EKSISTENSI HASIL-HASIL
RISET
DALAM
REGIM PATEN
Bagian ini akan membahas perihal hakekat dari
hasil-hasil riset yang dilindungi dalam regim paten. Mengapa ia harus
dilindungi? Bagaimana rasionalisasi, dan justifikasi teknisnya? Apa yang kita
maksudkan dengan hasil-hasil riset yang dilindungi dalam regim paten ini?
bagaimana cakupan perlindungannya, serta kerangka hukum dan cara
pengidentifikasian atau penelusuran dan penentuan hasil-hasil riset yang dapat
dilindungi dalam regim paten.
3.1. Doktrin Inventor: Konsep
Dasar Pengapresiasian Kreatifitas dan Produktifitas dalam Pengembangan
Hasil-Hasil Riset
Konsep dasar dalam pengapresiasian dan
pengembangan hasil-hasil riset tidak dapat dilepaskan dari risalah
pengkonstruksian perlindungan hukum bagi kreatifitas dan produktifitas manusia.
Konsep ini dapat ditelusuri dari ajaran Lockean yang menjadi landasan filosofis
bagi pemvalidasian eksistensi sebuah kreatifitas yang saat ini dikenal dengan
HAKI. Konsepsi dasar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) bersumber pada
proposisi yang dipostulasikan oleh John Locke[1],
filosof Inggris abad ke XVII. Inti gagasan proposisi tersebut menempatkan hak
milik sebagai hak yang melekat (inherent)
pada kepribadian individu[2].
Setiap orang memiliki hak untuk mempertahankan hidup dengan karya fisik, ide,
kreativitas dan derivat-derivatnya. Jika seseorang mengkombinasikan karya
manusiawinya, dengan obyek-obyek alamiah dan menambahkan sesuatu dari dirinya,
maka secara otomatis hasilnya merupakan bagian dari kekayaannya[3],
dan tidak dapat dihilangkan dari dirinya tanpa seizinnya[4].
Untuk itu, semua manusia memiliki
hak-hak alamiah tertentu dan untuk menikmati hak-hak tersebut tidak memerlukan
izin dari pemerintah[5].
Proposisi ini sesungguhnya menggambarkan proses interaksi (structural
coupling) antara manusia dan alam sebagai syarat minimal untuk hidup
manusiawi. Namun demikian, seluruh derivat dari structural coupling itu
seharusnya tidak membatasi orang lain dalam melakukan atau menikmati derivat
tersebut secara wajar.
Deskripsi di atas membimbing kita pada kesimpulan yang
mengkualifikasi hak milik intelektual sebagai hak kodrat[6]
dan ia harus diberikan perlindungan sebagai bagian dari hak kodrat yang
dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan demikian ia dapat dikategorikan
ke dalam nilai-nilai universal yang harus dihormati oleh manusia sebagai subyek
hukum.
3.2. Rasionalisasi dan Justifikasi
Tekhnis atas Hak Paten
Saat ini, teknologi sebagai produk paten telah menjadi
salah satu komoditi yang paling strategis dalam perdagangan internasional. Ia
memainkan peranan yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini
karena hampir semua kebutuhan manusia dalam abad modern ini berasal dari
produk-produk yang lahir dari kemampuan intelektual manusia[7] di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara teoritis, Masami Hanabusa mencoba
menjustifikasi dan dengan meletakkan dasar rasionalitas keberadaan paten
melalui pengidentifikasian beberapa fungsi hukum paten, seperti fungsi
kebijakan: (i) tekhnis, (ii) hak milik industri, dan (iii) fungsi kebijakan
industrial[8].
Secara tekhnis, hukum paten –dengan standar tertentu-
mengevaluasi terciptanya ide tekhnis yang bermanfaat secara industrial, dan
memberikan paten, monopoli hukum atau kekuatan hukum yang eksklusif bagi
inventor. Hukum paten, pertama menentukan sebuah penemuan apakah ia mengandung
kreatifitas atasu tidak, seberapa besar kreatifitas dari ide tekhnis dan juga
membangun suatu standar untuk mengevaluasi perubahan dari suatu kreasi
sebelumnya (prior art), i.e.
kreatifitas[9].
Berdasarkan fungsi hak milik industri, hak untuk
mendapatkan paten, hak paten, dan label (branched) atau hak-hak derivatif (derrivatives
right), dalam hal ini, pemberian lisensi eksklusif ataupun non eksklusif
merupakan basis penting bagi aktifitas industrial dalam masyarakat ekonomi.
