BAB IV
KAJIAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
Dalam pengaturan di Undang-Undang Perbankan, keterkaitan
dengan pembentukan RUU tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) terdapat pada LKM yang berbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dalam
Undang-Undang Perbankan, pengaturan mengenai BPR merujuk pada beberapa pasal,
yaitu: Pasal 13, Pasal 16, Pasal 19, dan Pasal 29. Dalam Pasal 13 Undang-Undang
Perbankan, usaha BPR meliputi:
- menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
- memberikan kredit;
- menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.;
- menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain.
Selanjutnya dalam melakukan kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan wajib, Pasal 16 Undang-Undang Perbankan
menyatakan bahwa BPR terlebih dahulu memperoleh izin usaha Bank Perkreditan
Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana
dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang‑undang tersendiri, dimana
persyaratan yang wajib dipenuhi paling sedikit memuat:
a.
susunan
organisasi dan kepengurusan;
b.
permodalan;
c.
kepemilikan;
d.
keahlian
di bidang Perbankan;
e.
kelayakan
rencana kerja.
Selanjutnya, menurut Pasal 29 Undang-Undang Perbankan,
pembinaan dan pengawasan BPR dilakukan oleh Bank Indonesia, dimana terkait ini,
BPR wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,
dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati‑hatian.
2. Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Dalam hal LKM yang dibentuk berupa koperasi, yang dalam hal ini bentuk koperasi
yang sesuai dengan LKM adalah koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam
koperasi, pengaturan dalam Undang-Undang Koperasi yang perlu menjadi perhatian
untuk diharmonisasi atau disinkronisasi dalam wacana pembentukan Undang-Undang
LKM adalah beberapa ketentuan pasal
sebagai berikut, yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 9, dan Pasal 44 Undang-Undang
Perkoperasian.
Dalam hal pendirian LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam, menurut
Pasal 9 Undang-Undang Koperasi,
memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh
Pemerintah. Selanjutnya, dalam Pasal 44 Undang-Undang Perkoperasian menyatakan
bahwa dalam menjalankan usahanya, Koperasi dapat melaksanakan usaha simpan
pinjam, dengan cara menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha
simpan pinjam dari dan untuk:
a. anggota
Koperasi yang bersangkutan;
b. Koperasi lain
dan/atau anggotanya.
Pada prinsipnya, pengaturan mengenai kegiatan Koperasi Simpan Pinjam atau
unit simpan pinjam koperasi belum diatur secara detil dalam undang-undang
tersendiri, namun sebagai peraturan pelaksana telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi. Substansi-substansi pokok yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 memuat definisi
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), bentuk organisasi, pendirian, permodalan, dan
pembinaan. Definisi KSP menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 adalah koperasi yang
kegiatannya hanya usaha simpan pinjam. Bentuk organisasi dari KSP menurut Pasal
2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1995 dinyatakan bahwa kegiatan usaha
simpan pinjam hanya dilaksanakan oleh Koperasi Simpan Pinjam atau Unit Simpan
Pinjam, dimana bentuk keduanya dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi
Sekunder. Selanjutnya, dalam hal pendirian,
menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1995, dinyatakan bahwa Pendirian Koperasi Simpan Pinjam
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan
dan tata cara pengesahan Akta Pendirian dan perubahan Anggaran Dasar Koperasi.
Dimana permintaan pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam diajukan
dengan tambahan lampiran:
a.
rencana kerja sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun;
b.
administrasi dan pembukuan;
c.
nama dan riwayat hidup calon Pengelola;
d.
daftar sarana kerja.
3. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Sebagaimana Telah
Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Menjadi
Undang-Undang.
Pada prinsipnya LKM yang berbentuk BPR, menjadi obyek dalam Undang-Undang
LPS. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang LPS, yang menyatakan bahwa Bank adalah
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Perbankan. Mengingat hal itu, maka ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang LPS berlaku pula untuk BPR, yang di satu sisi merupakan salah
satu bentuk dari LKM. Adapun beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang LPS
yang perlu menjadi perhatian bagi pembentukan Undang-Undang LKM, khususnya LKM
yang berbentuk BPR, yaitu ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang LPS.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang LPS, dinyatakan bahwa setiap
Bank, termasuk diantaranya BPR, yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Negara
Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan. Namun demikian kewajiban
ini tidak termasuk Badan Kredit Desa. Selanjutnya untuk melengkapi kewajiban
BPR sebagai peserta penjaminan, dalam Pasal 9 Undang-Undang LPS, BPR wajib
a. menyerahkan dokumen sebagai berikut:
1) salinan
anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank;
2) salinan
dokumen perizinan bank;
3) surat
keterangan tingkat kesehatan bank yang dikeluarkan oleh LPP yang dilengkapi
dengan data pendukung;
4)
surat
pernyataan dari direksi, komisaris, dan pemegang saham bank, yang memuat:
- komitmen dan kesediaan direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk mematuhi seluruh ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan LPS;
- kesediaan untuk bertanggung jawab secara pribadi atas kelalaian dan/atau perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha bank;
- kesediaan untuk melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hak, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan apabila bank menjadi Bank Gagal dan diputuskan untuk diselamatkan atau dilikuidasi;
b.
membayar kontribusi kepesertaan sebesar
0,1% (satu perseribu) dari modal sendiri (ekuitas) bank pada akhir tahun fiskal
sebelumnya atau dari modal disetor bagi bank baru;
c. membayar premi Penjaminan;
d. menyampaikan laporan secara berkala dalam
format yang ditentukan;
e. memberikan
data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan
Penjaminan; dan
f. menempatkan bukti kepesertaan atau
salinannya di dalam kantor bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui
dengan mudah oleh masyarakat.
