu diterapkan sedapat oleh instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. 

Diktum Pertama Keputusan Menteri tersebut menetapkan, `Seluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyerbarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan'.  KHI dimaksud `untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyeleasikan masalah masalah di bidang tersebut'. 

Diktum Kedua Keputusan Menteri Agama No.154/1991 menetapkan, `Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama dalam menyelesaikan masalah masalah di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan lain'. 

Keputusan Menteri Agama No.154/1991 disampaikan kepada para pejabat pemerintahan bersangkutan termasuk Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Islam No.3694/EV/HK.003/AZ/91.[74]

Kedudukan KHI tersebut perlu dibedakan dari kedudukan peraturan perundangan.  KHI tidak berupa peraturan perundangan yang wajib dianut.  Yaitu, KHI bukan kodifikasi hukum Islam dikeluarkan melalui Undang Undang yang memuat setiap hak atau kewajiban dalam suatu bidang hukum Islam.  Kodifikasi hukum Islam sejenis tersebut telah dilakukan di Sudan dan Singapura.[75] 

Melainkan, KHI berupa kompilasi hukum Islam yang cuma dikuasakan atau diakui oleh peraturan perundangan dan pada hakekatnya tidak wajib diterapkan.[76]  Sebagaimana dijelaskan, pelaksanaan KHI dalam Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama mewujudkan kesatuan dan kepastian hukum Islam di seluruh Indonesia.[77]

5.  Ketentuan Hukum Islam di Bidang Perkawinan
Seorang wanita yang berperkara dalam Pengadilan Agama sebagaimana diatur UU No.7/1989 menemui ketentuan hukum Islam terhadap perkawinan (Nikah dan Munakahat) yang belum sesuai dengan CEDAW.  Pengertian perkawinan secara umum diajukan dengan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan.  Pasal 1 UU No.1/1974 berbunyi, `Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita'.  Pasal 1 sesuai dengan hukum Islam.[78]  

Di bidang tersebut, hukum Islam bersifat luas.  Ketentuannya menggariskan perkawinan dari peminangannya sampai putusnya.  Ketentuannya menyangkut setiap soal dalam perkawinan seperti hak membuat ikatan perkawinan, tata cara kelangsungan perkawinan; hak, kewajiban dan harta kekayaan suami isteri; pemiliharaan anak (hadhonah), perwalian maupun perceraian.

5.1  Hak Membuat Ikatan Perkawinan
Hukum Islam memberikan hak membuat ikatan perkawinan secara belum sesuai dengan  CEDAW.  Hak membuat ikatan perkawinan bersifat bebas selama syarat persetujuan, batas usia calon mempelai dan larangan perkawinan dipenuhi.  Untuk seorang pria, hak tersebut ditambah dengan poligami.  Untuk seorang wanita, hak tersebut tidak dikurangi keadaan hamil. 

Syarat persetujuan tersebut ditetapkan UU No.1/1974 selaras dengan CEDAW.  UU No.1/1974 menetapkan bahwa ikatan perkawinan wajib didasarkan persetujuan calon mempelai pria dan calon mempelai wanita.[79]  Maka, seorang wanita berhak memasuki perkawinan hanya dengan persetujuannya sebagaimana disyaratkan Pasal 16 Ayat (1) huruf b CEDAW. 

Batas usia calon mempelai sebagaimana ditetapkan UU No.1/1974 melanggar CEDAW.  Salah satu calon mempelai yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya atau orang lain bersangkutan.  Kalau orang tua atau orang lain tidak sependapat, izin tersebut dapat diberikan Pengadilan Agama.[80]  Para orang tersebut atau Pengadilan Agama hanya boleh memberikan izinnya kalau pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.[81] 

Bagaimanapun, kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita dapat mengajukan permohonan dispensasi dari ketentuan tersebut kepada Pengadilan Agama.[82]  Usia calon mempelai untuk pemberian dispensasi tersebut tidak ditetapkan.  Melainkan, hanya baliq disyaratkan, yaitu calon mempelai bersangkutan perlu dianggap cukup dewasa untuk membangun rumah tangga.[83] 

Perbedaan batas usia calon mempelai pria dan wanita tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf a CEDAW.  Selain itu, dispensasi dari batas usia tersebut bertentangan dengan CEDAW.  Ada kemungkinan kuat calon mempelai bersangkutan dipengaruhi orang tuanya sampai perkawinannya berupa pertunangan seorang anak sebagaimana dilarang Pasal 16 Ayat (2) CEDAW. 

Syarat persetujuan dan batas usia calon mempelai ditambah dengan berbagai larangan perkawinan yang berdasarkan berbagai hubungan antara calon mempelai, seperti hubungan darah atau susuan.  Pada kelihatannya larangan tersebut tidak bertentangan dengan CEDAW.[84] 

Poligami diperbolehkan hukum Islam secara tidak sesuai dengan CEDAW.  Hukum Islam menetapkan bahwa seorang pria boleh beristeri lebih dari satu orang.  Poligami dibatasi sampai 4 (empat) orang isteri.  Selain itu, poligami hanya diperbolehkan jika seorang pria tersebut mampu berlaku adil pada para isteri isteri dan anak-anaknya.[85]  Menurut ajaran Islam, poligami dimaksud melindungi wanita yang ditinggalkan bekas suaminya maupun anak yatim.  Poligami pula dimaksud untuk menjauhi kemungkinan seorang pria buat zina.[86] 

Ketentuan hukum Islam terhadap poligami diubah dengan UU No.1/1974 sebagaimana diakui KHI.  Pasal 3 Ayat (1) UU No.1/1974 menegaskan: `Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.  Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami'.  Bagaimanapun, seorang pria boleh melakukan poligami jika dia mengajukan permohonan pada Pengadilan Agama dan mendapat izinnya.[87]  Permohonan tersebut wajib mengandung persetujuan isterinya atau isteri-isterinya yang telah ada, kepastian bahwa pemohon bisa menjamin keperluan hidup isteri-isterinya dan anak anak mereka maupun jaminan  suami akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak anak mereka.[88] 

Pengadilan Agama bersangkutan hanya akan memberikan ijinnya dalam keadaan bahwa isteri yang telah ada: (i) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, atau (ii) mempunyai cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau (iii) tidak dapat melahirkan keturunan.[89]  Untuk memberikan ijinnya, Pengadilan Agama bersangkutan wajib memanggil dan mendengar isteri tersebut.[90]  Poligami yang dilakukan di luar prosedur tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.[91]

Jadi, seorang pria hanya dapat melakukan poligami selama kepentingan isterinya yang telah ada maupun yang mendatang dilindungi.  Tetapi seorang wanita dilarang bersuami lebih dari satu orang.[92]  Perbedaan itu melanggar persamaan hak memasuki perkawinan yang disyaratakan Pasal 16 Ayat (1) huruf a CEDAW.

Hak melakukan ikatan perkawinan tidak dikurangi keadaan hamil secara sesuai dengan CEDAW.  Hukum Islam menetapkan bahwa seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilnya.  Pernikahan itu boleh dilangsungkan sebelum kelahiran ankanya dan tidak perlu berulang setelah kelahiran tersebut.[93]  Jadi, tidak ada diskriminasi terhadap wanita berdasarkan kehamilannya sebagaimana disyaratkan Pasal 16 Ayat (1) huruf a CEDAW. 

