BAB IV – HUKUM ISLAM
Hukum Islam
dianggap hukum Allah. Yaitu, hukum Islam
berupa aturan Allah yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah) maupun hubungan manusia dengan
masyarakat, hubungan antara manusia dan kegiatan manusia sehari-hari (muammalah).[1]
Hukum Islam
bersifat universal.[2] Ketentuannya menyangkut segala bidang
hukum. Munakahat mengatur perkawinan dan perceraian. Wirasah
mengatur kewarisan. Muamalat menetapkan tata cara
perdagangan. Jinayat menyangkut hukum pidana. Al ahkam as sulthaniyah menyangkut
ketatanegaraan dan administrasi negara. Siyar menetapkan perdamaian dan peperangan
di bidang hukum internasional. Akhirnya,
Mukhasamat mengatur kekuasaan
kehakiman maupun hal peradilan.[3]
Di
Indonesia, hukum Islam dianut dalam lingkungan peradilan Agama. Seorang wanita yang memilihi beperkara di
Pengadilan Agama perlu memahami sejarah perkembangannya maupun sumber hukumnya.[4] Dalam rangka tersebut, seorang wanita hanya
boleh beperkara di bidang perkawinan dan kewarisan. Di bidang tersebut, seorang wanita tidak
menemui ketentuan hukum yang berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Melainkan, dia menemui ketentuan hukum yang
belum sesuai dengan CEDAW.
Bagaimanapun,
dalam masyarakat Indonesia terdapat perbedaan pendapat mengenai hubungan antara
hukum Islam dan CEDAW. Ada orang yang
berpendapat hukum Islam perlu disesuaikan dengan CEDAW. Ada orang lain yang berpendapat hukum Islam
tidak perlu diubah secara tersebut.
1. Sumber
Sumber Hukum Islam
Sumber
sumber hukum Islam dapat dibagi sebagai sumber diturunkan Allah atau Rasul-Nya
yang bersifat statis (syari'at)
maupun sumber berdasarkan akal manusia yang bersifat dinamis (Fiq'h).
Sumber hukum Islam yang disebut sebagai sumber utama dan pertama adalah al-Quran.[5] Kitab al-Quran
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammed s.a.w. melalui malaikat Jibral.[6] al-Quran
dihimpun oleh sahabat Nabi dan terdiri atas 30 (tiga puluh) juz (bagian). Setiap juz
terdiri atas 114 (seratus empat belas) surah
(bab). Jumlah ayat dalam surah tersebut dari surah pertama al-Fatihah
sampai dengan annas sebanyak 6666
ayat.[7]
al-Quran bersifat statis.[8] al-Quran
adalah kitab suci umat Islam.
Ayat-ayatnya berupa kebenaran, dianggap wajib dilakukan dan memang tidak
boleh diubah.[9] Di bidang hukum, ayat ayat al-Quran memuat aturan ibadah,
pemerintah, peradilan, dagang dan keluarga.
Aturan tersebut ditetapkan secara garis garis besar saja. Jadi, aturan tersebut perlu diuraikan dan
dikembangkan melalui akal manusia. Maka,
meskipun al-Quran bersifat statis,
aturannya menjadi dinamis melalui proses akal manusia yang akan disebut.[10]
Sumber yang
paling tinggi setelah al-Quran adalah
Sunnah atau hadits Nabi Muhammed
s.a.w.[11] Di bidang hukum, Sunnah berupa aturan didasarkan hidup Nabi Muhammad s.a.w. yang
menjadi contoh untuk kehidupan manusia sehari-hari.[12] Ada aturan Sunnah yang berlandaskan ayat ayat al-Quran secara langsung.
Sebaliknya, ada aturan Sunnah yang
tidak disebut dalam al-Quran dan
berdiri sendiri. Bagaimanapun juga,
ketentuan Sunnah tidak boleh bertentangan dengan al-Quran.[13]
Sunnah bersifat statis atau dinamis
menurut tingkatnya. Sunnah Mutawatir bersifat statis. Sunnah Mutawatir diriwayatkan dari Nabi Muhammed s.a.w. pada banyak
jamaah dan tidak mungkin berdusta. Maka,
Sunnah Mutawatir bersifat yakin mengenai kebenarannya dan menjadi sunnah
tertinggi yang wajib diamalkan.[14]
Secara
umum, Sunnah Masyur bersifat statis
juga. Sunnah Masyur diriwayatkan dari
Nabi Muhammad s.a.w. oleh banyak orang yang belum mencapai banyak sekali
sebagaimana Sunnah Mutawatir. Oleh karenanya, Sunnah Masyur hanya menimbulkan dugaan kuat terhadap kebenaran
isinya. Dengan dugaan tersebut, Sunnah Masyur masih wajib
diterapkan. Namun, ada golongan umat
Islam yang tidak memberikan kedudukan itu kepada Sunnah Masyur dan menolak amalannya.[15]
Sunnah Ahad bersifat dinamis. Sunnah
Ahad hanya diriwayatkan oleh orang perseorangan Sunnah Ahad hanya menimbulkan dugaan yang biasa terhadap kebenarannya. Secara umum, Sunnah Ahad tidak boleh diterapkan terhadap masalah yang perlu
didasarkan kepastian atau keyakinan.
Melainkan, Sunnah Ahad hanya
boleh dipakai di bidang fiqh. Sunnah Ahad tidak wajib dilakukan.[16]
Sumber
hukum Islam tertinggi yang berupa akal manusia adalah idjma.[17] Idjma wajib
berlandaskan ayat ayat al-Quran maupun
Sunnah Mutawatir atau Sunnah Masyur. Idjma tidak
boleh bertentangan dengan al-Quran dan
tidak boleh berdiri sendiri.[18] Idjma diundangkan
melalui ketetapan para ulama Islam besar.
Ulama tersebut wajib tersusun sekurang-kurangnya tiga orang dan tidak
boleh tercantum orang awam. Ketetapannya
wajib didasarkan kebulatan pendapatnya.
Dengan perkataan lain, Idjma tidak
boleh dikeluarkan melalui suara terbanyak ulama tersebut. Idjma bersifat
dinamis. Idjma yang telah dikeluarkan wajib dilaksanakan. Namun demikian, sesuatu aturan Idjma dapat diubah melalui ketetapan
ulama Islam baru.[19]
Sumber
hukum Islam di bawah idjma adalah qiyas.
Qiyas adalah suatu garis hukum
baru yang didasarkan suatu garis hukum lama.[20] Jadi, qiyas
dipakai dalam keadaan bahwa tidak ada ketentuan hukum Islam tertentu untuk
suatu perkara antara umat Islam.[21]
Sumber
hukum Islam yang didasarkan qiyas adalah
istihsan.
Istihsan mengecualikan suatu perkara dari ketentuan hukum Islam yang
biasanya dianut. Istihsan kemudian mengajukan ketentuan lain yang berupa ketentuan Qiyas atau ketentuan apapun yang sesuai
dengan syariah atau fiqh.
Istihsan hanya dipakai untuk alasan yang kuat seperti
ketidakadilan, kepentingan masyarakat atau keadaan darurat.[22] Dinamisme qiyas
dan istihsan sangat jelas.
Sumber
hukum Islam yang paling lepas adalah Maslahah
Mursalah. Maslahah Mursalah berupa keputusan yang berdasarkan pertimbangan
kepentingan masyarakat. Maslahah Mursalah
dipakai dalam keadaan bahwa tidak ada ketentuan hukum Islam apapun untuk
perkara bersangkutan. Keputusan melalui Maslahah Mursalah tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang telah ada.[23]
Semua
sumber hukum Islam tersebut ditambah dengan hukum Adat melalui 'Urf.
'Urf menyatakan bahwa
kebiasaan atau adat masyarakat dapat dianut sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum Islam yang telah ada.
Kebiasaan tersebut harus dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan
secara terus-menerus (yaitu tanpa pengecualian) atau berlaku secara umum atau
secara terbanyak. 'Urf bersifat dinamis karena
diubah secara sesuai dengan perkembangan kebiasaan masyarakat.[24]
2. Sejarah
Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia Pada Masa Awal Sampai 1945
Pada masa
awal sejarah Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan penting dalam sistem
hukum Indonesia. Hukum Islam berlaku
untuk pertama kali di Indonesia dengan kedatangan umat Islam. Masa kedatangan tersebut tidak jelas. Ada kemungkinan orang Islam tinggal di
Indonesia sejak abad ketujuh atau kedelapan Musehi. Ada kemungkinan lain masa kedatangan tersebut
adalah abad ketigabelas Musehi.
Bagaimanapun
juga, orang Islam berdiam di pesisir Sumatra Utara. Masyarakat Islam kemudian dibentukkan di Aceh
Timur. Kerajaan Islam dibentukkan untuk
pertama kali di Aceh Utara dan diikuti dengan banyak kerajaan lain. Hukum Islam kemudian berlaku bersama dengan
Hukum Adat dan mencapai kedudukan penting tersebut.[25]
Waktu orang
Belanda datang, kedudukan hukum Islam dikurangi sampai hanya berupa sistem
hukum yang dianut di bidang perkawinan dan kewarisan melalui Pengadilan Agama
dalam perkara antara orang Islam .
Verenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan
Dagang Hindia Belanda) (VOC) menerapkan hukum Belanda, membatasi bidang hukum
Islam dan mencari kepastiannya. Pada
tahun 1596, VOC mulai berdagang di Indonesia.[26] Pada tahun 1602, kedudukan VOC
dikukuhkan. Pemerintah Belanda
memberikan kekuasaan kepada VOC di bidang dagang dan pemerintahan di kepulauan
Indonesia. Kekuasaan tersebut merupakan
tiga hak, yakni hak mencetak dan mengedarkan mata uang, hak membentuk angkatan
perang maupun hak membuat perjanjian internasional dengan negara lain.[27]
Pada masa
awal penjajahan VOC, hukum Belanda dianut.
Namun, hukum Belanda tidak diterima orang asli Indonesia. Maka, VOC memutuskan hukum asli Indonesia
boleh diterapkan di bidang tertentu.
Jadi, Statuta Batavia (Undang
Undang Jakarta) tahun 1642 menetapkan
hukum kewarisan Islam dianut antara umat Islam.[28]
Selain itu,
pada tanggal 24 Mei tahun 1670, VOC menerima Compendium Freijer. Compendium tersebut adalah kompilasi
hukum Islam di bidang kekeluargaan yang dikumpulkan oleh ahli hukum D W
Freijer. Sebagaimana demikian, VOC
kemudian menerima kitab kitab lain yang berupa kompilasi hukum Islam. Kompilasi hukum Islam tersebut digunakan oleh
pengadilan VOC dalam perkara umat Islam.[29]
Dengan
penggantian VOC dengan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800, usaha
kepastian hukum Islam berjalan melalui penujukan penasehat hukum Islam. Pada
tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendals mengeluarkan peraturan
terhadap hukum Islam di daerah daerah Jawa tertentu. Peraturan tersebut menetapkan kepala mesjid (penghulu) wajib bertindak sebagai
penasehat pengadilan negeri dalam perkara antara orang Islam.
