Hubungan
antara Ilmu dan Teknologi, kebudayaan
Kekhususan
ilmu dibandingkan pengetahuan terletak pada kemampuan manusia untuk menyadari
pengetahuan yang diperolehnya secara spontan dan langsung itu serta membuatnya
teratur dalam suatu sistem, sehingga bila orang lain menanyakan, ia bisa
menerangkan dan mempertanggungjawabkan. Dengan perkataan lain, pengetahuan-pengetahuan
yang telah ada dikumpulkan, lalu diatur dan disusun sehingga masuk akal dan
bisa dimengerti orang lain.
Proses
sistematisasi pengetahuan menjadi ilmu biasanya melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
- Tahap perumusan pertanyaan sebaik mungkin.
- Merancang hipotesis yang mendasar dan teruji
- Menarik kesimpulan logis dari pengandaian-pengandaian.
- Merancang teknik men-tes pengandaian-pengandaian.
- Menguji teknik itu sendiri apakah memadai dan dapat diandalkan.
- Tes itu sendiri dilaksanakan dan hasil-hasilnya ditafsirkan.
- Menilai tuntutan kebenaran yang diajukan oleh pengandaian-pengandaian itu serta menilai kekuatan teknik tadi.
- Menetapkan luas bidang berlakunya pengandaian-pengandaian serta teknik dan merumuskan pertanyaan baru.
Ilmu
adalah sistematisasi, metodis dan logis. Pengetahuan disistematisasikan menjadi
ilmu bisa lewata induksi dan deduksi.
Penelitian
adalah penyaluran hasrat ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan. Penelitian
memegang peranan dalam:
Ø Membantu manusia memperoleh
pengetahuan baru.
Ø Memperoleh jawaban suatu pertanyaan.
Ø Memberikan pemecahan atas suatu
masalah.
Fungsi
penelitian adalah membantu manusia meningkatkan kemampuannya untuk
menginterpreatasikan fenomena-fenomena masyarakat yang kompleks dan
kait-mengait sehingga fenomen itu mampu membantu memenuhi hasrat ingin manusia.
Ciri berpikir ilmiah adalah skeptik, analitik, kritis.
Ilmu
pengetahuan mendorong teknologi, teknologi mendorong penelitian, penelitian
menghasilkan ilmu pengetahuan baru. Ilmu pengetahuan baru mendorong teknologi
baru.
(Sutarjo,
1983)
- Hubungan
antara Ilmu dengan Etika
Pada sub-bagian ini kita akan membahas manusia
sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri
dari Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah
bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam
agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan
thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan
realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal,
hati nurani (JRakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu
sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk
tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat
dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang
destruktif. Milsanya, dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah
sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu nafsu angkara murka
yang mengendalikan tindak manusia dalam menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan
ilmu pengetahuan. Dari hal tersebut, kebaikan yang diperoleh manusia adalah
nihil. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan
ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego”
maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis,
pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut
etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena
dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif,
maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id”
(libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang
akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan
mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to),
benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah
tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di
bawah filsafat moral (Soewardi, 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan
berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu,
etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan
yang pelaksananya (eksekutor) tidak ditunjuk. Eksekutor-nya menjadi jelas
ketika sang subyek berhadapan pada opsi baik atau buruk, dimana yang baik
itulah yang menjadi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.
- Hubungan
antara Ilmu dengan Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil karya manusia, yang meliputi
hasil akal, rasa, dan kehendak manusia. Oleh karena itu maka kebudayaan tidak pernah berhenti, terus
berlangsung sepanjang jaman, merupakan suatu
proses yang memerlukan waktu yang
panjang untuk memenuhi keinginan manusia untuk lebih berkualiatas.
Apabila kebudayaan adalah hasil karya manusia, maka
ilmu sebagai hasil akal pikir manusia juga merupakan kebudayaan. Namun ilmu
dapat dikatakan sebagai hasil akhir dalam perkembangan mental manusia dan dapat
dianggap sebagai hasil yang paling optimal dalam kebudayaan manusia.
Unsur
kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan
yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Dengan adanya unsur
tersebut, kebudayaan di sini lebih mengandung makna totalitas dari pada sekedar
penjumlahan unsur-unsur yang terdapat didalamnya. Oleh karena itu dikenal
adanya unsur-unsur yang universal yang melahirkan kebudayaan universal. Menurut
C. Kluckhohn ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal, yaitu sistem religi
dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
sistem mata pencarian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, serta
kesenian. (Widyosiswoyo, 1996).