5.2  Tata Cara Kelangsungan Perkawinan
Hukum Islam mengatur kelangsungan perkawinan melalui perbedaan antara pria dan wanita yang pada hakikatnya melanggar CEDAW.  Kelangsungan perkawinan merupakan peminangan (Khitbah), mahar (Maskawin), akad nikah, perjanjian perkawinan dan pencatatannya.[94]

Tata cara peminangan dapat dianggap bertentangan dengan CEDAW.  Peminangan sebagaimana ditetapkan KHI adalah `Kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita'.[95]  Secara tersurat, pengertian KHI tersebut berarti peminangan boleh dilakukan oleh kedua jenis kelamin. 

Namun demikian, secara tersirat dan secara praktek peminangan hanya dilakukan seorang pria terhadap seorang wanita.[96]  Wanita yang boleh dipinangkan tercantum wanita yang masih perawan atau seorang janda yang telah habis masa iddahnya.[97]  Tetapi peminangan tidak boleh dilakukan terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddahnya atau yang sedang dipinang pria lain.[98] 

Kebebasan kedua pihak untuk memutuskan hubungan peminangan dilindungi.[99]  Kebebasan tersebut wajib dilakukan dengan `tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat'.[100]  Bagaimanapun, dalam rangka peminangan yang dilakukan pihak pria, KHI menetapkan bahwa seorang pria itu dapat memutuskan untuk putus hubungan pinangan dengan pernyataan atau secara diam melalui menjauhi dan meninggalkan wanitanya.  Jadi, meskipun kepentingan wanita dilindungi, peminangan berupa kegiatan dan keputusan pria bersangkutan. 

Pada kelihatannya, hukum Islam terhadap peminangan tidak melanggar ketentuan CEDAW di bidang perkawinan.  Ruang linkup Pasal 16 CEDAW adalah pelaksanaan sampai putusnya perkawinan.  Peminangan terjadi sebelum pelaksanaan perkawinan.  Tetapi pada hakikatnya, peminangan bertentangan dengan Pasal 5 butir a CEDAW.  Pasal 5 butir a CEDAW menetapkan kebiasaan yang memberikan kedudukan kepada wanita yang lebih rendah dari kedudukan pria perlu dihapuskan.  Peminangan dalam hukum Islam berupa kebiasaan yang mengurangi kedudukan wanita sepanjang haknya untuk meminang sendiri tidak diperbolehkan. 

Tentu saja pelanggaran CEDAW tersebut hanya bersifat prosedural dan tidak bersifat berat.  Namun di muka hukum internasional CEDAW wajib dilaksanakan sepenuhnya.  Jadi, pelanggaran CEDAW wajib diatasi baik jika berat atau tidak. 

Kebiasaan mahar tidak sesuai dengan CEDAW.  Mahar adalah suatu pemberian dari calon mempelai pria pada calon mempelai wanita sebagai tanda kesetiaannya.[101]  Mahar berupa kewajiban calon mempelai pria bersangkutan.[102]  Bagaimanapun, mahar tidak berupa rukun dalam perkawinan.  Maka, kelalaian terhadap mahar tidak menyebabkan batalnya perkawinan dan tidak mengurangi sahnya.[103] 

Mahar diberikan kepada calon mempelai wanita secara langsung dan menjadi hak miliknya sendiri.[104]  Mahar boleh berbentuk barang, uang atau jasa; meskipun KHI menetapkan bahwa mahar perlu diserahkan melalui tunai secara diperbolehkan calon mempelai wanita.[105]  Besarnya tidak dibatasi.  Namun demikian, mahar harus didasarkan `asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam'.[106]  Selanjutnya, hukum Islam mengandung asas ma'ruf yang berarti bahwa mahar wajib diberikan sesuai dengan kemampuan dan kedudukan calon mempelai pria bersangkutan.[107] 

Tentu saja mahar tidak bersifat diskriminatif sebagaimana dilarang Pasal 2 butir f CEDAW.  Yaitu, mahar tidak dimaksud untuk mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita.[108]  Melainkan, mahar berupa kebaikan calon mempelai wanita.  Selanjutnya, sebagaimana peminangan mahar dilakukan di luar ruang lingkup Pasal 16 CEDAW. 

Namun demikian, mahar tidak sesuai dengan Pasal 5 butir a CEDAW.  Di belakang mahar terdapat dugaan bahwa peranan pria adalah pemberi sedang peranan wanita hanya penerima.  Jadi, mahar dapat dianggap pelanggaran CEDAW meskipun berupa kebaikan seorang wanita bersangkutan. 

Akad Nikah tidak melanggar CEDAW.  Akad Nikah berupa pernyataan (shighat).[109]  Pernyataan tersebut dapat dibagi antara pernyataan calon isteri (ijab) dan pernyataan calon suami (kabul).  Ijab diucapkan wali nikah.  Wali nikah ialah wakil calon isteri dalam akad nikah.  Biasanya wali nikah terdiri atas saudara laki laki calon isteri.[110]  Wali nikah dianggap rukun perkawinan.  Jadi, perkawinan yang dilakukan tanpa wali nikah tidak sah.[111]  Kabul diucapkan calon suami secara pribadi.[112]  Ijab dan kabul wajib diucapkan di hadapan dua orang saksi.  Orang saksi beragama Islam dan dianggap rukun perkawinan sebagaimana wali nikah.[113] 

Telah jelas kedudukan pria dan wanita dalam akad nikah tidak sama.  Seorang pria mengucapkan pernyataannya sendiri sedang seorang wanita harus diwakili.  Namun, akad nikah hanya bersifat prosedural atau hanya berfungsi sebagai tanda.  Akad nikah tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan calon isteri.[114]  Akad nikah dapat dibandingkan dengan perayaan pernikahan orang beragama Kristen yang mana calon isteri diantar bapaknya ke depan gereja agar diterima uaminya.  Maka, akad nikah tidak bersifat diskriminatif sebagaimana dilarang Pasal 2 butir f CEDAW dan tidak dimaksud untuk mengurangi kedudukan wanita sebagaimana dilarang Pasal 5 butir a CEDAW. 

Perjanjian perkawinan tidak melanggar CEDAW.  Perjanjian perkawinan dibuat pada masa akad nikah.[115]  Perjanjian perkawinan boleh menyangkut taklik talak.[116]  Taklik talak berupa janji seorang suami untuk menceraikan isterinya dalam keadaan tertentu seperti suami tersebut meninggalkan isterinya atau tidak melakukan kewajibannya.[117] Seorang isteri berhak mengajukan gugatan perceraian berdasarkan pelanggaran taklik talak.[118] 

Selain itu, perjanjian perkawinan boleh menyangkut harta kekayaan dalam perkawinan.[119]  Perjanjian perkawinan dimaksud untuk melindungi kepentingan pihak wanita atau kedua suami dan isteri.  Jadi, perjanjian perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 2 butir f, Pasal 5 butir a atau Pasal 16 CEDAW.

5.3  Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Hak dan kewajiban suami isteri menurut hukum Islam tidak sesuai dengan CEDAW.  Hak dan kewajiban tersebut merupakan kewajiban suami isteri bersaling, kedudukan suami isteri, kewajiban suami sendiri, kewajiban isteri sendiri dan penegakannya. 

Kewajiban suami isteri bersaling ditetapkan selaras dengan CEDAW.  Suami isteri wajib menegakkan rumah tangga yang `sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat'.[120]  Rumah tangga tersebut perlu dicapai dalam tempat kediaman yang tetap dan dipilih suami isteri bersama.[121]  Selanjutnya, suami isteri wajib `saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain'.[122]  Akhirnya, suami isteri wajib `mengasuh dan memlihara anak anak maupun memelihara kehormatannya'.[123] 

Kewajiban suami isteri bersaling sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.  Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan.  Dalam hukum Islam, persamaan tersebut terdapat dalam kewajiban suami isteri bersaling yang dilaksanakan bersama dan tanpa perbedaan antara kedudukan mereka.  

Kedudukan suami isteri maupun kewajibannya sendiri melanggar CEDAW.  Kedudukan suami isteri digariskan UU No.1/1974 beserta KHI.  Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.[124]  Namun demikian, hak dan kedudukan suami isteri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.[125]  Kedua pihak masih berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri.[126] 

Dengan ketentuan tersebut, hukum Islam menegaskan bahwa suami dan isteri sederajat meskipun mereka mempunyai kedudukan yang beda.  Perbedaan antara kedudukan mereka tersebut tidak didasarkan diskriminasi dan tidak dimaksud untuk mengurangi kedudukan isteri.  Melainkan, perbedaan tersebut adalah pembagian tugas antara suami isteri berdasarkan sifatnya masing masing.[127]  Ny. Soemiyati menjelaskan sifat tersebut.  Pria lebih rasional dan lebih kuat.  Selanjutnya, pria `tidak mudah terpengaruh segala macam yang datang dari luar dan juga mempunyai daya berjuang untuk hidup'.[128] 

Sedangkan wanita `dipengaruhi sifat emosional yang dapat dipakai sebagai modal untuk melaksanakan tugas yang menuntu ketabahan dan melakukan mpemilharaan yang susah puyah'.[129]  Wanita pula bersifat `penuh kesabaran ketelitian, perasaan yang halus dan sifat sifat inilah yang dibutuhkan merawat dan membesarkan anak mulai dari lahir sampai menjadi manusia'.[130]

Kewajiban suami sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai kepala keluarga.  Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.[131]  Suami pula wajib memberi pendidikan pada isterinya baik terhadap agama atau pengetahuan lain.[132]  Selanjutnya, suami menanggung nafkah, kiswan dan tempat kediaman bagi isteri.  Suami pula menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan maupun biaya pengobatan bagi isteri dan anak.[133] 

Akhirnya, suami bertanggung jawab terhadap tempat kediaman keluarganya.  Tempat kediaman itu disediakan `untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain sehingga mereka merasa aman dan tenteram'.[134]  Tempat kediaman tersebut pula `berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat alat rumah tangga'.[135]   Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya tersebut.[136]  Suami yang beristeri lebih dari seorang harus melakukan kewajibannya terhadap masing masing isterinya secara sama.[137]  Dengan persetujuan para isterinya, suami boleh menempatkan para isterinya dalam satu tempat kediaman.[138]

Kewajiban isteri sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai ibu rumah tangga.  Kewajiban isteri adalah `berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas batas yang dibenarkan oleh hukum Islam'.[139]  Selanjutnya, isteri `menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya'.[140]  Kewajiban suami dan isteri sendiri tersebut berdasarkan pandangan bahwa suami bertanggung jawab membayar kehidupan keluarga sedangkan isteri hanya perlu menerima pembayaran suaminya.[141]

Kedudukan suami isteri maupun kewajibannya sendiri melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.  Persamaan  tanggung jawab tersebut berarti bahwa setiap tugas dalam perkawinan boleh dilakukan baik oleh suami atau isteri menurut pemilihannya.  Misalnya, kalau seorang suami merasa kuat dan rasional dan seorang isteri merasa emosional, suami tersebut boleh memilihi tugas memberi keperluan hidup keluarga dan seorang isteri boleh memilihi tugas rumah tangga. 

Sebaliknya, kalau seorang isteri merasa kuat dan rasional dan seorang suami merasa emosional, isteri tersebut boleh memlihi tugas memberi keperluan hidup keluarga dan suami tersebut boleh memilihi tugas rumah tangga.  Ketentuan hukum Islam tidak menjamin persamaan tersebut.  Bahkan, hukum Islam membedakan tanggung jawab suami isteri dalam perkawinan berdasarkan stereotip terhadap sifat pria dan sifat wanita.

Penegakan kewajiban suami dan isteri sendiri melanggar CEDAW.  Kedua pihak perkawinan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama jika salah satu pihak melalakan kewajibannya.[142]  Gugatan tersebut dapat diajukan sendiri atau dapat diajukan sebagai alasan untuk perceraian.[143] 

Selain itu, KHI menetapkan bahwa seorang suami dapat menegakan kewajiban isterinya melalui nusyuz.  Dalam keadaan bahwa seorang isteri melalaikan kewajibannya, dia dapat dianggap nusyuz.[144]  Selama dia nusyuz, seorang suami tidak wajib memberikan nafkah, kiswan tempat kediaman maupun biaya umah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi isterinya.[145]  Ketentuan seorang suami terhadap adanya nusyuz wajib didasarkan bukti yang sah.[146] 

Namun demikian, Drs. Sudarsono berpendapat bahwa kedua pihak perkawinan boleh dianggap nusyuz.  Kalau seorang suami dianggap nusyuz, isterinya berhak membuat perjanjian yang dimaksud untuk memperbaiki hubungannya dengan suaminya.   Kalau seorang isteri dianggap nusyuz, suaminya wajib bertindak sebagai berikut.  Pertama, seorang suami menasehat isterinya dengan baik.  Kedua, jika isteri tersebut tidak memperhatikan suaminya, mereka harus berpisah tidur.  Ketiga, jika isteri tersebut masih tidak meperhatikan suaminya, dia boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak berat.[147]

Jadi, baik dalam pandangan KHI maupun Drs. Sudarsono, penegakan kewajiban suami dan isteri sendiri tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.  Menurut KHI, kewajiban kedua pihak perkawinan dapat ditegakkan melalui Pengadilan Agama sedang hanya kewajiban isteri dapat ditegakkan dengan nusyuz.  Menurut Drs. Sudarson, kewajiban suami dan kewajiban isteri dapat ditegakkan dengan nusyuz.  Namun demikian, akibat nusyuz yang datang dari suami beda dari nusyuz yang datang dari isteri.  Bagaimanapun juga, persamaan antara suami dan isteri tidak dijamin.   

Ruang lingkup pelanggaran CEDAW tersebut tidak jelas.  Hak dan kewajiban suami isteri jarang ditegakkan dalam Pengadilan Agama atau melalui nusyuz.[148]  Ada kemungkinan alasan untuk kejarangan tersebut adalah hak dan kewajiban suami isteri tidak sering dilakukan, tidak dianggap penting dan maka tidak perlu ditegakkan.  Dalam kemungkinan itu, pelanggaran CEDAW dengan hak dan kewajiban suami isteri hanya berada secara hukum dan tidak berada secara praktek. 

Namun demikian, ada kemungkinan lain hak dan kewajiban suami isteri dilakukan sepenuhnya dan karena itu tidak perlu ditegakkan.  Dalam kemungkinan itu, pelanggaran CEDAW berada secara hukum dan juga berada secara praktek.  Bagaimanapun juga, dalam rangka pelaksanaan CEDAW sepenuhnya, pelanggaran CEDAW wajib diatasi baik kalau berupa pelanggaran secara hukum atau pelanggaran secara praktek.

5.4  Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
Harta kekayaan dalam perkawinan telah sesuai dengan CEDAW.  Di bidang tersebut, hukum Islam tidak bersumber pada al-Quran atau Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. melainkan bersumber pada ijtihad.[149]  Ijtihad hukum Islam ditambah dengan UU No.1/1974.  Ajaran dan peraturan perundangan tersebut menetapkan bahwa perkawinan pada dasarnya tidak menimbulkan percampuran antara harta suami dan harta isteri.[150] 

Dengan perkataan lain, harta suami atau harta isteri yang telah ada pada masa kelangsungan perkawinan tetap menjadi hak suami atau isteri dan dikuasai penuh olehnya.[151]  Selanjutnya, harta bawaan dari suami atau isteri dalam keadaan perkawinan di bawah penguasaan masing masing.  Akhirnya, harta diperoleh suami atau isteri sebagai hadiah atau warisah dalam keadaan perkawinan juga di bawah penguasaan masing masing.[152]  Atas semua bentuk harta tersebut suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.[153]  Suami isteri masih berhak mengubah ketentuan tersebut melalui perjanjian perkawinan.[154] 

Harta suami isteri masing masing tersebut tidak menutup keberadaan harta bersama.[155]  Harta bersama diperbolehkan dalam berbagai bentuk.[156]  Hak suami dan hak isteri terhadap harta bersama dilindungi.  Yaitu, seorang suami atau isteri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama tanpa persetujuan pihak lain.[157]  Lagi pula, harta bersama hanya boleh menjadi barang jaminan untuk salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.[158]  Harta bersama dibagi pada masa putusnya perkawinan.[159]  Kedua pihak perkawinan bertanggung jawab sendiri maupun bersama untuk menjaga harta masing masing maupun harta bersama.[160] 

Ketentuan hukum Islam maupun peraturan perundangan tersebut tidak melanggar CEDAW.[161] Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk kedua suami dan isteri bertalian dengan harta benda.  Persamaan suami isteri tersebut dijamin hukum Islam.  Suami dan isteri berhak mempunyai harta sendiri dan harta bersama dan wajib menjaga harta tersebut tanpa perbedaan antara kedudukan mereka.   

5.5  Pemiliharaan Anak dalam Perwalian
Ketentuan hukum Islam terhadap pemiliharaan anak bertentangan dengan CEDAW.  Di bidang tersebut, ketentuan hukum Islam merupakan syarat untuk dianggap sebagai seorang anak, kekuasaan atau kewajiban ayah ibu terhadap anaknya dan kedudukan anak dalam keadaan perceraian.

Syarat untuk dianggap sebagai seorang anak melanggar CEDAW.  Syarat tersebut merupakan batas usia, sahnya seorang anak maupun penegakan sahnya.  Batas usia seorang anak untuk berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun.[162]  Batas usia tersebut gugur jika seorang anak tidak bercacad fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.[163] 

Anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah.[164]  Anak yang sah pula tercantum anak yang hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan isteri tersebut.[165]  Anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan.  Anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[166]  Aturan itu mengurangi kedudukan wanita dan tidak bersifat adil.[167]

Sahnya seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau putusan Pengadilan Agama.[168]  Sahnya dapat diingkari ayahnya melalui Pengadilan Agama.[169]  Selanjutnya, sahnya dapat diangkari ayahnya melalui li'an.  Li'an bersumber pada al-Quran.[170]  Li'an dilakukan dalam keadaan bahwa seorang suami mengingkari sahnya anak sedang isteri tidak menyangkalnya.[171]  Li'an berupa pernyataan suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang berbunyi isteri berbuat zina dan telah mengandung atau melahirkan anak.  Pernyataan tersebut diikuti penolakan tuduhan isteri.  Li'an menimbulkan putusnya perkawinan selama-lamanya.[172] 

Sahnya seorang anak maupun penegakannya bertentangan dengan CEDAW.  Pasal 16 Ayat (1) huruf d mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka, dalam  urusan yang berhubungan dengan anak mereka.  Namun demikian, dalam semua kasus, kepentingan anak akan diutamakan. 

Dalam hukum Islam, tanggung jawab sebagai orang tua dibedakan menurut status kawin mereka.  Sebagaimana dijelaskan, jika orang tua tersebut telah kawin, anaknya dianggap sah dan mempunyai hubungan nasab dengan kedua orang tuanya.  Jika orang tua tersebut belum kawin, anak itu dianggap tidak sah dan hanya mempunyai hubungan nasab dengan isterinya.  Selanjutnya, dalam penegakan sahnya seorang anak, orang tua tidak mempunyai hak yang sama.  Sahnya seorang anak dapat diingkari ayahnya baik melalui Pengadilan Agama atau li'an sedangkan tidak dapat diingkari ibunya. 

Kewajiban dan kekuasaan ayah ibu terhadap anaknya secara umum telah sesuai dengan CEDAW.[173]  Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anaknya sebaik-baiknya.[174]  Kewajiban tersebut berlaku sampai anaknya kawin atau dewasa dan masih berlaku setelah putusnya perkawinan.[175]  Kedua orang tua wajib merawat dan mengembangkan harta anaknya.  Kedua orang tua tidak boleh memindahkan harta anaknya kecualai dalam keadaan digariskan UU No.1/1974.[176]  Kedua orang tua harus ganti rugi ditimbulkan kelalaian mereka terhadap kewajiban tersebut.[177] 

Selain itu, kedua orang tua berkuasa untuk mewakili anaknya mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.[178]  Ayah bertanggung jawab atas biaya penyusuan anaknya.[179] Ketentuan tersebut telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW.  Secara umum, kewajiban dan kekuasaan kedua orang tua tidak dibedakan.

Kedudukan anak dalam keadaan perceraian telah sesuai dengan CEDAW.  Setelah putusnya perkawinan, pemeliharaan anak dibagi antara kedua bekas pihak perkawinan sebagai berikut.  Pemeliharaan anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun atau dianggap mumayyiz menjadi hak ibunya.  Pemiliharaan anak yang telah berumur 12 tahun atau sudah mumayyiz menjadi pemilihan anak bersangkutan sendiri.  Biaya pemeliharaannya masih ditanggung ayahnya.[180] 

Ketentuan tersebut telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW.  Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW mensyaratkan kepentingan anak wajib diutamakan.  Dalam keadaan putusnya perkawinan, kepentingan seorang anak yang belum berumur 12 tahun dilindungi jika pemeliharannya menjadi hak ibunya.  Selanjutnya, kepentingan seorang anak yang telah berumur 12 tahun dilindungi jika dia boleh memilihi pemeliharaan ayahnya atau ibunya dalam rangka biaya keperluan hidup yang dijamin. 