Kedudukan penghulu dikukuhkan waktu Pemerintah
Hindia Belanda diganti dengan Pemerintah Inggris pada tahun 1811. Letnan Gubernur Indonesia Sir Thomas Stamford
Raffles menetapkan peraturan Daendals dianut di seluruh Indonesia. Selanjutnya, penghulu yang telah penasehat diangkat anggota Pengadilan Negeri.[30]
Pemerintah
Hindia Belanda kembali lagi pada tahun 1814 dan penetapan baru tentang penghulu diundangkan.[31] Pasal 13 Regenten
Instructie (Aturan Untuk Para Bupati) tahun 1820 menetapkan penghulu wajib memecahkan perkara
perkawinan dan kewarisan antara umat Islam dan wajib dibayar bupati
bersangkutan.
Regenten Instructie tersebut diganti Staatsblad 1835/No.56 yang membatasi
wewenang penghulu. Meskipun penghulu masih berhak memecahkan secara tersebut, sengketa tentang
hal uang atau pembayaran wajib diajukan kepada Pengadilan Negeri. Staatsblad
tersebut disahkan dengan berbagai dekrit Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1845 dan 1851.[32]
Pemerintah
Hindia Belanda mengurangi kedudukan hukum Islam melalui para hakim
Belanda. Pasal 75 Ayat (1) Regeering Reglemen 1855[33]
(Undang Undang Dasar Hindia Belanda) menetapkan hukum Islam dianut antara umat
Islam cuma sepanjang hukum Islam tersebut tidak bertentangan dengan asas asas
kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
`Diakui umum' berarti diakui oleh hakim hakim Belanda pada masa
itu. Pasal 75 Ayat (2) menetapkan orang
Islam wajib melaksanakan putusan hakim agama atau kepala masyarakat terhadap
perkara bersangkutan.[34]
Pemerintah
Hindia Belanda membatasi wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura. Pada tahun 1830, ditetapkan putusan Priesteraad (Pengadilan Agama pada
tingkat pertama) di Jawa dan Madura wajib disahkan dan dilaksanakan oleh Landraad (Pengadilan Negeri).[35]
Pengadilan
Agama Jawa dan Madura diatur lebih lanjut dengan Staatsblad 1882/No.152.
Anehnya, Staatsblad tersebut
tidak memuat ketentuan terhadap wewenang Pengadilan Agama mungkin karena secara
praktek wewenang tersebut sudah cukup jelas, yaitu hal kekeluargaan.[36] Selain itu, Staatsblad tersebut memakai istilah agama yang salah dan
menimbulkan keberatan dan ketidakpahaman orang Islam bersangkutan.[37]
Kedudukan
hukum Islam kemudian dirugikan melalui hukum Adat. Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 (Undang Undang Dasar Hindia Belanda)
menetapkan bahwa hukum Islam akan dianut hanya sepanjang telah diakui dalam
hukum Adat dan tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Pasal 134 Ayat (2) tersebut berdasarkan teori
receptio in complex yang menyatakan hukum
Islam tidak boleh berdiri sendiri kecuali sepanjang telah menjadi kebiasaan
hukum Adat.[38]
Dalam
rangka Indische Staatsregeling, Pemerintah
Hindia Belanda melakukan banyak perubahan terhadap Pengadilan Agama dengan
akibat wewenangnya dibatasi. Staatsblad 1931/No.53 memberikan
wewenang yang luas kepada Pengadilan Agama.
Namun demikian, Staatsblad tersebut
tidak pernah dilaksanakan.[39]
Staatsblad 1931/No.53 diganti Staatsblad 1937/No.116 tentang
Pengadilan Agama pada tingkat pertama.
Pasal 2 Ayat (1) Staatsblad 1937/No.116
mencabut wewenang Pengadilan Agama terhadap perkara kewarisan. Meskipun, secara praktek, Pengadilan Agama
masih berjalan dengan wewenang kewarisan tersebut. Staatsblad 1937/No.116 ditambah dengan Staatsblad 1937/No.610 tentang Hof
voor Islamietische Zaken (Pengadilan Agama pada tingkat banding).
Kedua Staatsblad tahun 1937 tersebut ditambah
dengan Staatsblad 1937/No.638 yo. 639
tentang Kerapatan Qadi (Pengadilan
Agama pada tingkat pertama) dan Kerapatan
Qadi Besar (Pengadilan Agama pada
tingkat banding) di Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan.[40] Staatsblad
1937/No.638 yo. 639 memberikan wewenang di bidang kewarisan kepada
Pengadilan Agama di Kalimantan.[41]
Pada tahun
1942, kebijakan Pemerintah Hindia Beland berhenti dengan kedatangan Pemerintah
Angkatan Perang Jepang. Pemerintah
Jepang tersebut mencoba perubahan luas terhadap hukum Indonesia tetapi, secara
praktek, perubahannya tidak dilaksanakan.[42]
3. Sejarah
Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia Pada Masa Kemerdekaan
Dengan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan keberlakuan UUD 1945 pada tanggal
17 dan 18 August 1945, kedudukan hukum Islam secara umum tidak diubah dan masih
berfungsi sebagai sistem hukum khusus orang Islam di bidang tertentu. Kedudukan tersebut diwujudkan ketentuan bahwa
Republik Indonesia adalah negara berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila tersebut dinyatakan dengan Pembukaan dan
Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 secara sesuai dengan Piagam Jakarta 22 Juni
1945. Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 diikuti
dengan Ayat (2) yang berbunyi, `Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu'.
Dalam
rangka ketentuan UUD 1945 tersebut, Indonesia tidak menjadi negara sekular
seperti Negara Barat dan Negara Komunisme.
Indonesia pula tidak menjadi negara agama tertentu atau negara Islam
seperti Negara Timur Tengah. Melainkan,
sila Ketuhanan Yang Maha Esa menimbulkan negara agama terbuka atau negara
dengan kebebasan beragama. Dalam negara
itu, hukum Islam tidak boleh menjadi sistem hukum untuk segala lembaga
pemerintahan atau seluruh Indonesia.
Melainkan, hukum Islam hanya mempunyai kedudukan sebagaimana ditetapkan
pada masa Belanda.
Kedudukan
hukum Islam tersebut dikukuhkan melalui keberlakuan peraturan perundangan
Belanda. Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 menetapkan `Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini'.
Dengan ketentuan
tersebut, Staatsblad 1882/No.152 yo. Staatsblad 1937/No.116, 610, 638 dan 639
diterapkan.[43] Namun demikian, ada orang yang berpendapat
UUD 1945 mengandung ketentuan baru yang mencabut teori receptio in complex sampai Pasal 134 Ayat (2) Indische Staatsregeling 1929 tidak berlaku melalui Aturan Peralihan
UUD 1945 ini.[44]
Kebijakan
Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1945 dimaksud mencapai kepastian
hukum Islam. Namun demikian, Pemerintah
Republik Indonesia tidak memberikan wewenang yang luas kepada Pengadilan
Agama. Melainkan, Pemerintah Republik
Indonesia ingin mencabut dan membatasi wewenangnya.
Usaha
mencapai kepastian hukum Islam mulai dengan UU No.22/1946. UU tersebut mengatur pencatatan nikah, talak
dan rujuk untuk orang Islam dan mencabut peraturan perundangan Belanda yang
tidak jelas.[45] Selain itu, UU No.22/1946 mengandung jadwal
penyusunan kompilasi hukum Islam.
Kekuasaan
Pengadilan Agama ditolak pada masa awal kemerdekaan. Dengan PP No.5/SD/1946 pertanggung-jawaban
terhadap Pengadilan Agama diserahkan dari Menteri Kehakiman kepada Menteri
Agama.[46] Dengan UU No.19/1948 Tentang Susunan Dan
Kekuasaan Badan Badan Kehakiman Dan Kejaksaan, Pemerintah Republik Indonesia
mencabut wewenang Pengadilan Agama.
Pasal 6 UU No.19/1948 hanya mengakui kekuasaan kehakiman dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha
negara. Pengadilan dalam lingkungan
tersebut bersifat mandiri.[47]
Selanjutnya,
Pasal 35 Ayat (2) UU No.19/1948 menyatakan, `Perkara perkara perdata antara
orang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksa dan diputus menurut
hukum agamanya harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri
atas seorang Hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang Hakim ahli
agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama
dengan persetujuan Menteri Kehakiman'.[48]
Bagaimanapun,
UU No.19/1948 tidak pernah dilaksanakan karena Angkatan Militer Belanda kembali
ke Indonesia pada tahun 1948 dan Republik Indonesia Serikat kemudian
dibentukkan.[49]
Wewenang
Pengadilan Agama kemudian diakui secara terbatas. PP No.29/1957 menyangkut Pengadilan Agama di
Aceh. PP No.29/1957 diganti dengan PP
No.45/1957. Pasal 4 Ayat (1) PP
No.45/1957 menetapkan wewenang Pengadilan Agama di luar Jawa dan Maudura. Wewenangnya tercantum perkara kewarisan. Maka, wewenangnya lebih luas daripada
Pengadilan Agama di Jawa dan Maudura yang masih didasarkan Staatsblad 1937/No.116 yo. 610.[50]
Namun
demikian, Pasal 4 Ayat (2) PP No.45/1957 membatasi wewenang Pengadilan Agama di
luar Jawa dan Maudura dengan ketentuan bahwa, `Pengadilan Agama tidak berhak
memeriksa perkara perkara tersebut dalam ayat (1) jika untuk perkara itu
berlaku lain daripada hukum Islam'.[51] Selanjutnya, ketentuan Pemerintah Hindia Belanda
tahun 1830 tentang pengesahan dan pelaksanaan putusan Pengadilan Agama oleh
Pengadilan Negeri masih berlaku.[52]
Usaha
mencapai kepastian hukum Islam berjalan dengan Surat Edaran Biro Peradilan
Agama No.B.1.735/1958. Surat Edaran
tersebut bersumber pada PP No.45/1957.
Huruf b Surat Edaran tersebut mengandung daftar kitab kitab hukum
Islam. Daftar tersebut dimaksud
dipergunakan oleh Pengadilan Agama dan menimbulkan kesatuan hukum Islam.[53]
Sejak tahun
1957, wewenang Pengadilan Agama diakui sebagai urusan kekuasaan kehakiman
secara terus-menerus. UU No.19/1964
Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman mengganti UU
No.19/1948. Pasal 7 UU No.19/1964
mengakui kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
militer, peradilan administrasi dan peradilaan Agama. Bagaimanapun, pengadilan dalam lingkungan
tersebut tidak bersifat mandiri.
Melainkan, Pasal 19 UU No.19/1964 memperbolehkan Presiden Republik
Indonesia turut campur tangan dalam soal soal Pengadilan.[54]
Oleh sebabnya,
UU No.19/1964 dicabut dan diganti dengan UU No.14/1970 Tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman.[55] Pasal 10 Ayat (1) UU No.14/1970 juga mengakui
lingkungan peradilan agama. Pengadilan
dalam lingkungan tersebut bersifat mandiri.[56] Namun demikian, Pasal 12 UU tersebut
berbunyi, `Susunan, kekuasaan serta acara dan badan badan Peradilan seperti
tersebut dalam Pasal 10 Ayat (1) diatur dalam Undang Undang tersendiri'. Pada tahun 1974, Undang Undang tentang
Peradilan Agama belum dikeluarkan.
Pemerintah
Republik Indonesia kemudian mengurangi kedudukan Hukum Islam dan Pengadilan
Agama dengan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan.
UU No.1/1974 berlaku bagi semua warga negara Indonesia. UU No.1/1974 beserta peraturan pelaksananya,
PP No.9/1975, mengakui hukum Islam di bidang perkawinan, menerima wewenang
Pengadilan Agama di bidang tersebut dan memuat ketentuan yang menjamin
keberlakuan hukum Islam.[57]
Namun
demikian, Penjelesan Umum UU No.1/1974 masih melakukan teori receptio in complex di bidang
perkawinan.[58] Teori tersebut dicabut untuk hukum Islam di
bidang kewarisan dengan Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 13 Pebruari Tahun 1975
No.172/K/Sip./1974.[59] Selain itu, Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974
sebagaimana peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda tersebut
menyatakan, `Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan
Umum'.[60]
Sejak 1974,
Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan berbagai aturan terhadap kepastian
hukum Islam maupun hukum Acara yang berlaku untuk Pengadilan Agama. Peraturan Menteri Agama No.3/1975 mengatur
hukum Acara untuk peradilan Agama di bidang perkawinan dan kewarisan. Peraturan Mahkamah Agung No.14/1977
menetapkan tata cara permohonan kasasi atas keputusan Pengadilan Agama.[61] PP No.28/1977 mengatur kompilasi hukum Islam
di bidang perwakfan tanah milik.[62] Pada tahun 1982, Keputusan Bersama Mahkamah
Agung dan Departmen Agama menetapkan manajamen dan susunan Pengadilan Agama.[63] Bagaimanapun, masih belum ada Undang Undang
tentang Peradilan Agama yang disebut dalam UU No.14/1970.
4. Peraturan
Perundangan Tentang Hukum Islam Pada Masa Kini
Dengan
peraturan perundangan tentang hukum Islam pada masa kini, wewenang yang luas
diberikan kepada Pengadilan Agama dan kepastian hukum Islam dijamin.
4.1 UU No.7/1989 Tentang Peradilan Agama
UU
No.7/1989 Tentang Peradilan Agama mengatur lingkungan tersebut secara
lengkap. UU No.7/1989 menetapkan
kekuasaan kehakiman dalam lingkungannya berupa Pengadilan Agama pada tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada tingkat banding.[64] Pasal 4 UU No.7/1989 mengatur tempat
kedudukan Pengadilan tersebut.[65]
Bab II UU
No.7/1989 menyangkut Susunan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Pasal 9 sampai dengan Pasal 48 menetapkan
syarat dan tata cara pengangkatan, pelaksanaan maupun pemberhentian tugas para
pejabat Pengadilan di lingkungan peradilan Agama, yaitu Hakim, Panitera, Juru
Sita, dan Sekretaris. Kemandirian para
hakim tersebut dilindungi.[66]
Bab III UU
No.7/1989 menetapkan ruang lingkup kekuasaan Pengadilan Agama. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi wewenang Pengadilan
Agama adalah memecahkan perkara perkara antara orang Islam di bidang a.
perkawinan,[67]
b. kewarisan,[68]
wasiat dan hibah maupun c. wakaf dan shadaqh yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam.[69] Sebagaimana demikian, UU No.7/1989 mencabut
semua peraturan perundangan Pemerintah Hindia Belanda beserta PP
No.45/1957. UU No.7/1989 pula mencabut
Pasal 63 Ayat (2) UU No.1/1974.[70] Dengan ketentuan ketentuan tersebut, wewenang
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi luas dan sama.
Bab IV UU
No.7/1989 menentukan Hukum Acara Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama. Pasal 54 menyatakan Hukum Acara
yang berlaku pada Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang telah
berlaku pada Pengadilan Umum kecuali ditetapkan lain dengan UU No.7/1989.[71]
Pasal 58
Ayat (1) mensyaratkan Pengadilan tersebut mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan-bedakan orang. Pasal 61 yo.
Pasal 63 menetapkan hak meminta banding dan kasasi kepada putusan Pengadilan
Agama. Pasal 62 menetapkan putusan
Pengadilan Agama dan Pengadilam Tinggi Agama `harus memuat alasan alasan [dan]
dasar-dasarnya dan juga harus memuat pasal pasal tertentu dari peraturan
peraturan yang bersangkutan atau sumber tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili'.[72]
4.2 Kompilasi Hukum Islam
Dalam
rangka putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) menjamin kepastian hukum Islam di Indonesia. KHI berupa ucapan tertulis ketentuan hukum
Islam melalui 229 pasal pasal terhadap bidang perkawinan, kewarisan dan
perwakafan.
KHI
berlandaskan Instruksi Presiden (InPres) No.1/1991. InPres No.1/1991 menguasakan KHI. Konsiderans
menimbang a InPres tersebut menyatakan bahwa, `Ulama Indonesia dalam Loka Karya
yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah
menerima baik tiga rancangan buku
Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Pekawinan, Buku II tentang
Kewarisan dan Buku III tentang Hukum Perwakafan' (kursif penulis). Loka Karya Ulama Indonesia tersebut berupa
hasil kerjasama Mahkamah Agung dan Kementerian Agama.[73]
Selanjutnya,
Diktum pertama InPres No.1/1991 memerintah Menteri Agama `menyerbarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, b. Buku II tentang Hukum Kewarisan; c. Buku III
tentang Perwakafan'. Maka, dengan Diktum
pertama InPres tersebut rancangan buku
KHI dikeluarkan sebagai dan menjadi buku
KHI.
InPres
No.1/1991 pula menggariskan kedudukan KHI sebagai pedoman hukum Islam untuk
lembaga pemerintahan dan masyarakat bersangkutan. Konsiderans menimbang b InPres No.1/1991
menegaskan KHI `dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah
masalah' di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Selanjuynta, Diktum pertama InPres No.1/1991
menjelaskan KHI dimaksud, `untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya'.
InPres
No.1/1991 dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama No.154/1991. Keputusan Menteri tersebut menetapkan
kedudukan KHI secara lebih lanjut sebagai pedoman hukum Islam yang perlu
diterapkan sedapat oleh instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk Pengadilan
di lingkungan Peradilan Agama.
Diktum
Pertama Keputusan Menteri tersebut menetapkan, `Seluruh instansi Departemen
Agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyerbarluaskan
Kompilasi Hukum Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan'. KHI dimaksud `untuk
digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam
menyeleasikan masalah masalah di bidang tersebut'.
Diktum
Kedua Keputusan Menteri Agama No.154/1991 menetapkan, `Seluruh lingkungan
Instansi tersebut dalam diktum pertama dalam menyelesaikan masalah masalah di
bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan
Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan
lain'.
Keputusan
Menteri Agama No.154/1991 disampaikan kepada para pejabat pemerintahan
bersangkutan termasuk Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia melalui Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Islam
No.3694/EV/HK.003/AZ/91.[74]
Kedudukan
KHI tersebut perlu dibedakan dari kedudukan peraturan perundangan. KHI tidak berupa peraturan perundangan yang
wajib dianut. Yaitu, KHI bukan
kodifikasi hukum Islam dikeluarkan melalui Undang Undang yang memuat setiap hak
atau kewajiban dalam suatu bidang hukum Islam.
Kodifikasi hukum Islam sejenis tersebut telah dilakukan di Sudan dan
Singapura.[75]
Melainkan,
KHI berupa kompilasi hukum Islam yang cuma dikuasakan atau diakui oleh
peraturan perundangan dan pada hakekatnya tidak wajib diterapkan.[76] Sebagaimana dijelaskan, pelaksanaan KHI dalam
Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama mewujudkan kesatuan dan kepastian
hukum Islam di seluruh Indonesia.[77]
5. Ketentuan
Hukum Islam di Bidang Perkawinan
Seorang
wanita yang berperkara dalam Pengadilan Agama sebagaimana diatur UU No.7/1989
menemui ketentuan hukum Islam terhadap perkawinan (Nikah dan Munakahat) yang
belum sesuai dengan CEDAW. Pengertian
perkawinan secara umum diajukan dengan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan. Pasal 1 UU No.1/1974 berbunyi, `Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita'. Pasal 1 sesuai dengan hukum Islam.[78]
Di bidang
tersebut, hukum Islam bersifat luas.
Ketentuannya menggariskan perkawinan dari peminangannya sampai
putusnya. Ketentuannya menyangkut setiap
soal dalam perkawinan seperti hak membuat ikatan perkawinan, tata cara
kelangsungan perkawinan; hak, kewajiban dan harta kekayaan suami isteri;
pemiliharaan anak (hadhonah),
perwalian maupun perceraian.
5.1 Hak Membuat Ikatan Perkawinan
Hukum Islam
memberikan hak membuat ikatan perkawinan secara belum sesuai dengan CEDAW.
Hak membuat ikatan perkawinan bersifat bebas selama syarat persetujuan,
batas usia calon mempelai dan larangan perkawinan dipenuhi. Untuk seorang pria, hak tersebut ditambah
dengan poligami. Untuk seorang wanita,
hak tersebut tidak dikurangi keadaan hamil.
Syarat
persetujuan tersebut ditetapkan UU No.1/1974 selaras dengan CEDAW. UU No.1/1974 menetapkan bahwa ikatan
perkawinan wajib didasarkan persetujuan calon mempelai pria dan calon mempelai
wanita.[79] Maka, seorang wanita berhak memasuki
perkawinan hanya dengan persetujuannya sebagaimana disyaratkan Pasal 16 Ayat
(1) huruf b CEDAW.
Batas usia
calon mempelai sebagaimana ditetapkan UU No.1/1974 melanggar CEDAW. Salah satu calon mempelai yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya atau
orang lain bersangkutan. Kalau orang tua
atau orang lain tidak sependapat, izin tersebut dapat diberikan Pengadilan
Agama.[80] Para orang tersebut atau Pengadilan Agama
hanya boleh memberikan izinnya kalau pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.[81]
Bagaimanapun,
kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita dapat mengajukan permohonan
dispensasi dari ketentuan tersebut kepada Pengadilan Agama.[82] Usia calon mempelai untuk pemberian
dispensasi tersebut tidak ditetapkan.
Melainkan, hanya baliq
disyaratkan, yaitu calon mempelai bersangkutan perlu dianggap cukup dewasa
untuk membangun rumah tangga.[83]
Perbedaan
batas usia calon mempelai pria dan wanita tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1)
huruf a CEDAW. Selain itu, dispensasi
dari batas usia tersebut bertentangan dengan CEDAW. Ada kemungkinan kuat calon mempelai
bersangkutan dipengaruhi orang tuanya sampai perkawinannya berupa pertunangan
seorang anak sebagaimana dilarang Pasal 16 Ayat (2) CEDAW.
Syarat persetujuan
dan batas usia calon mempelai ditambah dengan berbagai larangan perkawinan yang
berdasarkan berbagai hubungan antara calon mempelai, seperti hubungan darah
atau susuan. Pada kelihatannya larangan
tersebut tidak bertentangan dengan CEDAW.[84]
Poligami
diperbolehkan hukum Islam secara tidak sesuai dengan CEDAW. Hukum Islam menetapkan bahwa seorang pria
boleh beristeri lebih dari satu orang.
Poligami dibatasi sampai 4 (empat) orang isteri. Selain itu, poligami hanya diperbolehkan jika
seorang pria tersebut mampu berlaku adil pada para isteri isteri dan
anak-anaknya.[85] Menurut ajaran Islam, poligami dimaksud
melindungi wanita yang ditinggalkan bekas suaminya maupun anak yatim. Poligami pula dimaksud untuk menjauhi
kemungkinan seorang pria buat zina.[86]
Ketentuan
hukum Islam terhadap poligami diubah dengan UU No.1/1974 sebagaimana diakui
KHI. Pasal 3 Ayat (1) UU No.1/1974
menegaskan: `Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami'.
Bagaimanapun, seorang pria boleh melakukan poligami jika dia mengajukan
permohonan pada Pengadilan Agama dan mendapat izinnya.[87] Permohonan tersebut wajib mengandung
persetujuan isterinya atau isteri-isterinya yang telah ada, kepastian bahwa
pemohon bisa menjamin keperluan hidup isteri-isterinya dan anak anak mereka
maupun jaminan suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isterinya dan anak anak mereka.[88]
Pengadilan
Agama bersangkutan hanya akan memberikan ijinnya dalam keadaan bahwa isteri
yang telah ada: (i) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, atau
(ii) mempunyai cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
(iii) tidak dapat melahirkan keturunan.[89] Untuk memberikan ijinnya, Pengadilan Agama
bersangkutan wajib memanggil dan mendengar isteri tersebut.[90] Poligami yang dilakukan di luar prosedur
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.[91]
Jadi,
seorang pria hanya dapat melakukan poligami selama kepentingan isterinya yang
telah ada maupun yang mendatang dilindungi.
Tetapi seorang wanita dilarang bersuami lebih dari satu orang.[92] Perbedaan itu melanggar persamaan hak
memasuki perkawinan yang disyaratakan Pasal 16 Ayat (1) huruf a CEDAW.
Hak
melakukan ikatan perkawinan tidak dikurangi keadaan hamil secara sesuai dengan
CEDAW. Hukum Islam menetapkan bahwa
seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilnya. Pernikahan itu boleh
dilangsungkan sebelum kelahiran ankanya dan tidak perlu berulang setelah
kelahiran tersebut.[93] Jadi, tidak ada diskriminasi terhadap wanita
berdasarkan kehamilannya sebagaimana disyaratkan Pasal 16 Ayat (1) huruf a
CEDAW.
5.2 Tata Cara Kelangsungan Perkawinan
Hukum Islam
mengatur kelangsungan perkawinan melalui perbedaan antara pria dan wanita yang
pada hakikatnya melanggar CEDAW.
Kelangsungan perkawinan merupakan peminangan (Khitbah), mahar (Maskawin),
akad nikah, perjanjian perkawinan dan pencatatannya.[94]
Tata cara
peminangan dapat dianggap bertentangan dengan CEDAW. Peminangan sebagaimana ditetapkan KHI adalah
`Kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria
dengan seorang wanita'.[95] Secara tersurat, pengertian KHI tersebut
berarti peminangan boleh dilakukan oleh kedua jenis kelamin.
Namun
demikian, secara tersirat dan secara praktek peminangan hanya dilakukan seorang
pria terhadap seorang wanita.[96] Wanita yang boleh dipinangkan tercantum
wanita yang masih perawan atau seorang janda yang telah habis masa iddahnya.[97] Tetapi peminangan tidak boleh dilakukan terhadap
seorang wanita yang masih dalam masa iddahnya atau yang sedang dipinang pria
lain.[98]
Kebebasan
kedua pihak untuk memutuskan hubungan peminangan dilindungi.[99] Kebebasan tersebut wajib dilakukan dengan
`tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat'.[100] Bagaimanapun, dalam rangka peminangan yang
dilakukan pihak pria, KHI menetapkan bahwa seorang pria itu dapat memutuskan
untuk putus hubungan pinangan dengan pernyataan atau secara diam melalui
menjauhi dan meninggalkan wanitanya.
Jadi, meskipun kepentingan wanita dilindungi, peminangan berupa kegiatan
dan keputusan pria bersangkutan.
Pada
kelihatannya, hukum Islam terhadap peminangan tidak melanggar ketentuan CEDAW
di bidang perkawinan. Ruang linkup Pasal
16 CEDAW adalah pelaksanaan sampai putusnya perkawinan. Peminangan terjadi sebelum pelaksanaan
perkawinan. Tetapi pada hakikatnya,
peminangan bertentangan dengan Pasal 5 butir a CEDAW. Pasal 5 butir a CEDAW menetapkan kebiasaan
yang memberikan kedudukan kepada wanita yang lebih rendah dari kedudukan pria
perlu dihapuskan. Peminangan dalam hukum
Islam berupa kebiasaan yang mengurangi kedudukan wanita sepanjang haknya untuk
meminang sendiri tidak diperbolehkan.
Tentu saja
pelanggaran CEDAW tersebut hanya bersifat prosedural dan tidak bersifat
berat. Namun di muka hukum internasional
CEDAW wajib dilaksanakan sepenuhnya.
Jadi, pelanggaran CEDAW wajib diatasi baik jika berat atau tidak.
Kebiasaan
mahar tidak sesuai dengan CEDAW. Mahar
adalah suatu pemberian dari calon mempelai pria pada calon mempelai wanita
sebagai tanda kesetiaannya.[101] Mahar berupa kewajiban calon mempelai pria
bersangkutan.[102] Bagaimanapun, mahar tidak berupa rukun dalam
perkawinan. Maka, kelalaian terhadap
mahar tidak menyebabkan batalnya perkawinan dan tidak mengurangi sahnya.[103]
Mahar
diberikan kepada calon mempelai wanita secara langsung dan menjadi hak miliknya
sendiri.[104] Mahar boleh berbentuk barang, uang atau jasa;
meskipun KHI menetapkan bahwa mahar perlu diserahkan melalui tunai secara
diperbolehkan calon mempelai wanita.[105] Besarnya tidak dibatasi. Namun demikian, mahar harus didasarkan `asas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam'.[106] Selanjutnya, hukum Islam mengandung asas ma'ruf yang berarti bahwa mahar wajib
diberikan sesuai dengan kemampuan dan kedudukan calon mempelai pria
bersangkutan.[107]
Tentu saja
mahar tidak bersifat diskriminatif sebagaimana dilarang Pasal 2 butir f
CEDAW. Yaitu, mahar tidak dimaksud untuk
mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang
apapun berdasarkan persamaan antara pria dan wanita.[108] Melainkan, mahar berupa kebaikan calon
mempelai wanita. Selanjutnya,
sebagaimana peminangan mahar dilakukan di luar ruang lingkup Pasal 16 CEDAW.
Namun
demikian, mahar tidak sesuai dengan Pasal 5 butir a CEDAW. Di belakang mahar terdapat dugaan bahwa
peranan pria adalah pemberi sedang peranan wanita hanya penerima. Jadi, mahar dapat dianggap pelanggaran CEDAW
meskipun berupa kebaikan seorang wanita bersangkutan.
Akad Nikah
tidak melanggar CEDAW. Akad Nikah berupa
pernyataan (shighat).[109] Pernyataan tersebut dapat dibagi antara
pernyataan calon isteri (ijab) dan
pernyataan calon suami (kabul). Ijab
diucapkan wali nikah. Wali nikah ialah
wakil calon isteri dalam akad nikah.
Biasanya wali nikah terdiri atas saudara laki laki calon isteri.[110] Wali nikah dianggap rukun perkawinan. Jadi, perkawinan yang dilakukan tanpa wali
nikah tidak sah.[111] Kabul diucapkan
calon suami secara pribadi.[112] Ijab dan
kabul wajib diucapkan di hadapan dua
orang saksi. Orang saksi beragama Islam
dan dianggap rukun perkawinan sebagaimana wali nikah.[113]
Telah jelas
kedudukan pria dan wanita dalam akad nikah tidak sama. Seorang pria mengucapkan pernyataannya
sendiri sedang seorang wanita harus diwakili.
Namun, akad nikah hanya bersifat prosedural atau hanya berfungsi sebagai
tanda. Akad nikah tidak boleh dilakukan
tanpa persetujuan calon isteri.[114] Akad nikah dapat dibandingkan dengan perayaan
pernikahan orang beragama Kristen yang mana calon isteri diantar bapaknya ke
depan gereja agar diterima uaminya.
Maka, akad nikah tidak bersifat diskriminatif sebagaimana dilarang Pasal
2 butir f CEDAW dan tidak dimaksud untuk mengurangi kedudukan wanita
sebagaimana dilarang Pasal 5 butir a CEDAW.
Perjanjian
perkawinan tidak melanggar CEDAW.
Perjanjian perkawinan dibuat pada masa akad nikah.[115] Perjanjian perkawinan boleh menyangkut taklik
talak.[116] Taklik talak berupa janji seorang suami untuk
menceraikan isterinya dalam keadaan tertentu seperti suami tersebut
meninggalkan isterinya atau tidak melakukan kewajibannya.[117]
Seorang isteri berhak mengajukan gugatan perceraian berdasarkan pelanggaran
taklik talak.[118]
Selain itu,
perjanjian perkawinan boleh menyangkut harta kekayaan dalam perkawinan.[119] Perjanjian perkawinan dimaksud untuk
melindungi kepentingan pihak wanita atau kedua suami dan isteri. Jadi, perjanjian perkawinan tidak
bertentangan dengan Pasal 2 butir f, Pasal 5 butir a atau Pasal 16 CEDAW.
5.3 Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Hak dan
kewajiban suami isteri menurut hukum Islam tidak sesuai dengan CEDAW. Hak dan kewajiban tersebut merupakan
kewajiban suami isteri bersaling, kedudukan suami isteri, kewajiban suami
sendiri, kewajiban isteri sendiri dan penegakannya.
Kewajiban
suami isteri bersaling ditetapkan selaras dengan CEDAW. Suami isteri wajib menegakkan rumah tangga
yang `sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat'.[120] Rumah tangga tersebut perlu dicapai dalam
tempat kediaman yang tetap dan dipilih suami isteri bersama.[121] Selanjutnya, suami isteri wajib `saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain'.[122] Akhirnya, suami isteri wajib `mengasuh dan
memlihara anak anak maupun memelihara kehormatannya'.[123]
Kewajiban
suami isteri bersaling sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW mensyaratkan
hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan. Dalam hukum Islam, persamaan tersebut
terdapat dalam kewajiban suami isteri bersaling yang dilaksanakan bersama dan
tanpa perbedaan antara kedudukan mereka.
Kedudukan
suami isteri maupun kewajibannya sendiri melanggar CEDAW. Kedudukan suami isteri digariskan UU
No.1/1974 beserta KHI. Suami adalah
kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.[124] Namun demikian, hak dan kedudukan suami
isteri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.[125] Kedua pihak masih berhak untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri.[126]
Dengan
ketentuan tersebut, hukum Islam menegaskan bahwa suami dan isteri sederajat
meskipun mereka mempunyai kedudukan yang beda.
Perbedaan antara kedudukan mereka tersebut tidak didasarkan diskriminasi
dan tidak dimaksud untuk mengurangi kedudukan isteri. Melainkan, perbedaan tersebut adalah
pembagian tugas antara suami isteri berdasarkan sifatnya masing masing.[127] Ny. Soemiyati menjelaskan sifat
tersebut. Pria lebih rasional dan lebih
kuat. Selanjutnya, pria `tidak mudah
terpengaruh segala macam yang datang dari luar dan juga mempunyai daya berjuang
untuk hidup'.[128]
Sedangkan
wanita `dipengaruhi sifat emosional yang dapat dipakai sebagai modal untuk
melaksanakan tugas yang menuntu ketabahan dan melakukan mpemilharaan yang susah
puyah'.[129] Wanita pula bersifat `penuh kesabaran ketelitian,
perasaan yang halus dan sifat sifat inilah yang dibutuhkan merawat dan
membesarkan anak mulai dari lahir sampai menjadi manusia'.[130]
Kewajiban
suami sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan
segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.[131] Suami pula wajib memberi pendidikan pada
isterinya baik terhadap agama atau pengetahuan lain.[132] Selanjutnya, suami menanggung nafkah, kiswan
dan tempat kediaman bagi isteri. Suami
pula menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan maupun biaya pengobatan
bagi isteri dan anak.[133]
Akhirnya,
suami bertanggung jawab terhadap tempat kediaman keluarganya. Tempat kediaman itu disediakan `untuk
melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain sehingga mereka
merasa aman dan tenteram'.[134] Tempat kediaman tersebut pula `berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat
alat rumah tangga'.[135] Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya tersebut.[136] Suami yang beristeri lebih dari seorang harus
melakukan kewajibannya terhadap masing masing isterinya secara sama.[137] Dengan persetujuan para isterinya, suami
boleh menempatkan para isterinya dalam satu tempat kediaman.[138]
Kewajiban
isteri sendiri berdasarkan kedudukannya sebagai ibu rumah tangga. Kewajiban isteri adalah `berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam batas batas yang dibenarkan oleh hukum Islam'.[139] Selanjutnya, isteri `menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya'.[140] Kewajiban suami dan isteri sendiri tersebut
berdasarkan pandangan bahwa suami bertanggung jawab membayar kehidupan keluarga
sedangkan isteri hanya perlu menerima pembayaran suaminya.[141]
Kedudukan
suami isteri maupun kewajibannya sendiri melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c
CEDAW. Persamaan tanggung jawab tersebut berarti bahwa setiap
tugas dalam perkawinan boleh dilakukan baik oleh suami atau isteri menurut
pemilihannya. Misalnya, kalau seorang
suami merasa kuat dan rasional dan seorang isteri merasa emosional, suami
tersebut boleh memilihi tugas memberi keperluan hidup keluarga dan seorang
isteri boleh memilihi tugas rumah tangga.
Sebaliknya,
kalau seorang isteri merasa kuat dan rasional dan seorang suami merasa
emosional, isteri tersebut boleh memlihi tugas memberi keperluan hidup keluarga
dan suami tersebut boleh memilihi tugas rumah tangga. Ketentuan hukum Islam tidak menjamin
persamaan tersebut. Bahkan, hukum Islam
membedakan tanggung jawab suami isteri dalam perkawinan berdasarkan stereotip
terhadap sifat pria dan sifat wanita.
Penegakan
kewajiban suami dan isteri sendiri melanggar CEDAW. Kedua pihak perkawinan dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama jika salah satu pihak melalakan kewajibannya.[142] Gugatan tersebut dapat diajukan sendiri atau
dapat diajukan sebagai alasan untuk perceraian.[143]
Selain itu,
KHI menetapkan bahwa seorang suami dapat menegakan kewajiban isterinya melalui
nusyuz. Dalam keadaan bahwa seorang
isteri melalaikan kewajibannya, dia dapat dianggap nusyuz.[144] Selama dia nusyuz, seorang suami tidak wajib
memberikan nafkah, kiswan tempat kediaman maupun biaya umah tangga, biaya
perawatan dan pengobatan bagi isterinya.[145] Ketentuan seorang suami terhadap adanya
nusyuz wajib didasarkan bukti yang sah.[146]
Namun
demikian, Drs. Sudarsono berpendapat bahwa kedua pihak perkawinan boleh
dianggap nusyuz. Kalau seorang suami
dianggap nusyuz, isterinya berhak membuat perjanjian yang dimaksud untuk
memperbaiki hubungannya dengan suaminya.
Kalau seorang isteri dianggap nusyuz, suaminya wajib bertindak sebagai
berikut. Pertama, seorang suami menasehat isterinya dengan baik. Kedua,
jika isteri tersebut tidak memperhatikan suaminya, mereka harus berpisah
tidur. Ketiga, jika isteri tersebut masih tidak meperhatikan suaminya, dia
boleh memukul isterinya dengan pukulan yang tidak berat.[147]
Jadi, baik
dalam pandangan KHI maupun Drs. Sudarsono, penegakan kewajiban suami dan isteri
sendiri tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Menurut KHI, kewajiban kedua pihak perkawinan
dapat ditegakkan melalui Pengadilan Agama sedang hanya kewajiban isteri dapat
ditegakkan dengan nusyuz. Menurut Drs.
Sudarson, kewajiban suami dan kewajiban isteri dapat ditegakkan dengan
nusyuz. Namun demikian, akibat nusyuz
yang datang dari suami beda dari nusyuz yang datang dari isteri. Bagaimanapun juga, persamaan antara suami dan
isteri tidak dijamin.
Ruang
lingkup pelanggaran CEDAW tersebut tidak jelas.
Hak dan kewajiban suami isteri jarang ditegakkan dalam Pengadilan Agama
atau melalui nusyuz.[148] Ada kemungkinan alasan untuk kejarangan
tersebut adalah hak dan kewajiban suami isteri tidak sering dilakukan, tidak
dianggap penting dan maka tidak perlu ditegakkan. Dalam kemungkinan itu, pelanggaran CEDAW
dengan hak dan kewajiban suami isteri hanya berada secara hukum dan tidak
berada secara praktek.
Namun
demikian, ada kemungkinan lain hak dan kewajiban suami isteri dilakukan
sepenuhnya dan karena itu tidak perlu ditegakkan. Dalam kemungkinan itu, pelanggaran CEDAW
berada secara hukum dan juga berada secara praktek. Bagaimanapun juga, dalam rangka pelaksanaan
CEDAW sepenuhnya, pelanggaran CEDAW wajib diatasi baik kalau berupa pelanggaran
secara hukum atau pelanggaran secara praktek.
5.4 Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
Harta
kekayaan dalam perkawinan telah sesuai dengan CEDAW. Di bidang tersebut, hukum Islam tidak
bersumber pada al-Quran atau Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. melainkan
bersumber pada ijtihad.[149] Ijtihad
hukum Islam ditambah dengan UU No.1/1974.
Ajaran dan peraturan perundangan tersebut menetapkan bahwa perkawinan
pada dasarnya tidak menimbulkan percampuran antara harta suami dan harta
isteri.[150]
Dengan
perkataan lain, harta suami atau
harta isteri yang telah ada pada masa
kelangsungan perkawinan tetap menjadi hak suami atau isteri dan dikuasai penuh
olehnya.[151] Selanjutnya, harta bawaan dari suami atau isteri dalam keadaan perkawinan di
bawah penguasaan masing masing.
Akhirnya, harta diperoleh
suami atau isteri sebagai hadiah atau warisah dalam keadaan perkawinan juga di
bawah penguasaan masing masing.[152] Atas semua bentuk harta tersebut suami dan
isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.[153] Suami isteri masih berhak mengubah ketentuan
tersebut melalui perjanjian perkawinan.[154]
Harta suami
isteri masing masing tersebut tidak menutup keberadaan harta bersama.[155] Harta bersama diperbolehkan dalam berbagai
bentuk.[156] Hak suami dan hak isteri terhadap harta
bersama dilindungi. Yaitu, seorang suami
atau isteri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama tanpa
persetujuan pihak lain.[157] Lagi pula, harta bersama hanya boleh menjadi
barang jaminan untuk salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.[158] Harta bersama dibagi pada masa putusnya
perkawinan.[159] Kedua pihak perkawinan bertanggung jawab
sendiri maupun bersama untuk menjaga harta masing masing maupun harta bersama.[160]
Ketentuan
hukum Islam maupun peraturan perundangan tersebut tidak melanggar CEDAW.[161]
Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk kedua suami dan
isteri bertalian dengan harta benda.
Persamaan suami isteri tersebut dijamin hukum Islam. Suami dan isteri berhak mempunyai harta
sendiri dan harta bersama dan wajib menjaga harta tersebut tanpa perbedaan
antara kedudukan mereka.
5.5 Pemiliharaan Anak dalam Perwalian
Ketentuan
hukum Islam terhadap pemiliharaan anak bertentangan dengan CEDAW. Di bidang tersebut, ketentuan hukum Islam
merupakan syarat untuk dianggap sebagai seorang anak, kekuasaan atau kewajiban
ayah ibu terhadap anaknya dan kedudukan anak dalam keadaan perceraian.
Syarat
untuk dianggap sebagai seorang anak melanggar CEDAW. Syarat tersebut merupakan batas usia, sahnya
seorang anak maupun penegakan sahnya.
Batas usia seorang anak untuk berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua
puluh satu) tahun.[162] Batas usia tersebut gugur jika seorang anak
tidak bercacad fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.[163]
Anak yang
sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah.[164] Anak yang sah pula tercantum anak yang hasil
pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan isteri tersebut.[165] Anak yang tidak sah adalah anak yang lahir di
luar perkawinan. Anak tersebut hanya
mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[166] Aturan itu mengurangi kedudukan wanita dan
tidak bersifat adil.[167]
Sahnya
seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau putusan
Pengadilan Agama.[168] Sahnya dapat diingkari ayahnya melalui
Pengadilan Agama.[169] Selanjutnya, sahnya dapat diangkari ayahnya
melalui li'an. Li'an bersumber pada al-Quran.[170] Li'an dilakukan dalam keadaan bahwa seorang
suami mengingkari sahnya anak sedang isteri tidak menyangkalnya.[171] Li'an berupa pernyataan suami di hadapan
sidang Pengadilan Agama yang berbunyi isteri berbuat zina dan telah mengandung
atau melahirkan anak. Pernyataan
tersebut diikuti penolakan tuduhan isteri.
