Jumat, 07 Juni 2013


EKSISTENSI HASIL-HASIL RISET

DALAM REGIM PATEN


Bagian ini akan membahas perihal hakekat dari hasil-hasil riset yang dilindungi dalam regim paten. Mengapa ia harus dilindungi? Bagaimana rasionalisasi, dan justifikasi teknisnya? Apa yang kita maksudkan dengan hasil-hasil riset yang dilindungi dalam regim paten ini? bagaimana cakupan perlindungannya, serta kerangka hukum dan cara pengidentifikasian atau penelusuran dan penentuan hasil-hasil riset yang dapat dilindungi dalam regim paten.

 

3.1. Doktrin Inventor: Konsep Dasar Pengapresiasian Kreatifitas dan Produktifitas dalam Pengembangan Hasil-Hasil Riset

Konsep dasar dalam pengapresiasian dan pengembangan hasil-hasil riset tidak dapat dilepaskan dari risalah pengkonstruksian perlindungan hukum bagi kreatifitas dan produktifitas manusia. Konsep ini dapat ditelusuri dari ajaran Lockean yang menjadi landasan filosofis bagi pemvalidasian eksistensi sebuah kreatifitas yang saat ini dikenal dengan HAKI. Konsepsi dasar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) bersumber pada proposisi yang dipostulasikan oleh John Locke[1], filosof Inggris abad ke XVII. Inti gagasan proposisi tersebut menempatkan hak milik sebagai hak yang melekat (inherent) pada kepribadian individu[2]. Setiap orang memiliki hak untuk mempertahankan hidup dengan karya fisik, ide, kreativitas dan derivat-derivatnya. Jika seseorang mengkombinasikan karya manusiawinya, dengan obyek-obyek alamiah dan menambahkan sesuatu dari dirinya, maka secara otomatis hasilnya merupakan bagian dari kekayaannya[3], dan tidak dapat dihilangkan dari dirinya tanpa seizinnya[4]. Untuk itu,  semua manusia memiliki hak-hak alamiah tertentu dan untuk menikmati hak-hak tersebut tidak memerlukan izin dari pemerintah[5]. Proposisi ini sesungguhnya menggambarkan proses interaksi (structural coupling) antara manusia dan alam sebagai syarat minimal untuk hidup manusiawi. Namun demikian, seluruh derivat dari structural coupling itu seharusnya tidak membatasi orang lain dalam melakukan atau menikmati derivat tersebut secara wajar.
Deskripsi di atas membimbing kita pada kesimpulan yang mengkualifikasi hak milik intelektual sebagai hak kodrat[6] dan ia harus diberikan perlindungan sebagai bagian dari hak kodrat yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Dengan demikian ia dapat dikategorikan ke dalam nilai-nilai universal yang harus dihormati oleh manusia sebagai subyek hukum.

3.2. Rasionalisasi dan Justifikasi Tekhnis atas Hak Paten

Saat ini, teknologi sebagai produk paten telah menjadi salah satu komoditi yang paling strategis dalam perdagangan internasional. Ia memainkan peranan yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini karena hampir semua kebutuhan manusia dalam abad modern ini berasal dari produk-produk yang lahir dari kemampuan intelektual manusia[7] di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara teoritis, Masami Hanabusa mencoba menjustifikasi dan dengan meletakkan dasar rasionalitas keberadaan paten melalui pengidentifikasian beberapa fungsi hukum paten, seperti fungsi kebijakan: (i) tekhnis, (ii) hak milik industri, dan (iii) fungsi kebijakan industrial[8].
Secara tekhnis, hukum paten –dengan standar tertentu- mengevaluasi terciptanya ide tekhnis yang bermanfaat secara industrial, dan memberikan paten, monopoli hukum atau kekuatan hukum yang eksklusif bagi inventor. Hukum paten, pertama menentukan sebuah penemuan apakah ia mengandung kreatifitas atasu tidak, seberapa besar kreatifitas dari ide tekhnis dan juga membangun suatu standar untuk mengevaluasi perubahan dari suatu kreasi sebelumnya (prior art), i.e. kreatifitas[9].
Berdasarkan fungsi hak milik industri, hak untuk mendapatkan paten, hak paten, dan label (branched) atau hak-hak derivatif (derrivatives right), dalam hal ini, pemberian lisensi eksklusif ataupun non eksklusif merupakan basis penting bagi aktifitas industrial dalam masyarakat ekonomi. Oleh karena itu, substansi hak tersebut seharusnya dipublikasikan secara resmi dan dan bentuk atau model prosedurnya harus distandarisasi dalam upaya menjamin keamanan transaksi[10]. Dalam hal ini, hukum paten diperlukan untuk memberikan perlindungan dan pemanfaatan hak dalam upaya memperoleh hak paten. Selanjutnya, berdasarkan fungsi kebijakan industri, hukum paten difungsikan oleh pemerintah untuk (i) melindungi dan memanfaatkan penemuan, dan (ii) mendorong penemuan.
Mengingat pentingnya teknologi dan hubungannya dengan hak ekonomi dan hak asasi manusia, beberapa ahli memformulasikan dan mengkaji rasionalitas dari perlindungan paten. Pada tahun 1950, Fritz Machlup dan Edith Penrose dalam bukunya An Economic Review of the Patent System, mengidentifikasi empat teori yang menjustifikasi perlindungan paten:
(i)           natural law[11],
(ii)         reward by monopoly[12],
(iii)       monopoly-profit- incentive[13], dan
(iv)       exchange for secrets[14].
Tampaknya teori tersebut tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu, ia harus diinterpretasi secara simultan. Hal ini disebabkan karena masing-masing teori mengandung keterbatasan –baik secara tekhnis ataupun konseptual- dalam memvalidasi perlindungan HAKI –paten-. Teori Hukum Alam dan Imbalan melalui Monopoli (natural law and reward by monopoly theories) dikritisi, karena kedua teori tersebut hanya memperkuat kepentingan inventor semata yang dapat mengimplikasikan monopoli permanen atau abadi; dan memungkinkan ciptaan yang bebas, mandiri dan menekankan pada ex post facto justice, bukan pada insentif untuk menciptakan sesuatu[15]. Begitu pula, teori incentive by monopoly dan monopoly exchange for secrets' theories lebih menekankan pada kepentingan masyarakat dan insentif semata, bukan pada reward atau imbalan. Selain itu, perkembangan industri yang diadvokasi oleh teori yang terakhir ini sangat tergantung pada keterbukaan rahasia pada penemuan[16].

3.2. Definisi, Pengertian, dan Lingkup Perlindungan

Hukum paten dapat didefinisikan sebagai serangkaian norma yang memberikan perlindungan hukum bagi kreatifitas dan produktifitas manusia yang lahir dari kemampuan intelektualnya di bidang teknologi, mainstream hukum hak milik industri. Terminologi ini mengandung pemahaman dan ruang lingkup yang luas. Ia tidak hanya dapat diterapkan pada bidang industri dan perdagangan saja, tetapi juga bidang pertanian, extractive industries, dan produk-produk manufaktur[17].
Konsep paten menempatkan hak eksklusif sebagai inti dari hak paten. Ia adalah hak monopoli terbatas atas teknologi yang digambarkan dalam dokumen paten, kepada inventor yang pertama kali dan mempublikasikan penemuan yang memberikan kontribusi bagi kemajuan teknologi dan industri[18]. Ia menawarkan monopoli kepada pengembang atas produk atau proses yang bermanfaat. Lebih tepatnya, paten adalah hak eksklusif atau hak hukum untuk mencegah pihak ketiga dari membuat, menggunakan, atau menjual setiap penemuan yang dikonstruksi dalam klaim paten[19]. Secara substansial, hak eksklusif diberikan oleh Negara kepada inventor untuk melaksanakan penemuannya atau memberikan kewenangan kepada orang lain untuk melaksanakannya dalam period waktu tertentu[20]. Hak eksklusif ini memuat prinsip utama paten[21] yang memberikan perlindungan hukum bagi inventor atau pemegang paten untuk melaksanakan penemuannya dalam jangka waktu 20 tahun untuk paten stadar[22] dan 10 tahun untuk paten sederhana[23].

3.3. Kerangka Hukum bagi Perlindungan Hasil Riset

Aturan dan sumber hukum paten ini dapat ditemukan baik pada tataran internasional maupun nasional. Indonesia terikat oleh kewajiban internasional untuk melindungi paten. Pembukaan undang-undang paten menyatakan keanggotaan Indonesia dalam the World Trade Organisation termasuk Trade related on Intellectual Property Rights (TRIPs), The Paris Convention for the Protection of Industrial Property, dan the Patent Cooperation Treaty as consideration to promote the Patent Act[24]. Akibatnya, Indonesia harus menyesuaikan ketentuan nasionalnya dengan perjanjian-perjanjian internasional tersebut[25].
Beberapa ciri yang terdapat dalam system perundang-undangan di Indonesia biasanya difokuskan pada prinsip-prinsip hukum dan cenderung memuat konsep yang umum dan luas. Selain itu, norma-norma tersebut tidak diatur secar rinci, sehingga membuka ruang interpretasi. Begitu pula halnya dengan beberapa perundang-undangan di bidang informasi, pengetahuan dan teknologi di Indnoesia, seperti UU No. 14 Tahun 2001, tentang Paten, UU No.18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kedua undang-undang pokok tersebut belum diikuti oleh aturan pelaksanaan yang rinci tentang pemanfaatan teknologi, seperti alih teknologi, licensing, dan lain-lain.
Oleh karena itu, untuk menjamin keakurasian dan kepastian hukum, pemerintah memberlakukan aturan-aturan pelaksanaan[26] yang menjabarkan isi undang-undang pokok di bidang paten. Hal yang perlu dicermati dalam memberikan perlindungan hukum adalah keluwesan peraturan agar dapat diperbaharui dan dikembangkan terus menerus agar dapat mengakomodir perubahan dan tuntutan masyarakat. Lebih jauh, peranan hakim dalam menafsirkan undang-undang dan aturan pelaksanaannya merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dalam menegakkan system hukum paten secara memadai.
Secara normative dan lebih rinci, kerangka perlindungan hukum bagi hasil-hasil riset yang telah dipatenkan dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 16, 17 dan 19 Undang-undang No. 14 Tahun 2001. Dari pasal-pasal tersebut terlihat jelas bahwa system paten di Indonesia selain memberikan hak dan kewenangan penuh pemegang paten untuk membuat, menjual, mengimpor, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan[27], juga memberikan hak untuk melarang orang lain untuk membuat atau mengimpor produk yang dipatenkan ke dalam wilayah dimana produk itu telah dipatenkan atau diproduksi[28].
Dalam hal terjadinya pelanggaran, sebuah paten dikatakan telah dilanggar, jika seseorang menggunakan atau memanfaatkan hak eksklusif si pemegang paten. Undang-undang Paten Indonesia menempatkan hak eksklusif ini sebagai isu inti dalam hal terjadinya pelanggaran. Pasal 16 UU Paten Indonesia memberikan inventor hak eksklusif untuk mengeksploitasi invensinya dan mengalihkan atau mengkuasakan kepada orang lain untuk mengeksploitasinya. Berdasarkan undang-undang, terminology eksploitasi ini mencakup produk[29] dan proses paten.[30]
Salah satu tahapan yang paling krusial dalam konteks ini adalah tahapan dalam menentukan pelanggaran. Pertama, mengidentifikasi dan mengenal isi dan deskripsi dari penemuan tersebut, selanjutnya dari deskripsi tersebut, kita dapat memutuskan apa atau bagian mana  atau unsur apa dari paten yang dilanggar. Oleh karena itu, seorang pemegang paten harus merinci spesifikasi yang rinci[31] dari penemuan tersebut unsure yang dilindungi dari invensi tersebut menjadi lebih jelas. Konstruksi klaim dalam spesifikasi tersebut harus dinyatakan secara detail dan jelas. Setiap bagian dari klaim yang dinyatakan seharusnya dirumuskan dalam kata-kata yang jelas dan akurat (fairly based on the matter described)[32], karena klaim merupakan bagian dari aplikasi, yang menjelaskan inti invensi yang harus dilindungi[33]. Tahapan terpenting dalam menentukan pelanggaran paten adalah bagaimana mengkonstruksi makna dari klaim yang bersangkutan dan kemudian dibandingkan dengan tindakan yang dinyatakan atau dituduhkan dalam pelanggaran tersebut. Dengan demikian ia dapat dilihat apakah tindakan tersebut masuk ke dalam makna yang dimaksud dalam klaim tersebut.[34]
Dalam menguji pelanggaran, sebuah klaim diinterpretasikan dalam konteks yang paling luas.[35] Ini berarti, bahwa klaim tidak semata-mata mengacu pada kata-kata yang lengkap, tetapi juga mempertimbangkan essensi atau tujuan dari klaim tersebut.[36] Konsep spesifikasi ini pertama kali diinspirasi oleh Lord Diplock dalam Catnic Components Ltd v Hill and Smith Ltd[37] , yang menegaskan pentingnya beberapa elemen substansial, seperti: (i) kata-kata klaim yang diuji oleh para ahli dalam bidang yang terkait[38], (ii) invensi utama yang berkaitan dengan klaim, (iii) spesifikasi yang tidak hanya memuat detail invesi, tetapi juga tujuan dari konstruksi paten. Lebih jauh, dari kasus the Clarkv Adie (1877) 2 App Cas 315, kita dapat mempelajari bahwa terdapat tiga cara dalam menentukan pelanggaran: (i) dimana keseluruhan spesifikasi itu digunakan; (ii) dimana substansi atau 'pith and marrow' dari invensi tersebut digunakan; dan (iii) dimana subordinate invensi dapat terjadi dalam invensi yang besar[39].

