Sabtu, 08 Juni 2013

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG  YURISDIKSI  TUNTUTAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET

A. Aspek Hukum Yurisdiksi Tuntutan jaksa
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Sementara itu, berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, dan menunjuk juga pada Pasal 6 a dan Pasal 6 b KUHAP.
Adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengertian jaksa menyangkut jabatan, sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi.
Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang dasar 1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Oleh karena itu, pembaharuan Undang-Undang Kejaksaan perlu dilakukan dengan membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pada Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disebutkan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;  melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
Sementara itu, dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai wewenang menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu, mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; membuat surat dakwaan;  melimpahkan perkara ke pengadilan; menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan; melakukan penuntutan; menutup perkara demi kepentingan hukum; mengadakan tindakan lain dalamlingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; melaksanakan penetapan hakim.
Di samping tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana yang tersebut dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diatas, pada pasal 32 juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara/instansi lainnya. Selain itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi pasal 33 dan pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 1 butir 7 KUHAP, menyatakan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. 
Penuntutan adalah wewenang Jaksa/Penuntut Umum, yang berdasarkan yang diatur dalam pasal 1 butir 6 KUHAP juncto pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004.  Menuntut seseorang terdakwa di muka hakim berarti menyerahkan perkara seseorang terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutus perkara pidana itu kepada terdakwa.   Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan perkara. Petunjuk yang disampaikan jaksa penuntut umum dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik tersebut yang dikenal dengan proses Pra Penuntutan (Preprosecution).  Tugas jaksa dalam melakukan Pra Penuntutan diatur dalam pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP adalah :
  1. Melakukan penelitian berkas perkara dan memberikan petunjuk guna melengkapi berkas perkara;
  2. pemantauan perkembangan penyidikan;
  3. penelitian ulang berkas perkara;
  4. penelitian tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti;
  5. serta pemeriksaan tambahan, dan lain-lain
Pada Bab XV KUHAP mengenai penuntutan, Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Penuntut umum menentukan kelengkapan  suatu perkara hasil penyidikan untuk selanjutnya  dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP.  Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penelitian berkas perkara difokuskan terhadap kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, yaitu :
1.    Kelengkapan formil, yakni kelengkapan administrasi teknis justisial yang terdapat pada setiap berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus dipenuhi oleh ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75 KUHAP, termasuk semua ketentuan kebijaksanaan yang telah disepakati oleh instansi penegak hukum dan yang telah melembaga dalam praktek penegakan hukum;
2.    Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kelengkapan materiil ialah perbuatan materiil yang dilakukan tersangka antara lain:
a.     Fakta-fakta yang dilakukan tersangka.
b.    Unsur tindak pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan.
c.    Cara tindak pidana dilakukan.
d.    Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.(Tempus Delictie dan Locus Delictie)
Selanjutnya menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum maka penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan melalui surat ketetapan yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) a KUHAP.
Pada penuntutan, dikenal 2 asas yaitu :
1.    Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas equality before the Law.
2.    Asas Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana denga jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya untuk kepentingan umum. Pada KUHAP, asas ini dikenal dengan pengesampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Hal ini dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP bahwa penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas, sehingga perwujudan asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-undanga positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi pasal 77 KUHAP dan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Maksud dari tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara yang diberi wewenang melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung.  Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah

B. Teori-Teori Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana atau strafbaar feit menurut Profesor Simons adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum[1]Profesor Simons merumuskan tindak pidana seperti diatas adalah karena[2] :
1.    Untuk adanya suatu strafbaar feit itu diisyaratkan bahwa harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dalam hal ini pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
2.    Agar sesuatu itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang.
3.    Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) meliputi unsur-unsurnya, yang dibagi menjadi dua macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.[3]  Unsur subjektif ini terdiri dari[4] :
  1. hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan;
  2. kesalahan seseorang;
Sementara itu, unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan.[5]  Dikatakan unsur objektif, jika unsur tersebut terdapat diluar si pembuat yang dapat berupa[6] :
  1. suatu perbuatan, perbuatan mana dapat berupa berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
  2. suatu akibat
  3. masalah-masalah, keadaan-keadaan, yang semuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana sebagaimana telah diuraikan di atas.  Pada tingkat internasional, ada suatu konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga  UN Drug Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang (money laundering). Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini dilakukan melalui pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) merupakan suatu tindak pidana.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.  Konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional melalui forum bilateral atau multilateral.  Sementara itu, Konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang  dapat berjalan efektif, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan  perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.  Kriminalisasi tindak pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti), proportion (terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah).
Berdasarkan Pasal 1 angka (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UUTPPU), menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.  Pada dasarnya rumusan tindak pidana pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan atas 2 (dua) kriteria yaitu tindak pidana pencucian uang itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUTPPU, dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUTPPU.  Sanksi pidana kejahatan pencucian uang diatur dalam Pasal 13 UUTPPU. 
Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial Inteligent Unit/FIU). PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian khusus dalam  memberantas tindak pidana pencucian uang.  Kewenangan PPATK, antara lain  meminta dan menerima laporan dari penyedia jasa keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan atas tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum.  

Dalam rangka mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, PPATK berwenang menerima laporan, berupa:
1.    Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh          penyedia jasa keuangan (Pasal 1 angka 6 7 dan Pasal 13 UU TPPU);
2.    Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih (Pasal 1 angka 8 dan Pasal 13UU TPPU);
3.    Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (Pasal 16 UU TPPU).

Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat melakukan kerjasama serta membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya.
Berdasarkan Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga dapat menerima informasi dari masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang, atau informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.

Pasal 8 UU TPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU TPPU, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Selain itu dalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan; penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).

Tindak pidana pencucian uang tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, tetapi juga dapat dilakukan melalui penyalahgunaan internet sebagai salah satu kemajuan teknologi informasi, antara lain melalui layanan internet banking.  Sifat money laundering menjadi universal dan bersifat transnasional yakni melintasi  batas-batas yurisdiksi negara[7]. Berarti pemahaman hukum pidana terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan asas teritorial suatu negara saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga keuangan suatu negara asal, akan tetapi juga dapat ditransfer ke negara lain dengan berbagai macam cara dan kepentingan, misalnya dengan cara pembayaran yang dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment)[8].. Kegiatan semacam ini  melibatkan   lebih dari satu hukum pidana nasional.  Bank Indonesia menyebutkan bahwa tindak pidana penyuapan, korupsi, perjudian, pemalsuan uang merupakan  pemicu money laundering. Dengan demikian Money Laundering.dikatakan sebagai kejahatan transnasional.
Kejahatan transnasional mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing, maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat internasional.  Melihat sifat kejahatan transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang termasuk dalam lingkup hukum pidana internasional.
Hukum pidana internasional sebagai disiplin  hukum memiliki dan telah memenuhi empat unsur sebagai berikut [9]:
  1. Asas hukum pidana internasional, dapat dibedakan antara asas-asas hukum hukum yang bersumber pada hukum internasional dan asas-asas hukum yang bersumber pada hukum pidana nasional. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum internasional terdiri dari asas-asas yang bersifat umum seperti pacta sunt servanda dan bersifat khusus seperti yang diungkapkan oleh Hugo Grotius yaitu asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat locus delicti terjadi dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional sebagaimana dinyatakan oleh Bassioni. Perbedaan kedua asas di atas terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan Negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. Sementara itu, asas-asas hukum pidana internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas, asas territorial, asas nasionalitas aktif dan pasif, asas universalitas, asas non retroaktif, asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut.
  2. Kaidah-kaidah hukum pidana internasional, meliputi semua ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional atau kejahatan transnasional, perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional serta ketentuan lain mengenai tindak pidana internasional.
  3. Proses dan penegakan hukum pidana internasional meliputi ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional.
  4. Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.

Pada perkembangannya, Edward M. Wise, menyatakan bahwa pengertian hukum pidana internasional bukan merupakan pengertian yang kaku dan pasti karena dalam pengertian luas meliputi tiga topik sebagai berikut [10]:
  1. Topik pertama mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap kasus-kasus yang mengandung unsur asing, termasuk diantaranya masalah ekstradisi.
  2. Topik kedua mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan yang bersumber dari konvensi dan perjanjian internasional yang menyangkut masalah tindak pidana pencucian uang.
  3. Topik ketiga mengenai keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk instrument-instrumen yang mendukung penegakan hukum pidana internasional tersebut.
Istilah kejahatan transnasional menunjukan adanya kejahatan yang sebenarnya bersifat nasional namun mengandung unsur asing atau lintas batas negara.  Kejahatan itu sebenarnya terjadi dalam batas wilayah suatu negara (nasional), tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau terkait dengan kejahatan tersebut.  Pada praktiknya terdapat banyak faktor yang menyebabkan adanya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan, baik pelakunya, korbannya, tempat terjadinya kejahatan atau perpaduan unsur-unsur  tersebut.
Ada beberapa dimensi yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan kejahatan transnasional, yakni[11] :
  1. Tempat terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara atau lebih yang terkait dengan kejahatan itu.
  2. Korban suatu kejahatan nasional tidak semata-mata dalam wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.
  3. Kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah negara yang bukan warganegaranya.
Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan transnasional,  yaitu[12] tempat terjadinya kejahatan, kewarganegaraan  pelaku dan atau korbannya, korban yang berupa harta benda bergerak dan atau benda tidak bergerak milik pihak asing, Perpaduan antara butir 1,2 dan 3, tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum umat manusia
Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya, antara lain [13]:
  1. Asas legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana nasional beberapa negara, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana nasional.
  2. Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain undang-undang tidak berlaku surut.
  3. Asas culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya telah dapat dibuktikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu.
  4. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), menegaskan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti.
  5. Asas ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.

Asas-asas yang diuraikan di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan transnasional.  Pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas legalitas termuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang asas legalitas di atas, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan (3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (KUHP) yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum internasional. 
Kejahatan terorganisir adalah suatu jenis kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh para mafia dalam suatu jaringan yang terorganisir rapi pada suatu organisasi bawah tanah, baik mafia preman maupun mafia intelek yang melakukan berbagai jenis kejahatan dengan tujuan akhir yaitu mencari uang, baik dilakukan melalui bisnis gelap atau terang-terangan[14].  Kejahatan terorganisir (organized crime) harus dibedakan dengan kejahatan organisasi (organizational crime), karena yang dimaksud dengan organizational crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh organisasi, baik berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan organized crime adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kegiatan utama yang berlawanan dengan hukum (pidana) dengan tujuan mencari keuntungan secara ilegal dengan menggunakan kekuasaan yang tidak sah, melakukan pemerasan, bahkan manipulasi finansial[15].  Contoh kejahatan terorganisir antara lain pencucian uang, mafia pembobolan bank, peredaran gelap narkoba,  dan sebagainya.  Oleh karena itu, tindak pidana pencucian uang juga berkaitan dengan kejahatan terorganisir  dan melibatkan lebih dari suatu negara sehingga dianggap sebagai kejahatan transnasional.
Berbicara mengenai kejahatan transnasional, tentu berkaitan pula dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.  Pada kasus-kasus yang merupakan kejahatan transnasional diperlukan adanya kerja sama antarnegara untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang timbul baik di Negara Peminta maupun Negara Diminta.  Untuk memberikan dasar hukum yang kuat mengenai kerja sama antarnegara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana diperlukan perangkat hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian dan melaksanakan permintaan bantuan kerja sama dari negara asing. Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang yang mengatur beberapa asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan bantuan, serta proses hukum acaranya.  Asas atau prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam Undang-Undang di atas didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antar negara yang dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada perjanjian, maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik.  Undang-Undang ini tidak memberikan wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang, pengalihan narapidana, atau pengalihan perkara.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 termaksud mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan, bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.

0 komentar:

Posting Komentar