Ketentuan hukum Islam terhadap perwalian telah sesuai dengan CEDAW.  UU No.1/1974 beserta KHI menetapkan setiap soal terhadap perwalian dalam rangka persamaan antara pria dan wanita secara sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf f CEDAW.[181] 

5.6  Putusnya Perkawinan
Ketentuan hukum Islam tentang putusnya perkawinan melalui cerai hidup melanggar CEDAW.  Di bidang tersebut, hukum Islam berdasarkan ajaran Islam sebagaimana diubah UU No.1/1974,  PP No.9/1975, UU No.7/1989 beserta KHI. 

Perceraian dalam ajaran Islam tidak sesuai dengan CEDAW.  Menurut ajaran Islam, perkawinan adalah ikatan yang bersifat selama-lamanya.  Maka, perceraian dilarang dan menjadi sesuatu yang paling dimarahi Tuhan.  Namun demikian, Islam masih menyadari kenyataan bahwa perkawinan dapat gagal dan menjadi tidak bisa diteruskan.  Oleh sebabnya, ajaran Islam memberi kesempatan untuk perceraian dalam keadaan dan melalui acara tertentu.[182]

Seorang suami boleh menceraikan isterinya melalui suatu ucapan atau sumpah didasarkan alasan yang bersifat umum (talak[183] dan ila'[184]). Seorang suami tersebut pula boleh menceraikan isterinya dengan sumpah atau anggapan didasarkan alasan yang berupa suatu tindak isterinya (zhihar,[185] fahisah,[186] nusyuz, li'an). 

Sebaliknya, seorang isteri hanya dapat menceraikan suaminya dengan persetujuannya (khuluk)[187] atau berdasarkan perjanjian perkawinan (talik talak).  Selain itu, ajaran Islam memperbolehkan perceraian didasarkan persetujuan kedua pihak perkawinan baik untuk alasan umum (mubaaro'ah)[188] maupun suatu tindak salah satu pihak perkawinan (murtad[189] dan fasakh[190]). 

Jalan perceraian ajaran Islam melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.  Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama pada putusnya perkawinan.  Ajaran Islam tersebut membedakan kedudukan suami dan isteri dan tidak menjamin persamaannya. 

Jalan perceraian ajaran Islam tersebut diubah peraturan perundangan secara sesuai dengan CEDAW.  UU No.1/1974 menetapkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan pihak bersangkutan.[191] 

PP No.9/1975 menetapkan perceraian baik diminta suami atau isteri hanya dapat dilakukan untuk alasan sebagai berikut: Pertama, salah satu pihak perkawinan berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.[192] 

Kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut turut tanpa ijian pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.[193]

Ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara atau pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berat setelah perkawinan berlangsung.[194] 

Keempat, salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.[195] 

Kelima, salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.[196]

Keenam, antara suami isteri terus menerus terjadi perseilishan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dlaam rumah tangga.[197]

Alasan PP No.9/1975 ditambah alasan KHI.  KHI menetapkan perceraian boleh didadasarkan alasan bahwa seorang suami melanggar taklik talak atau peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.[198]

Alasan PP No.9/1975 beserta alasan KHI diajukan dalam rangka tata cara perceraian.  Tata cara perceraian tersebut ditetapkan PP No.9/1975 beserta UU No.7/1989.  Tata cara perceraian suami berupa permohonan talak sedangkan untuk isteri berupa gugatan perceraian.  Dahulu, prosedur talak suami diatur PP No.9/1975 dan merupakan permohonan yang diajukan seorang suami dan dikabulkan dengan Surat Keterengan yang dibuat Pengadilan Agama.[199]  Prosedur talak tersebut jauh lebih mudah dari prosedur gugatan perceraian isteri.[200]  Oleh sebabnya, prosedur talak suami diubah UU No.7/1989. 

UU No.7/1989 menetapkan bahwa prosedur talak suami merupakan permohonan yang diajukan seorang suami pada Pengadilan Agama bersangkutan.[201]  Permohonan tersebut wajib didasarkan alasan PP No.9/1975 atau alasan KHI tersebut.[202]  Permohonan tersebut kemudian diperiksa Pengadilan Agama dalam rangka usaha perdamaian kedua pihak bersangkutan.[203] 

Setelah disimpulkan bahwa ada alasan untuk perceraian dan kedua pihak tidak mungkin didamaikan, Pengadilan Agama dapat menetapkan permohonan dikabulkan.[204]  Isteri bersangkutan dapat memintakan banding maupun kasasi terhadap penetapan Pengadilan Agama.  Setelah itu, cerai talak diselesaikan dengan ucapan ikrar dan pencatatannya.[205] 

Gugatan perceraian diajukan isteri pada Pengadilan Agama bersangkutan didasarkan alasan PP No.9/1975 beserta alasan KHI.  Dahulu, PP No.9/1975 menetapkan bahwa Pengadilan Agama tersebut adalah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.[206]  PP No.9/1975 diubah UU No.7/1989.  Pengadilan Agama bersangkutan menjadi yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.[207]  Perubahan tersebut dimaksud untuk melindungi pihak wanita.[208] 

Gugatan perceraian diperiksa Pengadilan Agama.[209]  Pengadilan Agama berkuasa panggil kedua pihak perkawinan, wakilnya maupun orang lain bersangkutan.[210]  Selanjutnya, Pengadilan Agama berkuasa pada permohonan pihak berperkara untuk menetapkan tempat kediaman suami isteri, nafkah ditanggung suami maupun harta kekayaan suami isteri.[211]

Dalam pemeriksaan tersebut, Pengadilan Agama berusaha mendamaikan kedua pihak perkawinan.[212]  Apabila terjadi perdamaian, `maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan alasan yang aa sebelum perdamaian dan telah diketahu olen penggugat pada waktu dicapainya perdamaian'.[213]  Apabila tidak terjadi perdamaian, perkara perceraian diputuskan.[214]

Suami bersangkutan dapat meminta banding atau kasasi pada putusan tersebut.[215]  Putusan tersebut kemudian diumumkan dan dalam keadaan gugatan perceraian dikabulkan, putusnya perkawinan dicatat. Alasan maupun tata cara perceraian tersebut telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.  Kedudukan suami isteri tidak dibedakan dan persamaannya dijamin.

Bagaimanapun, peraturan perundangan tersebut masih memperbolehkan jalan perceraian lain yang melanggar CEDAW.  Suami masih boleh mencerakan isterinya melalui li'an sebagaimana telah dijelaskan.[217]  Sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan suaminya melalui li'an.  Dia hanya boleh mencari putusnya perkawinan melalui gugatan perceraian biasa.  Selain itu, isteri boleh menceraikan suaminya melalui khuluk[218] dan kedua pihak perkawinan boleh melakukan perceraian melalui fasakh.[219] Li'an bertentangan dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.