3.4. Pengidentifikasian Hasil-Hasil Riset dalam Rezim Paten

Pengidentifikasian hasil-hasil riset dalam rezim paten ini mensyaratkan indicator normative guna menentukan apakah hasil riset itu dapat dikonstruksi sebagai suatu penemuan yang dapat dilindungi atau tidak[40]. Konsep penemuan ini tidak dapat dipisahkan dari konsep teknologi dalam hukum paten. Dalam hal ini, teknologi mensyaratkan adanya level kreatifitas dan dapat merespon tuntutan /kebutuhan masyarakat[41].
Berkaitan dengan konsep diatas, maka sudah sepatutnyalah jika hasil-hasil riset (penemuan) dari para inventor tersebut diberikan penghargaan. Di Indonesia, salah satu bentuk penghargaan tersebut adalah pemberian perlindungan paten oleh Negara kepada penemu. Pengertian tentang paten dapat dijumpai dalam beberapa Undang-undang Paten yang pernah diberlakukan di Indonesia[42]. Secara normative, paten –mencakup paten standar dan sederhana[43]- dipahami sebagai hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas penemuannya[44] di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya.
Penemuan yang didefinisikan dalam undang-undang paten Indonesia menegaskan adanya kreativitas manusia[45]. Untuk dapat diberikan paten, suatu invention harus memenuhi persyaratan perundang-undangan –dalam hal ini validitas – patentabilitas[46], yaitu: kebaruan, langkah inventive, dan dapat diterapkan dalam dunia industri[47].

3.4.1. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (Novelty) merupakan syarat pokok dari patentabilitas. Tanpa kebaruan[48], permintaan paten akan ditolak. Dokumen dari teknologi / pengetahuan yang sudah ada (prior art) dapat menggagalkan kebaruan bila bidang penemuan itu secara eksplisit terdapat dalam dokumen ini[49]. Penemuan dikatakan baru apabila ia tidak diketahui sebelumnya atau bukan merupakan bagian dari pengalaman keahlian dalam bidang invensi tersebut[50]. UU Patent mengindikasikan bahwa kebaruan akan ditentukan oleh fakta bahwa pada saat permohonan paten, invensi tersebut tidak sama dengan bagian invensi lain atai atau prior art[51].
UU Paten mensyaratkan adanya kebaruan[52] dalam penemuan yang diklaim. Hal ini berarti bahwa penemuan yang diklaim tersebut tidak berada dalam ranah public domain. Dengan demikian, penemuan tersebut tidak membentuk bagian dari "the state of the art". Secara essensial untuk menentukan kebaruan, ia dapat dinilai atau dilihat sebagai berhadapan atau berseberangan dengan latarbelakang dari 'the prior art base' yang berkaitan dengan bidang teknologi yang terkait[53]. Hal terpenting yang perlu dicermati adalah public disclosure yang dapat menyebabkan penolakan terhadap suatu aplikasi, jika dilakukan sebelum mengajukan permohonan. Misalnya, mendiskusikannya dengan teman kerja atau kolega sebelum mengajukan permohonan paten dapat merusak kebaruan dari paten tersebut[54].