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan.Untuk
mendapatkan ilmu diperlukan cara-cara
tertentu, memerlukan suatu metode dan mempergunakan sistem, mempunyai obyek formal dan obyek material. Karena
pengetahuan adalah unsur dari kebudayaan, maka ilmu yang merupakan bagian dari
pengetahuan dengan sendiriya juga merupakan salah satu unsur kebudayaan (Daruni,
1991).
Selain ilmu merupakan unsur dari kebudayaan, antara
ilmu dan kebudayaan ada hubungan pengaruh timbal-balik. Perkembangan ilmu
tergantung pada perkembangan kebudayaan, sedangkan perkembangan ilmu dapat memberikan pengaruh
pada kebudayaan. Keadaan sosial dan kebudayaan, saling tergantung dan saling
mendukung. Pada beberapa kebudayaan, ilmu dapat
berkembang dengan subur. Disini ilmu mempunyai peran ganda yakni:
1. Ilmu
merupakan sumber nilai yang mendukung
pengembangan kebudayaan.
2. Ilmu
merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak bangsa
(Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar
V)
- Hubungan
antara Ilmu dengan Krisis Kemanusiaan
Suatu
kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah
adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup.
Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup,
memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak
sukar lagi untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa
kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu
kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh,
hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran
mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan
perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat
modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih
untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak)
yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah
kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan.
Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup
oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan.
Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan
tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia.
Dalam
masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai
ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah
ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang
lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan
teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir
tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama
manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.
Ilmu
merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial,
namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat
ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.
Pertama,
filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu; obyek apa
yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari
landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan
sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu
mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan
yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Menurut
Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan,
ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang
penyangga yang kedua adalah Epistimologi ilmu atau teori
pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan
lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan
demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran
penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula
tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu
pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan
perumusan berikutnya.
Kecenderungan
yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu
pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian
tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia,
sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan
dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri
yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah
yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari
kecenderungan yang pertama.
Kedua
kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam
keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan,
kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat
diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah
batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang
mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi
akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur
sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang
kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi
pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Kedua
kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu
dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran
akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan
perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan
kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu
bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih
berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Tiang
penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu
yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan
kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal
memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang
sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan
lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain
sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah
ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah
terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai
bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan
kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif
yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus
diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan
kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang
terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap
ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah
bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan
berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab
moral.
Untuk
lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan
mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari
definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa pemasalahan
yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.
Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika
adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di
dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan
norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena
disekelilingnya.
Nilai itu
objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisis.
Dengan
demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai
subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Nilai itu
objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan
haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan
eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur
kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada
proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai
objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan
nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai
adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran
ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk
itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa
berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara
ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai mana yang baik dan yang
buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan
moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok
yang menakutkan.
Etika
keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk
kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat
mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan
kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan
apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok
persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah
moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang
bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan
tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada
pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria
pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi
ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan
nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling
utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang.
Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut
etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi
penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan
ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa
teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya.
Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu
sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh
karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat,
yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu
pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab
seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia
harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang
lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan.
Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran
secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka
seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan
kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada
masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai
seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Tentang
tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan
para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan
pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan
ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra
untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah
sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian
yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya
para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk
menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi
ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan
beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu
pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas
sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain
sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat
manusia secara keseluruan.
Dalam
perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang
kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa
hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan
manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu
pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi
objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
telah melahirkan mahluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala
tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang
semakin hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah
menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Dalam
realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika
prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada
kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua
dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang
bersifat materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan
universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi
karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan
kemandirian.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat ilmunya
sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah
sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan
perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama
yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan
perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap
ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan
manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
- Hubungan
antara Teknologi dengan Etika
Secara umum, etika menuntut kejujuran dan dalam
iptek ini berarti kejujuran ilmiah (scientific
honesty). Mengubah, menambah, dan mengurangi data demi kepentingan tertentu
termasuk dalam ketidakjujuran ilmiah. Mengubah dan menambah data dengan rekaan
sendiri dapat dimaksudkan agar kurvanya memperlihatkan kecenderungan yang
diinginkan. Mungkin penelitinya sendiri yang menginginkan agar hasil
penelitiannya sesuai dengan teori yang sudah mapan. Mungkin penaja (sponsor)
peneliti itu yang ingin menonjolkan citra produk industrinya. Mereka-reka data
semacam itu merupakan the sin of
commission. Sebaliknya membuang sebagian data yang “memperburuk” hasil
penelitian adalah the sin commission.