Oleh karena itu, substansi hak tersebut seharusnya dipublikasikan secara resmi
dan dan bentuk atau model prosedurnya harus distandarisasi dalam upaya menjamin
keamanan transaksi[10].
Dalam hal ini, hukum paten diperlukan untuk memberikan perlindungan dan
pemanfaatan hak dalam upaya memperoleh hak paten. Selanjutnya, berdasarkan
fungsi kebijakan industri, hukum paten difungsikan oleh pemerintah untuk (i)
melindungi dan memanfaatkan penemuan, dan (ii) mendorong penemuan.
Mengingat pentingnya teknologi dan hubungannya dengan
hak ekonomi dan hak asasi manusia, beberapa ahli memformulasikan dan mengkaji
rasionalitas dari perlindungan paten. Pada tahun 1950, Fritz Machlup dan Edith
Penrose dalam bukunya An Economic Review
of the Patent System, mengidentifikasi empat teori yang menjustifikasi
perlindungan paten:
(i)
natural law[11],
(ii)
reward by
monopoly[12],
(iii)
monopoly-profit-
incentive[13], dan
(iv)
exchange for
secrets[14].
Tampaknya teori tersebut tidak dapat dipisahkan, oleh
karena itu, ia harus diinterpretasi secara simultan. Hal ini disebabkan karena
masing-masing teori mengandung keterbatasan –baik secara tekhnis ataupun
konseptual- dalam memvalidasi perlindungan HAKI –paten-. Teori Hukum Alam dan
Imbalan melalui Monopoli (natural law and
reward by monopoly theories) dikritisi,
karena kedua teori tersebut hanya memperkuat kepentingan inventor semata yang
dapat mengimplikasikan monopoli permanen atau abadi; dan memungkinkan ciptaan
yang bebas, mandiri dan menekankan pada ex
post facto justice, bukan pada insentif untuk menciptakan sesuatu[15].
Begitu pula, teori incentive by monopoly dan monopoly exchange for secrets' theories lebih menekankan pada kepentingan masyarakat dan insentif semata, bukan
pada reward atau imbalan. Selain itu, perkembangan industri yang
diadvokasi oleh teori yang terakhir ini sangat tergantung pada keterbukaan
rahasia pada penemuan[16].
3.2. Definisi, Pengertian, dan
Lingkup Perlindungan
Hukum paten dapat didefinisikan sebagai serangkaian
norma yang memberikan perlindungan hukum bagi kreatifitas dan produktifitas
manusia yang lahir dari kemampuan intelektualnya di bidang teknologi, mainstream hukum hak milik industri. Terminologi
ini mengandung pemahaman dan ruang lingkup yang luas. Ia tidak hanya dapat
diterapkan pada bidang industri dan perdagangan saja, tetapi juga bidang
pertanian, extractive industries, dan produk-produk manufaktur[17].
Konsep paten menempatkan hak eksklusif sebagai inti
dari hak paten. Ia adalah hak monopoli terbatas atas teknologi yang digambarkan
dalam dokumen paten, kepada inventor yang pertama kali dan mempublikasikan
penemuan yang memberikan kontribusi bagi kemajuan teknologi dan industri[18]. Ia
menawarkan monopoli kepada pengembang atas produk atau proses yang bermanfaat. Lebih
tepatnya, paten adalah hak eksklusif atau hak hukum untuk mencegah pihak ketiga
dari membuat, menggunakan, atau menjual setiap penemuan yang dikonstruksi dalam
klaim paten[19]. Secara
substansial, hak eksklusif diberikan oleh Negara kepada inventor untuk
melaksanakan penemuannya atau memberikan kewenangan kepada orang lain untuk
melaksanakannya dalam period waktu tertentu[20]. Hak
eksklusif ini memuat prinsip utama paten[21] yang
memberikan perlindungan hukum bagi inventor atau pemegang paten untuk
melaksanakan penemuannya dalam jangka waktu 20 tahun untuk paten stadar[22] dan
10 tahun untuk paten sederhana[23].
3.3. Kerangka Hukum bagi
Perlindungan Hasil Riset
Aturan dan sumber hukum paten ini dapat ditemukan baik
pada tataran internasional maupun nasional. Indonesia terikat oleh kewajiban
internasional untuk melindungi paten. Pembukaan undang-undang paten menyatakan
keanggotaan Indonesia
dalam the World Trade Organisation termasuk Trade related on Intellectual
Property Rights (TRIPs), The Paris Convention for the Protection of Industrial
Property, dan the Patent Cooperation Treaty as consideration to promote the
Patent Act[24]. Akibatnya , Indonesia
harus menyesuaikan ketentuan nasionalnya dengan perjanjian-perjanjian
internasional tersebut[25].