Li'an menimbulkan putusnya perkawinan selama-lamanya.[172]
Sahnya
seorang anak maupun penegakannya bertentangan dengan CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf d mensyaratkan hak
dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin
mereka, dalam urusan yang berhubungan
dengan anak mereka. Namun demikian,
dalam semua kasus, kepentingan anak akan diutamakan.
Dalam hukum
Islam, tanggung jawab sebagai orang tua dibedakan menurut status kawin
mereka. Sebagaimana dijelaskan, jika
orang tua tersebut telah kawin, anaknya dianggap sah dan mempunyai hubungan
nasab dengan kedua orang tuanya. Jika
orang tua tersebut belum kawin, anak itu dianggap tidak sah dan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan isterinya.
Selanjutnya, dalam penegakan sahnya seorang anak, orang tua tidak
mempunyai hak yang sama. Sahnya seorang
anak dapat diingkari ayahnya baik melalui Pengadilan Agama atau li'an sedangkan
tidak dapat diingkari ibunya.
Kewajiban
dan kekuasaan ayah ibu terhadap anaknya secara umum telah sesuai dengan CEDAW.[173] Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anaknya sebaik-baiknya.[174] Kewajiban tersebut berlaku sampai anaknya
kawin atau dewasa dan masih berlaku setelah putusnya perkawinan.[175] Kedua orang tua wajib merawat dan
mengembangkan harta anaknya. Kedua orang
tua tidak boleh memindahkan harta anaknya kecualai dalam keadaan digariskan UU
No.1/1974.[176] Kedua orang tua harus ganti rugi ditimbulkan
kelalaian mereka terhadap kewajiban tersebut.[177]
Selain itu,
kedua orang tua berkuasa untuk mewakili anaknya mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan.[178] Ayah bertanggung jawab atas biaya penyusuan
anaknya.[179]
Ketentuan tersebut telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW. Secara umum, kewajiban dan kekuasaan kedua
orang tua tidak dibedakan.
Kedudukan
anak dalam keadaan perceraian telah sesuai dengan CEDAW. Setelah putusnya perkawinan, pemeliharaan
anak dibagi antara kedua bekas pihak perkawinan sebagai berikut. Pemeliharaan anak yang belum berumur 12 (dua
belas) tahun atau dianggap mumayyiz
menjadi hak ibunya. Pemiliharaan anak
yang telah berumur 12 tahun atau sudah mumayyiz
menjadi pemilihan anak bersangkutan sendiri. Biaya pemeliharaannya masih ditanggung
ayahnya.[180]
Ketentuan
tersebut telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf d CEDAW mensyaratkan
kepentingan anak wajib diutamakan. Dalam
keadaan putusnya perkawinan, kepentingan seorang anak yang belum berumur 12
tahun dilindungi jika pemeliharannya menjadi hak ibunya. Selanjutnya, kepentingan seorang anak yang
telah berumur 12 tahun dilindungi jika dia boleh memilihi pemeliharaan ayahnya
atau ibunya dalam rangka biaya keperluan hidup yang dijamin.
Ketentuan
hukum Islam terhadap perwalian telah sesuai dengan CEDAW. UU No.1/1974 beserta KHI menetapkan setiap
soal terhadap perwalian dalam rangka persamaan antara pria dan wanita secara
sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf f CEDAW.[181]
5.6 Putusnya Perkawinan
Ketentuan
hukum Islam tentang putusnya perkawinan melalui cerai hidup melanggar
CEDAW. Di bidang tersebut, hukum Islam
berdasarkan ajaran Islam sebagaimana diubah UU No.1/1974, PP No.9/1975, UU No.7/1989 beserta KHI.
Perceraian
dalam ajaran Islam tidak sesuai dengan CEDAW.
Menurut ajaran Islam, perkawinan adalah ikatan yang bersifat
selama-lamanya. Maka, perceraian
dilarang dan menjadi sesuatu yang paling dimarahi Tuhan. Namun demikian, Islam masih menyadari
kenyataan bahwa perkawinan dapat gagal dan menjadi tidak bisa diteruskan. Oleh sebabnya, ajaran Islam memberi
kesempatan untuk perceraian dalam keadaan dan melalui acara tertentu.[182]
Seorang
suami boleh menceraikan isterinya melalui suatu ucapan atau sumpah didasarkan
alasan yang bersifat umum (talak[183]
dan ila'[184]).
Seorang suami tersebut pula boleh menceraikan isterinya dengan sumpah atau
anggapan didasarkan alasan yang berupa suatu tindak isterinya (zhihar,[185]
fahisah,[186]
nusyuz, li'an).
Sebaliknya,
seorang isteri hanya dapat menceraikan suaminya dengan persetujuannya (khuluk)[187]
atau berdasarkan perjanjian perkawinan (talik
talak). Selain itu, ajaran Islam
memperbolehkan perceraian didasarkan persetujuan kedua pihak perkawinan baik
untuk alasan umum (mubaaro'ah)[188]
maupun suatu tindak salah satu pihak perkawinan (murtad[189]
dan fasakh[190]).
Jalan
perceraian ajaran Islam melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW mensyaratkan
hak dan tanggung jawab yang sama pada putusnya perkawinan. Ajaran Islam tersebut membedakan kedudukan
suami dan isteri dan tidak menjamin persamaannya.
Jalan
perceraian ajaran Islam tersebut diubah peraturan perundangan secara sesuai
dengan CEDAW. UU No.1/1974 menetapkan
bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan pihak
bersangkutan.[191]
PP
No.9/1975 menetapkan perceraian baik diminta suami atau isteri hanya dapat
dilakukan untuk alasan sebagai berikut: Pertama,
salah satu pihak perkawinan berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.[192]
Kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama 2 (dua) tahun berturut turut tanpa ijian pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.[193]
Ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman
penjara atau pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.[194]
Keempat, salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.[195]
Kelima, salah satu pihak mendapat cacad
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau isteri.[196]
Keenam, antara suami isteri terus menerus
terjadi perseilishan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dlaam rumah tangga.[197]
Alasan PP
No.9/1975 ditambah alasan KHI. KHI
menetapkan perceraian boleh didadasarkan alasan bahwa seorang suami melanggar
taklik talak atau peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.[198]
Alasan PP
No.9/1975 beserta alasan KHI diajukan dalam rangka tata cara perceraian. Tata cara perceraian tersebut ditetapkan PP
No.9/1975 beserta UU No.7/1989. Tata
cara perceraian suami berupa permohonan talak sedangkan untuk isteri berupa
gugatan perceraian. Dahulu, prosedur
talak suami diatur PP No.9/1975 dan merupakan permohonan yang diajukan seorang
suami dan dikabulkan dengan Surat Keterengan yang dibuat Pengadilan Agama.[199] Prosedur talak tersebut jauh lebih mudah dari
prosedur gugatan perceraian isteri.[200] Oleh sebabnya, prosedur talak suami diubah UU
No.7/1989.
UU
No.7/1989 menetapkan bahwa prosedur talak suami merupakan permohonan yang
diajukan seorang suami pada Pengadilan Agama bersangkutan.[201] Permohonan tersebut wajib didasarkan alasan
PP No.9/1975 atau alasan KHI tersebut.[202] Permohonan tersebut kemudian diperiksa
Pengadilan Agama dalam rangka usaha perdamaian kedua pihak bersangkutan.[203]
Setelah
disimpulkan bahwa ada alasan untuk perceraian dan kedua pihak tidak mungkin
didamaikan, Pengadilan Agama dapat menetapkan permohonan dikabulkan.[204] Isteri bersangkutan dapat memintakan banding
maupun kasasi terhadap penetapan Pengadilan Agama. Setelah itu, cerai talak diselesaikan dengan
ucapan ikrar dan pencatatannya.[205]
Gugatan
perceraian diajukan isteri pada Pengadilan Agama bersangkutan didasarkan alasan
PP No.9/1975 beserta alasan KHI. Dahulu,
PP No.9/1975 menetapkan bahwa Pengadilan Agama tersebut adalah yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.[206] PP No.9/1975 diubah UU No.7/1989. Pengadilan Agama bersangkutan menjadi yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.[207] Perubahan tersebut dimaksud untuk melindungi
pihak wanita.[208]
Gugatan
perceraian diperiksa Pengadilan Agama.[209]
Pengadilan Agama berkuasa panggil kedua
pihak perkawinan, wakilnya maupun orang lain bersangkutan.[210] Selanjutnya, Pengadilan Agama berkuasa pada
permohonan pihak berperkara untuk menetapkan tempat kediaman suami isteri,
nafkah ditanggung suami maupun harta kekayaan suami isteri.[211]
Dalam
pemeriksaan tersebut, Pengadilan Agama berusaha mendamaikan kedua pihak
perkawinan.[212] Apabila terjadi perdamaian, `maka tidak dapat
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan alasan yang aa
sebelum perdamaian dan telah diketahu olen penggugat pada waktu dicapainya
perdamaian'.[213] Apabila tidak terjadi perdamaian, perkara
perceraian diputuskan.[214]
Suami
bersangkutan dapat meminta banding atau kasasi pada putusan tersebut.[215] Putusan tersebut kemudian diumumkan dan dalam
keadaan gugatan perceraian dikabulkan, putusnya perkawinan dicatat. Alasan maupun tata cara perceraian tersebut
telah sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW. Kedudukan suami isteri tidak dibedakan dan
persamaannya dijamin.
Bagaimanapun,
peraturan perundangan tersebut masih memperbolehkan jalan perceraian lain yang
melanggar CEDAW. Suami masih boleh
mencerakan isterinya melalui li'an
sebagaimana telah dijelaskan.[217] Sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan
suaminya melalui li'an. Dia hanya boleh mencari putusnya perkawinan
melalui gugatan perceraian biasa. Selain
itu, isteri boleh menceraikan suaminya melalui khuluk[218] dan kedua pihak perkawinan boleh
melakukan perceraian melalui fasakh.[219]
Li'an bertentangan dengan Pasal 16
Ayat (1) huruf c CEDAW.
Jalan
perceraian peraturan perundangan tersebut mengandung akibat yang melanggar
CEDAW. Pasal 41 UU No.1/1974 menetapkan
akibat putusnya perkawinan baik melalui talak atau gugatan perceraian. Akibat tersebut berupa kewajiban kedua bekas
pihak perkawinan terhadap anaknya,[220]
kewajiban bekas suami terhadap biaya pemeliharaan dan pendidikan anak itu
maupun kewajiban bekas isteri dalam keadaan suaminya melalalikan kewajiban
tersebut[221]
dan kewajiban bekas suami terhadap biaya penghidupan bekas isterinya.[222] Secara umum, ketentuan UU No.1/1974 tidak
bertentangan dengan Pasal 16 Ayat (1) huruf c CEDAW.