Penghapusan data yagn “jelek” itu mungkin dimaksudkan oleh penelitinya agar
analisis datanya memperlihatkan keterandalan (realibility) yang lebih baik. Lebih jahat lagi kalau dosa komisi
itu dilakukan untuk menyembunyikan efek samping yang negatif dari produk yang
diteliti. Ketidakjujuran ilmiah semacam ini pernah dilakukan peneliti yang
ditaja pabrik penyedap rasa (monosodium
glutamate) di Thailand .
Kalau data yang dibuang itu dinilai sebagai
penyimpangan dari kelompok yang sedang diteliti, dan karenanya harus ikut
diolah, kejujuran ilmiah menuntut penjelasan tentang penghapusannya. Perlu juga
disebutkan patokan yang dipakai untuk menentukan ambang nilai data yang harus
ikut dianalisis, misalnya patokan Chauvenet.
Sekarang umat manusia menghadapi masalah-masalah
yang sangat serius, yang menyangkut teknologi dan dampaknya pada lingkungan.
Kenyataan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang etika:
- Norma-norma etika (dan agama) yang seperti apakah yang harus kita patuhi dalam penelitian di bidang bioteknologi, fisika nuklir dan zarah keunsuran, serta astronomi dan astrofisika?
- Dalam penelitian kedokteran dan genetika, apakah arti kehidupan?
- Dalam penelitian dampak teknologi terhadap lingkungan, bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam, baik yang nirnyawa (the inanimate world) maupun yang bernyawa.
- Apakah masyarakat yang baik itu, dan dapatkah dikembangkan pengertian yang universal tentang kebaikan bersama yang melampaui individualisme, nasionalisme, dan bahkan antroposentrisme?
Dalam bioteknologi (termasuk rekayasa genetika) dan
kedokteran, pertanyaan tentang arti, mulai dan berakhirnya kehidupan sangat
penad (relevant). Apakah orang yang
berada dalam keadaan koma dan fungsi faal serta metabolismenya harus
dipertahankan dengan alat-alat kedokteran elektronik dalam jangka panjang yang
tidak tertentu masih mempunyai kehidupan yang berarti ? Tak bolehkah ia minta
(misalnya sebelum terlelap dalam keadaan seperti itu), atau diberi, euthanasia berdasarkan informed consent dari keluarganya yang
paling dekat? Ini mengacu ke arti dan berakhirnya kehidupan. Mulainya
kehidupan, penting untuk diketahui atau ditetapkan (dengan pertimbangan ilmu
dan agama) untuk menentukan etis dan tidaknya menstrual regulation (“MR”) dan aborsi, terutama dalam hal indikasi
medis dari risiko bagi ovum yang telah dibuahi dan terlebih-lebih lagi bagi
ibunya, kurang meyakinkan.
Bioteknologi/rekayasa genetika mungkin hanya boleh
dianggap etis jika tingkat kegagalannya yang mematikan embrio relative rendah
dan – bila menyangkut manusia – hanya mengarah ke eugenika negatif. Tanaman dan organisme harus disikapi dengan
hati-hati, baik dari segi perkembangan jangka panjangnya yang secara antropo
sentries mungkin membahayakan kehidupan kita, maupun dari segi pengaturannya
dalam tata hukum dan ekonomi internasional yang biasanya lebih menguntungkan
negara-negara maju. Etiskah untuk mematenkan organisme dan tanaman yang telah
diubah secara genetic (genetically
modified)? Adilkah itu dan apakah itu tidak mengancam kelestarian plasma
nutfah? Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan agihan (distributive justice). Pengagihannya
bukan hanya secara spatial, tetapi
juga secara temporal. Dimensi
spatiotemporal dari keadilan distributive ini tersirat dalam pengertian
tentang “pembangunan yang terlanjutkan” (sustainable
development) menurut Gro Harlem Brundtland.
teman - teman kesulitan untuk belajar komputer karena kesibukan? kini kami memfasilitasi kursus komputer jarak jauh via online, silahkan kunjungi website kami di asianbrilliant.com, ilmu komputer, AutoCad 2 Dimensi, master Animator, After Effect
BalasHapus(o)
iya..
BalasHapussama-sama..
sering-sring mampir aja ya..