Beberapa ciri yang terdapat dalam system
perundang-undangan di Indonesia biasanya difokuskan pada prinsip-prinsip hukum
dan cenderung memuat konsep yang umum dan luas. Selain itu, norma-norma
tersebut tidak diatur secar rinci, sehingga membuka ruang interpretasi. Begitu
pula halnya dengan beberapa perundang-undangan di bidang informasi, pengetahuan
dan teknologi di Indnoesia, seperti UU No. 14 Tahun 2001, tentang Paten, UU
No.18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kedua undang-undang pokok tersebut belum
diikuti oleh aturan pelaksanaan yang rinci tentang pemanfaatan teknologi,
seperti alih teknologi, licensing, dan lain-lain.
Oleh karena itu, untuk menjamin keakurasian dan
kepastian hukum, pemerintah memberlakukan aturan-aturan pelaksanaan[26] yang
menjabarkan isi undang-undang pokok di bidang paten. Hal yang perlu dicermati
dalam memberikan perlindungan hukum adalah keluwesan peraturan agar dapat
diperbaharui dan dikembangkan terus menerus agar dapat mengakomodir perubahan
dan tuntutan masyarakat. Lebih jauh, peranan hakim dalam menafsirkan
undang-undang dan aturan pelaksanaannya merupakan suatu kebutuhan yang mendesak
dalam menegakkan system hukum paten secara memadai.
Secara normative dan lebih rinci, kerangka
perlindungan hukum bagi hasil-hasil riset yang telah dipatenkan dapat ditemukan
dalam ketentuan pasal 16, 17 dan 19 Undang-undang No. 14 Tahun 2001. Dari
pasal-pasal tersebut terlihat jelas bahwa system paten di Indonesia selain
memberikan hak dan kewenangan penuh pemegang paten untuk membuat, menjual,
mengimpor, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan[27],
juga memberikan hak untuk melarang orang lain untuk membuat atau mengimpor produk
yang dipatenkan ke dalam wilayah dimana produk itu telah dipatenkan atau
diproduksi[28].
Dalam hal terjadinya pelanggaran, sebuah paten
dikatakan telah dilanggar, jika seseorang menggunakan atau memanfaatkan hak
eksklusif si pemegang paten. Undang-undang Paten Indonesia menempatkan hak eksklusif
ini sebagai isu inti dalam hal terjadinya pelanggaran. Pasal 16 UU Paten Indonesia
memberikan inventor hak eksklusif untuk mengeksploitasi invensinya dan
mengalihkan atau mengkuasakan kepada orang lain untuk mengeksploitasinya.
Berdasarkan undang-undang, terminology eksploitasi ini mencakup produk[29]
dan proses paten.[30]
Salah satu tahapan yang paling krusial dalam konteks
ini adalah tahapan dalam menentukan pelanggaran. Pertama, mengidentifikasi dan
mengenal isi dan deskripsi dari penemuan tersebut, selanjutnya dari deskripsi
tersebut, kita dapat memutuskan apa atau bagian mana atau unsur apa dari paten yang dilanggar. Oleh
karena itu, seorang pemegang paten harus merinci spesifikasi yang rinci[31] dari
penemuan tersebut unsure yang dilindungi dari invensi tersebut menjadi lebih
jelas. Konstruksi klaim dalam spesifikasi tersebut harus dinyatakan secara
detail dan jelas. Setiap bagian dari klaim yang dinyatakan seharusnya
dirumuskan dalam kata-kata yang jelas dan akurat (fairly based on the matter described)[32], karena
klaim merupakan bagian dari aplikasi, yang menjelaskan inti invensi yang harus
dilindungi[33]. Tahapan
terpenting dalam menentukan pelanggaran paten adalah bagaimana mengkonstruksi
makna dari klaim yang bersangkutan dan kemudian dibandingkan dengan tindakan
yang dinyatakan atau dituduhkan dalam pelanggaran tersebut. Dengan demikian ia
dapat dilihat apakah tindakan tersebut masuk ke dalam makna yang dimaksud dalam
klaim tersebut.[34]
Dalam menguji pelanggaran, sebuah klaim
diinterpretasikan dalam konteks yang paling luas.[35] Ini
berarti, bahwa klaim tidak semata-mata mengacu pada kata-kata yang lengkap, tetapi
juga mempertimbangkan essensi atau tujuan dari klaim tersebut.[36] Konsep
spesifikasi ini pertama kali diinspirasi oleh Lord Diplock dalam Catnic Components Ltd v Hill and Smith Ltd[37] , yang menegaskan pentingnya beberapa
elemen substansial, seperti: (i) kata-kata klaim yang diuji oleh para ahli
dalam bidang yang terkait[38],
(ii) invensi utama yang berkaitan dengan klaim, (iii) spesifikasi yang tidak
hanya memuat detail invesi, tetapi juga tujuan dari konstruksi paten. Lebih
jauh, dari kasus the Clarkv Adie (1877) 2
App Cas 315, kita dapat mempelajari bahwa terdapat tiga cara dalam menentukan pelanggaran:
(i) dimana keseluruhan spesifikasi itu digunakan; (ii) dimana substansi atau 'pith and marrow' dari invensi tersebut
digunakan; dan (iii) dimana subordinate invensi dapat terjadi dalam invensi
yang besar[39].