Ketentuan
UU No.1/1974 ditambah KHI. KHI
menetapkan pemeliharaan anak pada putusnya perkawinan sebagaimana tersebut.[223] Selanjutnya, KHI menetapkan bekas isteri
wajib mengikuti masa iddah. Masa iddah
adalah waktu tunggu yang berlaku setelah baru putusnya perkawinan. Bekas isteri selama dalam masa iddah tidak
boleh menerima pinangan atau menikah dengan pria lain.[224] Ruang lingkup masa iddah tergantung pada
jalan putusnya perkawinan.[225]
Akhirnya,
KHI menetapkan akibat khusus putusnya perkawinan melalui permohonan talak
suami. Akibat tersebut merupakan
kewajiban dan hak bekas suami. Bekas
suami wajib memberikan mut'ah atau
setengah mahar yang telah ditentukan pada bekas isterinya.[226] Bekas suami pula wajib memberi nafkah, maskan
dan kiswah pada bekas isterinya.
Kewajiban tersebut gugur apabila talak telah terjadi tiga kali (talak ba'in kubraah), didasarkan
kehendak bekas isterinya (talak ba'in
shughraa) atau bekas isterinya telah dianggap nusyuz.[227] Bagaimanapun juga, bekas suami wajib memberi
biaya hadhanah untuk anak-anakynya yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun.[228]
Bekas suami
tersebut berhak melakukan rujuk selama isterinya dalam masa iddahnya.[229] Rujuk dilakukan bekas suami tersebut di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Pada
masa hadapan itu, bekas isteri boleh mengucapkan keberatannya tentang rujuk. Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan isteri
boleh dinyastakan tidak sah oleh Pengadilan Agama.[230]
Rujuk tidak
boleh dilakukan terhadap talak bain
shughraa tetapi bekas isteri bersangkutan boleh melakukan akad nikah baru
dengan bekas suaminya.[231] Rujuk tidak boleh dilakukan terhadap talak bain kubraah dan bekas isteri
bersangkutan tidak boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas suaminya
kecuali jika telah menikah dan telah menceraiakan seorang pria lain.[232]
Ketentuan
KHI tentang akibat putusnya perkawinan melanggar Pasal 16 Ayat (1) huruf c
CEDAW. Kedudukan bekas suami dan bekas
isteri dibedakan. Masa iddah wajib
diikuti bekas isteri bukan bekas suaminya.
Rujuk boleh dilakukan bekas suami terhadap bekas isterinya tetapi tidak
boleh dilakukan sebaliknya.
6. Ketentuan
Hukum Islam di Bidang Kewarisan
Seorang
wanita yang berperkara dalam Pengadilan Agama menemui ketentuan hukum Islam
terhadap kewarisan yang melanggar CEDAW. Di bidang tersebut, ketentuan hukum
Islam bersumber pada al Quran, Sunnah beserta sumber akal manusia.[233] Sumber tersebut ditambah peraturan
perundangan. Hukum kewarisan Islam tidak
diatur peraturan perundangan secara lanjut sebagaimana perkawinan. Bahkan, hukum kewarisan Islam belum tersusun
dengan satu Undang Undang yang berlaku bagi semua warga negara seperti UU
No.1/1974.[234]
Selanjutnya,
ketentuan UU No.7/1989 tentang memperinci kewarisan sebagaimana ketentuannya
terhadap perkawinan. Pasal 49 Ayat (1)
UU No.7/1989 memberikan pada Pengadilan Agama wewenang di bidang
kewarisan. Pasal 49 Ayat (3) UU
No.7/1989 menegaskan wewenang kewarisan tersebut berupa `penentuan siapa siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut'.[235]
Sebagaimana
demikian, Pasal 54 UU No.7/1989 menetapkan bahwa hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan Negeri pula berlaku pada Pengadilan Agama `kecuali yang
telah diatur secara khusus' dengan UU No.7/1989. Ketentuan khusus tersebut hanya menyangkut
perkawinan.[236] Yaitu, tidak ada ketentuan khusus terhadap
kewarisan.[237] Akhirnya, KHI mengatur kewarisan secara
garis garis besar dalam bidang itu.[238]
Ketentuan
hukum kewarisan Islam menyangkut tiga kelompok orang: pewaris, orang yang dapat
menerima pemberian harta peninggalannya maupun orang yang berhak mendapat
bagian harta peninggalannya.[239]
Seorang
dapat menerima pemberian harta peninggalan pewaris melalui wasiat dan hibah. Wasiat adalah pemberian kepada seorang atau
lembaga yang dimaksud berlaku setelah pewaris bersangkutan meninggal dunia.[240] Pewaris hanya berhak memberikan wasiat
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujui.[241] Orang yang dapat menerima wasiat tidak
dibatasi menurut jenis kelaminnya.
Bagaimanapun, seorang ahli waris tidak boleh menjadi penerima wasiat
kecuali dengan persetujuan para ahli waris.[242]
Hibah
adalah pemberian suatu benda, `secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain atau lembaga yang masih hidup untuk dimiliki'.[243] Pewaris boleh menghibahkan sebanyak-banyaknya
sepertiga harta bendanya.[244] Biasanya, hibah dilakukan dengan persetujuan
para ahli waris.[245] Suatu benda yang dihibahkan orang tua kepada
anaknya apat diperhitungkan sebagai warisannya.[246]
Orang yang
berhak mendapat bagian harta peninggalan pewaris dikenal dengan istilah ahli
waris. Ahli waris merupakan orang yang
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris.[247] Kelompok ahli waris laki laki merupakan
golongan laki laki yang terdiri atas ayah, anak laki laki, saudara laki laki,
paman, kakek dan duda pewaris.[248] Kelompok ahli waris perempuan terdiri atas
ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan janda pewaris.[249] Dalam keadaan ada semua ahli wais tersebut,
maka yang berhak mendapat bagian harta peninggalan hanya anak, ayah, ibu, janda
atau duda.[250]
Besarnya bagian
ahli waris bersumber pada al Quran dan
ditetapkan menurut jenis kelaminnya.[251] Apabila pewaris cuma mempunyai satu anak dan
anaknya perempuan, dia mendapat separoh bagian.
Apabila pewaris tersebut mempunyai dua anak perempuan atau lebih mereka
secara bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Namun demikian, apabila anak perempuan
tersebut bersama-sama dengan anak laki laki, maka bagian anak laki laki adalah
dua berbanding satu dengan anak perempuan.[252] Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewaris dengan ubunya dan keluarga dari pihak ibunya.[253]
Orang tua
pewaris pula berhak mendapat warisan.
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak.[254] Sebaliknya, ibu hanya mendapat sepertiga
bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dan, selanjutnya, pewaris tidak
mempunyai dua orang saudara atau lebih.[255] Bila ada anak pewaris, ayah mendapat
seperenam bagian.[256] Bila ada anak atau dua orang saudara
perempuan pewaris atau lebih, ibu mendapat sepernam bagian.[257] Selain itu, ayah dan ibu pewaris bersama-sama
mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil janda atau duda.[258]
Bila
pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, seorang saudara laki
laki maupun seorang saudara perempuan pewaris masing masing mendapat seperenam
bagian. Bila ada dua orang saudara laki
laki atau dua orang saudara perempuan atau lebih, maka mereka bersama sama
mendapat sepertiga bagian.[259]
Bagaimanapun,
bila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah melainkan dia
meninggalkan seorang saudara perempuan kandung atau seayah, saudara tersebut
mendapat separoh bagian. Bila saudara
tersebut lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga
bagian. Bila saudara tersebut bersama
dengan saudara laki laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki laki
tersebut adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.[260]
Duda atau
janda berhak mendapat bagian pewaris.
Duda mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Duda hanya mendapat seperempat bagian bila
pewaris memang meninggalkan anak.[261] Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris
tidak meninggalkan anak dan hany0a mendapat seperdelapan bagian bila pewaris
memang meninggalkan anak.[262] Bagi pewaris yang beristeri lebih dari stau orang,
para jandanya berhak mendapat bagian atas gonogini dari rumah tangga dengan
suaminya.[263] Selanjutnya, para isteri mendapat sepermpat
atau seprdelapan bagian yang kemundian dibagi antara mereka masing masing.[264]
Alasan
untuk perbedaan jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam diajukan Sajuti
Thalib, SH. Menurut dia, perbedaan
tersebut perlu dilihat dalam rangka kewajiban laki laki terhadap isterinya dan
anaknya. Kalau seorang laki laki menjadi
ahli waris, bagiannya akan dipakai sebagai pemberian kepada isterinya dan
anaknya. Sebaliknya, kalau seorang
perempuan menjadi ahli waris, bagiannya akan dipakai sendiri dalam rangka
penerimaan dari suaminya atau ayahnya. Maka, ahli waris laki laki tersebut
perlu mendapat bagian yang lebih besar daripada ahli waris perempuan.[265]
Hukum
kewarisan Islam tidak sesuai dengan Pasal 16 Ayat (1) CEDAW. Pasal 16 Ayat (1)
menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan tanggung
jawab dalam hubungan kekeluargaan. Telah
jelas hukum kewarisan Islam mengurangi kedudukan wanita dan bersifat
diskriminatif.
7. Hukum Islam
dan CEDAW
Hubungan
hukum Islam dan CEDAW belum diputuskan baik dalam peraturan perundangan maupun
kebijakan Parpol dan masyarkat Indonesia.
Persoalan hukum Islam dan CEDAW dapat dibagi dengan kemampuan dan kemauan
mengubah hukum Islam agar menghapuskan diskiminasi terhadap wanita dan
melindungi haknya.
Kemampuan
mengubah hukum Islam pada dasarnya
tergantung sumbernya. Dalam keberadaan
suatu ketentuan hukum Islam bersumber pada al-Quran,
Sunnah Mutawatir atau Sunnah Masyur yang telah jelas,
ketentuan tersebut tidak boleh diubah baik jika bersifat diskriminatif,
melanggar hak wanita atau tidak.
Namun
demikian, kalau suatu ketentuan hukum Islam yang diturunkan Allah tidak jelas dan telah ditafsirkan secara
diskriminatif dan melanggar hak wanita, penafsiran baru dapat dilakukan dan
ketentuan tersebut disesuakian dengan CEDAW.
Selain itu, ketentuan hukum Islam yang berlandaskan sumber akal manusia
juga boleh diubah selaras dengan CEDAW.
Peraturan
perundangan nasional pada kelihatannya dapat mengubah ketentuan hukum
Islam. Waktu UUD 1945 berancang, Prof.
Muhammad Yamin mengajukan usulan bahwa Mahkamah Agung berhak menguji peraturan
perundangan terhadap UUD 1945, hukum Adat dan hukum Islam dan mencabut
peraturan perundangan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sistem hukum
tersebut. Jadi, peraturan perundangan
tidak boleh dikeluarkan secara tidak sesuai dengan sistem hukum Islam. Sebaliknya, ketentuan hukum Islam tidak boleh
diubah melalui peraturan perundangan nasional.
Saran Prof.
Muhammad Yamin ditolak. Tetapi sarannya
ditolak berdasarkan keberatan terhadap ruang lingkup wewenang Mahkamah
Agung. Kemampuan atau ketidakmampuan
mengubah Islam tidak disebut dan bahkan tidak ditetapkan dengan UUD 1945.[266]
Dalam masa
keberlakuan UUD 1945, peraturan perundangan nasional telah mengubah ketentuan
hukum Islam. Sebagaimana dijelaskan, UU
No.1/1974, PP No.9/1975 beserta UU No.7/1989 mengubah ketentuan hukum Islam
terhadap putusnya perkawinain dengan tujuan meningkatkan persamaan antara pria
dan wanita. Maka, ada kemungkinan bahwa
peraturan perundangan nasional dapat mengubah hukum Islam secara sesuai dengan
CEDAW.
Kemampuan
tersebut perlu ditambah dengan kemauan mengubah hukum Islam. Dalam peraturan perundangan yang telah
dikeluarkan, sikap pemerintah Indonesia terhadap perubahan hukum Islam selaras
dengan CEDAW tidak yakin. UU No.7/1984
menolak perubahan hukum Islam berdasarkan CEDAW. Penjelasannya menyatakan, `Ketentuan dalam
Konvensi ini tidak akan mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan nasional'.[267]
Selain itu,
Penjelasan UU No.7/1984 berpendapat bahwa `dalam pelaksanaannya, ketentuan
dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang
meluputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang
masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat Indonesia'.[268]
Namun,
perlu diingat bahwa UU No.7/1984 dikeluarkan pada masa Orde Baru. Dalam Era Reformasi, Undang Undang tentang
pengesahan suatu Konvensi biasanya menyatakan peraturan perundangan nasional
akan disesuaikan dengan Konvensi bersangkutan.
Tetapi Undang Undang tersebut tidak menjelaskan jika harmonisasinya
berupa peraturan perundangan nasional saja atau tercantum sistem hukum yang
berlaku di bawah peraturan perundangan nasional seperti hukum Islam.[269]
UU
No.7/1984 ditambah RANHAM yang tidak menegaskan kedudukan hukum Islam dalam
pelaksanaan CEDAW. Sebagaimana tersebut,
RANHAM menyatakan wawasan HAM di Indonesia.
Satu prinsip dalam wawasan tersebut adalah pengakuan atas kondisi
nasional. Prinsip ini berarti bahwa
dalam pelaksanaan HAM pemerintah Indonesia akan memperhatikan sepenuh `keanekaragaman
tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbaan sosial dan
ekonomi serta faktor faktor lain'. Istilah `faktor lain' kalau dibandingkan
dengan ketentuan peraturan perundangan lain mungkin termasuk agama.[271]
Selanjutnya,
Pasal 1 Ayat (2) KepPres No.129/1998 menyatakan kemajuan dan perlindungan HAM akan
dilakukan dengan `mempertimbangkan nilai nilai adat istiadat, budaya dan agama
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945'. Ketentuan
ketentuan RANHAM tersebut tidak menetapkan ruang lingkup perhatiannya
dan pertimbangannya. Yaitu, ketentuan
RANHAM tidak mengatakan hubungan antara faktor dan nilai tersebut dan HAM dan
memang tidak mengatakan yang mana gugur dalam keadaan bahwa faktor dan nilai
tersebut bertentangan dengan HAM.
Selain itu,
RANHAM menetapkan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan CEDAW
akan dilakukan.[272] Tetapi sebagaimana Undang Undang tentang
pengesahan suatu Konvensi tersebut, RANHAM tidak menjelaskan kalau peraturan
perundangan nasional tercantum hukum yang berlaku di bawah peraturan perundangan
seperti hukum Islam.
UU
No.39/1999 secara tersirat mengandung kemauan mengubah hukum Islam secara
sesuai dengan CEDAW. Pertama, ada kemungkinan UU No.39/1999
memerintah pemerintah untuk melaksanakan HAM di bidang agama. Bab V UU No.39/1999 menyangkut kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah terhadap HAM.
Pasal 71 menyatakan pemerintah
harus `menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia'.
Pasal 72
menetapkan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut `meliputi langkah
implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan negara dan bidang lain'.
Sebagaimana RANHAM, istilah `bidang lain' mungkin termasuk bidang agama.[273]
Kedua, UU no.39/1999 secara tersirat
menetapkan ketentuan hukum Islam di bidang perkawinan perlu disesuaikan dengan
CEDAW. Sebagaimana tersebut, Pasal 50
yo. Pasal 51 UU No.39/1999 menggariksan hak wanita berdasarkan CEDAW. Pasal 50 menetapkan seorang wanita yang telah
dewasa atau telah kawin `berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya'.
Pasal 51
memberikan hak dan tanggung jawab kepada seorang isteri yang sama dengan
suaminya selama dalam maupun pada putusnya perkawinan. Pasal 51 tidak mengandung pengecualian hukum
agama sebagaimana Pasal 50. Jadi, Pasal
51 secara tersirat menetapkan persamaan seorang isteri dengan suaminya dijamin baik kalau ditentukan lain oleh hukum
agamanya atau tidak.
Ketentuan
UU No.39/1999 terhadap hukum Islam tersebut dapat dibandingkan dengan
ketentuannya terhadap hukum Adat. UU
No.39/1999 menentukan hukum adat akan dihormati hanya sepanjang tidak
bertentangan dengan HAM. Pasal 6 Ayat
(1) menetapkan dalam rangka penegakan HAM, hukum adata harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah.[274]
Selanjutnya,
Pasal 6 Ayat (2) menetapkan, `Identitatas budaya masyarakat hukum adat,
termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan
zaman'. Penjelasan Atas UU No.39/1999
menetapkan Pasal 6 Ayat (2) berarti bawah hukum adat tetap dihormati sepanjang
tidak bertentangan dengan `asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan
kesejahteraan rakyat'. Dapat disimpulkan
bahwa asas asas tersebut tercantum HAM.[275]
UU
No.39/1999 tidak mengajukan alasan untuk perbedaan antara hubungan hukum Islam
dan hukum Adat dengan HAM. Ada
kemungkinan hukum Adat dapat dibatasi secara tersebut karena pada hakekatnya
hukum Adat berkembang selaras dengan HAM.
Hukum Adat berlandaskan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Kebiasaan tersebut dipengaruhi pendidikan
maupun advokasi dan mobilisasi sosial.
RANHAM menetapkan bahwa pendidikan, advokasi dan mobilisasi tersebut
akan didasarkan HAM. Jadi, hukum Adat
akan menjadi sesuai dengan HAM.
Sebaliknya,
ada kemungkinan lain hukum Islam tidak dibatasi seperti hukum Adat karena telah
mengandung ketentuan yang bertentangan dengan CEDAW dan, selama pada dasarnya,
mungkin tidak boleh diubah.
TAP MPR
No.IV/MPR/1999 Tentang Garis Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004
mengandung kemauan untuk melakukan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW yang
cukup jelas. Di bidang hukum, Arah
Kebijakan GBHN ingin `menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
[] hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender'.[276] Perkataan tersebut dapat berupa ketentuan
ahwa hukum nasional sebagaimana tercantum hukum Islam perlu diubah dengan
tujuan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita.
Kebijakan
Parpol Indonesia belum sependapat mengenai hukum Islam dan CEDAW. Partai PDI dan Golkar berpendapat bahwa hukum
Islam telah bertentangan dan perlu disesuaikan dengan HAM melalui peraturan
perundangan nasional.[277]
Partai PPP
merasa hukum Islam selalu melindungi hak hak wanita. Namun demikian, kalau memang ada hukum Islam
yang bertentangan dengan HAM ketentuannya perlu `tidak diterapkan dalam
pelaksanaan dilakukan fleksibel'.[278]
Partai PKB
menyatakan hukum Islam telah melindungi persamaan antara pria dan wanita dan
tidak perlu diubah.[279] ABRI ada pemahaman bahwa hukum Islam yang
berlaku telah dikompilasi sampai tidak bertentangan dengan HAM dan tidak perlu
diubah.[280]
Perbedaan
pendapat mengenai hukum Islam dan CEDAW hidup dalam masyarakat Indonesia
juga. Ibu Nursyahbani Katjasungkana
ialah pejabat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK.
Dia berpendapat bahwa hukum Islam pada prinsipnya tidak bertentangan
dengan CEDAW. Namun demikian, penafsiran
dari hukum Islam yang telah dikeluarkan memang bertentangan dengan CEDAW. Jadi, tidak perlu mengubah atau mencabut
hukum Islam. Melainkan, penafsiran hukum
Islam baru yang selaras dengan CEDAW perlu dibuat.[281]
Drs. Haji
Suharto M, ialah Hakim Tinggi Agama dari Pengadilan Tinggi Agama, DIY. Dia mempunyai pemahaman bahwa hukum Islam
telah melindungi persamaan antara pria dan wanita. Tentu saja hukum Islam mengandung perbedaan
antara pria dan wanita tetapi perbedaan tersebut tidak bersifat diskriminatif. Melainkan, perbedaan tersebut berupa pembagian
tanggung jawab rumah tangga atau cuma job
description yang beda. Jadi, hukum
Islam tidak perlu disesuaikan dengan CEDAW.[282]
Drs.
Sudjana, SH, ialah seorang pengacara, ketua Parpol PSII 1905 dan penulis buku
tentang hukum Islam dan Adat. Dia merasa
hukum Islam tidak bersifat dan bahkan melarang diskriminasi terhadap
wanita. Sebagaimana demikian, hukum
Islam tidak jauh dari CEDAW.
Bagaimanapun juga, hukum Islam diciptakan Allah. HAM tidak diterima sepenuhnya dalam hukum
Islam. Jadi, kecuali ketentuannya yang
telah ada, hukum Islam tidak harus disesuaikan dengan CEDAW.[283]
DAFTAR PUSTAKA
H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Amrullah Ahmad (ed.), Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.
Mohammad Daud Ali, SH, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Gratindo Persada, Jakarta, 1998.
J N D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994.
Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa Bangsa, Djambatan, Jakarta, 1989.
Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Drs. Saafroedin Bahar, Hak Asasi Manusia: Analisis Komnas HAM Dan Jajaran HANKAM / ABRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
H. Ahmad Azhar Basyir MA, Hukum Waris Islam, Bagian Penerbitan Fakulas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1998.
Drs. Cik Hasran Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998.
Drs. Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1997.
A. Rachmad Budiono, SH, MH, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
0 komentar:
Posting Komentar