 

3.4.2. Langkah Inventif

Langkah inventif merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam mendapatkan perlindungan paten. Dengan kata lain, invensi tersebut harus tidak terduga[55] bagi para ahli[56]di bidangnya. Klaim paten dianggap membuka langkah inventif jika penemuan yang diklaim tersebut merupakan sesuatu yang tidak terduga oleh ahli di bidang invensi yang hendak diklaim tersebut[57], dengan mempertimbangkan prior art pada tanggal pengajuan permohonan. Hal ini juga diterapkan jika permohonan tersebut diajukan dengan meminta hak prioritas[58]. Langkah inventif diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak terduga "unexpected matter"[59] bagi orang atau pihak yang memiliki keahlian standar dalam bidang tekhnis invensi tersebut[60]. Lebih jauh, terminology "unexpected matter" tidak semata-mata merupakan transpirasi ide tetapi juga mencakup elemen inspirasi[61].
Tampaknya, permasalahan krusial dalam praktek adalah bagaimana menentukan criteria ahli dalam bidang invensi yang bersangkutan dan pengetahuan apa yang diharapkan untuk diketahui oleh mereka[62]. Walker mengatakan bahwa langkah inventif merupakan bidang hukum paten dan praktik yang paling rentan mengandung ketidakpastian, sehingga sering memunculkan kontroversi yang ekstrim[63].
Suatu penemuan dikatakan mengandung langkah inventif apabila dalam penemuan tersebut terdapat lompatan teknologi yang tidak diduga sebelumnya oleh orang yang mempunyai keahlian normal dalam bidang dimana penemuan itu dimintakan perlindungan patennya. Kebaruan berbeda dengan langkah inventif[64]. Jadi yang disebut penemuan itu cukup hanya memiliki “perberbedaan”[65] dengan teknologi yang sudah ada sebelumnya.

 

3.4.3. Dapat Diterapkan dalam Dunia Industri

Unsur ketiga dalam patentabilitas atas suatu penemuan adalah dapat diterapkannya penemuan tersebut dalam dunia industri[66]. Terminologi industrial applicable ini mengacu pada fungsi atau kemanfaatan. Dengan kata lain "the patent works".[67] Ia mengharuskan invensi (produk dan proses)[68], yang dapat memproduksi material (benda) yang mencakup produk produk dan proses dalam jumlah besar secara terus menerus dan teratur dengan kualitas yang sama dan stabil[69].
Paham tersebut dapat dimengerti mengingat paten tersebut secara histories berakar kuat dalam tradisi dan karakteistik ekonomi. Akan tetapi, beberapa penemuan yang dapat dipatenkan merupakan pembadanan dari teori atau sebagai perluasan dari teori baru yang dikembangkan, termasuk proses dan obyek fisik[70].

Daftar Pustaka

A Tutorial on Technology Transfer in U.S. Colleges and Universities, pp/1-22;
Arnold, Tom, ‘General Aspects of Licensing, Including Trade Secrets, Know How, Bankruptcy: Basic Considerations in Licensing’, in Recent Development in Licensing, Presented at the Annual Meeting of the American Bar Association, August 7-12, 1981, New Orleans, Louisiana
Bereskin, Daniel R., and Wiebe, Justine, 1991, “Licensing: Defining A Relationship, in http://www.bereskinparr.com/art-html/Licensing.html., p. 4 of 10.
Blakeney and Mc Keough, J., 1992, Intellectual Property: Commentary and Materials, 2nd edition, The Law Book Company
Blakeney, 1989, Legal Aspect of the Trasfer of Technology to Developing Countries, ESC Publishing Limited
Bloxam, G., 1972, Licensing Right in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Gower Press
Bloxam, George, 1972, Licensing Rights in Technology: A Legal Guide to Managers in Negotiation, Grower Press, pp. 163-196.
Braquene, H., 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html
Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html
Braquene, Hans, 1996, Introduction to the Legal Aspects of The Transfer of Technology, in http://www.braquene.be/teksten/transfer_tech.html,
Brookhart, Walter R., et al., 1980, Current International Legal Aspects of Licensing and Intellectual Property, American Bar Association;
Carr, Robert, K., Menu of Best Practice in Technology Transfer, in http://www.milkern.com/rkcarr/flpart2.html, pp.1-11;
Chawthra, B.I., 1986, Patent Licensing in Europe, 2nd edition, Butterworths
Chen, Min, 1996, Managing International Technology Transfer, International Thomson Business Press
Christoph Antons, 1997, Indonesian Intellectual Property Law in Context, in Veronica Taylor, (ed) 1997, Asian Laws Trough Australian Eyes, Law Book Company
Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer, No. 240/96 of 31 January 1996
Commission Regulation (EC Law) of Technology Transfer. 240/96 of 31 January 1996, Article 10 (6)  and Recital 4.
Committee of Expert on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive Business Practices Relating to Patents and Licenses, OECD
Committee of Experts on Restrictive Business Practices, 1972, Restrictive 


0 komentar:

Posting Komentar