3.4. Pengidentifikasian
Hasil-Hasil Riset dalam Rezim Paten
Pengidentifikasian hasil-hasil riset dalam rezim paten
ini mensyaratkan indicator normative guna menentukan apakah hasil riset itu
dapat dikonstruksi sebagai suatu penemuan yang dapat dilindungi atau tidak[40].
Konsep penemuan ini tidak dapat dipisahkan dari konsep teknologi dalam hukum
paten. Dalam hal ini, teknologi mensyaratkan adanya level kreatifitas dan dapat
merespon tuntutan /kebutuhan masyarakat[41].
Berkaitan dengan konsep diatas, maka sudah
sepatutnyalah jika hasil-hasil riset (penemuan) dari para inventor tersebut
diberikan penghargaan. Di Indonesia, salah satu bentuk penghargaan tersebut
adalah pemberian perlindungan paten oleh Negara kepada penemu. Pengertian
tentang paten dapat dijumpai dalam beberapa Undang-undang Paten yang pernah
diberlakukan di Indonesia[42].
Secara normative, paten –mencakup paten standar dan sederhana[43]-
dipahami sebagai hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas
penemuannya[44] di
bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk
melaksanakannya.
Penemuan
yang didefinisikan dalam undang-undang paten Indonesia menegaskan adanya
kreativitas manusia[45]. Untuk dapat diberikan paten, suatu
invention harus memenuhi persyaratan perundang-undangan –dalam hal ini
validitas – patentabilitas[46], yaitu: kebaruan, langkah inventive, dan
dapat diterapkan dalam dunia industri[47].
3.4.1. Kebaruan (Novelty)
Kebaruan (Novelty)
merupakan syarat pokok dari patentabilitas. Tanpa kebaruan[48],
permintaan paten akan ditolak. Dokumen dari teknologi / pengetahuan yang sudah
ada (prior art) dapat menggagalkan
kebaruan bila bidang penemuan itu secara eksplisit terdapat dalam dokumen ini[49]. Penemuan
dikatakan baru apabila ia tidak diketahui sebelumnya
atau bukan merupakan bagian dari pengalaman keahlian dalam bidang invensi
tersebut[50]. UU Patent mengindikasikan bahwa kebaruan
akan ditentukan oleh fakta bahwa pada saat permohonan paten, invensi tersebut
tidak sama dengan bagian invensi lain atai atau prior art[51].
UU Paten
mensyaratkan adanya kebaruan[52] dalam penemuan yang diklaim. Hal ini berarti
bahwa penemuan yang diklaim tersebut tidak berada dalam ranah public domain. Dengan
demikian, penemuan tersebut tidak membentuk bagian dari "the state of the art". Secara
essensial untuk menentukan kebaruan, ia dapat dinilai atau dilihat sebagai
berhadapan atau berseberangan dengan latarbelakang dari 'the prior art base' yang berkaitan dengan bidang teknologi yang
terkait[53]. Hal terpenting yang perlu dicermati adalah public disclosure yang dapat menyebabkan
penolakan terhadap suatu aplikasi, jika dilakukan sebelum mengajukan permohonan.
Misalnya, mendiskusikannya dengan teman kerja atau kolega sebelum mengajukan
permohonan paten dapat merusak kebaruan dari paten tersebut[54].
3.4.2. Langkah Inventif
Langkah inventif merupakan salah satu syarat yang
harus dipenuhi dalam mendapatkan perlindungan paten. Dengan kata lain, invensi
tersebut harus tidak terduga[55] bagi
para ahli[56]di
bidangnya. Klaim paten dianggap membuka langkah inventif jika penemuan yang
diklaim tersebut merupakan sesuatu yang tidak terduga oleh ahli di bidang
invensi yang hendak diklaim tersebut[57], dengan
mempertimbangkan prior art pada tanggal pengajuan permohonan. Hal ini juga
diterapkan jika permohonan tersebut diajukan dengan meminta hak prioritas[58]. Langkah
inventif diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak terduga "unexpected
matter"[59] bagi
orang atau pihak yang memiliki keahlian standar dalam bidang tekhnis invensi
tersebut[60]. Lebih
jauh, terminology "unexpected matter" tidak semata-mata merupakan
transpirasi ide tetapi juga mencakup elemen inspirasi[61].