4.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM)
Dalam kaitannya
dengan pembentukan LKM, dalam Undang-Undang UMKM terdapat beberapa ketentuan
pasal yang perlu menjadi perhatian, terutama terkait dengan definisi usaha
mikro dan pembiayaan, kriteria usaha mikro, dan pembiayaan bagi usaha mikro,
yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11, Pasal 6 ayat 1, Pasal
21, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang UMKM.
Definisi usaha mikro yang terdapat dalam
Pasal 1 angka 1 adalah Usaha Mikro
adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Sedangkan pembiayaan, yang merupakan kunci pelaksanaan LKM dalam usaha mikro,
menurut Pasal 1 angka 11 didefinisikan sebagai penyediaan dana oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan
lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang UMKM, menyatakan kriteria suatu usaha mikro meliputi sebagai
berikut:
a.
memiliki kekayaan
bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b.
memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Terkait dengan pembiayaan untuk usaha mikro,
dalam Pasal 21 Undang-Undang UMKM, menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah
Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro. Selain itu, Badan Usaha Milik
Negara dapat pula menyediakan pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan
yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dalam bentuk pemberian pinjaman,
penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya. Masih terkait dengan pembiayaan
untuk usaha mikro, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha dapat
memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber
pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.
Selain itu pula, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif
dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana,
dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepada dunia usaha yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha
Mikro.
Selanjutnya, dalam Pasal 22
Undang-Undang UMKM, menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan sumber
pembiayaan Usaha Mikro, Pemerintah melakukan upaya:
- pengembangan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;
- pengembangan lembaga modal ventura;
- pelembagaan terhadap transaksi anjak piutang;
- peningkatan kerjasama antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah; dan
- pengembangan sumber pembiayaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan untuk
meningkatkan akses Usaha Mikro, dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang UMKM,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah:
- menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank;
- menumbuhkan, mengembangkan, dan memperluas jangkauan lembaga penjamin kredit; dan
- memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Sebagaimana Telah Diubah Terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Tentang
Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Undang-Undang BI)
Wacana
pembentukan Undang-Undang LKM terkait dengan beberapa Undang-Undang. Dalam hal
keterkaitannya dengan Undang-Undang Bank Indonesia dapat dilihat dari materi
Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, yang diatur dalam Pasal 24 sampai dengan
Pasal 35 Undang-Undang BI, yang merupakan salah satu tugas BI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang BI, selain menetapkan dan melaksanakan
kebijaksanaan moneter dan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
Pada prinsipnya tugas mengatur dan mengawasi
bank, dilakukan oleh BI terhadap semua kriteria yang didefinisikan bank menurut
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang BI, yaitu termasuk BPR dan BPRS, yang mana
merupakan salah satu jenis LKM berbentuk bank.
Dalam hal
pengawasan terhadap BPR maupun BPRS, berdasarkan amanat Undang-Undang BI, ke
depan akan dibentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen,
dan dibentuk dengan Undang‑undang. Namun demikian sepanjang lembaga pengawasan
tersebut belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan BPR/BPRS dilaksanakan
oleh Bank Indonesia, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35
Undang-Undang BI.
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemerintahan Daerah)
Dalam hal
keterkaitan pembentukan Undang-Undang LKM dengan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah dapat dilihat pada lembaga kemasyarakatan di desa dan badan usaha milik
desa. Lembaga kemasyarakatan di desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211
Undang-Undang Pemerintah Daerah dapat berfungsi untuk membantu pemerintah desa dan merupakan mitra
dalam memberdayakan masyarakat desa, yang salah satunya lembaga perbedayaan
masyarakat desa yang menyalurkan pembiayaan
berbentuk keuangan mikro.
Selanjutnya
untuk mengembangkan potensi dan kebutuhan desa, menurut Pasal 213 Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa, yang pendiriannya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Badan usaha milik desa ini dalam
prakteknya dapat berbentuk Badan Kredit Desa, Badan Usaha Kredit Pedesaan dan
bentuk-bentuk lainnya, yang dalam operasionalisasinya dapat menyalurkan
kredit/pembiayaan mikro.
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah (Undang-Undang Perbankan Syariah)
Sama halnya
dengan Undang-Undang Perbankan, keterkaitan Undang-Undang Perbankan Syariah
dengan pembentuan Undang-Undang LKM terletak pada LKM yang berbentuk bank.
Dalam Undang-Undang Perbankan Syari’ah keterkaitan itu terdapat pada Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang dalam operasionalisasinya menyalurkan
pembiayaan mikro.
Dalam Pasal 1
angka 9 Undang-Undang Perbankan Syariah, definisi BPRS adalah Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan untuk pembinaan dan pengawasan terhadap
BPRS, menurut Pasal 50 Undang-Undang Perbankan Syariah, dilakukan oleh Bank
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar