BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG
YURISDIKSI TUNTUTAN DAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG MELALUI INTERNET
A. Aspek Hukum Yurisdiksi Tuntutan jaksa
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai
Jaksa Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Sementara
itu, berdasarkan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Penuntut Umum
adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan
dan melaksanakan penetapan hakim, dan menunjuk juga pada Pasal 6 a dan Pasal 6
b KUHAP.
Adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengertian jaksa menyangkut jabatan, sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi.
Adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengertian jaksa menyangkut jabatan, sedangkan Penuntut Umum menyangkut fungsi.
Kejaksaan termasuk salah satu badan
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang dasar
1945. Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang
dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
Oleh karena itu, pembaharuan Undang-Undang Kejaksaan perlu dilakukan dengan
membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Pada Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disebutkan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
Pada Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disebutkan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
Sementara itu, dalam Pasal 14 KUHAP
disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai wewenang menerima dan memeriksa berkas
perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu, mengadakan
prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan
ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik; memberikan perpanjangan penahanan,
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; membuat surat dakwaan; melimpahkan perkara ke pengadilan;
menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan; melakukan
penuntutan; menutup perkara demi kepentingan hukum; mengadakan tindakan lain
dalamlingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan
undang-undang ini; melaksanakan penetapan hakim.
Di samping tugas dan wewenang
kejaksaan di bidang pidana yang tersebut dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 diatas, pada pasal 32 juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat
diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan
penegak hukum dan keadilan serta badan negara/instansi lainnya. Selain itu
kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya, sesuai dengan bunyi pasal 33 dan pasal 34 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pasal 1 butir 7 KUHAP, menyatakan
bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan adalah wewenang Jaksa/Penuntut Umum, yang berdasarkan yang diatur
dalam pasal 1 butir 6 KUHAP juncto pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004. Menuntut seseorang terdakwa di
muka hakim berarti menyerahkan perkara seseorang terdakwa dengan berkas perkara
kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutus
perkara pidana itu kepada terdakwa.
Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan
perkara. Petunjuk yang disampaikan jaksa penuntut umum dalam rangka
penyempurnaan penyidikan oleh penyidik tersebut yang dikenal dengan proses Pra
Penuntutan (Preprosecution). Tugas jaksa
dalam melakukan Pra Penuntutan diatur dalam pasal 138 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP adalah :
- Melakukan penelitian berkas perkara dan memberikan petunjuk guna melengkapi berkas perkara;
- pemantauan perkembangan penyidikan;
- penelitian ulang berkas perkara;
- penelitian tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti;
- serta pemeriksaan tambahan, dan lain-lain
Pada Bab XV KUHAP mengenai penuntutan, Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu
tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan
yang berwenang mengadili. Penuntut umum menentukan kelengkapan suatu perkara hasil penyidikan untuk
selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan.
Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP.
Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penelitian berkas perkara difokuskan
terhadap kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, yaitu :
1.
Kelengkapan
formil, yakni kelengkapan administrasi teknis justisial yang terdapat pada setiap
berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus dipenuhi oleh ketentuan hukum
yang diatur dalam Pasal 121 dan Pasal 75 KUHAP, termasuk semua ketentuan
kebijaksanaan yang telah disepakati oleh instansi penegak hukum dan yang telah
melembaga dalam praktek penegakan hukum;
2.
Kelengkapan
materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang
diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kelengkapan materiil ialah perbuatan
materiil yang dilakukan tersangka antara lain:
a.
Fakta-fakta yang dilakukan tersangka.
b.
Unsur
tindak pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan.
c.
Cara
tindak pidana dilakukan.
d.
Waktu
dan tempat tindak pidana dilakukan.(Tempus Delictie dan Locus Delictie)
Selanjutnya menurut Pasal 140 ayat (1)
KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika
menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara
ditutup demi hukum maka penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan
penuntutan melalui surat ketetapan yang diatur dalam Pasal 140 ayat (2) a
KUHAP.
Pada penuntutan, dikenal 2 asas yaitu
:
1.
Asas
Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan
penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini
merupakan penjelmaan dari asas equality before the Law.
2.
Asas
Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk
tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum
pidana denga jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya
untuk kepentingan umum. Pada KUHAP, asas ini dikenal dengan pengesampingan
perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Hal ini
dinyatakan dalam penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP bahwa penghentian penuntutan
tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung. KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas,
sehingga perwujudan asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat
dalam kenyataannya perundang-undanga positif di Indonesia, yaitu penjelasan
resmi pasal 77 KUHAP dan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung
mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Maksud dari tujuan undang-undang
memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan
timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas,
sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara yang diberi wewenang
melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung. Menurut penjelasan Pasal 35 huruf c UU No.16
Tahun 2004, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
B. Teori-Teori Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak pidana atau strafbaar
feit menurut Profesor Simons adalah suatu tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum[1].
Profesor Simons merumuskan tindak pidana seperti diatas adalah karena[2] :
1.
Untuk adanya suatu strafbaar feit itu diisyaratkan
bahwa harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh
undang-undang, dalam hal ini pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
2.
Agar sesuatu itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut
harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam
undang-undang.
3.
Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap
larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan
suatu tindakan melawan hukum
Setiap tindak pidana yang
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) meliputi unsur-unsurnya,
yang dibagi menjadi dua macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan
dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya.[3]
Unsur subjektif ini terdiri dari[4] :
- hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang
terhadap perbuatan yang telah dilakukan;
- kesalahan seseorang;
Sementara itu, unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari
pelaku itu harus dilakukan.[5] Dikatakan unsur objektif, jika unsur tersebut
terdapat diluar si pembuat yang dapat berupa[6] :
- suatu perbuatan, perbuatan mana dapat berupa berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
- suatu akibat
- masalah-masalah, keadaan-keadaan, yang semuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana
sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada
tingkat internasional, ada suatu konvensi the
United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and
Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga UN Drug
Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan
pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan
pencucian uang (money laundering).
Berdasarkan konvensi ini, pemerintah Indonesia telah meratifikasinya dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini dilakukan melalui
pembuatan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang menyatakan bahwa pencucian uang (money
laundering) merupakan suatu
tindak pidana.
Selanjutnya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003. Konsideran Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan
nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas,
antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau internasional
melalui forum bilateral atau multilateral.
Sementara itu, Konsideran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menyatakan
bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan efektif, maka Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan
perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar
internasional. Kriminalisasi tindak
pidana berpedoman kepada sifat hukum pidana, yaitu clarity (jelas), certainty (pasti),
proportion (terukur), speedy (cepat) dan prevention (bersifat mencegah).
Berdasarkan Pasal 1
angka (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut
UUTPPU), menyebutkan bahwa pencucian uang adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah. Pada dasarnya rumusan tindak pidana pencucian
uang dalam UUTPPU dapat dibedakan atas 2 (dua) kriteria yaitu tindak pidana
pencucian uang itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UUTPPU,
dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UUTPPU. Sanksi pidana kejahatan pencucian uang diatur
dalam Pasal 13 UUTPPU.
Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang, UU TPPU membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
suatu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PPATK
pada dasarnya adalah unit intelijen keuangan (Financial Inteligent Unit/FIU).
PPATK dibentuk karena keharusan adanya keahlian khusus dalam memberantas tindak pidana pencucian
uang. Kewenangan PPATK, antara lain meminta dan menerima laporan dari penyedia
jasa keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau
penuntutan atas tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada
penyidik atau penuntut umum.
Dalam rangka mendeteksi terjadinya tindak pidana
pencucian uang, PPATK berwenang menerima laporan, berupa:
1.
Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang
disampaikan oleh penyedia jasa
keuangan (Pasal 1 angka 6 7 dan Pasal 13 UU TPPU);
2.
Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa
keuangan tentang transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah
kumulatif Rp 500 juta atau lebih (Pasal 1 angka 8 dan Pasal 13UU TPPU);
3.
Laporan yang disampakan oleh Direktorat Jenderal
Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah
negara Republik Indonesia sejumlah Rp 100 juta atau lebih (Pasal 16 UU TPPU).
Selanjutnya dalam proses penegakan hukum, PPATK dapat
melakukan kerjasama serta membantu pihak penyidik dan penuntut umum dengan
informasi yang dimiliki dan kemampuan analisisnya.
Berdasarkan Keppres No.82 Tahun 2003, PPATK juga dapat menerima informasi dari
masyarakat yang terindikasi telah melakukan tindak pidana pencucian uang, atau
informasi dari pihak ketiga baik perorangan maupun entitas mengenai dugaan
tindak pidana pencucian uang oleh sesuatu pihak.
Pasal 8 UU TPPU menyebutkan bahwa Penyedia Jasa
Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UU TPPU, dipidana dengan pidana
denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Selain itu dalam Pasal 6 UU TPPU diatur pula bagi setiap orang yang menerima
atau menguasai : penempatan; pentransferan; pembayaran; hibah; sumbangan;
penitipan atau penukaran, harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah).