Tampaknya, permasalahan krusial dalam praktek adalah
bagaimana menentukan criteria ahli dalam bidang invensi yang bersangkutan dan
pengetahuan apa yang diharapkan untuk diketahui oleh mereka[62]. Walker mengatakan bahwa
langkah inventif merupakan bidang hukum paten dan praktik yang paling rentan
mengandung ketidakpastian, sehingga sering memunculkan kontroversi yang ekstrim[63].
Suatu penemuan dikatakan mengandung langkah inventif apabila
dalam penemuan tersebut terdapat lompatan teknologi yang tidak diduga
sebelumnya oleh orang yang mempunyai keahlian normal dalam bidang dimana
penemuan itu dimintakan perlindungan patennya. Kebaruan berbeda dengan langkah
inventif[64]. Jadi
yang disebut penemuan itu cukup hanya memiliki “perberbedaan”[65]
dengan teknologi yang sudah ada sebelumnya.
3.4.3.
Dapat Diterapkan dalam Dunia Industri
Unsur ketiga dalam patentabilitas atas suatu penemuan
adalah dapat diterapkannya penemuan tersebut dalam dunia industri[66]. Terminologi
industrial applicable ini mengacu
pada fungsi atau kemanfaatan. Dengan kata lain "the patent works".[67] Ia
mengharuskan invensi (produk dan proses)[68], yang
dapat memproduksi material (benda) yang mencakup produk produk dan proses dalam
jumlah besar secara terus menerus dan teratur dengan kualitas yang sama dan
stabil[69].
Paham tersebut dapat dimengerti mengingat paten
tersebut secara histories berakar kuat dalam tradisi dan karakteistik ekonomi. Akan
tetapi, beberapa penemuan yang dapat dipatenkan merupakan pembadanan dari teori
atau sebagai perluasan dari teori baru yang dikembangkan, termasuk proses dan
obyek fisik[70].
Daftar Pustaka
A
Tutorial on Technology Transfer in U.S. Colleges and Universities, pp/1-22;
Arnold,
Tom, ‘General Aspects of Licensing, Including Trade Secrets, Know How,
Bankruptcy: Basic Considerations in Licensing’, in Recent Development in Licensing, Presented at the Annual Meeting of
the American Bar Association, August 7-12, 1981, New Orleans, Louisiana
Bereskin,
Daniel R., and Wiebe, Justine, 1991, “Licensing: Defining A Relationship, in
http://www.bereskinparr.com/art-html/Licensing.html., p. 4 of 10.
Blakeney
and Mc Keough, J., 1992, Intellectual
Property: Commentary and Materials, 2nd edition, The Law Book Company
Blakeney,
1989, Legal Aspect of the
Trasfer of Technology to Developing Countries, ESC Publishing Limited
Bloxam,
G., 1972, Licensing Right in
Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Gower Press
Bloxam,
George, 1972, Licensing Rights
in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Grower Press, pp. 163-196.
Braquene,
H., 1996, Introduction to the
Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html
Braquene,
Hans, 1996, Introduction to
the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html
Braquene,
Hans, 1996, Introduction to
the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html,
Brookhart,
Walter R., et al., 1980, Current
International Legal Aspects of Licensing and Intellectual Property, American Bar Association;
Carr,
Robert, K., Menu of Best Practice in Technology Transfer, in http://www.milkern.com/rkcarr/flpart2.html,
pp.1-11;
Chawthra,
B.I., 1986, Patent Licensing
in Europe, 2nd edition,
Butterworths
Chen,
Min, 1996, Managing
International Technology Transfer, International
Thomson Business Press
Christoph
Antons, 1997, Indonesian Intellectual Property Law in Context, in Veronica
Taylor, (ed) 1997, Asian Laws
Trough Australian Eyes, Law Book Company
Commission
Regulation (EC Law) of Technology Transfer, No. 240/96 of 31
January 1996
Commission
Regulation (EC Law) of Technology Transfer. 240/96 of 31
January 1996, Article 10 (6) and
Recital 4.
Committee
of Expert on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive Business Practices
Relating to Patents and Licenses, OECD
Committee
of Experts on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive
0 komentar:
Posting Komentar