Jalan perceraian peraturan perundangan tersebut mengandung akibat yang melanggar CEDAW.  Pasal 41 UU No.1/1974 menetapkan akibat putusnya perkawinan baik melalui talak atau gugatan perceraian.  Akibat tersebut berupa kewajiban kedua bekas pihak perkawinan terhadap anaknya,[220] kewajiban bekas suami terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan anak itu maupun kewajiban bekas isteri dalam keadaan suaminya melalalikan kewajiban tersebut[221] dan kewajiban bekas suami terhadap biaya penghidupan bekas isterinya.[222]  Secara umum, ketentuan UU No.1/1974 tidak bertentangan dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. 

Ketentuan UU No.1/1974 ditambah KHI.  KHI menetapkan pemeliharaan anak pada putusnya perkawinan sebagaimana tersebut.[223]  Selanjutnya, KHI menetapkan bekas isteri wajib mengikuti masa iddah.  Masa iddah adalah waktu tunggu yang berlaku setelah baru putusnya perkawinan.  Bekas isteri selama dalam masa iddah tidak boleh menerima pinangan atau menikah dengan pria lain.[224]  Ruang lingkup masa iddah tergantung pada jalan putusnya perkawinan.[225] 

Akhirnya, KHI menetapkan akibat khusus putusnya perkawinan melalui permohonan talak suami.  Akibat tersebut merupakan kewajiban dan hak bekas suami.  Bekas suami wajib memberikan mut'ah atau setengah mahar yang telah ditentukan pada bekas isterinya.[226]  Bekas suami pula wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah pada bekas isterinya.  Kewajiban tersebut gugur apabila talak telah terjadi tiga kali (talak ba'in kubraah), didasarkan kehendak bekas isterinya (talak ba'in shughraa) atau bekas isterinya telah dianggap nusyuz.[227]  Bagaimanapun juga, bekas suami wajib memberi biaya hadhanah untuk anak-anakynya yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.[228]

Bekas suami tersebut berhak melakukan rujuk selama isterinya dalam masa iddahnya.[229]  Rujuk dilakukan bekas suami tersebut di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.  Pada masa hadapan itu, bekas isteri boleh mengucapkan keberatannya tentang rujuk.  Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan isteri boleh dinyastakan tidak sah oleh Pengadilan Agama.[230] 

Rujuk tidak boleh dilakukan terhadap talak bain shughraa tetapi bekas isteri bersangkutan boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya.[231]  Rujuk tidak boleh dilakukan terhadap talak bain kubraah dan bekas isteri bersangkutan tidak boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya kecuali jika telah menikah dan telah menceraiakan seorang pria lain.[232] 

Ketentuan KHI tentang akibat putusnya perkawinan melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.  Kedudukan bekas suami dan bekas isteri dibedakan.  Masa iddah wajib diikuti bekas isteri bukan bekas suaminya.  Rujuk boleh dilakukan bekas suami terhadap bekas isterinya tetapi tidak boleh dilakukan sebaliknya. 

6.  Ketentuan Hukum Islam di Bidang Kewarisan
Seorang wanita yang berperkara dalam Pengadilan Agama menemui ketentuan hukum Islam terhadap kewarisan yang melanggar CEDAW. Di bidang tersebut, ketentuan hukum Islam bersumber pada al Quran, Sunnah beserta sumber akal manusia.[233]  Sumber tersebut ditambah peraturan perundangan.  Hukum kewarisan Islam tidak diatur peraturan perundangan secara lanjut sebagaimana perkawinan.  Bahkan, hukum kewarisan Islam belum tersusun dengan satu Undang Undang yang berlaku bagi semua warga negara seperti UU No.1/1974.[234] 

Selanjutnya, ketentuan UU No.7/1989 tentang memperinci kewarisan sebagaimana ketentuannya terhadap perkawinan.  Pasal 49 Ayat (1) UU No.7/1989 memberikan pada Pengadilan Agama wewenang di bidang kewarisan.  Pasal 49 Ayat (3) UU No.7/1989 menegaskan wewenang kewarisan tersebut berupa `penentuan siapa siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut'.[235] 

Sebagaimana demikian, Pasal 54 UU No.7/1989 menetapkan bahwa hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan Negeri pula berlaku pada Pengadilan Agama `kecuali yang telah diatur secara khusus' dengan UU No.7/1989.  Ketentuan khusus tersebut hanya menyangkut perkawinan.[236]  Yaitu, tidak ada ketentuan khusus terhadap kewarisan.[237]   Akhirnya, KHI mengatur kewarisan secara garis garis besar dalam bidang itu.[238]

Ketentuan hukum kewarisan Islam menyangkut tiga kelompok orang: pewaris, orang yang dapat menerima pemberian harta peninggalannya maupun orang yang berhak mendapat bagian harta peninggalannya.[239] 

Seorang dapat menerima pemberian harta peninggalan pewaris melalui wasiat dan hibah.  Wasiat adalah pemberian kepada seorang atau lembaga yang dimaksud berlaku setelah pewaris bersangkutan meninggal dunia.[240]  Pewaris hanya berhak memberikan wasiat sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.[241]  Orang yang dapat menerima wasiat tidak dibatasi menurut jenis kelaminnya.  Bagaimanapun, seorang ahli waris tidak boleh menjadi penerima wasiat kecuali dengan persetujuan para ahli waris.[242]

Hibah adalah pemberian suatu benda, `secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain atau lembaga yang masih hidup untuk dimiliki'.[243]  Pewaris boleh menghibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga harta bendanya.[244]  Biasanya, hibah dilakukan dengan persetujuan para ahli waris.[245]  Suatu benda yang dihibahkan orang tua kepada anaknya apat diperhitungkan sebagai warisannya.[246]

Orang yang berhak mendapat bagian harta peninggalan pewaris dikenal dengan istilah ahli waris.  Ahli waris merupakan orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris.[247]  Kelompok ahli waris laki laki merupakan golongan laki laki yang terdiri atas ayah, anak laki laki, saudara laki laki, paman, kakek dan duda pewaris.[248]  Kelompok ahli waris perempuan terdiri atas ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan janda pewaris.[249]  Dalam keadaan ada semua ahli wais tersebut, maka yang berhak mendapat bagian harta peninggalan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.[250] 

Besarnya bagian ahli waris bersumber pada al Quran dan ditetapkan menurut jenis kelaminnya.[251]  Apabila pewaris cuma mempunyai satu anak dan anaknya perempuan, dia mendapat separoh bagian.  Apabila pewaris tersebut mempunyai dua anak perempuan atau lebih mereka secara bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.  Namun demikian, apabila anak perempuan tersebut bersama-sama dengan anak laki laki, maka bagian anak laki laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.[252]  Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ubunya dan keluarga dari pihak ibunya.[253]