Tindak pidana pencucian
uang tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, tetapi juga dapat
dilakukan melalui penyalahgunaan internet sebagai salah satu kemajuan teknologi
informasi, antara lain melalui layanan internet banking. Sifat money
laundering menjadi universal dan bersifat transnasional yakni
melintasi batas-batas yurisdiksi negara[7]. Berarti pemahaman hukum pidana
terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan asas teritorial suatu negara
saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari
tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga
keuangan suatu negara asal, akan tetapi juga dapat ditransfer ke negara lain
dengan berbagai macam cara dan kepentingan, misalnya dengan cara pembayaran
yang dilakukan melalui bank secara elektronik (cyberpayment)[8].. Kegiatan semacam ini melibatkan
lebih dari satu hukum pidana nasional.
Bank Indonesia menyebutkan bahwa tindak pidana penyuapan, korupsi,
perjudian, pemalsuan uang merupakan
pemicu money laundering.
Dengan demikian Money Laundering.dikatakan
sebagai kejahatan transnasional.
Kejahatan transnasional
mengandung pengertian bahwa kejahatan tersebut mengandung unsur asing,
maksudnya dalam pelaksanaan kejahatan itu melibatkan pihak-pihak dari negara
lain, yang terkadang merupakan sebuah jaringan kejahatan termaksud, dengan kata
lain kejahatan transnasional bersifat terorganisir dan merugikan masyarakat
internasional. Melihat sifat kejahatan
transnasional tersebut, maka tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan
transnasional ini tiada lain juga sebuah kejahatan yang termasuk dalam lingkup
hukum pidana internasional.
Hukum pidana internasional
sebagai disiplin hukum memiliki dan
telah memenuhi empat unsur sebagai berikut [9]:
- Asas hukum pidana internasional, dapat dibedakan antara asas-asas hukum hukum yang bersumber pada hukum internasional dan asas-asas hukum yang bersumber pada hukum pidana nasional. Asas-asas hukum yang bersumber pada hukum internasional terdiri dari asas-asas yang bersifat umum seperti pacta sunt servanda dan bersifat khusus seperti yang diungkapkan oleh Hugo Grotius yaitu asas au dedere au punere yang berarti terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat locus delicti terjadi dalam batas teritorial suatu negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mewakili pelaku tersebut. Selain itu, terdapat asas au dedere au judicare yang berarti bahwa setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerja sama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut serta mengadili pelaku tindak pidana internasional sebagaimana dinyatakan oleh Bassioni. Perbedaan kedua asas di atas terletak pada pemahaman dan persepsi mengenai kedaulatan Negara, namun demikian kedua asas tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling mengisi. Sementara itu, asas-asas hukum pidana internasional juga bersumber pada asas-asas hukum pidana nasional yaitu asas legalitas, asas territorial, asas nasionalitas aktif dan pasif, asas universalitas, asas non retroaktif, asas ne bis in idem dan asas tidak berlaku surut.
- Kaidah-kaidah hukum pidana internasional, meliputi semua ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional atau kejahatan transnasional, perjanjian-perjanjian internasional, baik bilateral maupun multilateral mengenai kejahatan internasional serta ketentuan lain mengenai tindak pidana internasional.
- Proses dan penegakan hukum pidana internasional meliputi ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional.
- Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional.
Pada perkembangannya,
Edward M. Wise, menyatakan bahwa pengertian hukum pidana internasional bukan
merupakan pengertian yang kaku dan pasti karena dalam pengertian luas meliputi
tiga topik sebagai berikut [10]:
- Topik pertama mengenai kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap kasus-kasus yang mengandung unsur asing, termasuk diantaranya masalah ekstradisi.
- Topik kedua mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam hukum pidana nasional atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan yang bersumber dari konvensi dan perjanjian internasional yang menyangkut masalah tindak pidana pencucian uang.
- Topik ketiga mengenai keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk instrument-instrumen yang mendukung penegakan hukum pidana internasional tersebut.
Istilah kejahatan
transnasional menunjukan adanya kejahatan yang sebenarnya bersifat nasional
namun mengandung unsur asing atau lintas batas negara. Kejahatan itu sebenarnya terjadi dalam batas
wilayah suatu negara (nasional), tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan
negara-negara lain, sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang
berkepentingan atau terkait dengan kejahatan tersebut. Pada praktiknya terdapat banyak faktor yang
menyebabkan adanya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan,
baik pelakunya, korbannya, tempat terjadinya kejahatan atau perpaduan unsur-unsur tersebut.
Ada beberapa dimensi yang
dapat dijadikan pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan
kejahatan transnasional, yakni[11] :
- Tempat terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang bersangkutan tetapi menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada kepentingan satu negara atau lebih yang terkait dengan kejahatan itu.
- Korban suatu kejahatan nasional tidak semata-mata dalam wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat di wilayah negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.
- Kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya adalah negara yang bukan warganegaranya.