Orang tua pewaris pula berhak mendapat warisan.  Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.[254]  Sebaliknya, ibu hanya mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan, selanjutnya, pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih.[255]  Bila ada anak pewaris, ayah mendapat seperenam bagian.[256]  Bila ada anak atau dua orang saudara perempuan pewaris atau lebih, ibu mendapat sepernam bagian.[257]  Selain itu, ayah dan ibu pewaris bersama-sama mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil janda atau duda.[258]

Bila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, seorang saudara laki laki maupun seorang saudara perempuan pewaris masing masing mendapat seperenam bagian.  Bila ada dua orang saudara laki laki atau dua orang saudara perempuan atau lebih, maka mereka bersama sama mendapat sepertiga bagian.[259] 

Bagaimanapun, bila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah melainkan dia meninggalkan seorang saudara perempuan kandung atau seayah, saudara tersebut mendapat separoh bagian.  Bila saudara tersebut lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.  Bila saudara tersebut bersama dengan saudara laki laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki laki tersebut adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.[260]

Duda atau janda berhak mendapat bagian pewaris.  Duda mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.  Duda hanya mendapat seperempat bagian bila pewaris memang meninggalkan anak.[261]  Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan hany0a mendapat seperdelapan bagian bila pewaris memang meninggalkan anak.[262]  Bagi pewaris yang beristeri lebih dari stau orang, para jandanya berhak mendapat bagian atas gonogini dari rumah tangga dengan suaminya.[263]  Selanjutnya, para isteri mendapat sepermpat atau seprdelapan bagian yang kemundian dibagi antara mereka masing masing.[264]

Alasan untuk perbedaan jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam diajukan Sajuti Thalib, SH.  Menurut dia, perbedaan tersebut perlu dilihat dalam rangka kewajiban laki laki terhadap isterinya dan anaknya.  Kalau seorang laki laki menjadi ahli waris, bagiannya akan dipakai sebagai pemberian kepada isterinya dan anaknya.  Sebaliknya, kalau seorang perempuan menjadi ahli waris, bagiannya akan dipakai sendiri dalam rangka penerimaan dari suaminya atau ayahnya. Maka, ahli waris laki laki tersebut perlu mendapat bagian yang lebih besar daripada ahli waris perempuan.[265]

Hukum kewarisan Islam tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan.  Telah jelas hukum kewarisan Islam mengurangi kedudukan wanita dan bersifat diskriminatif. 

7.  Hukum Islam dan CEDAW
Hubungan hukum Islam dan CEDAW belum diputuskan baik dalam peraturan perundangan maupun kebijakan Parpol dan masyarkat Indonesia.  Persoalan hukum Islam dan CEDAW dapat dibagi dengan kemampuan dan kemauan mengubah hukum Islam agar menghapuskan diskiminasi terhadap wanita dan melindungi haknya. 

Kemampuan mengubah hukum Islam pada dasarnya tergantung sumbernya.  Dalam keberadaan suatu ketentuan hukum Islam bersumber pada al-Quran, Sunnah Mutawatir atau Sunnah Masyur yang telah jelas, ketentuan tersebut tidak boleh diubah baik jika bersifat diskriminatif, melanggar hak wanita atau tidak. 

Namun demikian, kalau suatu ketentuan hukum Islam yang diturunkan Allah  tidak jelas dan telah ditafsirkan secara diskriminatif dan melanggar hak wanita, penafsiran baru dapat dilakukan dan ketentuan tersebut disesuakian dengan CEDAW.  Selain itu, ketentuan hukum Islam yang berlandaskan sumber akal manusia juga boleh diubah selaras dengan CEDAW.

Peraturan perundangan nasional pada kelihatannya dapat mengubah ketentuan hukum Islam.  Waktu UUD 1945 berancang, Prof. Muhammad Yamin mengajukan usulan bahwa Mahkamah Agung berhak menguji peraturan perundangan terhadap UUD 1945, hukum Adat dan hukum Islam dan mencabut peraturan perundangan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sistem hukum tersebut.   Jadi, peraturan perundangan tidak boleh dikeluarkan secara tidak sesuai dengan sistem hukum Islam.  Sebaliknya, ketentuan hukum Islam tidak boleh diubah melalui peraturan perundangan nasional. 

Saran Prof. Muhammad Yamin ditolak.  Tetapi sarannya ditolak berdasarkan keberatan terhadap ruang lingkup wewenang Mahkamah Agung.  Kemampuan atau ketidakmampuan mengubah Islam tidak disebut dan bahkan tidak ditetapkan dengan UUD 1945.[266]

Dalam masa keberlakuan UUD 1945, peraturan perundangan nasional telah mengubah ketentuan hukum Islam.  Sebagaimana dijelaskan, UU No.1/1974, PP No.9/1975 beserta UU No.7/1989 mengubah ketentuan hukum Islam terhadap putusnya perkawinain dengan tujuan meningkatkan persamaan antara pria dan wanita.  Maka, ada kemungkinan bahwa peraturan perundangan nasional dapat mengubah hukum Islam secara sesuai dengan CEDAW.

Kemampuan tersebut perlu ditambah dengan kemauan mengubah hukum Islam.  Dalam peraturan perundangan yang telah dikeluarkan, sikap pemerintah Indonesia terhadap perubahan hukum Islam selaras dengan CEDAW tidak yakin.  UU No.7/1984 menolak perubahan hukum Islam berdasarkan CEDAW.  Penjelasannya menyatakan, `Ketentuan dalam Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan nasional'.[267] 

Selain itu, Penjelasan UU No.7/1984 berpendapat bahwa `dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meluputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia'.[268] 

Namun, perlu diingat bahwa UU No.7/1984 dikeluarkan pada masa Orde Baru.  Dalam Era Reformasi, Undang Undang tentang pengesahan suatu Konvensi biasanya menyatakan peraturan perundangan nasional akan disesuaikan dengan Konvensi bersangkutan.  Tetapi Undang Undang tersebut tidak menjelaskan jika harmonisasinya berupa peraturan perundangan nasional saja atau tercantum sistem hukum yang berlaku di bawah peraturan perundangan nasional seperti hukum Islam.[269]

UU No.7/1984 ditambah RANHAM yang tidak menegaskan kedudukan hukum Islam dalam pelaksanaan CEDAW.  Sebagaimana tersebut, RANHAM menyatakan wawasan HAM di Indonesia.  Satu prinsip dalam wawasan tersebut adalah pengakuan atas kondisi nasional.  Prinsip ini berarti bahwa dalam pelaksanaan HAM pemerintah Indonesia akan memperhatikan sepenuh `keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbaan sosial dan ekonomi serta faktor faktor lain'. Istilah `faktor lain' kalau dibandingkan dengan ketentuan peraturan perundangan lain mungkin termasuk agama.[271]

Selanjutnya, Pasal 1 Ayat (2) KepPres No.129/1998 menyatakan kemajuan dan perlindungan HAM akan dilakukan dengan `mempertimbangkan nilai nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945'.  Ketentuan  ketentuan RANHAM tersebut tidak menetapkan ruang lingkup perhatiannya dan pertimbangannya.  Yaitu, ketentuan RANHAM tidak mengatakan hubungan antara faktor dan nilai tersebut dan HAM dan memang tidak mengatakan yang mana gugur dalam keadaan bahwa faktor dan nilai tersebut bertentangan dengan HAM. 