Selain itu, terdapat beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan
transnasional, yaitu[12]
tempat terjadinya kejahatan, kewarganegaraan
pelaku dan atau korbannya, korban yang berupa harta benda bergerak dan
atau benda tidak bergerak milik pihak asing, Perpaduan antara butir 1,2 dan 3,
tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan kesadaran hukum
umat manusia
Pada proses penegakan hukum dalam menanggulangi
kejahatan transnasional tidak terlepas dari ketentuan hukum yang berlaku di
negara-negara tersebut serta penerapan beberapa asas-asas hukum pidana nasional
dari negara-negara yang pada dasarnya tidak berbeda antara satu dengan yang
lainnya, antara lain [13]:
- Asas legalitas, merupakan asas utama dalam hukum pidana nasional beberapa negara, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu undang-undang pidana nasional.
- Asas non-retroactive sebagai turunan asas legalitas, yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat diberlakukan terhadap perbuatan yang terjadi sebelum peraturan perundang-undangan itu berlaku, atau dengan kata lain undang-undang tidak berlaku surut.
- Asas culpabilitas, yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya telah dapat dibuktikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu.
- Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent), menegaskan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan pasti.
- Asas ne/no bis in idem, menyatakan bahwa orang yang telah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan mengikat dan pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan untuk kedua kalinya atau lebih atas kejahatan atau tindak pidana tersebut.
Asas-asas yang diuraikan
di atas, telah terkandung dalam ketentuan hukum pidana di Indonesia, termasuk
dalam ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap tindak pidana pencucian uang
sebagai kejahatan transnasional. Pada
hukum pidana yang berlaku di Indonesia, asas legalitas termuat dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP, asas non-retroactive dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang asas
legalitas di atas, asas culpabilitas terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), (2) dan
(3) KUHP, asas praduga tak bersalah termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dan asas no/ne bis in idem terkandung dalam Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang
Nomor 73 Tahun 1958, terdapat beberapa asas yang berkaitan dengan penerapan
hukum pada kejahatan transnasional antara lain : Pasal 2 sampai dengan Pasal 9
KUHP mengenai lingkup berlakunya hukum pidana terutama Pasal 9 KUHP yang
menetapkan bahwa berlakunya hukum pidana nasional dibatasi oleh ketentuan hukum
internasional.
Kejahatan terorganisir
adalah suatu jenis kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh para mafia dalam
suatu jaringan yang terorganisir rapi pada suatu organisasi bawah tanah, baik
mafia preman maupun mafia intelek yang melakukan berbagai jenis kejahatan
dengan tujuan akhir yaitu mencari uang, baik dilakukan melalui bisnis gelap
atau terang-terangan[14].
Kejahatan terorganisir (organized crime) harus dibedakan dengan
kejahatan organisasi (organizational crime), karena yang dimaksud dengan
organizational crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh organisasi,
baik berbentuk badan hukum atau non badan hukum, sedangkan organized crime
adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki kegiatan
utama yang berlawanan dengan hukum (pidana) dengan tujuan mencari keuntungan
secara ilegal dengan menggunakan kekuasaan yang tidak sah, melakukan pemerasan,
bahkan manipulasi finansial[15].
Contoh kejahatan terorganisir antara lain pencucian uang, mafia
pembobolan bank, peredaran gelap narkoba,
dan sebagainya. Oleh karena itu,
tindak pidana pencucian uang juga berkaitan dengan kejahatan terorganisir dan melibatkan lebih dari suatu negara
sehingga dianggap sebagai kejahatan transnasional.
Berbicara mengenai kejahatan
transnasional, tentu berkaitan pula dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Pada kasus-kasus yang merupakan kejahatan
transnasional diperlukan adanya kerja sama
antarnegara untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang timbul baik di
Negara Peminta maupun Negara Diminta.
Untuk memberikan dasar hukum yang kuat mengenai kerja sama antarnegara
dalam bentuk bantuan timbal balik dalam masalah pidana diperlukan perangkat
hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk
membuat perjanjian dan melaksanakan permintaan bantuan kerja sama dari negara
asing. Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang yang mengatur beberapa
asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan bantuan, serta proses
hukum acaranya. Asas atau prinsip
bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam Undang-Undang di atas
didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antar negara yang
dibuat, serta konvensi dan kebiasaan internasional. Bantuan timbal balik dalam
masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada
perjanjian, maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Undang-Undang ini tidak memberikan wewenang
untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, penangkapan atau penahanan
dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang, pengalihan narapidana,
atau pengalihan perkara.
Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 termaksud
mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah
pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya
yang antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan
permintaan, bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk
mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.
0 komentar:
Posting Komentar