Selain itu, RANHAM menetapkan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan CEDAW akan dilakukan.[272]  Tetapi sebagaimana Undang Undang tentang pengesahan suatu Konvensi tersebut, RANHAM tidak menjelaskan kalau peraturan perundangan nasional tercantum hukum yang berlaku di bawah peraturan perundangan seperti hukum Islam.

UU No.39/1999 secara tersirat mengandung kemauan mengubah hukum Islam secara sesuai dengan CEDAW.  Pertama, ada kemungkinan UU No.39/1999 memerintah pemerintah untuk melaksanakan HAM di bidang agama.   Bab V UU No.39/1999 menyangkut kewajiban dan tanggung jawab pemerintah terhadap HAM.  Pasal 71 menyatakan  pemerintah harus `menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia'. 

Pasal 72 menetapkan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut `meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara dan bidang lain'.   Sebagaimana RANHAM, istilah `bidang lain' mungkin termasuk bidang agama.[273]

Kedua, UU no.39/1999 secara tersirat menetapkan ketentuan hukum Islam di bidang perkawinan perlu disesuaikan dengan CEDAW.  Sebagaimana tersebut, Pasal 50 yo. Pasal 51 UU No.39/1999 menggariksan hak wanita berdasarkan CEDAW.  Pasal 50 menetapkan seorang wanita yang telah dewasa atau telah kawin `berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya'. 

Pasal 51 memberikan hak dan tanggung jawab kepada seorang isteri yang sama dengan suaminya selama dalam maupun pada putusnya perkawinan.  Pasal 51 tidak mengandung pengecualian hukum agama sebagaimana Pasal 50.  Jadi, Pasal 51 secara tersirat menetapkan persamaan seorang isteri dengan suaminya dijamin baik kalau ditentukan lain oleh hukum agamanya atau tidak

Ketentuan UU No.39/1999 terhadap hukum Islam tersebut dapat dibandingkan dengan ketentuannya terhadap hukum Adat.  UU No.39/1999 menentukan hukum adat akan dihormati hanya sepanjang tidak bertentangan dengan HAM.  Pasal 6 Ayat (1) menetapkan dalam rangka penegakan HAM, hukum adata harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah.[274] 

Selanjutnya, Pasal 6 Ayat (2) menetapkan, `Identitatas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman'.  Penjelasan Atas UU No.39/1999 menetapkan Pasal 6 Ayat (2) berarti bawah hukum adat tetap dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan `asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat'.  Dapat disimpulkan bahwa asas asas tersebut tercantum HAM.[275]

UU No.39/1999 tidak mengajukan alasan untuk perbedaan antara hubungan hukum Islam dan hukum Adat dengan HAM.  Ada kemungkinan hukum Adat dapat dibatasi secara tersebut karena pada hakekatnya hukum Adat berkembang selaras dengan HAM.  Hukum Adat berlandaskan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.  Kebiasaan tersebut dipengaruhi pendidikan maupun advokasi dan mobilisasi sosial.  RANHAM menetapkan bahwa pendidikan, advokasi dan mobilisasi tersebut akan didasarkan HAM.  Jadi, hukum Adat akan menjadi sesuai dengan HAM. 

Sebaliknya, ada kemungkinan lain hukum Islam tidak dibatasi seperti hukum Adat karena telah mengandung ketentuan yang bertentangan dengan CEDAW dan, selama pada dasarnya, mungkin tidak boleh diubah. 

TAP MPR No.IV/MPR/1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 mengandung kemauan untuk melakukan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW yang cukup jelas.  Di bidang hukum, Arah Kebijakan GBHN ingin `menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui [] hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender'.[276]  Perkataan tersebut dapat berupa ketentuan ahwa hukum nasional sebagaimana tercantum hukum Islam perlu diubah dengan tujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita. 

Kebijakan Parpol Indonesia belum sependapat mengenai hukum Islam dan CEDAW.  Partai PDI dan Golkar berpendapat bahwa hukum Islam telah bertentangan dan perlu disesuaikan dengan HAM melalui peraturan perundangan nasional.[277] 

Partai PPP merasa hukum Islam selalu melindungi hak hak wanita.  Namun demikian, kalau memang ada hukum Islam yang bertentangan dengan HAM ketentuannya perlu `tidak diterapkan dalam pelaksanaan dilakukan fleksibel'.[278] 

Partai PKB menyatakan hukum Islam telah melindungi persamaan antara pria dan wanita dan tidak perlu diubah.[279]  ABRI ada pemahaman bahwa hukum Islam yang berlaku telah dikompilasi sampai tidak bertentangan dengan HAM dan tidak perlu diubah.[280]

Perbedaan pendapat mengenai hukum Islam dan CEDAW hidup dalam masyarakat Indonesia juga.  Ibu Nursyahbani Katjasungkana ialah pejabat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK.  Dia berpendapat bahwa hukum Islam pada prinsipnya tidak bertentangan dengan CEDAW.  Namun demikian, penafsiran dari hukum Islam yang telah dikeluarkan memang bertentangan dengan CEDAW.  Jadi, tidak perlu mengubah atau mencabut hukum Islam.  Melainkan, penafsiran hukum Islam baru yang selaras dengan CEDAW perlu dibuat.[281] 

Drs. Haji Suharto M, ialah Hakim Tinggi Agama dari Pengadilan Tinggi Agama, DIY.  Dia mempunyai pemahaman bahwa hukum Islam telah melindungi persamaan antara pria dan wanita.  Tentu saja hukum Islam mengandung perbedaan antara pria dan wanita tetapi perbedaan tersebut tidak bersifat diskriminatif.  Melainkan, perbedaan tersebut berupa pembagian tanggung jawab rumah tangga atau cuma job description yang beda.  Jadi, hukum Islam tidak perlu disesuaikan dengan CEDAW.[282] 

Drs. Sudjana, SH, ialah seorang pengacara, ketua Parpol PSII 1905 dan penulis buku tentang hukum Islam dan Adat.  Dia merasa hukum Islam tidak bersifat dan bahkan melarang diskriminasi terhadap wanita.  Sebagaimana demikian, hukum Islam tidak jauh dari CEDAW.  Bagaimanapun juga, hukum Islam diciptakan Allah.  HAM tidak diterima sepenuhnya dalam hukum Islam.  Jadi, kecuali ketentuannya yang telah ada, hukum Islam tidak harus disesuaikan dengan CEDAW.[283]

DAFTAR PUSTAKA

H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Amrullah Ahmad (ed.), Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,  Gema Insani Press, Jakarta, 1998.
Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Gratindo Persada, Jakarta, 1998.
J N D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994.
Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa Bangsa, Djambatan, Jakarta, 1989.
Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta,  1996.
Drs. Saafroedin Bahar, Hak Asasi Manusia: Analisis Komnas HAM Dan Jajaran HANKAM / ABRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
H. Ahmad Azhar Basyir MA, Hukum Waris Islam, Bagian Penerbitan Fakulas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998.
Drs. Cik Hasran Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998.
Drs. Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997.
A. Rachmad Budiono, SH, MH, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

0 komentar:

Posting Komentar